Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 45

Niko terus menggenggam tangannya sepanjang perjalanan pulang. Dia pun tidak mau melepaskan lengan Niko begitu saja. Ayyara sudah berada di rumah papa menunggu mereka. Sementara saat ini Niko dan dia duduk di kursi belakang dengan Martin yeng menyetir di depan.

"Kamu beneran nggak apa-apa? Aku harus periksa luka kamu tadi," jari-jari tangannya menelusuri lengan kokoh Niko dengan banyak bekas luka.

"Aku baik-baik. Kamu sendiri bagaimana?" kepala Niko menoleh padanya. "Jodi...nggak melakukan hal yang..." Niko tidak bisa melanjutkan.

Dia menjawab dengan gelengan kepala. "Enggak. Kamu datang tepat waktu."

Nafas Niko hirup dalam. Gelap mata Niko memenjarakannya. Dia bisa merasakan seluruh sedih, luka, lega, juga keresahan laki-lakinya. Karena untuk mereka ini belum selesai. Masih ada papa yang menentang keras, juga Abimana yang akan terus datang. Perjalanan mereka masih panjang.

"Kamu nggak usah turun di rumah Papa kalau kamu nggak nyaman. Kamu istirahat dulu aja, oke?" pintanya pada Niko.

Niko tersenyum. "Saya bukan laki-laki pengecut yang akan terus sembunyi. Lagian, Papa kamu sendiri yang minta saya untuk memastikan kamu selamat. Jadi, saya akan membuktikan bahwa saya tepat janji. Sekalipun sebenarnya nggak perlu diminta, saya pasti akan bawa kamu pulang."

Audra terkekeh. "Kamu kaku banget." Satu tangan mengusap dahi Niko yang mengernyit dalam. Berusaha menghilangkan cemas yang ada. "Kita akan baik-baik aja. Papa sudah tahu bahwa aku sangat keras kepala."

"Itu tugas aku, Aud. Papa meragukan aku, bukan kamu. Nggak masalah, aku sudah punya solusinya," balas Niko tenang sambil mengamit tangannya dan mencium lembut tangan itu.

Pintu gerbang sudah terbuka. Mereka turun di teras besar rumah Ardiyanto. Niko menenteng tas yang sebelumnya ada di belakang mobil. Lalu Niko menggandeng tangannya. Langkah mereka mantap ketika pintu terbuka. Seperti yang mereka sudah duga, papa, mama juga Ayyara sudah menunggu mereka.

***

"Mamaaaa!!!" Ayyara langsung berlari memeluk Audra.

Genggaman tangan Niko lepaskan, hingga Audra bisa menunduk dan memeluk Ayyara kuat. Tanpa sadar dia tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, Audra dan Ayyara selamat dari malapetaka. Kemudian Audra beralih pada Ardiyanto yang duduk di kursi roda. Sementara Ayyara sudah berpindah memeluknya.

Sofia, Ibu Audra juga sudah memeluk Audra erat. Menangis lega. Sementara satu tangan Audra digenggam erat oleh Ardiyanto Daud. Niko dibesarkan oleh keluarga sederhana yang benar-benar hangat. Perasaan hangat itu sudah hadir menyeruak. Membuat senyumnya tambah lebar, membuat dia merindukan adik dan mamanya. Oh, setelah ini dia akan pulang sejenak. Memeluk mama dan Nayarana erat-erat.

Nafas dia hirup dalam saat mereka sudah melepaskan rasa khawatir. Ardiyanto Daud menatapnya tajam. Jenis tatapan memindai dan menilai khas Ardiyanto Daud. Dia tidak akan lari atau mundur lagi. Kesempatannya kecil sekali, tapi dia akan mencoba. Jika gagal malam ini, dia akan kembali lagi untuk terus mencoba. Seribu kali, hingga Ardiyanto mengerti. Bahwa dia sungguh-sungguh mencintai Audra.

"Saya...ingin bicara dengan anda," ujarnya.

Sofia berujar ramah, "Duduk dulu, Nik? Tante akan buatkan..."

"Ini bukan saatnya. Sudah malam, saya ingin..." Ardiyanto menyela sambil memundurkan kursi roda.

"Saya mencintai Audra dan saya ingin anda merestui hubungan kami. Saya akan menikahi Audra baik-baik dan menjaga dia dan Ayyara. Mencintai mereka berdua seperti seharusnya," nadanya penuh penekanan.

Tubuh Ardiyanto berhenti di sana. Dulu, mungkin dia akan gentar ditatap seperti ini. Atau sakit hati karena pandangan merendahkan Ardiyanto. Tapi kali ini dia mengangguk kecil mengerti lalu tersenyum sabar.

"Saya tidak punya sebanyak yang keluarga Daud punya. Tapi saya punya pekerjaan yang layak dan cukup. Jika saya harus menandantangani semua perjanjian pra-nikah untuk memastikan saya tidak akan mengambil apa yang bukan menjadi hak saya, saya bersedia. Tidak masalah. Saya tidak ingin harta keluarga Daud. Bukan itu tujuan saya." Matanya terus menatap Ardiyanto. Berusaha mengerti apa yang dipikirkan oleh ayah Audra ini.

"Jadi saya sangat berharap..."

"Kita bicara empat mata. Ikut saya," Ardiyanto meminta Sofia untuk mendorong kursi rodanya menuju tempat kerja.

"Opa, Om Niko jangan diomelin. Tadi Ayyara sudah bilang kan?" Ayyara berlari mengiringi Ardiyanto sambil menangis takut.

"Yara, sudah sini dulu," ujar Audra mencoba menahan Ayyara.

"Ayyara sayang Om Niko. Ayyara setuju Mama sama Om Niko. Jangan jahatin Om Niko. Opa sayang Yara kan? Opa bukan penjahat yang tadi culik Mama, jadi jangan jahat ya Opa," Ayyara tidak berhenti.

"Yara, ssst..." Niko berbisik memperingatkan Ayyara agar berhenti. Lalu Ayyara menahan diri sambil dipeluk oleh Audra.

Tubuhnya terus melangkah mengikuti Ardiyanto. Dia menatap Audra. Dalam diam dia ingin berkata, 'Saya akan naiki tangganya satu per satu, Aud. Hingga tiba di atas sana dan bersama denganmu selamanya.'

Audra seperti mengerti lalu mengangguk perlahan. 'Semua akan baik-baik saja, Nik. Aku mencintaimu.'

Ardiyanto sudah masuk ke dalam ruang kerja. Sofia meninggalkan suaminya di sana untuk bicara berdua. Saat Sofia melewati tubuhnya, wanita cantik itu tersenyum lalu menepuk pundaknya perlahan. Pintu tertutup, kemudian Ardiyanto memintanya duduk.

"Niko Pratama..." Ardiyanto membuka suara sementara dia diam mendengarkan. "...kamu tidak setara dengan anak kesayangan saya."

Kalimat pertama benar-benar menikam tanpa ampun. Dia mengatur nafas untuk mengendalikan diri.

"Kamu hebat untuk hal lain, kamu sahabat Arsyad dan saya tahu Arsyad tidak punya sahabat sedekat kamu. Jadi Arsyad pasti melihat sesuatu dalam diri kamu hingga Arsyad bisa percaya." Ardiyanto meneruskan. "Tapi, apa saya percaya?"

"Audra pernah gagal, karena menikah bukan dari kalangannya. Laki-laki bajingan dan brengsek yang memanfaatkan Audra." Ada jeda lagi. "Dulu, Audra memohon. Bersujud di kaki saya agar saya mengijinkan. Saya ijinkan pada akhirnya. Laki-laki itu tidak seberani kamu yang datang dan bilang pada saya seperti apa yang kamu lakukan sekarang. Setelah saya berikan ijin, laki-laki itu baru datang. Pengecut sialan yang berlindung di balik cinta Audra. Busuk!"

"Tapi lihat kemana si brengsek itu membawa Audra? Pengkhianatan, memanfaatkan kekayaan Audra untuk main gila, mempermalukan nama keluarga Daud." Dahi Ardiyanto mengerut dalam seperti seluruh kenangan buruk yang dulu terjadi datang pada ingatan.

"Kami berusaha keras menutupi seluruh berita. Saham-saham anjlok, Audra sakit hati dan berduka hebat, Ayyara menangis tidak mengerti." Bibir Ardiyanto basahi gugup. "Saya...hancur melihat itu semua."

"Jadi, apa yang membuat kamu berbeda dari si brengsek itu? Hingga saya mengijinkan kamu untuk memiliki harta saya satu-satunya yang paling berharga?"

Dia diam sejenak memastikan dia sudah bisa bicara. Tidak mau menyela jika Ardiyanto belum selesai. Diam Ardiyanto membuat dia berujar.

"Saya sangat mengerti seluruh kekhawatiran anda. Sesungguhnya, saya ada di belakang Audra menjaga dia saat perceraian Audra terjadi. Arsyad yang menugaskan saya. Jadi saya melihat Audra menangis setiap malam, berusaha berdiri tegar menghadapi pers dan persidangan. Sambil menjalankan Sanggara Buana. Dan saya mulai mengagumi sosok Audra ketika itu. Mungkin saya mulai jatuh cinta tanpa saya sadar. Jadi saya setuju, anak anda luar biasa. Satu dari seribu."

"Saya tidak punya bola yang bisa menunjukkan masa depan. Karena mungkin itu satu-satunya bukti hingga anda bisa percaya pada saya. Sayangnya saya tidak punya." Dia memberi jeda. "Yang saya bisa katakan dan anda bisa periksa kebenarannya adalah saya bukan laki-laki yang suka main perempuan. Saya memiliki hubungan serius satu kali, lalu gagal. Sisanya, saya sendiri. Saya dibesarkan oleh keluarga yang sederhana namun hangat. Ada banyak nilai-nilai keluarga yang saya pegang teguh sampai sekarang. Itu yang membuat saya paham norma-norma yang ada dan membentuk saya menjadi seseorang yang selalu berusaha menjaga kehormatan dan rasa percaya."

"Lagi-lagi, saya bukan berasal dari keluarga konglomerat seperti Abimana Tanadi, atau Jodi Hartono. Betul. Tapi saya memiliki dana yang cukup dan tersimpan aman. Milik saya sendiri, hasil kerja keras saya selama ini," nada dia pertahankan stabil. Paham benar Ardiyanto masih sulit percaya.

"Jika itu tidak cukup, saya terpaksa harus memberi tahu anda sesuatu. Sungguh, saya tidak ingin jadi begini. Tapi, saya akan melakukan hal-hal yang benar untuk mendapatkan Audra." Satu tangannya membuka tas yang dia letakkan di lantai tadi untuk mengambil amplop coklat besar dari sana.

"Apa itu?" tanya Ardiyanto.

"Fakta." Amplop coklat sudah dia genggam. "Saya harus bertanya terlebih dahulu, sebelum saya memberikan apa yang saya benci."

"Silahkan bertanya."

"Setelah apa yang saya jelaskan tadi, apa anda bisa merestui kami?"

Ardiyanto diam sejenak. Seperti berpikir. "Berikan saya amplopnya."

"Saya tidak akan berikan amplopnya. Demi kebaikan bersama jika anda sudah merestui kami. Sungguh, anda tidak ingin melihat apa yang ada di dalam amplop ini," ujar Niko lagi.

Jelas sekali ekspresi Ardiyanto gusar.

"Apa kamu mengancam saya?"

"Saya tidak akan berani. Saya hanya ingin pembicaraan ini berjalan seperti permohonan restu sewajarnya. Tanpa ada praduga dan hinaan pada saya. Bagaimana pun tidak ada orang yang suka dituduh atau dihina." Diam sejenak. "Tapi jika anda memaksa, saya akan menunjukkan yang selama ini tertutup rapat-rapat pada anda. Hingga anda mengerti bahwa manusia adalah sama derajatnya. Yang tidak kaya bisa melakukan kesalahan, begitu juga yang kaya. Saya harap anda tidak men-generalisir penilaian anda."

"Berikan saya amplopnya. Setelah itu saya akan berikan jawaban saya."

Dia diam sejenak, lalu mengangguk. "Baik. Saya akan jelaskan apa isi amplop ini." Amplop coklat itu dia berikan pada Ardiyanto. Membiarkan Ardiyanto membuka dan melihat isi di dalamnya.

"Abimana Tanadi memiliki beberapa wanita. Ya, itu sudah biasa untuk laki-laki semapan Abimana. Nama wanita di dalam foto itu adalah Ardiani Rianti Arumdalu. Pacar Wisnu, adik Abimana sejak SMA."

"Rianti terus didekati oleh Abimana, saat Wisnu pergi mengurus kekacauan di luar negeri yang dibuat oleh kakaknya. Rianti mulai suka pada Abimana, sekalipun wanita itu dijebak. Rianti berakhir hamil dengan Abimana saat ini. Karena Abimana ingin membalas Wisnu saat Wisnu meniduri tunangannya dulu. Kompleks memang. Tapi klise, balas dendam."

"Gugatan sudah dilayangkan oleh Rianti, tapi seperti biasa. Uang dan kekuasaan yang akhirnya menang. Rianti masih berharap Abimana bertanggung jawab. Sementara Tantri Tanadi bersikukuh tentang perjodohan Abi dan Audra. Karena apa?"

Ardiyanto sudah melihat laporan keuangan dua perusahaan yang dikelola Abimana. Dahi Ardiyanto mengernyit dalam.

"Saya pikir anda pasti langsung tahu apa arti laporan keuangan itu. Abimana membutuhkan Audra dan Sanggara Buana. Untuk menutup kekacauan yang sudah terlalu parah. Kemampuan Abimana untuk menjalankan perusahaan sangat baik, tapi permainan saham adalah hal yang lain. Abimana kalah besar. Ditambah lagi Jodi menggerogoti Abimana karena cemburu soal Audra. Jika perusahaan keluarga Tanadi tidak disatukan dengan Sanggara Buana, maka dalam waktu..."

"...satu tahun keluarga Tanadi akan bangkrut," nafas Ardiyanto hembus perlahan. "Atau mungkin lebih cepat dari itu jika gaya hidup Abimana tidak berubah."

Dia mengangguk perlahan sebelum melanjutkan.

"Maaf, saya harus menyampaikan ini. Demi kebaikan Audra dan keluarga anda. Juga, demi kebaikan saya karena saya ingin menunjukkan pada anda. Yang kaya, bisa bermain licik juga. Sementara orang seperti saya, mencari sedikit kesempatan untuk membuktikan diri. Bahwa saya jauh lebih baik dari Evan atau Abimana."

Mata Ardiyanto pejamkan perlahan. Seperti banyak lelah yang tiba-tiba menghantam. Lama mereka hanya duduk dalam diam. Niko tidak mau membuka suara lagi. Karena dia sudah memaparkan segala yang dia berusaha cari tahu berminggu-minggu lamanya. Juga karena dia mengerti, bahwa terlalu banyak kata bisa merusak segalanya.

Setelah sepuluh menit yang panjang berlalu, Niko berpikir untuk undur diri. Bukan karena menyerah, lebih kepada memberi Ardiyanto waktu untuk mempertimbangkan segalanya.

"Saya undur diri. Saya akan menunggu jawaban dari anda. Sebelum anda memberi jawaban, saya berjanji tidak akan menemui Audra sementara waktu. Anda harus paham itu hal yang sangat sulit untuk saya lakukan. Tapi saya akan tepati janji saya."

Ardiyanto masih diam, mata laki-laki itu menerawang.

"Selamat malam, Om. Jaga kesehatan anda."

Dia berdiri lalu berjalan ke luar ruangan. Di luar Sofia, Audra dan Ayyara yang sudah tertidur di sofa menunggu. Dia pamit sopan pada Sofia yang disambut pelukan hangat ibu dari Audra itu.

"Berikan Papa Audra waktu, Nik. Ini sangat sulit untuk beliau," bisik Sofia padanya.

"Baik, Tante. Terimakasih, saya pamit dulu."

Audra mengekorinya ke luar teras. "Nik, kamu ngomong apa? Papa bilang apa?"

Mereka sudah berdiri berhadapan di teras. "Papa kamu diam saja. Butuh lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan segalanya. Aku mengerti, Aud. Jangan khawatir dan jangan memaksa papa-mu. Biarkan beliau berpikir dengan tenang."

Kepala Audra mengangguk mengerti. Kemudian wanita itu memeluknya kuat. "Terimakasih, karena sudah berusaha membuat tangga yang tinggi. Aku akan turun, Nik. Aku akan berlari ke arahmu jika sudah tiba saatnya."

Pelukan Audra dia balas. Kemudian dia mencium puncak kepala Audra. "Tunggu aku, Aud. Tunggu aku. Oke?"

Niko mencium pipi Audra lembut lalu melepaskan pelukan mereka. Dia pergi meninggalkan Audra di teras rumah besarnya. Harapan sudah disampaikan, fakta sudah dia paparkan. Hanya satu langkah terakhir. Bersabar dan menunggu. Karena hanya waktu yang bisa menunjukkan kesungguhan hatinya pada Audra, dan dia akan memastikan Ardiyanto menyadari itu semua.

***

Mahendra tiba di safe house dan tidak menemukan siapa-siapa.

"Lexy, dimana Alexandra?"

"Sedang dalam perjalanan menuju ke sini bersama Desmon. Sebaiknya anda membersihkan diri, Tuan."

Lexy benar, tubuhnya kotor sekali. Dia menuju lantai atas lalu langsung membersihkan diri. Sedikit cemas karena tahu Alexa pasti marah perihal misi tadi. Setelah selesai, dia keluar kamar mandi dan menemukan layar komputernya berkedip-kedip. Lalu mendengar suara ponsel yang terus berdering.

"Nomor tidak dikenal menghubungi anda sedari tadi, Tusan," ujar Lexy.

"Apa Alexa sudah tiba?"

"Belum."

Hanya kakak-kakaknya dan Alexandra yang tahu bagaimana cara menghubungi Mahendra. Jadi sudah pasti dia memiliki nomor kontak mereka. Rasa penasarannya terusik.

"Lexy, lacak sambungan ini. Tunjukkan lokasinya," perintahnya.

"Melacak..." kemudian setelah beberapa saat Lexy berbunyi bip. "Lokasi si penelpon mengarah ke safe house, Tuan."

"What?" Dia mengernyitkan dahi.

Tambah penasaran dengan nomor tanpa nama itu, dia memutuskan untuk mengangkat sambungan.

"Halo?" ujarnya.

"Hen, tolongin gue," suara Aryo Kusuma di sana.

"Lo tahu darimana nomor ponsel dan tempat gue?"

"Gue tahu aja pokoknya. Itu nggak penting sekarang, Hen. Gue udah kirim gambar ke elo soal pesan Janice. Tolong bantu pecahkan kodenya."

"Eh, enak aja main suruh-suruh. Situ siapa?" dengkusnya.

"Hen, Janice hilang. Lo harus bantu gue."

Karena tertarik, tubuhnya duduk di salah satu kursi. Membuka gambar yang dikirim Aryo Kusuma sambil terus bicara."

"Udah dicari di tempat Bang Hanif? Janice biasanya ke sana sih," ledeknya senang sambil memperhatikan gambar pesan Janice yang tadi Aryo kirim.

"Lo bisa serius dikit nggak sih?"

"Bisa, nanti pas ijab kobul."

"Mahendra, gue tempeleng lo kalau gue ketemu. Pokoknya lo bantuin gue!" paksa Aryo.

"You don't say please," sahut Mahendra.

"Hrrghhh...oke oke. Please! Puas?" nada Aryo tinggi.

Senyumnya mengembang lebar. Aryo mudah sekali diledek dan itu membuatnya senang. Matanya mengamati cermat lalu dia tersenyum lagi.

"Gue serius lo harus ke tempat Hanif, Yo," ujarnya pada Aryo.

"Apa? Gue baru dari sana dan Janice nggak di sana. Lo yang paling pintar dari semua Daud. Lo ngerjain gue ya?" maki Aryo.

"Sabar dulu, gue jelasin. Gue memang paling pintar, itu sudah pasti. Gue suka anagram dan jago soal itu. Semua orang tahu. Tapi dari kecil dulu, Hanif dan Janice punya kode mereka sendiri. Nggak pakai aturan anagram yang biasa gue tahu. Jadi Hanif pasti tahu jawabannya."

"Lo nggak bisa coba dulu?"

"Bisa. Tapi artinya bisa benar-benar berbeda. Ada gabungan huruf besar dan huruf yang ditandakan. Gue nggak yakin huruf-huruf ini lengkap."

"Maksudnya?"

"Gue coba dulu, oke? Besok lo gue kabarin. Tapi saran gue tetap sama. Pergi ke Bang Hanif. Hanya sekali lihat Hanif tahu apa jawabannya."

"Hrrrghhh...ah siaaaalaaan!!"

"Nona Alexandra tiba, Tuan," Lexy memberi tahu.

"Yo, elo itu bad temper banget. Ngalah-ngalahin Mareno. Pantesan lo kalah mulu dari dulu sama Abang Arsyad. Saran gue, lo ikut anger management sana. Nggak capek apa nge-gas mulu begitu?"

"Brengsek lo, Hen."

"Eh, nggak sopan mulutnya. Gue nggak bantuin nih."

"Hrrrghhh..."

"Istigfar, ambil wudhu, solat sana. Siapa tahu dapet ilham kan? Udahan dulu, calon istri gue dateng. Lo putar balik dan jangan gangguin gue."

Sambungan dia sudahi. Matanya sudah berpindah ke CCTV. Alexandra sudah masuk dengan atasan crop-top warna hijau dan celana pantalon santai berwarna hitam. Dengan apapun Alexa selalu mempesona.

Apalagi kalau nggak pakai apa-apa, Hen.

Hussss..hussss...tarik nafas. Belum sah, sabar dulu. Mareno Daud, pergi dari pikiran gue sekarang!

Alexandra berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air yang langsung dia tandaskan. Dari seluruh gerak-gerik wanitanya itu terlihat sekali betapa Alexandra sedang gusar dan marah. Setelah dari dapur Alexa sudah duduk di sofa ruang tengah dan meminta Lexy menyalakan TV. Lihat, Alexa bahkan tidak bertanya dan mencarinya ke lantai atas.

Nafas dia hirup dalam kemudian dia berdiri dan berjalan ke luar ruangan. Jika banyak hal lain dia kuasai, tapi hal-hal seperti ini dia sangat lemah sekali. Hah, dia benar-benar benci Mareno Daud si pengadu. Dasar biang kerok!

Sesudah sampai bawah dia duduk di sofa yang sama. Tubuh Alexandra menyamping hingga setengah membelakanginya. Dia tersenyum kecil karena tingkah Alexandra kekanakkan sekali. Lalu tiba-tiba dia punya ide.

"Auw...Lexa. Hhmmmpppphhh..." dia pura-pura memegang perutnya seolah terluka dan sakit.

Benar saja, tubuh Alexa langsung berbalik dan bereaksi. "Kamu kenapa? Kamu luka ya? Ya Tuhan. Lexy, ada apa dengan Mahendra?" Dua tangan Alexandra sudah memegang bahunya. Wajah Alexa cemas sekali.

"Tuan Mahendra baik-baik saja."

"Aduuuduuhhh..."

"Mahen, kamu kenapa? Lexy, pindai lagi yang benar. Nggak mungkin Mahendra nggak kenapa-kenapa," Alexa makin panik lagi.

"Baik, memindai," ujar Lexy.

Cepat-cepat Alexa memeriksa kondisinya. "Hen, jawab dong." Air mata Alexa sudah mulai menggenang.

"Sakit banget di sini," Mahendra memegang dadanya.

"Dimana?"

Tangan Alexa dia genggam dan sentuhkan ke dada. "Di sini." Mata mereka bertatapan. "Karena tahu aku bikin kamu marah, jadi rasanya sakit di sini."

"Hasil pemindaian. Hanya luka ringan saja. Tidak ada luka berat pada tubuh Tuan Mahendra," lapor Lexy.

Kemudian Alexa menyadari bahwa dia terpedaya. Lalu Alexa memukul tubuh Mahendra kuat-kuat.

"Dasar jahat, nggak mikirin perasaan aku. Senangnya bohongin aku mulu," Alexa terus menyeracau sambil mulai menangis kesal. "Aku benci kamu."

"Yakin?" dia tersenyum lalu menangkap tangan Alexa

Mata biru telaga itu terlihat cantik sekali. Padahal masih penuh dengan air mata.

"Yakin," Alexa cemberut sambil kembali duduk membelakanginya.

"Tapi kita tetep nikah, kan? Sayang lho gaun couture rancangan Sabiya dan Vera Wang yang kamu udah pesan." Tubuhnya dia dekatkan pada Alexa. Wanitanya itu masih menangis sambil menampik tangannya yang berada di lengan Alexa.

"Aku marah sama kamu, Hen."

"Aku minta maaf," lagi-lagi dia menggapai Alexa karena ingin memutar balik tubuh wanita itu. "Maafin aku ya. Kan aku sudah pulang, selamat."

"Gimana kalau kamu nggak pulang? Terus aku nikah sama siapa? Kamu tahu nggak aku khawatir dan nangis berjam-jam. Sampai Lidya harus kasih concealer banyak-banyak di bawah mataku karena aku harus ketemu tamu. Apa kamu nggak bisa berhenti untuk terlibat hal-hal bahaya begitu?"

Akhirnya tubuh Alexa berhasil dia balik hingga mereka duduk miring di sofa namun berhadapan. Perlahan dia mengusap air mata Alexa. Mereka bertatapan dalam.

"Aku akan selalu berhati-hati karena aku ingin pulang. Ada seseorang yang cengeng, absurd, dan cantik sekali, juga sangat mencintai aku yang menunggu aku di rumah. Jadi aku akan pulang." Dia memberi jeda. "Aku nggak bisa berhenti terlibat dalam misi kalau misi itu bertujuan menolong keluargaku. Dulu, waktu kamu dalam bahaya semua kakak-kakakku ada. Membantu, Lex. Jadi maafkan aku karena tidak bisa memenuhi permintaanmu yang itu."

Tangis Alexa sudah berhenti. Mata biru cantik itu balas menatapnya dalam.

"I love you, Alexandra. Please forgive me."

Kemudian tangis Alexa pecah lagi. "Aku benci diriku sendiri yang murahan begini."

Dia tertawa kemudian memeluk tubuh Alexa hangat. Berusaha menenangkan wanitanya yang masih menangis keras.

"Aku payah sekali, aku nggak bisa marah lama-lama. Kamu menyebalkan...jahat banget sama aku. Aku benar-benar takut sesuatu yang buruk..."

Kalimat Alexa berhenti karena dia sudah mencium wanitanya itu dalam-dalam. Mata Alexa mengerjap tiga kali karena terkejut. Air mata Alexa tiba-tiba berhenti. Ciumannya dia hentikan sesaat.

"Apa aku sudah dimaafkan?"

"Aku mau menikah sekarang," wajah cemberut Alexa terlihat menggemaskan.

"Pak penghulunya sudah tidur."

Kemudian dia memiringkan wajahnya lalu mencium Alexa lagi. Lama-lama.

Hhh...Lexa. Bukan cuma kamu yang mau buru-buru.

***

Sabar ya dedek gemeeshh. Tungguin akuh yang lagi berperang melawan negara api di sini. 

Mohon maaf update akan sedikit tertunda karena memang kondisi yang tidak memungkinan. Tapi, insya Allah Jumat tetap akan menjadi hari yang baik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro