Part 47
Mareno Daud menatap perut Antania yang mulai besar sambil tersenyum lucu. Pipi Tania juga semakin chubby karena selera makan istrinya yang bertambah. Ini pertama kali dia benar-benar menyaksikan perubahan tubuh istrinya sendiri. Ya, sebelumnya Tania memang memiliki tubuh yang ideal. Tidak seksi dan berlebihan. Hanya pas ukurannya di sana-sini. Tapi sekarang, dada Tania semakin besar. Ha, itu kabar baik. Lalu perut Tania yang membuncit lucu, atau pipi Tania yang menggemaskan.
"Kenapa kamu lihat-lihat begitu? Pake senyum-senyum lagi." Tubuh Tania berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Mereka sedang bersiap-siap untuk datang ke acara makan malam keluarga Daud.
"Kamu menggemaskan," Mareno menggeram sambil menghampiri istrinya.
"Ren, nanti kita terlambat." Tania menggeliat berusaha melepaskan diri darinya.
Dia tidak peduli pada protes Tania dan terus memaksa Tania agar berhenti bergerak dan memeluk tubuh istrinya itu.
"Kamu nggak mau kasih tahu anak kita cewek atau cowok?" tanyanya sambil mencium puncak kepala Tania.
"Enggak," akhirnya Tania balas memeluknya sambil mendongakkan kepala. "Biar surprise aja."
"Kamu tahu nggak kalau kamu makin menggemaskan," ciumannya turun ke leher.
"Maksud kamu gendut?"
"Kalau ini gendutnya kamu, kamu boleh gendut terus. Aku kasih kamu makan yang banyak habis ini." Tangannya mulai beraksi. "Bagian tubuh kamu membesar di tempat-tempat yang aku harapkan dan tanpa operasi plastik. Kamu terlihat lebih seksi," lanjutnya sambil meremas bokong istrinya.
Tania tertawa sambil memukul pundaknya kesal. "Dasar mesum. Mareno, aku jewer nih kalau bandel."
Dia terkekeh kecil lalu menatap Tania masih sambil memeluknya. "Satu-satunya wanita gendut yang berani-berani menolak The Great and The Most Handsome Mareno Daud."
Tawa Tania terdengar lagi. Tangan istrinya dengan cekatan merapihkan leher kemeja yang dia kenakan sementara dia mengancingkan lengan kemeja sambil membungkuk berusaha mencium pipi Tania.
"Marenoo...yang bener dong. Jangan gerak-gerak."
Dia berhenti karena sudah berhasil mencuri beberapa ciuman singkat.
"Kamu tahu Hanif diliput urusan Nathabumi terus sekarang permintaan followersnya di Instagram langsung naik drastis. Ada beberapa yang terang-terangan nelpon dan ngajakin makan siang. Dan reaksi Fayadisa Sidharta lempeng aja kayak jalan tol," ujarnya mengalihkan fokus dari nafsu yang mulai merayap naik. Gaun yang Tania kenakan cantik sekali.
"Ya emangnya Faya harus bagaimana? Cemburu itu gen-nya keluarga Daud, bukan istri-istrinya." Tania sudah berjalan menjauh dan sedang membetulkan riasan wajah yang tipis-tipis.
Mareno menggendikkan bahu sebelum melanjutkan. "Ada benarnya. Terus Mahendra, si anak kecil itu kemarin makan siang di luar sama Alexa. Dan seperti biasa kalau urusan dengan selebriti sekelas calon adik ipar kita itu repot pengaturannya. Ram sendiri turun tangan ngamanin mereka. Eh ternyata banyak yang mengidolakan Mahendra tiba-tiba." Tangannya sudah bergerak membuka ponsel dan menunjukkan pada Tania.
'Putra Bungsu Keluarga Daud yang Go Public.' Begitu bunyi headline news di salah satu portal berita.
Tania tersenyum geli melihat wajah merah Mahendra yang menunduk untuk menghindari kamera sambil menggandeng Alexa.
"Terus? Berita soal kamu apa?" tanya Tania sambil menatapnya.
Dengan pongah dia membuka satu tautan berita lagi di ponselnya. Lalu menyodorkan ponsel pada Tania.
'Smart chip 2.0 yang sukses. Pemerintah akan bekerja sama secara penuh dengan ID Tech untuk pengembangan smart chip generasi ketiga.'
'Mareno Daud, laki-laki di balik layar kesuksesan ID Tech.'
Tania terus menggeser portal berita sambil mengulum senyum. Mareno sendiri puas dengan hasil kerja kepala public relation nya di kantor, Windy. Ah, dia akan menaikkan gajinya nanti.
'Dahulu playboy, Hot Daddy yang satu ini sedang menunggu kelahiran anak pertama.'
Tawa Tania membahana melihat seluruh berita itu.
"Kok ketawa?"
"Kamu bayar wartawan berapa? Pakai Hot Daddy segala lagi," ponsel Tania serahkan kembali padanya.
"Aku hanya harus memastikan seluruh pemberitaan baik muncul, setelah banyak kasus keluarga Daud. Insiden di ADS, kasus Sanggara Buana, kembalinya Arsyad, belum lagi berita tentang Jodi. Saham ID Tech dan Sanggara Buana sempat turun beberapa point. Seluruh pemberitaan baik akan mengalihkan segalanya."
Tania mengangguk setuju. "Ada benarnya. Tapi nggak perlu terlalu berlebihan."
"Itu nggak berlebihan, Sayang. Tadinya aku mau masukkin berita soal Arsyad juga. Tapi ketahuan duluan sama Abang. Dia ngamuk deh."
"Berita Arsyad tentang apa?"
"Judulnya gini, Arsyad Daud, si sulung keluarga Daud yang misterius. Ini faktanya!" Mareno tertawa mengingat Arsyad mengamuk ketika mendengar calon judul headline berita itu.
Tawa Tania terdengar lagi. "Udah ah, kamu bercanda terus. Ayok berangkat."
Bukannya berjalan ke luar kamar, Mareno malah duduk di pinggir tempat tidur lalu menarik tubuh Tania dalam pangkuan.
"Beiby, aku pingin nih. Kamu cantik dan menggemaskan." Hidung Mareno sudah tersuruk di leher harum milik Tania. "Sebentar aja ya. Please."
"Ya ampun, Marenoooo. Kita nanti telat, jewer nih!"
***
Makan malam keluarga Daud diadakan di rumah Ibrahim dan Trisa. Seluruh keluarga diundang beserta anak-anak mereka. Ardiyanto Daud, El Rafi dan Daranindra, Iwan Prayogo dan keluarga, Nugraha Daud, Almira Daud juga seluruh anak-anak mereka. Penjagaan ketat dipasang pada seluruh perimeter area oleh Arsyad. Ram yang memimpin karena Niko mengambil cuti panjang dan pergi menengok keluarganya.
Si empat saudara berkumpul di ruang kerja, membiarkan para tamu beramah-tamah di luar dan menunggu hingga tamu-tamu yang lain datang. Para istri mereka membantu Trisa menyambut tamu.
Arsyad Daud terlihat gagah dengan kemeja tanpa dasi dan jas terbuka. Duduk sambil mengamati tablet yang dia genggam serius sekali. Mahendra di sebelahnya sibuk menerangkan sesuatu. Sementara Hanif berdiri di dekat jendela lebar menatap ke halaman belakang tempat acara. Mengawasi Fayadisa yang perutnya makin membesar.
Mareno menghampiri Hanif, lalu berdiri di sebelahnya. "Aryo datang?"
Kepala Hanif menggeleng. "Aryo masih menunggu di tempat itu."
"Janice belum muncul?" tanya Mareno lagi.
"Belum. Edward masih keras kepala."
Minuman yang Mareno genggam dia sesap perlahan. "Edward dan Janice luar biasa keras kepala," kekehnya. "Akhirnya lo kasih tahu arti pesannya apa?"
"Gue kasih tahu caranya. Aryo yang susun sendiri setelah marah-marah, mengancam, ngejar-ngejar gue ke hutan karena gue lagi dinas, mungkin kalau bisa sekalian guling-guling di lantai. Sumbu Aryo terlalu pendek, padahal dari awal gue sudah mau kasih tahu caranya. Tiba-tiba Aryo pamit pergi dan nggak tahunya dia malah pergi ke Mahendra," jelas Hanif. "Baru bisa memecahkan setengah pesan, Aryo langsung pergi lagi. Padahal Janice juga meninggalkan petunjuk 'kapan'. Bukan hanya 'dimana'. Hah, biar aja kepala Aryo dingin dulu di sana."
"Nggak sabar, mirip kayak Abang," sahut Mareno.
"Kekanakkan dan pede luar biasa. Mirip kayak elo, Ren."
"Heits, enak aja gue disama-samain." Tubuh mereka melangkah ke tengah ruangan.
"Ada kabar apa lagi? Selain berita Go Public adik kecil kesayangan," Mareno mulai meledek Mahendra. "Maheeeen...I love youuuu. Marry me instead of Alexaa...Maheeen Mahheeen..." Mareno tertawa karena berita dari Ram soal Mahendra yang tiba-tiba punya penggemar wanita.
"Dasar Abang paling brengsek lo, Ren. Gue mau ganti si Windy karena bisa-bisanya berita tentang Alexandra dan gue tersebar begitu aja," protes Mahendra.
"Yak, mulai lagi," Hanif menatap kedua adiknya kesal.
"Gue yang ngijinin berita itu keluar. Tadinya malahan judul beritanya begini, Mahendra Daud si Bungsu yang Pemalu. Menikah dengan gadis impian. Ini faktanya!"
Bantal kursi sudah melayang ke arah wajah Mareno yang tertawa lebar. Tangan Mareno segera menepis bantal itu hingga jatuh ke lantai.
"Nggak kira-kira nyebelinnya. Makin tua bukan makin bijaksana lo, Ren," sungut Mahendra.
"Boys, ya Tuhan. Kalian itu kenapa sih?" Arsyad sudah berdiri sambil menggelengkan kepala. "Mareno, lo nggak bisa puasa iseng apa?"
"Kan kalau puasa juga jam segini udah buka, Bang. Boleh dong ngeledekin adek kesayangan yang lagi go public," kikik Mareno.
Mahendra sudah maju dan Hanif memisahkan. "Ampun deh sama kalian."
"Emosi masih menggebu-gebu ya, Hen. Nanti kalau udah married sudah tersalurkan. Untung tinggal seminggu lagi," ledek Mareno lagi.
"Hen, Mareno nggak usah didengerin," potong Arsyad. "Sini, kumpul. Gue mau update."
"Ya elah, Bang. Ini makan malam keluarga. Acara santai. Masa masih kerja sih," protes Mareno. "Uban nanti nambah tuh."
Arsyad hanya melotot pada Mareno yang tersenyum lebar.
"Iya, iya ampun. Nanti gue kualat lagi," mulut Mareno mengulum senyum.
"Sumpahin aja, Bang. Biar Mareno kualat beneran," timpal Mahendra.
Arsyad menatap adik-adiknya tidak mengindahkan. Mereka sudah berdiri membentuk lingkaran.
"Sebelum apapun yang akan gue bilang..." tangan Arsyad merangkul Mareno dan Hanif yang berada di sebelahnya. "...gue benar-benar besyukur kita bisa berada di titik ini bareng kalian. Banyak kabar bahagia dan itu harus dipertahankan."
Tangan Mareno, Hanif dan Mahendra juga saling merangkul.
"Edward sudah resmi rehat, kondisi Edward tidak baik. Mama akan terus meyakinkan Edward untuk memanggil Janice pulang. Janice akan pulang dan Aryo sudah ada di tempat yang benar menunggu," lanjut Arsyad. "ADS masih terus dibangun. Gue dan Mahendra sedang mempertimbangkan tawaran Aryo soal pembelian saham ADS. Bukan karena dana yang ditawarkan, tapi lebih kepada untuk memastikan Aryo tidak kembali ke jalanan dan bertindak seenaknya. Gue dan Mahendra akan sangat berhati-hati soal ini. Pak Lukman dan Dwi Sardi sedang urus segalanya. Sementara itu, ADS akan terus beroperasi.
Nafas Mareno hela. Hanif menatap Arsyad lalu mengangguk setuju.
"Hartono masih sibuk dengan warisan besar keluarganya. Mereka bukan ancaman lagi. Pertunangan Abimana dan Audra dibatalkan, itu berita baik lainnya. Sekalipun paman Ardiyanto belum memberikan Niko restu, tapi gue yakin paman akan memberikan juga pada akhirnya. Tanadi merapat karena membutuhkan dana. Mareno dan Audra yang akan cek apa kita bisa membantu. Menanam benih selalu baik, terutama pada keluarga berpengaruh seperti mereka," jelas Arsyad.
Diam sejenak lalu Arsyad berujar lagi. "Gue ingin rehat sejenak."
Kepala adik-adiknya menoleh menatap Arsyad tidak percaya. "Serius, Bang?"
Senyum kecil Arsyad mengembang. "Ya, Sabiya nggak pernah mengeluh selama ini padahal gue terlalu sibuk. Ini sudah saatnya."
"Gue setuju. Hajar, Bang. Biar pulang-pulang langsung nyusul. Mama kan jadi repot tuh banyak cucu," kekeh Mareno asal.
Rangkulan Arsyad menguat. "Gue akan pergi setelah Niko balik minggu depan dan setelah pernikahan Mahendra. Jaga pasangan hidup kalian baik-baik selama gue nggak ada. Tampuk kepemimpinan akan ada di tangan Niko dan Ram." Kepala mereka bersentuhan. "Jalan masih panjang di depan, Boys. Kita harus saling menjaga, seburuk apapun kondisinya."
"Juga senang-senang jangan lupa. Masa susah mulu, Bang," timpal Mareno.
Arsyad dan Hanif terkekeh kecil. "Setuju."
"Keluarga di atas segalanya," ujar Arsyad lagi. "Because we are what?"
"We are the guardian for life," mereka menjawab serempak sambil tertawa bersama.
***
Audra Daud menatap dari kejauhan makan malam meriah yang diselenggarakan oleh bibi kesayangannya. Seharian dia memastikan penampilannya sempurna karena mengira akhirnya dia bisa bertemu dengan Niko di sini. Tapi Ram berkata bahwa Niko belum kembali. Sudah pasti dia merindukan Niko Pratama. Hari-harinya terasa lebih panjang sekalipun dia sudah berusaha menyibukkan diri.
Hubungannya dengan Abimana menjadi lebih jelas. Awalnya Abi marah dengan pembatalan pertunangan mereka. Tantri Tanadi sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari karena memikirkan kondisi perusahaan keluarga mereka. Dia sendiri sudah bicara pada Abi. Karena dengan perhitungan cermat, Sanggara Buana bisa menggelontorkan pinjaman dana untuk membantu. Ego Abi yang tinggi membuat laki-laki itu menolak. Tapi kemudian Mareno turun tangan dan berkata bahwa dana itu adalah milik ID Tech, agar Abi mau menerimanya.
Dia tidak mau terlibat sama sekali dengan hubungan pribadi Abimana dan Wisnu. Hah, dia sudah cukup sedih memikirkan hubungannya sendiri dengan Niko yang menggantung karena papa yang masih keras kepala. Dia sangat merindukan Niko, sementara laki-laki itu bersikukuh tidak mau menghubunginya demi menepati janji pada papa.
Ah, Niiiikk. Kamu kebangetan.
Ayyara merajuk dan berhenti bicara pada opa-nya. Karena berasumsi bahwa papa menolak Niko mentah-mentah dan mengusir Niko pergi seperti adegan salah satu drama di TV. Ayyara memang terlalu banyak menonton drama korea. Apapun itu, perasaannya kacau sekali. Kadar rindu yang terlalu tinggi membuat dia tidak ingin melakukan apapun, bahkan bicara pada siapapun.
"Oddy..." nama panggilan kecil untuknya terdengar. Hanya papa saja yang memanggilnya begitu.
Tubuhnya berbalik dan menemukan sosok yang dia sayang duduk di kursi roda. Untuknya papa adalah idola, pahlawan pertamanya sekalipun papa keras sekali padanya dulu.
"Papa sudah makan? Mama Trisa pesankan makanan kesukaan Papa," ujarnya.
"Od, duduk dulu. Papa ingin bicara."
Jantungnya berdegup lebih lambat. Sekalipun dia tetap menuruti keinginan papa dan duduk di salah satu sofa dekat dengan kursi roda. Bagaimana jika papa tidak setuju? Harus dengan apa dia meyakinkan papa?
Mata papa menerawang jauh. "Ada hal-hal yang tidak bisa dibeli di dunia," papa memulai. "Satu adalah rasa percaya, dua adalah hangat keluarga, dan tiga adalah rasa cinta. Hal-hal itu penting sekali untuk Papa. Apa kamu setuju?"
Kepalanya mengangguk perlahan.
"Kamu pernah kehilangan ketiganya, Od. Saat laki-laki itu mengkhianatimu dulu," lanjut Ardiyanto. "Papa ingin kamu mengingat bagaimana rasanya ketika itu terjadi, lalu berpikir kembali bagaimana jika laki-laki yang kamu cinta saat ini melakukan hal yang sama."
Nafas dia hirup panjang. Dia meraih tangan papa dalam genggaman. "Aku memulai dengan sesuatu yang salah. Aku harus mengakui itu. Tapi... apakah aku hanya dinilai dari satu kesalahan itu? Apakah adil jika kesalahan yang ada di masa lalu dan dilakukan oleh orang lain kemudian terus diingat dan dijadikan alasan untuk tidak memulai sesuatu yang baru?"
Bibir dia basahi perlahan sambil menatap di kedalaman mata papa. "Aku tidak bisa berjanji pada Papa bahwa kehidupanku dengan Niko akan sempurna dan baik-baik saja. Tapi aku bisa janji satu hal. Bahwa aku akan selalu bangkit dari kesalahan, belajar dan memperbaiki kesalahan itu. Kemudian terus berjalan. Pada akhirnya, aku akan selalu bisa menemukan kebahagiaanku sendiri, apapun yang akan terjadi."
Dia memberi jeda. "Aku memiliki keluarga yang hebat. Papa dan Mama, Ayyara, sepupuku yang sedikit gila tapi mereka luar biasa. Kalian semua adalah sumber kebahagiaanku selama ini, dan tidak akan berubah. Selamanya akan begitu. Tapi aku ingin merasa penuh terisi, Pa. Ada yang kosong di dalam. Tempat itu hanya mau aku isi dengan satu orang saja. Semoga kali ini untuk selamanya." Saliva dia loloskan perlahan. "Tolong restui kami, Pa. Aku benar-benar merindukan laki-laki keras kepala itu."
Audra menatap gelap mata Ardiyanto. Ada banyak rasa cinta dan sayang untuk dirinya. Berpadu dengan rasa khawatir dan cemas takut kehilangan. Dia mengerti sungguh berat keputusan ini untuk papa. Jadi dia bergerak untuk memeluk tubuh papa hangat. Menangis karena seluruh rasa yang dia tahan berhari-hari.
"Kali ini, aku tidak akan memohon lagi. Jika Papa tidak ijinkan, aku akan memberi Niko pengertian. Tapi mungkin, aku akan selamanya sendiri. Karena aku mencintai Papa dan itu tidak akan bisa terganti. Juga aku tidak sanggup menggantikan Niko Pratama dengan siapapun setelah ini," air matanya jatuh satu-satu. Paham benar mungkin dia tidak akan bertemu Niko lagi. Karena keras hati papa, juga trauma atas apa yang terjadi dulu masih menghantui.
Dua tangan papa merengkuhnya kuat. Seperti tidak ingin melepaskan. Andai semua semudah restu seperti yang para sepupunya alami. Andai papa bisa membuka hati dan melupakan yang lalu. Andai dia tidak mencintai Niko sebesar ini. Andai, andai saja.
Papa menyudahi pelukan lalu menatapnya. "Kamu sudah besar. Kenapa kamu cepat besar?" kekeh papa sambil mengusap air matanya.
Audra terkekeh miris. Masih tidak percaya bahwa dia barusan saja mengucapkan janji yang sulit dia tepati.
"Terimakasih, karena sudah mengerti, Oddy." Papa mencium keningnya.
Air matanya jatuh lagi. Hatinya remuk redam sendiri. Senyum dia paksakan lalu berujar. "Makan dulu, Pa. Aku ingin ke kamar mandi."
Tubuhnya berdiri karena sungguh dia ingin berteriak memaki. Mama sudah muncul dan membisikkan sesuatu ke telinga papa. Oh, dia tidak peduli karena rasanya sakit sekali. Sebelum dia bisa pergi tangan papa menahan lengannya.
"Hey, gadis cengeng. Temui calon suamimu sana. Dia baru saja sampai."
Matanya membelalak terkejut menatap papa yang tersenyum lebar. "Jadi?"
"Papa dan Mama merestui karena kalian keras kepala sekali. Lagian, biar Ayyara nggak ngambek lagi," ujar papa dengan senyum konyol yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat.
"Papa serius?" dia menoleh pada mama yang menganggukkan kepala.
"Pergi sana, sebelum Papa berubah pikiran," papa masih tersenyum.
Tanpa sadar Audra menubruk tubuh papanya lagi. Menangis lega karena bahagia. Saat dia sudah rela melepaskan, Tuhan memberi jalan. Restu yang tidak ternilai.
"Lihat, Ma. Kelakuannya persis seperti Ayyara kalau habis dibelikan es krim," kekeh Ardiyanto.
Audra mencium cepat pipi papa dan mama lalu berjalan terburu-buru ke arah teras rumah keluarga Ibrahim Daud. Dia bertemu Tania dan Mareno yang tersenyum padanya sambil menggendikkan kepala ke arah pintu luar. Juga Arsyad yang sedang menggandeng Sabiya. Mahendra sedang berlutut dan membetulkan sepatu Alexa dia lewati, lalu Hanif yang bermain piano dengan Faya yang duduk disebelahnya. Matanya terus mencari sosok itu saja.
Kamu dimana, Nik?
Suara tamu yang sedang bersenda gurau semakin jauh, karena dia sudah sampai di pekarangan besar yang menghadap ke luar. Matanya terus mencari dan terpaku pada satu-satunya motor besar yang ada di sana. Niko Pratama berdiri tidak jauh dari situ. Dengan jaket kulit hitam, kaus dan jins. Niko terlihat tampan sekali sekalipun tampak ragu ketika laki-laki itu ingin melangkah masuk. Mereka berdiri berhadapan.
"Hai...Aud. Apa kabar?" Niko berdehem canggung. "Papa kamu tadi menghubungi dan meminta saya untuk data..."
"Persetan, Nik," dia melangkah maju dan menubruk tubuh Niko.
Dia tersenyum lebar sambil memeluk tubuh laki-lakinya yang kikuk sekali. Niko masih tidak paham dan mungkin belum tahu.
"Aud, ada banyak tamu dan aku harus bertemu dengan papa-mu du..."
Bibir Niko dia bungkam dengan ciuman. "Papa sudah mengijinkan," bisiknya disela ciuman mereka.
Tubuh Niko yang menegang kaku lalu merengkuhnya hangat. Niko menghentikan ciuman mereka kemudian menatapnya dalam. Senyum Niko mengembang saat satu tangan Niko membingkai wajahnya.
"Kamu serius?" tanya Niko padanya.
Dahi mereka bersentuhan. "Aku ingin pestanya sederhana saja."
Niko terkekeh bahagia. "Apa saja, aku nggak masalah. Dan sebaiknya kita nggak ditemukan tamu dalam posisi begini sekarang. Atau restu papa kamu batal nanti."
Dahi dan pipinya dicium oleh Niko perlahan. Lalu laki-lakinya itu menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam.
"Aku tetap harus bertanya hanya untuk memastikan bahwa kamu nggak bohong," Niko tersenyum konyol.
"Aku bohong. Mau apa?"
"Mau minta ijin lagi kalau begitu."
Mereka tertawa. Ayyara sudah berlari menyambut mereka saat mereka tiba di dalam. Acara terus berjalan. Dalam riuh hangat, tawa dan bahagia yang memenuhi atmosfir ruangan.
***
Sudah pukul sepuluh malam dan kakinya masih menyusuri bibir pantai. Sudah satu minggu Aryo berada di sini, menunggu. Akhirnya dia berhasil memecahkan kode itu. Hanif memberi banyak petunjuk dan sebenarnya pesan tersembunyi itu tidak sesulit yang dia bayangkan. Mahendra dan Hanif benar, saat emosi menguasai diri seluruh akal logikanya tidak berfungsi. Ya, dia harus belajar mengkontrol emosi.
Janice harusnya menunggu di tempat ini. Pantai tempat mereka menghabiskan waktu ketika itu. Tapi entah kenapa sampai detik ini dia belum bisa menemukan Janice. Apa ini karena Edward yang belum memberi restu? Ah, kenapa Edward keras kepala sekali?
Meet me at the beach. Itu bunyi pesan dari Janice. Sekalipun dia menemukan masih ada beberapa huruf yang terserak, tidak terpakai. Apa harusnya semua huruf dipakai? Dia berusaha mengingat seluruh petunjuk Hanif sebelumnya lalu menyalahkan dirinya sendiri karena lagi-lagi dia terburu-buru pergi.
Ck, Yooo...mangkanya jangan emosian begitu.
Rokok dinyalakan dan Aryo duduk di salah satu bangku yang terbuat dari bambu. Matanya menatap langit hitam di atas sana, menerawang. Seluruh bayang wajah Janice datang, lengkap dengan seluruh ekspresi saat Janice marah, kesal, tertawa, atau memerah karena sedang tinggi. Dia mencintai Janice hingga rasanya sesak, hingga dia bisa mencium wangi...
Wangi?
Tubuhnya langsung berdiri dan berbalik mencoba mengikuti jejak wangi yang tiba-tiba saja bisa dia hidu dalam.
Janice?
Aryo terus menyusuri area pantai hingga ke arah warung-warung makan yang sudah tutup. Tanpa menyadari bahwa ada jejak kaki yang tertinggal di pasir yang dia lewati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro