Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 43

Siaaap?

***

"Ayah bakalan bunuh gue, lo tahu nggak?" maki Brayuda sambil menatap Faya yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua sedang berkendara menuju tempat Jodi.

"Takut banget sama ayah. Nyali lo pergi kemana?" kekeh Faya.

Sudah sangat lama Faya tidak kembali ke lapangan untuk bertugas. Karena dia menghargai keputusan Hanif, karena dia mencintai laki-laki itu lebih dari dunianya sendiri. Tapi saat ini, Hanif berada dalam bahaya besar. Memikirkan hidupnya tanpa Hanif membuat dia frustasi. Apalagi sikap suaminya itu belakangan ini baik sekali. Hanif mencintai dia begitu besar hingga dia bisa mati jika ada sesuatu yang terjadi pada Hanif nanti.

Adrenalinnya seperti hidup dan terpacu. Mengetahui sebentar lagi dia akan kembali beraksi. Faya paham dia harus berhati-hati karena dia sedang hamil. Itu juga berarti dia tidak bisa membunuh siapapun. Jadi dia sudah membawa senjata-senjata yang melumpuhkan, bukan membunuh.

"Lo nggak boleh bunuh siapapun," Brayuda memperingati.

"Paham," sahutnya singkat.

"Lo harus selalu dekat gue dan Manggala."

"Cerewet dasar."

"Lo bukan mau pergi ke pasar, Fa. Lo ngerti nggak sih?"

Dia tertawa. "Gue nggak pernah pergi ke pasar kecuali buat kejar musuh dan pukul-pukulan. Tarik nafas, Yud. Easy, I will be oke. Gue cuma mau jemput Hanif."

Setelah lebih dari satu jam berkendara. Mobil mereka berhenti dengan seluruh motor-motor dalam jumlah banyak. Manggala mengerahkan hampir seluruhnya, ditambah jumlah kawanan Aryo Kusuma yang dipimpin oleh Dony juga ikut serta. Ponsel Yuda berbunyi.

"Tuh kan, bokap nih," sungut Yuda sambil mengangkat ponsel.

"Bawa Faya pulang, Bocah gila!! Sekarang!!" teriakan ayah bahkan bisa dia dengar.

Ponsel Brayuda dia ambil. "Ayah, tarik nafas. Ayah bisa jantungan."

"Pulang, Fa. Demi Tuhan, pulang sekarang. Biar kakakmu dan Gala yang urus semua."

"Hanif suami saya, Yah. Bukan suami Yuda atau Gala. Sudah dulu, oke." Sambungan dia putus lalu ponsel Yuda dia matikan.

"Fa, lo tahu nggak nanti gue yang kena hukum?" protes Yuda.

"Ck...urusan lo."

Tubuhnya keluar lalu Rajata yang baru tiba sudah menghampirinya.

"Bapak Besar minta..."

"Jangan cerewet. Kalau takut lo pulang aja sana." Faya menatap Rajata lalu beralih ke Manggala.

"Jadi, gimana? Arsyad belum sampai," ujar Manggala dari atas motor.

Brayuda sudah berdiri di sebelah Faya.

"Gue tahu bagaimana tim ADS akan menyerang. Gaya tim ADS akan sama dengan para professional-nya Jodi," jawab Faya.

Brayuda terkekeh. "Membosankan. Itu bukan gaya gue."

"Setuju," senyumnya mengembang. "Jadi kita mulai duluan, bikin mereka kewalahan jadi Arsyad dan timnya bisa masuk mudah."

Deruman motor yang menyeruak dan diberi jalan oleh yang lain membuat dia menoleh. Aryo Kusuma ada di sana.

"Gue pikir lo bareng abang," ujarnya pada Aryo.

Aryo membuka helm hitamnya. "Sumpah gue nggak sabaran. Lagian gue kangen sama kawanan gue sendiri."

Faya terkekeh.

"Udah nggak bisa bilang kangen sama lo lagi, Fa. Nanti ada yang marah," ujar Aryo konyol. "Tapi lo harus hati-hati, lo lagi hamil. Dasar keras kepala."

"Bawel."

Tubuhnya sudah masuk ke dalam mobil dengan Brayuda siap di sebelahnya. Mobil mereka lajukan sementara barisan motor sudah menyebar mengelilingi property milik Jodi. Satu tim dipimpin oleh Aryo Kusuma, satu lagi oleh Manggala. Dua tim itu memulai lebih dulu. Menyerang pintu-pintu masuk Jodi

Brayuda memakirkan mobil beberapa ratus meter dengan motor Rajata yang menunggu di sebelah mobil mereka.

"Yud, kok berhenti?" tanyanya heran.

Kakaknya itu memutar tubuh ke samping hingga mereka berhadapan. "Fa, kita semua sayang elo." Tiba-tiba Brayuda memeluk tubuhnya.

Kepala dia anggukkan mengerti. Entah kenapa ada perasaan hangat yang menjalar, membuat fokusnya teralih saat Brayuda dengan satu gerakan cepat memborgol tangannya ke handle pintu mobil. Tubuh Brayuda dia dorong tapi sudah terlambat. Tangannya terkunci.

"Lepas, Yud."

"Gue, ayah, Arsyad, semua orang sayang elo. Gue yakin Hanif setuju kalau lo nggak bisa ke sana apapun alasannya. Maafin gue, Fa."

"Brayudaaaaaa!!!" Seluruh kata makian menghambur begitu saja.

Brayuda tidak membalas, hanya diam lalu turun dari mobil bicara pada Rajata untuk menjaganya. Dia berusaha melepaskan diri, Hanif ada di sana dan dia ingin memastikan Hanif selamat. Brayuda brengseeekkk!!!

***

Mahendra belum berhasil menjebol sistem keamanan Jodi. Niko mengetahui itu dari atas heli, sementara Mahendra menggunakan jalur darat dan berada di van hitam untuk menjadi mata bagi mereka semua.

"Tim pecah dua, gue masuk dari Timur dan lo dari Barat," ujar Arsyad pada NIko.

"Gue langsung akan mencari ruang keamanan mereka, Syad," sahutnya pada Arsyad.

Kepala Arsyad mengangguk. "Ram, jangan biarkan heli lepas landas apapun kondisinya. Kalau perlu ledakkan."

"Oke," sahut Ram singkat.

"Mareno, gunakan senjata yang diberi Mahendra. Bukan pistol biasa. Apapun itu lo nggak boleh bunuh orang, paham?" kali ini Arsyad menatap Mareno.

"Bang, emang lo yakin kalau Sabiya nggak hamil? Gimana kalau sekarang Sabiya hamil juga tapi kalian nggak tahu? Karena lo lebih aktif daripada kita semua."

Arsyad yang sedang cemas dan gusar menempeleng kepala Mareno. "Lo bisa serius nggak?"

"Tuh kan. Jangan-jangan yang hamil Sabiya elo yang sensitif, Bang," sahut Reno tanpa dosa.

"Hrrrghhh...lo persis banget kayak Aryo Kusuma. Sama-sama nggak bisa serius dan selalu bercanda," Arsyad mendengkus kesal. "Ya Tuhan, apa dosa gue harus urusan sama kalian berdua."

"Eh eh, nggak mau gue disamain sama Tuan Gadungan itu. Jatuh pamor," balas Mareno sebal.

"Hey hey, kita sudah disambut. Lihat ke bawah," Niko menatap Arsyad dan Mareno.

Di bawah sana pertempuran sudah dimulai. Manggala dan Aryo Kusuma sedang sibuk menghantam dan membuka jalan untuk mereka. Beberapa orang penjaga Jodi menembaki mereka dari atap. Heli mereka menghindar hingga terbang sedikit miring. Namun pilot heli bisa mengendalikan keadaan.

"Hen...kita mau turun," Arsyad sudah bersiap.

"Sabar, hitung sampai tiga," sahut Mahendra melalui earphone.

Drone-drone Mahendra muncul dan melemparkan bola-bola asap di area penjagaan atap. Mereka semua memasang penutup wajah khusus agar tidak terpengaruh dengan bom asap buatan Mahendra. Heli terbang lebih mendekat ke atap saat para penjaga mulai kehilangan kesadaran karena asap tadi. Tubuh Niko sudah melompat dan dengan cepat dia bergerak ke bagian dalam rumah di susul Arsyad dan yang lainnya.

"Gue udah berhasil masuk sistem keamanan Jodi. Denah gue kirim ke kalian semua," Mahendra berseru gembira.

"Nggak ada waktu, cari ruang keamanan atau retas CCTVnya, temukan lokasi Audra, Hen," ujar Niko tidak sabar.

Senjata mulai mereka gunakan karena mereka ditembaki. Niko dan Arsyad bergerak saling melindungi.

"Syad, gue setuju sama Mareno. Jangan bunuh tapi lumpuhkan," ujar Niko pada Arsyad melaui earphone.

"Hrrrghhh..." Arsyad mengganti senjatanya dengan senjata dengan peluru bius.

Mareno dan Ram berpisah dengan mereka berdua untuk mulai mencari Audra. Sementara Niko dan Arsyad bergerak bersama. Seluruh tim black command yang turut serta melindungi mereka. Tim Leo masuk dari pintu Barat di bawah.

Rumah Jodi seperti mansion besar dengan banyak kamar dan ruangan. Bangunan kokoh dengan pintu-pintu kuat dan jendela besar. Beberapa adalah jendela anti peluru. Mereka harus menembak engsel pintu untuk menjebol benda itu. Dua ruangan sudah dia masuki dan Arsyad sudah selesai memeriksa dua lagi. Tapi tidak ada Audra. Mereka masih bergerak sambil berlindung dan menembak musuh.

"Heeen....lokasi Audra, Hen," ujar Niko tidak sabar.

"Nggak ada CCTV di setiap kamar, Nik. Gue masih memeriksa karena Audra nggak mungkin ada di kamar biasa yang terbuka."

"Cepat, Hen," Arsyad kali ini. "Martin, jaga heli di bawah jangan sampai pergi.

"Ledakkan heli milik Jodi kalau perlu," Niko gusar sekali. "Syad, gue mau ke bawah. Cover me."

Dengan cepat Niko pergi ke lantai bawah. Berpapasan dengan satu orang yang langsung dia hantam dan tembak. Jantungnya berdegup cepat sekali. Membayangkan Audra yang masih berada di dalam bahaya.

"Nik, pergi ke lantai dua. Ada ruangan tersembunyi di sana. Ujung koridor Barat, ruang kerja Jodi," ujar Mahendra.

"Syad, tolong tahan dulu di sini," Niko masih berlindung di balik dinding karena ditembaki.

"Gue masih marah soal lo dan Audra, sekarang lo suruh-suruh gue," dengkus Arsyad dari seberang sambil mengokang senjata dan menatapnya.

Niko menembak dua kali lalu berujar lagi. "Lo serius mau berantem sama gue di sini?" kepala Niko menggeleng tidak percaya.

"Lo suka sama Audra dari dulu? Yang gue tahu lo suka Sabiya," Arsyad melumpuhkan dua lalu berlindung lagi.

"Nggak usah bawa-bawa bini lo, Syad. Lo selalu percayakan Audra sama gue. Kenapa sekarang sikap lo absurd begini, hah?" tubuh Niko berguling untuk mendekati satu musuh yang ingin menyerang. Dengan cepat Niko berdiri dan mulai menghantam. "Gue jatuh cinta sama Audra, apa yang salah dari itu?" dia menunduk untuk menghindari serangan lalu berkelit cepat dan menembak musuh yang langsung rubuh.

"Lo nggak bisa main suka sama sepupu gue begitu aja...hrrrghhh," maki Arsyad sambil terus bergerak melumpuhkan musuh.

"Kenapa? Karena gue sama lo beda kasta?" satu musuh lagi rubuh.

"Gue nggak sepicik itu, Brengsek! Tapi dari sekian banyak wanita? Kenapa Audra?" Arsyad menembak dua cepat.

Mereka berdua sudah berdiri berhadapan dengan tubuh-tubuh musuh yang rubuh di sepanjang koridor. Nafas mereka terengah.

Niko menatap mata sahabatnya itu dalam. "Karena Audra luar biasa, Syad." Saliva dia loloskan. "I love her, I will marry her. You deal with it."

Salah satu musuh dari arah tangga melemparkan bom asap. Tubuh mereka menunduk dan berlindung. Mareno menembak musuh itu yang langsung jatuh. Bom asap tadi jatuh lalu Mareno menendang kuat agar terlempar ke lantai bawah.

"Kalian luar biasa konyol. Bisa-bisanya berantem lagi kondisi begini!" maki Mareno.

Mereka sudah ditembaki lagi. Arsyad menahan lengan Niko yang ingin beranjak pergi. Kali ini mata Arsyad menatapnya dalam.

"Promise me you will protect her with your life, Nik."

"You know I'm way better than that, Syad."

Rahang Arsyad mengatup keras. "Go and safe her. Gue dan Mareno tahan yang lain di sini."

Kepala Niko mengangguk cepat lalu mulai bergerak lagi.

***

Insting Audra bangkit tiba-tiba. Seperti merasakan ada kekacauan di luar sana. Karena dia bisa merasakan dentuman dari balik dinding ruangan. Seperti suara tembakan. Apa mungkin Niko dan Arsyad sudah datang?

Jodi muncul tiba-tiba dari pintu dengan wajah marah. Dua pengawal bertubuh besar mengikuti di belakangnya. Salah satu pengawal membawa koper hitam yang kemudian dibuka. Ada dua botol bening dan satu suntikan. Wajahnya pucat pasi.

"Sayang, ada banyak tamu dan kamu harus dipindahkan. Be a good girl, oke?" ujar Jodi yang berdiri di sebelah tempat tidur.

Refleks tubuhnya meringkuk untuk melindungi diri. Dua tangan masih diborgol kuat. Jantungnya seperti pergi melihat salah satu pengawal menyiapkan obat bius itu. Satu pengawal lagi mulai menarik tubuhnya yang meronta. Dia menjerit dan melawan sekuat yang dia bisa. Dia tidak akan menyerah kalah begitu saja.

"Audra, jangan melawan atau saya akan lebih kasar," ancam Jodi.

Kakinya berhasil menendang kuat salah satu pengawal. Tapi dua tangannya tidak bisa dia gerakkan, jadi mereka berhasil menahan tubuhnya agar tidak bergerak. Air mata sudah jatuh karena emosi dan benci.

"They will haunt you down and kill you, *ssh*le!!" Audra meludahi mereka.

Jarum sudah menembus kulit Audra ketika pintu di dobrak masuk. "Niiik!!" jeritnya.

Hanif dan Janice ada di belakang Niko yang murka. "Janice, lindungi Audra!" teriak Niko sambil menunduk dan melempar pisau tepat mengenai punggung pengawal yang sedang menyuntikkan obat bius padanya.

Jarum suntik itu jatuh tanpa sempat mengeluarkan apa-apa. Janice dan Hanif mulai menyerang dua pengawal tadi sementara Niko ditembaki oleh Jodi. Dengan panik dia berusaha melepaskan diri melihat Niko yang terus maju menuju Jodi. Satu tembakan Jodi mengenai bahu Niko dan laki-lakinya itu berhenti lalu menggeram marah. Dia sendiri menangis sambil berteriak meminta Niko berhenti.

Hanif melempar pisau tepat mengenai tangan Jodi yang menggenggam senjata. Benda itu terlempar jatuh lalu Niko dan Jodi mulai baku hantam. Dua pengawal sudah tidak sadarkan diri. Janice menghampiri untuk melepaskan borgol dari tangannya. Hanif menyelimuti tubuhnya sambil merangkul hangat.

"Jangan lihat, Aud," ujar Hanif padanya.

Matanya diam menetap. Menikmati pemandangan Jodi yang kewalahan menghadapi murka laki-lakinya. Menunggu saat-saat Jodi akan dihabisi. Karena jika bukan Niko yang membunuh Jodi, maka dia sendiri yang akan menembak laki-laki bejat itu hingga mati. Tubuh Jodi sudah ambruk di lantai, berdarah-darah. Niko berjongkok di sebelah tubuh Jodi sambil mengusap darah dari bibir Niko yang pecah.

"Mati itu terlalu mudah," suara Niko serak karena emosi.

Niko mengambil pisau Hanif yang jatuh di lantai.

"Niko, sudah Nik. Jangan jadikan diri lo penjahat," Hanif memperingatkan.

"Gue nggak keberatan jadi penjahat untuk mengamankan masa depan Audra dan Ayyara, Nif. Manusia sampah ini benar-benar nggak pantas hidup di dunia. Siapa orang yang tega memburu manusia?" nada Niko tinggi.

"Ada Audra di sini, kita urus Jodi nanti," ujar Hanif tenang.

Kepala Niko menoleh lalu menatapnya. Dia bangun dan berlari menuju Niko Pratama, memeluk kuat tubuh laki-lakinya yang sudah berdiri. Dua tangan Niko melingkupinya hangat, lalu Niko mencium puncak kepalanya.

"Kamu nggak apa-apa kan?" mata Niko terlihat khawatir sekali.

"Sekarang sudah nggak apa-apa." Dia tidak mau melepaskan pelukan mereka. "Bahu kamu terluka?"

"Pakaian anti peluru. Hanya lebam saja," jawab Niko sambil mencium keningnya.

"I will...kill...you all," Jodi terengah di lantai.

Emosi yang sedari tadi Audra tahan seperti meledak keluar. Dia melepaskan tubuh Niko kemudian menendang tubuh Jodi berkali-kali. "You low f*ck*ng *ssh*le!!"

Niko menahan tubuhnya yang masih mengamuk marah. Arsyad dan Aryo masuk dari arah pintu melihat itu semua.

"Nif, mana Janice?" tanya Aryo pada Hanif.

Audra menoleh dan menyadari bahwa Janice sudah tidak ada di ruangan. Dia tahu macam-macam ekspresi Hanif, tapi dia baru melihat Hanif begini. Wajah Hanif kaku, tatapan mata Hanif dingin menatap Aryo yang kebingungan mencari, rahang Hanif mengeras dan mulutnya bungkam. Seperti ada banyak bayangan masa lalu yang tiba-tiba datang menghantam.

"Di-ma-na Janice, Hanif? Gue bertanya baik-baik," wajah Aryo memerah seperti menahan emosi.

Arsyad sudah berada di antara ke duanya. Tubuh Aryo mulai merangsek maju sementara Hanif tetap berdiri diam, hanya menatap dingin pada Aryo Kusuma.

"Lo harus kasih tahu dimana Janice. Hanif!!" teriak Aryo lepas kendali.

Dua tangan Arsyad menahan tubuh Aryo, Mareno yang baru muncul juga ikut membantu. Hanif tetap bungkam kaku, lalu pergi ke luar ruangan dengan seluruh caci maki Aryo Kusuma. Audra sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Setahunya, Aryo adalah musuh Arsyad. Tapi kenapa sepertinya saat ini mereka baik-baik saja? Oh, Arsyad harus menjelaskan padanya nanti.

Arsyad membawa Aryo keluar ruangan saat Jodi terkekeh senang. Niko, Mareno, dan Mahendra yang baru tiba berdiri di dekat Jodi yang sudah duduk di lantai.

"Niko Pratama, lo pikir Ardiyanto Daud akan setuju tentang hubungan absurd kalian?" kekeh Jodi sambil meludahkan darah. "Atau, lo pikir Aryo Kusuma bisa kalian jadikan teman?" Jodi tambah tertawa. "Kalian sangat naif dan lucu. Khas Daud sekali. Lemah."

Mareno berjongkok lalu tersenyum miring menatap Jodi. "Kasian gue sama lo. Selama ini sendirian ya? Nggak punya saudara, di bully habis-habisan karena keculunan lo waktu SMA. Ah, coba waktu itu gue ada. Gue bakalan bully lo lebih parah daripada yang lainnya," kekeh Mareno.

Niko sudah melepas rangkulannya lalu berjalan mengambil koper yang Mahendra genggam.

"Kalian pikir kalian menang? Gue Jodi Hartono, dana gue tanpa batas. Menurut lo gue nggak bisa bayar orang biar gue bisa bebas dari semua tuntutan?" ujar Jodi angkuh.

"Tahu nggak yang paling buruk dari semua ketidak-mampuan lo itu apa? Lo kepedean. Tapi nggak ada tampang. Yang boleh narsis, itu cuma orang yang beneran ganteng kayak gue, atau pintar dan rajin menabung kayak saudara-saudara gue," ujar Mareno lagi.

Sementara Niko sudah membuka koper dan menyiapkan senjata entah apa di dalam sana. Oh, ini akan menyenangkan. Audra berdiri bersedekap dan menunggu, apa yang Niko dan sepupu-sepupunya akan lakukan.

"Lo selalu jadi badutnya, gitu ya Ren? Manusia narsis yang modal tampang," balas Jodi sambil masih tersenyum. "Duit kalian berempat digabungkan, bahkan dengan duit Audra, jumlahnya nggak akan lebih besar dari apa yang gue punya. Gue akan lolos dari semua hukuman mudah. Atau tinggal di penjara satu dua bulan dengan fasilitas mewah. Setelah gue keluar, gue akan mendedikasikan hidup gue untuk menghancurkan Daud dan meniduri Audra sebagai hadiahnya."

"Nah, itu lagi. Lo kepedean dan bego-nya minta ampun. Lo pikir kita bakalan kasih elo ke polisi? Kita nggak bego kayak lo, Jod," Mareno tertawa sambil menempeleng kepala Jodi yang menampik keras.

Mareno melanjutkan. "Kelemahan lo selama ini lo selalu sendiri. Nggak akan ada yang cariin lo kalau lo mati. Teman? Lo nggak punya teman beneran. Mereka cuma suka duit lo. Keluarga? Oh, paman lo yang namanya Budiono Hartono sudah menunggu kematian lo. Karena dengan begitu, seluruh harta Hartono akan jadi miliknya. Belum lagi sepupu lo Rafael. Mereka serigala kelaparan yang menunggu daging segar."

Wajah Jodi pucat. Niko sudah siap dengan senjatanya.

"Udah sih, Ren. Capek-capek banget ngomong sama manusia nggak punya hati kayak gini. Badan gue pegel-pegel nih, ayok cabut. Sebelum calon istri gue telpon lagi," timpal Mahendra ringan.

"Semua udah terpasang?" tanya Mareno.

"Beres, bahkan di ruangan yang paling rahasia. Sambungan gas di bawah tanah membuat semua jadi lebih baik," senyum Mahendra sambil menggengam benda hitam seperti alat pemicu bom.

"Gue nggak boleh bunuh orang. Bini gue lagi hamil. Gimana dong nih? Siapa yang tekan tombolnya nanti?" tanya Mareno berhadapan dengan Mahendra.

"Kalau gue bunuh orang, nanti Alexandra sedih. Gue nggak mau ah," alat itu Mahendra berikan ke Mareno.

"Nik, gue bisa kasih lo banyak jadi Ardiyanto bisa setuju sama lo," bisik Jodi pada Niko yang berdiri di dekatnya.

Kepala Audra menoleh pada Jodi lagi lalu menggeleng tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Mareno dan Mahendra masih berdebat tentang siapa yang akan menekan tombol. Dua sepupunya itu benar-benar kekanakkan sekali.

"Nik...ayolah. Gue kasih setengah dari apa yang gue miliki. Itu bahkan lebih banyak dari apa yang Audra punya," Jodi terlihat sangat ketakutan.

"Serius?" Niko membungkuk sambil masih menggenggam senjata. "Lo bisa kasih berapa, Jod?"

Nafas Audra hela melihat kelakuan para laki-laki yang benar-benar menyebalkan sekali. Apa mereka selalu begini? Pantas dia melihat Arsyad memiliki beberapa helai uban baru-baru ini. Adik-adiknya dan sahabat Arsyad sendiri konyol sekali. Tingkah mereka semua absurd saat dalam misi.

Karena tidak sabar Audra mengambil dua bola bertuliskan MM-TNT dari dalam koper yang terbuka. Salah satu bola dia gelindingkan di lantai. Lalu mengambil satu handgun di lantai. Arsyad pernah memberi tahu bagaimana cara menggunakan benda ini. Senjata dia kokang dan para laki-laki konyol itu menatapnya.

"Aud, letakkan senjatanya," ujar Niko panik.

"Kalian kelamaan." Salah satu penjaga yang belum mati dia tembak dua kali.

"Audra!!" Mareno, Mahendra dan Niko berteriak berbarengan.

Senjata dan MM-TNT yang dia genggam diambil Niko. Kemudian laki-lakinya itu menghampiri Jodi lagi.

"Sorry, Jod. Pacar gue nggak sabaran. Jadi pegang ini," MM-TNT diberikan pada Jodi yang makin pucat pasi. "No, no, no. Jangan pucat dulu." Niko meletakkan senjata yang tadi Audra gunakan untuk menembak tidak jauh dari tubuh Jodi di lantai. "Gue taruh senjata berpeluru itu di sana. Jadi lo bisa merangkak ambil dan bunuh diri. Gue kasih lo pilihan. Bom? Atau senjata? Oke. Lo ngerti kan?"

Kemudian Niko berdiri lagi. "Hen, tutup ruangan ini saat kita keluar."

"Nik...Nik. Tolong gue, Nik," Jodi mulai menangis dan meratap. "Ayolah, Nik. Gue bisa gunakan senjata itu untuk tembak kalian!!" ancam Jodi panik.

"Nah, itu dia kegunaan TRB punya Mahendra. The Taste Receptors Bullet. Cuma Aryo Kusuma yang bisa survive dari peluru ini. Dan lo, bukan Aryo Kusuma," nada Niko sinis sekali.

'DUAR-DUAR' dua peluru bersarang di kedua kaki Jodi.

Tubuh Jodi kejang dan Jodi berteriak keras sekali. Seluruh manipulasi rasa sakit yang hebat sedang terjadi pada tubuh Jodi.

Niko mengambil remote pemicu dari tangan Mahendra, lalu menggandeng tangan Audra. Mereka berjalan ke luar ruangan sementara Mahendra mengunci pintu rapat-rapat. Teriakan Jodi masih terus terdengar sementara mereka sudah menaiki tangga menuju atap dengan satu heli yang sudah menunggu.

"Ram, semua sudah keluar?" Mahendra memeriksa.

"Beres. Aryo lagi ngamuk sama Arsyad di heli yang lain. Janice kabur?" tanya Ram.

"Nanti aja gosipnya. Faya dan Bang Hanif aman?" tanya Mahendra lagi.

"Aman. The Lioness masih ngamuk, tapi mobilnya sudah jalan pulang," ujar Ram.

"Oke. Setelah selesai, pastikan Jodi sudah mati Ram. Jangan sampai salah. Pemberitaan akan diurus nanti," Mareno kali ini.

Mereka sudah naik ke atas heli dengan Niko yang terus menggenggam tangannya.

"Shall we?" tanya Niko.

Lamat-lamat mereka masih mendengar suara jeritan Jodi. Setelah heli sudah berada di posisi aman. Niko memijit tombol yang meledakkan keseluruhan property milik Jodi Hartono. Termasuk ruang rahasia yang dari dalamnya masih terdengar teriakan putus asa Jodi.

'BOOM!'

Mareno memasang kacamata hitam. "Hasta la vista, Baby."

Kemudian sepupunya itu menyelonjorkan tubuh. "Gue mau babymoon abis ini. Sumpah gue mau berduaan aja sama Tania. Sebelum ada mahluk kecil yang gangguin kita nanti."

"Anak, Ren. Namanya anak. Bukan mahluk. Elo tuh yang mahluk jadi-jadian," ujar Mahendra kesal.

"Lo kenapa sih, sensi banget sama gue?" balas Mareno.

"Lo telpon Alexandra buat kasih pesan ke gue yang lagi dalam misi. Alexa nangis dan ngambek sama gue, bego."

"Itu ide Niko, bukan gue."

Mahendra dan Mareno terus bertengkar saat Audra mencium pipi Niko lalu berbisik. "Thank you, for saving me."

Kepala Niko menoleh padanya. Remote tadi sudah terjatuh saat Niko merangkul tubuhnya mendekat, lalu Niko mencium bibirnya dalam-dalam.

"Woi, woi, bukan muhrim. Belum sah." Mareno dan Mahendra langsung berusaha memisahkan mereka.

"Nik, berhenti nggak? Gue bilangin Arsyad lho," ancam Mareno.

Mereka tersenyum sesaat lalu meneruskan ciuman mereka lagi. Tidak peduli.

***

Aaahhh...gue sukaaak part iniiii. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro