Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5

Rumah besar Audra bergaya Amerika. Bangunan itu dibagi menjadi dua pavilion. Pavilion utama dan pavilion kedua untuk service area. Pavilion utama memiliki lima kamar tidur. Satu kamar tidur utama untuk Audra, satu kamar untuk Ayyara, dan tiga lainnya untuk tamu. Service area di pavilion kedua berisi kamar para pengurus rumah tangga dan supir, sekalipun supir sudah dia ganti dengan tim ADS yang dia percaya.

Setelah mengantar Audra, dia kembali ke apartemennya sendiri untuk mengambil pakaian dan perlengkapan pribadi. Dia sedang melepas setelan jas yang menyiksa dan berganti pakaian ketika ponselnya berbunyi.

"Halo Sayang," dia menjawab ponsel sambil tersenyum.

Mendengarkan gadis cantik di seberang sana yang sedang bicara. Tubuhnya duduk di pinggir tempat tidur. Sesekali dia mengangguk dan tertawa. Lalu berjanji agar mereka segera bertemu setelah pekerjaannya sendiri selesai. Dia merindukan gadisnya.

Hubungan dia sudahi lalu dia memeriksa segalanya lagi. Semua pakaian dan barang pribadinya sudah ada dalam satu tas berukuran sedang. Kemudian dia pergi menuju rumah Audra.

Di perjalanan dia menghubungi Dado dengan earphone yang terpasang. "Dado, anak-anak sudah dijemput?"

"Ayyara sudah saya antar, Pak. Saya sedang antarkan Damar ke MG. Permintaan Ibu Tania."

"Oke."

Kemudian dia menghubungi Martin lagi. "Gimana si kecoak-kecoak?"

"Udah diurus sama Bung Toto dan Brama. Orang-orangnya Darius. Saya akan cek ke Bang Yuda karena sepertinya mereka preman."

"Kalau Yuda sibuk, tanya Manggala. Biar Gala yang hukum mereka."

"Oke, Bos."

"Tolong kirimkan semua data anak ADS yang berjaga di tempat Audra Daud. Shift mereka dan semua data pribadi. Juga laporan CCTV. Ada berapa, dimana saja, dan rekaman satu minggu ke belakang. Sore ini kita meeting kordinasi. Bilang Leo, Alex, Desmond, Rico dan yang lain agar datang. Saya ingin cek status semua orang. Ram biar saya yang hubungi."

"Noted."

"GImana kondisi Elang hari ini?"

"Membaik. Tapi masih terapi intensif di MG."

"Oke. Hati-hati."

Mobil dia sudah parkirkan di garasi besar yang berisi empat type mobil terbaik. Dia akan melakukan pemeriksaan detail untuk seluruh kendaraan nanti. Belum lagi memeriksa seluruh perimeter area, membersihkan rumah yang artinya dia harus memastikan tidak ada penyadap yang terpasang, juga memeriksa data semua staff rumah tangga yang bekerja di sini dan CCTV. Oh, pekerjaannya banyak sekali.

Tubuhnya masuk pintu samping yang mengarah langsung ke dapur. Lalu menemukan Ayyara sedang duduk di kursi tinggi dekat kitchen island besar sambil mendengarkan musik di headset-nya.

"Selamat sore gadis cantik." Dia meletakkan tasnya di salah satu meja di sana.

Ayyara menoleh sambil melepaskan headset. "Om Nikoooo..."

Dia menghampiri Ayyara dan memeluk gadis berusia 12 tahun itu sesaat lalu mengacak rambut panjangnya. Wajah Ayyara mirip sekali dengan Audra dengan mata coklat gelap dan rambut hitamnya. Tapi Ayyara lebih periang dan mudah tersenyum. Dia lebih mengenal Ayyara daripada Audra. Karena dia sering menjemput dan mengantar Damar juga Ayyara ke sekolah.

"Tumben Om masuk ke rumah aku? Ada urusan sama mama?" tanya Ayyara.

"Iya. Om dikasih tugas sama Om Reno."

"Tugas apa?"

"Jagain mama dan Ayyara."

"Assssiiiikkk...akhirnyaa aku bisa bikin iri Damar. Selama ini Damar pamer terus. All of you took him for a very cool activity. I'm soo jealous because I'm stuck with my crazy mom. Jadi Om sekarang di sini dan kita senang-senang. Aku mau diajarin nembak. Kata Damar dia mulai latihan menembak."

"Hey hey, Damar berlebihan. Belum saatnya kalian tahu senjata." Kepalanya menggeleng dan dia terkekeh. Tubuhnya sudah duduk di kursi tinggi sebelah Ayyara. "Sudah makan?"

"Belum."

"Om mau masakin Ayyara, tapi Om nggak tahu mama ngijinin atau nggak."

"Tenang aja, Om. Mama nggak akan keluar kamar sampai malam nanti. Dapur ini milik kita. Aku mau makan mie instan goreng yang pedas sekali, boleh yaa yaa yaaaaa...pleaseeee. Jangan bilang mama. Pleaseee..."

Dia tertawa. "Oke, let's get to work young lady. Om jadi chef-nya, kamu jadi sous chef-nya. Ganti baju dan cuci tangan dulu."

"Yesssss." Ayyara langsung berlari ke lantai atas.

Sepuluh menit kemudian, mereka sudah asyik memasak.

***

Malamnya.

Tubuh Audra berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Setelah selesai memeriksa seluruh laporan insiden kebakaran ringan tadi dan juga melakukan conference call dengan jajaran direksi, dia kemudian teringat lagi pada kalimat Niko di mobil.

Bisa-bisanya laki-laki menyebalkan itu memarahi dia. Memangnya Niko pikir dia siapa? Padahal dia hanya bermaksud baik karena tahu Niko tidak menyentuh makanan apapun tadi siang saat dia makan dengan Maja. Untuk pertama kalinya dia berusaha mengerti orang lain dan untuk pertama kalinya juga orang itu malah balik memarahinya, bukan berterimakasih.

Hrrrggghhh... karena itu dia bersumpah dia akan membiarkan Niko mati kelaparan saja lain kali.

Pintunya yang diketuk membuat dia menolehkan kepala. "Nyonya, makan malam sudah siap." Salah satu pelayan rumah tangga mengingatkan.

"Ya, sebentar lagi saya turun. Pastikan Ayyara sudah ada di meja makan."

"Nona Ayyara sudah menunggu, Nyonya."

Jam tujuh malam. Apa Niko sudah ada di bawah? Kemudian langkahnya panjang-panjang mendekati cermin, mematut dirinya sendiri. Make-upnya masih rapih, dia masih memakai pakaian kerjanya tadi. Mungkin dia harus berganti dengan gaun santai. Dengan cepat dia memilih salah satu gaun santai dari dalam walk in closet dan berganti pakaian, kemudian mematut dirinya di cermin lagi.

Ini nggak berlebihan kan? Warna gaunnya cream lembut, dengan potongan simple dan tanpa motif. Keluaran rumah mode Dior. Dia berdiri dan berjalan ke arah pintu sambil menarik nafas dalam. Kenapa juga dia gugup begini? Dasar aneh.

Di ruang makan.

Ayyara sudah duduk di meja makan dengan Niko. Mereka sedang mengobrol dan tertawa santai sekali, seperti teman lama. Kenapa Ayyara bisa dekat dengan Niko seperti itu? Niko sudah tidak mengenakan jas seperti siang tadi. Berganti dengan kaus polo berwarna hitam seragam ADS dan celana berkantung berwarna cream gelap. Seragam yang sering dia lihat Niko gunakan tapi kali ini dia merasa tubuh Niko yang sempurna benar-benar berbeda. Audraaaaa...pleaseeee.

Dia berdehem karena merasa diabaikan kemudian menggeser kursi dan duduk di ujung meja sementara Niko duduk di sisi sebelah kanan dan Ayyara di sisi sebelah kiri berhadapan dengan Niko.

"Oh, hai Mom. Sebenarnya aku nggak lapar-lapar banget. Tapi Om Niko bilang kita harus temani mama makan."

"Kalian sudah kenal rupanya," ujarnya sambil mengambil serbet dan meletakkan di pangkuan. Dia menarik piring salad dengan porsi pas yang sudah disiapkan untuknya.

"Kenal?" Ayyara tertawa kecil. "Aku, Niko, Damar dan Nanda adalah sahabat sejati. Kita adalah tim yang hebat."

Niko mengambilkan makanan untuk Ayyara dan menyerahkan piring ke Ayyara sambil tertawa kecil. "Young Lady, kamu berlebihan. Saya suka mengantar jemput The Fantastic Three."

"Supposed to be the name is The Fantastic Four. Including you, Om." Ayyara menyahut sambil menyuap makanannya.

"Oke, The Three Musketeer kalau begitu. Karena pasukan Om adalah Black Command yang keren banget."

"Aaaah...pengkhianat. Imposteeerrrr..." sahut Ayyara sambil mencebik kesal. Kemudian mereka berdua tertawa.

Niko mulai makan dan mata Niko tidak lepas dari Ayyara saja. Sementara dia memperhatikan diam-diam interaksi anaknya yang bahkan lebih dekat pada Niko daripada dengannya. Ya, dia dan Ayyara jarang sekali bercanda seperti itu. Karena di banyak kesempatan dia tidak punya waktu. Ketika makan malam dengan Ayyara yang hanya berdua saja, suasana akan hening dan kaku. Tidak seperti ini yang penuh dengan canda gurau di meja makan.

Matanya melirik pada piring Ayyara dan terkejut sendiri karena Ayyara makan sayur dengan mudahnya. Padahal biasanya dia harus mengancam Ayyara dengan cara menarik uang saku gadis itu agar Ayyara mau makan sayur. HHrgghhh...Ayyaraaa.

"Ayyara, Om Niko akan tinggal sementara bersama kita..." ujarnya perlahan sambil memperhatikan ekspresi anaknya.

"Satu tahun? Yesss..." senyum lebar Ayyara mengembang.

"Satu hari..." potongnya.

"Sampai kondisi aman." Niko menoleh dan menatapnya tegas.

"Aha, berarti aku akan membuat kegaduhan agar Om selalu di sini." Mata Ayyara yang bulat besar mengerling penuh arti dan Niko tertawa lagi.

"Om akan bereskan cepat-cepat jadi Om tidak lama-lama mengganggu kalian."

"Om tidak pernah mengganggu. Aku suka Om di sini. Kita bisa masak Indo..." wajah Ayyara berubah aneh dan kalimat itu berhenti.

"Masak apa?" tanyanya penuh selidik.

"Bukan apa-apa," kikik Ayyara geli.

"Mama bisa cek di CCTV dapur, Ayyara," ancamnya.

"Om Niko sudah menyembunyikannya. Itu kegiatan yang sangat rahasia, Ma. Mama jangan kepo dong."

"Kepo? Bahasa apa itu? Gunakan bahasa yang benar," ujarnya.

"Om setuju sama Mama. Bicara dengan orangtua harus lebih sopan," Niko menimpali.

"Ooh...baiklah. Hanya karena Om yang meminta," mata Ayyara sudah berputar.

Dia menatap Ayyara makin kesal. Kenapa seolah-olah dia yang orang asing dan tamu di rumahnya sendiri. Kedekatan Niko dan Ayyara membuatnya benar-benar kesal. Selanjutnya makan malam berlangsung dengan dia yang diam mendengarkan celotehan Ayyara pada Niko. Menceritakan banyak hal yang dia tidak tahu.

Tiga puluh menit kemudian makan malam itu selesai. Piring Ayyara bersih dan gelas minuman sudah habis ditandaskan. Dia sendiri sudah menggeser piring salad ke samping.

"Kerjakan PR-mu, Yara."

"Besok hari Sabtu, Ma. Libur. Besok aja."

Ayyara selalu membantahnya.

"Mau Om temani kerjakan?" tanya Niko.

"Really? Oke."

Lagii? Ayyaraa...hrrrghh.

Niko juga sudah selesai makan lalu duduk tegak menatap Ayyara dengan ekspresi yang berbeda.

"Young Lady, terimakasih karena sudah makan dengan benar dan tidak disisakan." Niko berujar. "Terimakasih juga karena sudah mau membereskan piringmu sendiri," lanjut Niko.

Ayyara menatap piring itu tidak mengerti. "Maksud Om, aku harus bereskan ini?"

"Apa itu piringmu?" tanya Niko.

"Ya. Tapi ada si Mba yang..." matanya menatap pelayan rumah tangga mereka yang berdiri menunggu di pinggir ruangan.

"Kamu yang makan? Atau si Mba yang makan?"

"Aku."

"Kamu tahu caranya membereskan piring?"

"Enggak. Mama nggak pernah beresin piringnya. Bahkan baju-bajunya sering bertebaran dimana-mana dan dibereskan si Mba."

Saliva dia loloskan kesal. "Nik..."

"Om ajarkan. Bagaimana caranya hidup mandiri. Jadi Yara bisa pergi kemanapun yang Yara mau nanti. Si Mba nggak akan selalu ikuti Yara kan?" Niko tidak mengindahkannya dan mata Niko masih menatap Ayyara tegas.

"Oke. Aku mau belajar," angguk Ayyara.

What?

Kemudian Niko meletakkan sendok-garpu di atas piringnya membersihkan sisa-sisa makanan yang tidak sengaja jatuh dengan tisu, menumpuk piring lauk yang sudah kosong, bahkan mengangkat piring saladnya. Ayyara melakukan hal yang persis sama. Lalu Niko mengangguk pada dua penjaga rumah tangga yang sudah siap dengan baki kosong. Mengangkat mudah piring-piring itu. Meja makan langsung bersih dan rapih.

"Terimakasih Mba, masakannya enak sekali." Niko tersenyum pada dua pengurus rumah tangga yang menatapnya bingung.

Kepala Niko menoleh ke Ayyara. "Good job." Senyum hangat Niko mengembang pada Ayyara yang juga tersenyum lebar. "Besok Om ajarkan Yara cuci piring sendiri..."

"Stop, oke. Ayyara masuk ke kamar."

Ini tidak bisa dibiarkan.

Niko mengangguk pada Ayyara yang berwajah bingung. "Mama, jangan marahi Om Niko. Aku suka belajar hal baru. Jangan marahi dia."

"Masuk, Yara!" hardiknya.

Dia sudah berdiri berhadapan dengan Niko siap memuntahkan seluruh protesnya.

"Baru satu hari...."

Niko berjalan tidak menghiraukannya menuju ke ruang baca di lantai bawah. Tambah kesal dia menggeram marah dan mengikuti Niko masuk ke dalam ruang baca. Pintu Niko tutup rapat dan tubuh Niko berbalik menghadapnya dengan dua tangan di saku celana.

"Silahkan bicara. Tidak baik berteriak di luar, Aud. Ayyara bisa dengar," ujar Niko tenang.

"Kamu pikir kamu siapa hah? Belum ada satu hari dan kamu sudah berani mengatur segalanya di sini. Ini rumahku. Apa kamu lupa siapa aku? Jangan sok menggurui aku di depan anakku sendiri. Jangan pernah meminta Ayyara melakukan sesuatu dengan caramu. Dia anakku, anakku!!" jeritnya.

Niko masih berdiri diam saja mendengarkan. Mata Niko menatapnya dalam.

"Kenapa kamu diam aja?"

"Apa saya boleh bicara sekarang?" tanya Niko tenang.

"HHrrggghhh, semua laki-laki sama saja. Baik dan manis di awal. Berperilaku seolah-olah mereka manusia suci. Padahal mereka lebih buruk daripada wanita yang terburuk." Karena kesal melihat Niko diam saja, dia berteriak lagi. "Bicara!! Jangan diam saja. Atau angkat kaki dari sini."

"Saya jelaskan satu per satu, baik-baik. Karena kamu berada di dekat saya dan kamu punya dua telinga."

"Apa?"

"Saya bilang kamu punya dua telinga hingga saya tidak akan berteriak, Audra." Nafas Niko hirup lalu laki-laki itu melanjutkan. "Saya tahu siapa diri saya, Aud. Atau apa status sosial saya. Tidak perlu kamu ingatkan. Saya berada di sini karena saya bertugas untuk menjagamu dan Ayyara. Sekalipun Mareno tidak meminta, saya akan dengan senang hati melakukan itu. Karena kamu adalah sepupu dari manusia yang paling saya hormati di dunia."

Niko memberi jeda. "Saya tidak berusaha mengatur apapun atau siapapun, hanya berusaha lebih banyak mendengarkan Ayyara yang kesepian. Saya juga tidak mau menggurui kamu. Sedari tadi saya hanya bicara pada Ayyara saja. Saya hanya memberikan contoh agar Ayyara bisa lebih mandiri. Apa kamu tahu bahwa cita-cita Ayyara adalah keliling dunia? Dia harus mandiri jadi bisa mewujudkan cita-citanya."

Tangannya bertolak pinggang masih kesal.

"Soal kesan awal, saya tidak berusaha membangun kesan apapun. Saya memang seperti ini pada siapa saja. Dan sudah pasti saya bukan manusia suci. Saya jauh dari suci karena banyaknya orang yang pernah mati di tangan saya."

Dia makin marah karena nada Niko yang tenang, dan kalimat-kalimat Niko yang dia tidak bisa bantah juga.

"Saya tidak akan pergi dari sini, Audra. Bukan karena saya mau, tapi sudah menjadi tugas saya untuk memastikan keselamatanmu dan Ayyara. Kamu boleh terus memaki saya, tapi sebelum kondisi di luar sana membaik, saya tidak akan pergi. Maafkan saya jika kamu merasa tidak nyaman."

Dagunya dia angkat tinggi, dia tidak mau menunjukkan bahwa dia kehilangan kata-kata. Jadi matanya menatap Niko dingin.

"Selamat malam, Aud."

Tubuh Niko berjalan ke luar ruangan, meninggalkan dadanya sendiri yang terasa sedikit sesak. Karena emosi sesaat, dan karena kalimat Niko yang menusuknya tajam.

***

Pukul 1 malam.

Mata Audra menatap tablet di genggaman dengan seluruh sambungan CCTV rumahnya sendiri. Hal itu sudah dilakukan sejak beberapa jam lalu setelah dia bertengkar dengan Niko. Oh salah, dia yang memaki sementara Niko berbicara baik-baik padanya.

Saat Niko keluar ruangan, dia diam duduk termenung di dalam ruang baca. Berusaha meredakan emosi dan mencari tahu kenapa sikapnya aneh sekali. Dia mencoba mengingat lagi seluruh makan malam mereka. Niko tidak pernah berusaha mengguruinya, hanya bersikap sopan dan berinteraksi hangat dengan Ayyara. Dia yang mengambil kesimpulan sendiri dan menuduh Niko yang tidak-tidak. Bahkan sambil membawa-bawa strata sosial. Oh, sikapnya norak sekali. Lalu tiba-tiba dia dihantam oleh perasaan menyesal.

Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya sendiri sambil terus memperhatikan layar tablet berisi tampilan CCTV. Niko membantu Ayyara mengerjakan PR di ruang tengah sambil bercanda dan tertawa. Saat pukul sembilan Niko mengantar Ayyara ke kamar untuk tidur. Lalu laki-laki itu duduk di area dapur pada kursi tinggi menghadap laptopnya yang menyala di atas kitchen island. Niko bekerja dengan lampu temaram.

Dahi Niko mengernyit dalam entah memeriksa apa. Lalu Niko menghubungi beberapa orang. Setelah itu Niko keluar dan memeriksa seluruh perimeter area, jendela-jendela, seluruh pintu, juga CCTV dalam dan luar. Semua Niko periksa dengan cermat. Niko berjalan ke depan gerbang untuk merokok dan mengobrol sesaat dengan para penjaga.

Pukul dua belas tiga lima Niko selesai melakukan semua. Laptop dan peralatan kerja Niko rapihkan dan masukkan ke dalam tas lagi. Kemudian Niko mengambil handuk kecil dan masuk ke dalam kamar mandi.

Ya Tuhan, dia bahkan belum memberi tahu Niko untuk tidur dimana. Atau menyediakan handuk bersih dan layak untuk laki-laki itu. Tubuhnya mulai mondar-mandir karena gelisah dan serba salah sendiri. Sikapnya buruk sekali, angkuh, sombong. Persis seperti apa yang dia ingin tunjukkan pada semua orang. Tapi semua orang itu bukan Niko Pratama. Dia tidak mau menjadi Audra yang biasa.

Matanya kembali menatap layar tablet. Lampu kamar mandi mati. Niko sudah tidak ada di sana. Dimana laki-laki itu? Dia mulai memeriksa cermat. Area dapur, koridor, ruang tamu dan ruang tengah. Tas Niko masih ada di sana, tapi dia tidak bisa melihat laki-laki itu ada dimana.

Dia sudah melangkah keluar kamar perlahan lalu turun ke bawah ingin mencari sosok itu. Lampu ruang tengah sudah gelap, menyisakan sedikit cahaya dari teras luar yang masuk dari sela-sela jendela. Matanya mengerjap perlahan untuk menyesuaikan cahaya. Dia memeriksa dapur, kosong. Lalu kembali ke ruang tengah. Berjalan perlahan mendekati sofa besar di sana.

Tubuh Niko berbaring di lantai dengan bantal sofa di kepala. Niko mengenakan kaus hitam polos dan celana panjang. Tanpa selimut, hanya beralaskan karpet ruang tengahnya saja. Tubuh Niko berbaring telentang dengan satu tangan Niko letakkan di belakang kepala. Mata Niko terpejam dan nafas Niko berhembus teratur.

Saya tahu siapa diri saya, Aud. Atau apa status sosial saya. Tidak perlu kamu ingatkan.

Matanya terpejam sesaat karena benar-benar merasa bersalah. Lalu dia berdiri termenung di sana. Apa dia harus membangunkan Niko dan memintanya pindah ke kamar? Haruskah dia minta maaf karena sikapnya tadi? Bagaimana jika Niko marah?

"Tidur, Aud. Sudah malam." Suara berat Niko mengejutkannya.

"Kamu bisa tidur di kamar atas, Nik."

"Terimakasih. Karpet mahal ini sudah sangat cukup untuk saya." Mata Niko masih terpejam.

"Paling enggak kamu bisa tidur di sofa. Jangan di lantai begini." Dia duduk di salah satu sofa satu dudukan.

"Saya baik-baik saja, Aud."

"Nik, aku memaksa. Jangan tidur di lantai."

"Kamu berisik, Aud."

Karena kesal dia menepuk tangan tiga kali hingga lampu otomatis menyala terang. Niko yang terkejut sudah membuka mata dan duduk sambil menghela nafas. Tubuh Niko berdiri dan ingin mengambil ransel hitam di meja. Dia melangkah dan menarik cepat tas itu lalu naik ke lantai atas.

Niko mengikutinya di belakang. Pintu salah satu kamar dia buka dan tas Niko dia letakkan di meja.

"Aud, saya benar-benar lelah. Apa bisa saya minta tas saya dan kembali tidur."

"Tas mu di meja, dan kamu tidur di sini."

Lagi-lagi Niko menghirup nafas panjang sambil menatapnya tidak percaya. Dia suka harum tubuh Niko sehabis mandi. Atau rambutnya yang setengah basah. Mereka sudah berdiri berhadapan di salah satu kamar tamu. Mata mereka saling menatap. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri. Karena bagaimanapun marahnya dia pada Niko, dia tidak mau Niko pergi.

"Oke, saya tidur di sini. Selamat malam, Aud," ujar Niko singkat.

Matanya dia lepaskan dari pandangan mata Niko. Kemudian dia melangkah ke pintu dan berhenti sejenak di sana. "Maaf karena sikapku buruk sekali tadi."

Lalu pintu kamar Niko dia tutup di belakangnya.

***

Gemes deh sama mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro