Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 44

"Lo nggak adil kali ini sama gue, Syad!" Aryo berteriak marah.

Mereka baru saja tiba di kediaman Arsyad dan masih berada di pekarangan rumah yang luas setelah turun dari heli.

"Aryo, lo harus belajar lebih sabar. Hanif nggak menyembunyikan Janice. Ya, adik gue memang bersama dengan Janice terakhir tadi, tapi belum tentu Hanif tahu kemana Janice pergi."

"Bullsh*t!! Gue yakin Hanif tahu dimana Janice tapi lo terus melindungi adik lo yang brengsek dan sok ikut campur itu."

"Tuduhan lo nggak berdasar. Lo paham benar kemampuan Janice dan perempuan itu bisa muncul dan menghilang tanpa bisa ada yang melarang. Janice selalu keras hati jika sudah memilih sesuatu."

"Janice sudah memilih gue!! Gue pacarnya dan gue berhak tahu dia dimana."

Arsyad bertolak pinggang sambil menggelengkan kepala. "Kalau lo yakin begitu, kenapa lo takut sekarang, Yo? Janice sangat bisa menjaga diri, dan Janice cinta lo. Bukan Hanif atau laki-laki lain. Kenapa lo nggak menghargai keputusannya untuk menjauh dulu. Mungkin hanya sementara untuk menjernihkan pikiran."

"Gimana kalau Janice pergi selamanya, Syad? Gimana?" suara Aryo bergetar karena emosi. Mereka bertatapan dekat sekali. "Dia nggak bisa memilih antara gue atau ayahnya. Karena itu dia pergi. Gimana kalau dia nggak balik lagi?" Aryo memberi jeda. "Apa lo bisa hidup tanpa Sabiya, Syad? Bisa?"

Ada hening sejenak sebelum Arsyad menjawab. "Bisa, gue bisa kalau takdir bilang begitu. Sekalipun rasanya pasti sakit banget." Arsyad menghirup nafas panjang untuk menenangkan diri. "Aryo, pikir baik-baik. Mungkin, mungkin aja Janice ingin memberi jarak dan waktu untuk kalian berdua. Lo dan Edward. Sementara saja. Gue yakin Janice benar-benar ingin bareng lo, tapi dia butuh waktu untuk meyakinkan ayahnya."

"Gampang lo ngomong begitu. Gue punya seribu kenangan yang nggak akan bisa hilang, Syad. Lo paling tahu gue nggak sabaran. Gue butuh Janice, Syad. Tolongin gue. Paling enggak gue tahu dia dimana."

Aryo tidak pernah merasa gusar seperti ini. Dadanya terasa sesak dan sakit sekali. Janice pergi. Entah apa maksud wanita itu meninggalkan dia sendiri di sini. Campuran perasaan bingung, kalut, marah, terluka dan sakit hati mengaduk perutnya. Apa Janice tidak mencintai dia sebesar apa yang dia rasa? Kenapa Janice pergi tanpa berkata apa-apa? Apa Janice akan menikah dengan laki-laki lain di belakangnya? Apa diam-diam Edward menyembunyikan Janice dan memaksa?

"Gue akan bicara sama Hanif," ujar Arsyad.

Rahangnya mengeras. "Nggak perlu. Gue yang akan tanya langsung."

Kaki Aryo melangkah pergi. Dony sudah menunggunya di gerbang depan. Pada titik ini, dia akan menghadapi siapapun dan apapun. Dia tidak akan melepaskan Janice begitu saja, sudah tidak bisa.

***

Hanif duduk di hadapan istrinya yang tidak mau bicara. Fayadisa murka karena Brayuda melarangnya untuk turut serta tadi. Mereka sudah tiba sejak tiga puluh menit yang lalu di apartemen mereka. Hanif sendiri sudah mandi dan membersihkan diri sementara Faya hanya duduk diam menatap televisi yang tidak benar-benar ditonton.

Salep untuk memar sudah Hanif bawa saat dia menggenggam tangan Faya yang terluka. Pergelangan tangan istrinya itu merah karena berusaha melepaskan diri dari borgol Brayuda. Dalam diam dia mengoleskan salep itu karena jika dia salah bicara Faya akan meledak marah. Sementara Faya juga sama bungkamnya. Hanya menatap tanpa kata.

Selama beberapa saat mereka masih diam saja, sampai suara Faya memecah keheningan. "Kamu marah karena aku jemput kamu?"

Kepala Hanif menggeleng. "Enggak, kenapa kamu berpikir begitu?"

"Karena kamu diam aja sepanjang perjalanan."

Dia tersenyum. "Aku nggak mau kamu meledak marah karena tindakan Brayuda. Jangan salah, aku setuju dengan apa yang Yuda lakukan. Aku hanya nggak mau kamu stress karena emosi berlebihan." Tangan Faya sudah selesai dia oleskan salep, lalu tangan itu dia genggam perlahan.

"Tangan kamu masih sakit?" tanya Hanif sambil meletakkan genggaman tangan mereka di pipinya.

"Aku benci dan marah dilarang-larang," satu air mata Faya jatuh. "Kamu bilang kamu takut aku stress? Aku stress berat saat tahu kamu pergi dengan Janice ke sarang penjahat begitu. Karena aku tahu kamu nggak akan mau bunuh orang lagi. Kemungkinan kamu terluka atau lebih parah kondisinya benar-benar tinggi." Suara Faya terdengar sedih tapi nadanya tenang.

Jantungnya berdegup lebih perlahan, ada hangat yang menjalar karena tatapan tulus Faya padanya. Hanif juga bisa melihat rasa takut yang jelas tercetak pada mata Faya yang sebelumnya tidak pernah ada.

"Tolong, jangan lakukan itu lagi. Bukan hanya kamu yang takut kehilangan, aku sama takutnya." Air mata Faya terus jatuh. "Jangan pergi menuju bahaya, atau aku akan menyusul ke sana."

Tangan Faya dia cium perlahan. Kemudian dia mendekat sambil membingkai wajah cantik istrinya. Dua tangan menghapus air mata Faya lalu dia mencium kelopak mata Faya yang tertutup sejenak.

"Aku akan berhenti dari semua misi jika kamu tidak mengijinkan. Hanya fokus pada nathabumi dan mengajar di ADS saja. Apa kamu setuju?" ujarnya perlahan sambil menatap mata Faya yang terangnya selalu dia suka.

"Kamu akan rindu beraksi nanti. Seperti aku. Jadi nggak perlu berhenti. Tapi kamu harus berhati-hati. Oke?" nada Faya tenang sekali sekalipun matanya masih cemas dan sedih.

Ini pertama kali dia melihat Faya begini. Tidak mengamuk marah, tapi berusaha mengerti. Faya mau mendengarkan, lalu berujar tenang sambil menatapnya penuh rasa. Dia juga bisa merasakan besar rasa percaya dan tulus hati Faya padanya. Berpadu dengan cemas dan takut akan kehilangan dirinya.

Sejak seluruh rasa percayanya hilang dulu karena Aryo Kusuma, ini kali pertama dia merasa dia bisa mempercayai Faya lagi. Bahkan dia merasa sangat konyol atas semua tuduhannya pada Faya dulu. Ya, dia percaya bahwa istrinya mencintai dia sama besar seperti dia sendiri.

Kemudian dia merengkuh lembut istrinya sambil bersender pada sofa besar yang nyaman. Kaki Faya naikkan lalu wanitanya itu meringkuk sambil balas memeluknya. Seluruh lelah penat karena berjam-jam berada pada misi hilang sudah. Digantikan dengan perasaan nyaman seolah dia sudah pulang. Mereka berada pada posisi itu lama-lama.

"Maafin aku," bisiknya.

"Tentang?" tanya Faya.

"Banyak hal. Main langsung pergi ke misi lain tanpa bilang kamu..."

"Aku akan melakukan hal yang sama, Nif. Audra dalam bahaya. Mana sempat minta ijin," balas Faya. "Aku mengerti."

"Juga tentang hal lain," Hanif mencium puncak kepala Faya yang berada di dadanya.

"Hal apa?"

"Tuduhan-tuduhanku yang nggak berdasar, soal kamu dan Aryo," jawabnya.

Faya mengeratkan pelukannya. "Aku buat salah, wajar kamu marah."

"Oh, ayolah Fa. Jangan terlalu pengertian begitu. Ini kayak bukan kamu," balasnya dengan nada konyol. "Marah-marah lah sedikit seperti biasanya. Sabar dan pengertian itu bagian aku," dia terkekeh.

"Ck, ini aku udah nahan-nahan lho. Kamu lihat ada senjata di meja dekat kita kan?" Faya tertawa kecil.

Kepala Faya mendongak menatapnya. Senyum lebar dan mata penuh api itu sungguh...hhh dia merindukan Faya. Jadi dia sudah mencium lembut bibir Faya perlahan. Mereka sudah berdamai dengan insecurity mereka sendiri. Jadi semua terasa lebih ringan. Seperti rasa pada tubuhnya yang seperti melayang, karena ciuman mereka makin dalam. Kemudian, ponselnya berbunyi.

Dia menggeram marah saat Faya berhenti. "Aku nggak mau angkat."

"Itu Arsyad. Angkat dulu, takut penting," sahut Faya sambil menoleh sejenak ke arah ponsel.

"Hrrrghhh..." dengan cepat dia meraih ponsel mengangkat sambungan. Ya, Bang."

"Lo akan kedatangan tamu," ujar Arsyad di sana.

"Tamu?"

Belum sempat Arsyad menjawab, bel pintu sudah berbunyi. Dia mencium pipi Faya cepat lalu beranjak untuk membukakan pintu.

"Aryo Kusuma, Nif. Soal Janice," jawab Arsyad.

Benar saja dia sudah melihat sosok Aryo di depan pintu melalui lubang intip.

"Thanks, Bang."

"Nif, jangan emosi karena Aryo sangat emosi. Ingat ada Faya di sana," Arsyad memperingatkan.

"Gue tahu cara menghadapi manusia ini. Assalamualaikum, Bang." Sambungan dengan Arsyad dia hentikan.

Bel pintu ditekan berkali-kali dengan tidak sabar.

"Siapa, Nif?" Faya sudah berdiri.

"Kamu mandi dulu, aku harus terima tamu yang ini."

"Itu bukan pertanyaan aku, Nif. Siapa tamunya?"

Nafas dia hela lalu dia membuka pintu. Sosok Aryo Kusuma yang gusar sekali ada di sana. "Ini tamunya." Dia sudah bersedekap dan menatap mata hitam milik Aryo.

"Halo, malam. Gue mau bicara dengan lo, Nif," ujar Aryo tanpa basa-basi.

Tubuh Aryo sudah masuk tanpa diminta. Tidak punya sopan santun sama sekali.

"Hai, Fa. Sorry, gue harus ngomong sama Hanif. Urusan laki-laki. Apa bisa lo ke dalam dulu? Biar lo nggak keganggu."

Faya terkekeh kecil sambil mengangguk mengerti. "Cinta itu buta, gitu ya Yo?" ledek Faya. "Oke, silahkan kalian bicara. Asal tidak ada baku hantam, tembak-tembakkan, atau apapun yang bisa merusak kedamaian gue malam ini. Apa kalian bisa janji?"

"Tergantung dengan jawaban Hanif atas pertanyaan gue," jawab Aryo.

"Kalau begitu gue di sini," Faya bersedekap tidak mau pergi.

"Sayang, masuk dulu. Please," Hanif menatap Faya.

Nafas Faya hela. "Kamu nggak mau bikin aku stress, Nif. Tolong jangan bertengkar, oke. Aku masuk dulu."

Sedikitnya Hanif gembira karena Faya tidak membantahnya lagi.

"Lexy, putarkan musik yang menenangkan Faya lalu siapkan air hangatnya. Tahan Faya di kamar mandi dan keributan di luar kamar mandi tidak boleh terdengar oleh Faya."

System berbunyi bip lalu menjawab. "Baik, Tuan."

Setelah Faya masuk ke dalam kamar, kepalanya menoleh ke Aryo Kusuma lagi.

"Dimana Janice?" tanya Aryo cepat.

"Gue nggak tahu."

"B*llsh*t!!" nada Aryo tinggi.

"Kalau lo nggak bisa ngomong baik-baik, lo keluar sekarang atau lo gue lempar. Istri gue lagi hamil, paham?" dia berujar tegas.

Tubuh Aryo Kusuma mulai berjalan mondar-mandir gelisah. Seperti menahan segala emosi dan berpikir di waktu yang sama. Lalu tiba-tiba Aryo berhenti dan menatapnya.

"Gue...ah brengsek lo, Nif."

Hanif juga berusaha segala jenis bentuk emosi yang sudah mulai merayap naik.

"Gue minta maaf, oke? Atas semuanya!" Aryo sedikit berteriak kesal. "Ya, apa yang gue lakukan dulu salah. Tapi gue cinta Fa..."

"Stop, Aryo."

"Dasar brengsek!!" kausnya sudah dicengkram kuat oleh Aryo Kusuma. "Dengerin gue. Ini terakhir kalinya gue bilang begini. Gue benci lo, Nif. Karena wanita pertama yang baik sama gue saat semua orang selalu bilang gue jahat, dia tergila-gila sama lo. Faya bahkan...." Aryo menelan saliva. "Nggak bergeming sedikit pun. Di matanya hanya ada elo selama ini. Ah sh*t, gue tambah benci lo sekarang!" maki Aryo lagi. "Manusia sok alim yang brengseeeek."

Nafas Aryo tersengal marah. "Tapi sekarang, gue jatuh cinta sama Janice, Nif. Gue beneran cinta dia sampai rasanya gue mau gila," Aryo masih mencengkram kausnya kuat.

Ada banyak putus asa pada nada dan sorot mata Aryo. Mata hitam Aryo Kusuma terlihat terluka, sedih, dan bingung. Tidak ada satupun orang yang dia kenal mampu memalsukan sorot mata. Jadi Aryo sungguh-sungguh kali ini.

"Gue minta maaf soal Sabiya, Faya dan segala kesalahan gue dulu. Tapi lo harus kasih tahu gue dimana Janice? Kenapa dia pergi, Nif? Apa dia akan menikah dengan cowok brengsek pilihan Edward? Jawab, Nif. Jawab gue," suara Aryo bergetar penuh penekanan.

Laki-laki yang dia benci ini benar-benar frustasi.

"Lepas, sekarang." Matanya menatap tangan Aryo yang masih mencengkram.

Aryo melepaskan tubuhnya kemudian dia berjalan menuju tempat dia menggantung jaket yang tadi saat pulang dia kenakan. Mengambil pesan Janice untuk Aryo Kusuma yang ditulis di secarik kertas sesaat sebelum Janice pergi dari kamar tempat Audra ditahan.

"Gue nggak tahu Janice dimana dan gue serius. Tapi dia tinggalin ini buat lo." Kemudian dia memberikan kertas itu pada Aryo.

Cepat-cepat Aryo membaca lalu secepat itu juga Aryo memaki marah. Kertas Aryo remas emosi. Satu tangan mengulur meminta kertas itu kembali. Aryo memberikannya sambil mulai berjalan mondar-mandir gelisah lagi.

"Dia main-mainin gue," ujar Aryo emosi. "Nggak ada satu orang pun yang bisa mainin gue, Nif."

Hanif membaca pesan Janice. Be A good boy wHile I'mm away. C you afteer the party. Ada goresan-goresan pada bagian bawah beberapa huruf saja. Seperti tanda. Kemudian dia menggeleng sambil tersenyum kecil.

"Lo ngetawain gue?"

Matanya kembali pada Aryo. "Gue nggak paham apa yang wanita sepintar Janice lihat dari lo."

"Bagus, terus hina gue. Jadi gue punya alasan buat hantam lo sekarang kalau Faya tanya nanti," tubuh Aryo sudah berhadapan dengannya dekat sekali.

"Itu pernyataan jujur, sekalipun terdengar seperti menghina." Matanya balas menatap Aryo Kusuma.

"Brengsek!!" Satu tangan Aryo sudah melayang untuk menghantam wajah Hanif.

Fokus Hanif sedang sempurna jadi dia menggeser tubuhnya saja untuk menghindari pukulan itu.

"Lo harus bilang Janice dimana atau gue hancurkan seluruh isi apartemen lo ini," lagi-lagi Aryo menghampirinya untuk menyerang.

"Salah satu masalah utama lo adalah tidak bisa mengkontrol emosi. Jadi nggak pernah bisa melihat jernih padahal lo bilang lo cinta Janice," dia masih menghindar tanpa membalas.

"Jangan berputar-putar. Dimana Janice?" Aryo masih berusaha terus menyerang.

"Menurut lo pesan itu bunyinya apa, Yo?"

"Lo kasih tahu gue." Teriak Aryo frustasi.

"Kontrol emosi lo atau gue akan meminta Lexy mengusir lo dari apartemen gue," sahutnya.

Beberapa kali Aryo menarik nafas panjang ingin menenangkan diri. "Oke, oke." Aryo memberi jeda. "Apa pesannya?"

Hanif diam saja, menatap serigala buas yang sedang terluka ini.

"Apa yang salah dari pesan itu, Yo? Lihat lagi."

"Gue nggak punya waktu untuk berteka-teki," Aryo mengepalkan tangan berusaha menahan emosi. "Semakin lo tunda kasih tahu ke gue, semakin Janice pergi jauh."

"Lo akan bertemu Janice jika Janice mau. Jauh atau dekat, kita semua nggak pernah tahu. Pacar lo itu salah satu mantan murid Edward Katindig." Dia memberi jeda sambil masih menatap Aryo. "Kalau lo mau tahu Janice ada dimana, lo harus berpikir seperti Janice. Bukan hanya datang marah-marah dan minta jawaban mudah dari semua teka-teki."

Aryo menggeram keras tapi mulai membaca pesan dari Janice sambil terus bergerak gelisah. "Hurufnya salah, ada garis di beberapa huruf saja. Tapi tetap gue nggak tahu artinya apa."

Sosok Faya keluar dari dalam kamar, berjalan mendekati mereka. "Belum selesai?"

"Suami lo menyebalkan," Aryo mengadu.

"Suami gue adalah salah satu pengajar terbaik di ADS," senyum Faya.

Tiba-tiba Aryo seperti mempunyai ide lain. "Gue udah tahu harus nanya kemana." Aryo memberi jeda. "Sebelum gue pergi. Fa, gue minta maaf. Soal ADS. Sumpah gue nggak bermaksud untuk...."

"Sudah dimaafkan," sahut Faya.

Tangan Hanif sudah menggandeng tangan Faya. Berdiri di hadapan sang serigala yang dulu adalah musuh mereka. Dulu? Apa sekarang dia sudah berubah pikiran? Entah. Tapi sudah tidak ada amarah atau cemburu yang dia rasa ketika menatap Aryo Kusuma. Karena pada seluruh raut wajah itu, juga sorot mata hitam yang dalam milik sang serigala, sudah tidak ada dendam lagi. Hanya emosi dan luka karena wanita yang Aryo cinta pergi.

"Thanks," mata Aryo menatap Faya tulus. Tanpa ada rasa yang dulu Aryo punya. "Gue pamit. Kalau orang yang akan gue tanya sama konyol kayak elo, Nif. Gue akan balik ke sini culik Faya biar lo kasih tahu ke gue Janice ada dimana."

"Silahkan, dalam beberapa bulan Faya akan melahirkan. Kita lihat lo bisa urus wanita melahirkan atau enggak," sahutnya datar.

"Sial, gue nggak bisa ancam lo lagi," ujar Aryo.

"Hey, hey. Udah sana pulang. Gue capek mau istirahat. Berisik aja malam-malam," Faya menggenggam lengan Hanif erat.

Aryo pergi menyisakan mereka berdua yang berdiri di ruang tamu. Faya melepaskan genggaman tangannya sambil berjalan ke arah kamar.

"Jadi sekarang aku udah boleh diculik sama Aryo? Beneran nih? Nggak marah lagi?" ujar Faya sambil terus berjalan.

"Itu namanya psikologi terbalik. Aku nggak akan..."

"Nggak akan apa? Masa masih cemburu sama cowok yang tergila-gila sama Janice?" potong Faya.

Karena gemas Hanif menyambar tubuh Faya yang langsung dia gendong menuju kamar mereka.

"NIf, turunin. Nanti aku jatuh," Faya tertawa geli melihat sikapnya.

***

Mereka berdua duduk berhadapan di dalam black room. Arsyad dan Edward.

"Dimana Janice?" tanya Edward.

"Aman," Arsyad menjawab.

"Tuan Arsyad, pertanyaannya adalah dimana Janice? Bukan apa statusnya."

"Janice dan Hanif berhasil mencari tahu lokasi Jodi lalu menyusup ke sana untuk menyelamatkan Audra. Tempat Jodi benar-benar kacau karena jumlah penjaga yang berlebihan. Saya tidak bertemu dengan Janice di sana. Hanya tahu bahwa setelah Audra selamat, Janice sudah pergi," jelas Arsyad.

Dua tangan Edward mengusap wajah yang terlihat sangat lelah. Ada banyak guratan karena usia, ditambah juga karena selalu khawatir pada seluruh hal di sekitarnya.

"Kamu mendidik Janice dengan sangat baik. Kemampuan Janice di atas rata-rata. Jadi Janice aman dan itu yang paling penting," lanjut Arsyad.

Tatapan mata Edward terlihat sangat sedih. Seperti ada banyak beban yang seolah ingin meledak keluar.

"Saya tidak punya waktu banyak, Syad. Sayangnya saya tidak punya," bisik Edward.

Jantung Arsyad tiba-tiba bereaksi. Seburuk apa kondisi kesehatan Edward? Dia diam sejenak untuk memilih kata. "Apa...seburuk itu?"

Edward hanya diam dan berdiri, ingin meninggalkan ruangan.

Lalu angel berbunyi bip. "Pesan dari Nona Janice Kaliani."

Kepala mereka refleks menoleh pada layar yang sudah berubah warna. Pesan dari Janice masuk.

Halo Ayah,

Yang ayah harus tahu bahwa saat ini aku baik-baik saja. Ayah melatihku dengan sangat baik, terimakasih. Aku ingin menjauh sementara untuk menenangkan diri. Karena tiba-tiba hidup memberiku dua pilihan. Jantung atau hati? Bagaimana aku bisa hidup hanya dengan salah satunya saja?

Banyak hal yang ingin aku lakukan sedari dulu, tapi tidak pernah bisa. Karena aku mencintai ayah sebesar ayah mencintaiku. Membiarkan diriku sendiri terkungkung pada aturan baku dan melupakan apa yang aku mau. Jadi sekarang aku harus menjernihkan pikiran untuk menyusun masa depanku sendiri.

Aku tahu tentang kondisi ayah, dan aku akan datang jika ayah memanggil. Minta Aryo menjemputku pulang, karena hanya dia yang tahu aku berada dimana. Ya, sekalipun saat ini Aryo masih berusaha memecahkan kodenya.

Jantung dan hati harus ada bersisian. Kalian harus berdamai dan menyadari bahwa aku memiliki hidupku sendiri, jalanku sendiri. Aku bukan barang yang kalian bisa miliki sebesar apapun aku mencintai kalian berdua. Semoga kalian mengerti.

Aku akan selalu menunggu saat ayah memanggilku pulang. Panggil aku pulang, Ayah.

@Janicee

Tubuh Edward diam kaku. Menatap huruf-huruf pada layar. Pesan pertama dari anaknya, Janice. Pesan yang menunjukkan kesungguhan, cinta dan pengharapan. Arsyad hanya duduk melihat semua. Berharap akhirnya Edward bisa melepaskan beban menjadi sang penjaga yang sudah ada bergenerasi lamanya. Lalu Edward bisa memberikan Janice kehidupan yang normal saja. Ya, itu harapannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro