Part 42
Niko dan Mareno menunggu di salah satu barak markas besar ADS dengan perasaan cemas. Tempat ketiga mereka sudah datangi dan bangunan itu sama kosongnya dengan dua tempat yang lain. Jodi Hartono licin sekali. Jumlah property yang Jodi miliki banyak yang disembunyikan. Niko sudah menghubungi El-Rafi dan Brayuda untuk meminta bantuan. Mereka mulai menelusuri dan memeriksa. Tapi bahkan jaringan property El Rafi yang luas gagal untuk menemukan petunjuk.
"Nik, gue masih mencari. Jangan putus asa," ujar El Rafi dari seberang sana. Mereka memang melakukan panggilan bersama melalui ponsel dengan Brayuda. "Gue akan temukan, kita akan temukan Audra."
"Lo mendingan siap-siap terima reaksi Arsyad deh, Nik, karena lo pacarin sepupu galaknya itu. Kayaknya itu akan jauh lebih serem lagi," kekeh Brayuda.
"Yud, serius gue hantam lo nanti kalau ketemu," ujarnya emosi.
"Yuda nggak usah didengerin," timpal El Rafi.
Suara helikopter sudah bisa Niko dengar dari arah halaman luas ADS. "Arsyad sudah tiba, kita berkabar lagi nanti." Sambungan dia sudahi.
Niko keluar dari barak dan sudah berdiri di pinggir area landasan heli menanti Arsyad dan yang lain turun dari heli. Matanya memincing. Dimana Janice?
"Syad, dimana Janice?" tanyanya saat mereka berjalan beriringan.
"Janice bareng Hanif. Dugaan gue mereka mengikuti Jodi pergi ke tempat Audra," jawab Arsyad sambil berjalan menuju salah satu barak besar.
Semua orang sudah masuk ke dalam barak termasuk Aryo yang terlihat gusar sekali, mungkin seperti dia sendiri. Arsyad meminta mereka berdiri melingkar.
"Gue update status. Janice aman, bersama Hanif. Jodi berhasil melarikan diri dan dugaan gue Janice dan Hanif mengikuti Jodi untuk tahu lokasi Audra. Caranya, mereka berdua menyamar dengan pakaian pengawal Jodi. Kita temukan dua yang tidak sadar dan seragam mereka diambil," Arsyad menerangkan.
Mareno terkekeh geli. "Jadi, Janice si cewek jagoan lagi berduaan sama Hanif? Wuidiiih bahaya tuh." Mareno menyikut Mahendra di sebelahnya yang sudah terkekeh juga.
"Gue udah bilang sama Aryo, kalau Janice dan Bang Hanif deket dari kecil," timpal Mahendra. "Faya udah di ambil, eh sekarang Janice maunya sama Bang Hanif juga."
Kelihatan sekali jika adik-adik Arsyad sedang meledek Aryo Kusuma yang berwajah kaku dan masam. Ram yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba terkekeh juga.
"Karma," ujar Ram lalu Niko menyikut Ram kesal.
Ekspresi Aryo murka dan ingin bergerak maju kemudian Arsyad menahan tubuh besar Aryo.
"Kalau bukan adik Arsyad, gue hantam lo berdua," sengal Aryo penuh emosi.
Mahendra dan Mareno makin terkikik geli.
"Sudah cukup!!" Hardik Arsyad keras pada adik-adiknya.
"Audra masih dalam bahaya, bisa-bisanya kalian ketawa-ketawa," ujar Niko sama kesal.
"Sorry, Nik. Sorry. Gue nggak mau ngeledekin lo," Mareno mengulum senyum sambil berusaha menahan ledekannya.
"Jadi sekarang apa?" tanya Aryo pada Arsyad tidak memperdulikan si duo biang onar.
"Kita tunggu Hanif," jawab Arsyad.
"Lo serius? Nunggu Hanif?" teriak Aryo makin emosi.
Mahendra langsung duduk di meja terdekat dan membuka laptop. Lalu asyik mencari kordinat Hanif.
"Bang Hanif punya beberapa device untuk memberi tahu lokasinya. Tapi sejak dia masuk ke dalam hutan, seluruh device dimatikan kecuali black glasses. Karena Bang Hanif nggak suka suara-suara yang ditimbulkan dari device-device itu. Mengganggu. Sekarang, black glasses juga Bang Hanif matikan. Mungkin biar nggak menimbulkan kecurigaan Jodi," Mahendra menjelaskan.
"Gue nggak peduli perilaku dan kebiasaan Hanif apa, gue cuma mau tahu Janice ada dimana!" nada Aryo masih tinggi.
"Biasa aja ngomongnya, jangan nge-gas." Mareno berujar santai pada Aryo yang disambut dengan tubuh Aryo yang sudah maju lagi ingin menyerang Mareno.
Arsyad menahan keduanya. "Kalau kalian semua nggak bisa behave, keluar!" suara besar Arsyad menggelegar membuat semua orang diam.
"Adik-adik lo semua menyebalkan." Aryo kembali ke posisi masih menatap Mareno geram. Mareno hanya tersenyum dan menatap balik Aryo.
Dua manusia ini benar-benar tidak tahu aturan. Nafas Niko hirup panjang. "Saran Arsyad masuk akal. Hanif satu-satunya harapan agar kita tahu posisi Audra dan Janice. Hen, saran gue lo tetap kasih pesan ke Hanif. Bilang kita menunggu kabar A.S.A.P. Pesan akan langsung masuk kalau salah satu device menyala."
Mahendra mengangguk.
"Nik, siapkan black command. Ram, minta tim Leo juga bersiap. Begitu Hanif kasih tanda kita semua langsung jalan. Mahendra, kabari Edward agar dia tidak cemas dan berprasangka," Arsyad membagi tugas.
Suara berdehem dari arah pintu membuat mereka menoleh. Ada Fayadisa di sana, berjalan masuk dengan pakaian ADS. "Selamat sore, saya tahu saya nggak diundang. Tapi suami saya butuh bantuan."
Kepala Arsyad menggeleng keras. "No, kamu hamil Fa."
"Ya, tapi suami saya ada di sana."
"Tetap tidak, Faya," timpal Arsyad lagi. "Yang lain keluar, siap-siap. Gue ngomong dulu sama Faya."
Niko, Ram, dan Mareno keluar untuk segera bersiap-siap. Ini akan jadi malam yang panjang.
***
Fayadisa masih terlihat secantik yang Aryo bisa ingat. Rambut dikepang satu tinggi, gesture tubuh yang seolah selalu siaga, lalu api pada mata Faya yang masih menyala. Bahkan makin terang saat ini.
"Gue setuju sama Arsyad, Fa. Jangan ke sana. Biar kita yang urus semua," dia angkat bicara.
"Hai, Yo. Apa kabar? Oh, nggak usah dijawab karena kamu terlihat sangat baik. Saya senang lihat kamu sehat-sehat, tapi saya benci diatur-atur oleh laki-laki yang bukan suami saya, termasuk Arsyad," ujar Faya menatap mereka berdua berani.
"Hanif tidak akan mengijinkan, Fa," ujar Arsyad.
"Hanif hanya minta ijin pergi ke hutan menjemput Janice. Bukan masuk ke sarang Jodi Hartono yang punya puluhan penjaga professional. Benteng Jodi tinggi dan dilengkapi teknologi. Suami saya tidak akan mau membunuh lagi dan itu jadi lebih bahaya. Janice tidak dalam kondisi fit, dan Audra tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Kalian mau saya bagaimana? Duduk diam di sini hah?" nada Faya tinggi.
"Ya, kita mau lo di sini, Fa. Jangan ke sana. Please," bujuknya lagi. "Hen, pistol bius lo mana?" bisiknya pada Mahendra yang duduk menekuri laptop.
"Lagi hamil, bego. Nggak bisa main asal bius," Mahendra bicara tanpa suara.
"Hey, saya di sini." Faya menggeram kesal menatap mereka. "Oke, saya nggak ikut kalian. Saya pergi dengan Brayuda dan Manggala." Tubuh Faya berbalik ingin pergi.
"Ya Tuhan, Fa." Dia sudah ingin mengejar Faya lalu Arsyad menahannya.
"Biar gue aja. Lo bukan muhrimnya," ujar Arsyad.
"Hah, sekarang lo yang bercanda," sahutnya kesal.
"Gue nggak bercanda, Yo. Diam di sini atau nanti Hanif balik dan tahu tambah ngamuk lagi. Kalian benar-benar menyusahkan." Arsyad keluar ruangan untuk mengejar Faya.
Hanya menyisakan dia dan Mahendra di dalam ruangan. Dia menghampiri Mahendra lalu duduk di sebelahnya. "Hen, apa sudah ada tanda?"
"Tanda kehamilan dari Janice? Lo tanya aja dia," jawab Mahendra asal.
"Lo bisa serius nggak sih?" dengkusnya.
Protesnya terhenti saat layar berkedip merah. Disusul dengan kordinat tempat dimana device menyala. Peta pada layar bergerak seolah mencari lokasi tadi. Mahendra sibuk memasukkan kode entah apa, lalu ada titik merah yang terus berkedip seperti menunggu.
"We got it," senyum Mahendra.
Lalu kotak pesan muncul tiba-tiba. Huruf-huruf bergerak sendiri, merangkai pesan. Di situ tertera lokasi dimana pintu masuk yang aman, berapa jumlah penjaga, informasi singkat tentang teknologi yang terpasang, dan informasi penting yang mereka tunggu, dimana posisi Audra.
"Ini informasi dari Hanif?" tanyanya penasaran.
Senyum Mahendra tambah lebar. "Bukan, detail informasi begini adalah gaya Arsyad dan Janice. Jadi, ini pesan dari Janice."
"Oke, kita jemput mereka."
***
Semua yang sedang mereka lakukan saat ini adalah ide Janice. Kemampuan Janice berpikir dan membuat keputusan cepat diantara bahaya yang sedang mengancam nyawa membuat Hanif berdecak kagum juga. Sama sekali tidak ada gentar takut pada matanya, dan itu mengingatkan dia pada Fayadisa istrinya. Ah, dia merindukan Faya tiba-tiba.
Mereka berdua berhasil masuk setelah mengganti pakaian mereka di hutan dengan seragam penjaga Jodi dan ikut naik di helikopter ke dua. Janice menutupi wajah dan rambutnya dengan topi dan terus menunduk. Untung saja di dalam heli mereka hanya ada satu penjaga yang mengendalikan heli, jadi mereka tidak terlalu diperhatikan.
Hanif baru melihat kediaman Jodi yang ini. Terletak di pinggiran kota dengan lahan luas di sekeliling bangunan. Tembok tinggi mengitari serta bangunan lima lantai bergaya Eropa yang megah ada di sana. Tidak ada kesan hangat sama sekali, hanya angkuh dan dingin. Khas keluarga Hartono. Pusat penjagaan terletak di bagian samping bangunan. Penjaga berjumlah kurang lebih lima puluh orang ada di sana. Dia tersenyum kecil, Jodi ketakutan. Sangat takut hingga memanggil penjaga sebanyak ini. Ya, Jodi harus takut karena bermain-main dengan keluarga yang salah.
Beberapa diantara penjaga adalah perempuan, dan banyak dari mereka yang tidak terlalu mengingat wajah Janice ataupun dia. Jadi mereka bisa bergerak sedikit lebih leluasa sekalipun masih harus sangat berhati-hati. Paham benar, satu gerakan yang mencurigakan nyawa mereka bisa langsung melayang.
Kordinat sudah dikirim, Janice bahkan sempat mengirimkan pesan tentang situasi sekitar. Mereka harus menunggu bantuan karena dengan jumlah pasukan dan senjata seperti ini, mereka berdua tidak akan cukup. Sekarang, mereka harus menemukan dimana Audra.
"Jangan lumpuhkan siapapun, karena jika ditemukan keadaan akan jadi sangat berbahaya," bisiknya pada Janice. Mereka sedang berjalan menyusuri koridor berpapasan dengan satu-dua orang. "Remember to stay low, J."
Janice mengangguk setuju. "Kita berpencar dari sini."
Hanif memberikan salah satu device kecil yang akan menunjukkan detail titik lokasi pada area bangunan yang luas ini cepat-cepat ke tangan Janice, kemudian mereka berpisah.
***
Kamar ini berukuran luas dengan seluruh furniture mahal dan juga dilengkapi dengan teknologi. Audra duduk di ujung tempat tidur, karena tangannya yang diborgol pada kepala tempat tidur. Dia sudah berusaha untuk melepaskan diri hingga pergelangan tangannya kemerahan. Tidak ada benda di sekitarnya yang bisa dia jangkau kecuali bantal. Hingga dia frustasi dan menangis dalam diam. Kemudian dia tertidur karena lelah dengan ketakutan yang hebat.
Harusnya Ayyara baik-baik saja karena dia tidak mendengar Ayyara ada di sini dari para penjaga. Ya, Jodi pasti langsung akan mengancamnya saat manusia bejat itu berhasil mengambil Ayyara. Dalam diam dia terus berdoa, memejamkan mata sambil memikirkan Niko Pratama. Seolah ingin memberitahu Niko bahwa dia ingin Niko datang ke sini menjemputnya.
Niko sudah tahu, Aud. Jangan bodoh. Laki-laki itu akan menjemputmu dimanapun kamu berada. Bertahan sebentar dan ulur waktu.
Pintu diketuk lalu cepat-cepat dia menghapus air mata. Salah satu pelayan perempuan masuk dan mengangguk sopan.
"Tuan Jodi sudah datang, anda harus bersiap-siap," ujar si pelayan.
"Bilang padanya pergi saja ke neraka!!" teriaknya emosi.
Jodi masuk ke dalam kamar sambil menatapnya dalam. "Selamat sore, Sayang." Tangan Jodi bergerak seolah memberi isyarat agar si pelayan keluar.
Pintu kamar tertutup menyisakan mereka berdua saja. Refleks tubuhnya meringkuk melindungi diri. Dia bersumpah akan membunuh Jodi jika laki-laki bejat itu memaksa. Jodi duduk di pinggir tempat tidur dekat dengannya.
"Jangan begini, Aud. Jangan takut," ujar Jodi.
"Saya tidak takut, saya jijik denganmu!!" dia berteriak lagi.
"Saya benar-benar lelah dan ingin tidur tenang, bersama kamu. Saya akan mandi dulu. Jadilah wanita yang baik, maka saya tidak akan menyakitimu." Satu tangan Jodi menyentuh pipinya lembut.
Dua tangan Audra memang diborgol, tapi kakinya bisa bergerak bebas. Jadi dia menendang tubuh Jodi sekuat tenaga hingga laki-laki itu jatuh dari tempatnya duduk. Jodi berdiri cepat lalu menghampirinya marah.
"Saya sudah tidak bisa menerima segala bentuk penolakan darimu, Aud. Kamu akan menerima saya pada akhirnya."
"Tidak akan pernah!!" nadanya makin tinggi.
Ponsel Jodi angkat. "Bawa peralatannya ke sini, saya ingin mandi. Tolong siapkan Audra dulu."
Bulu tengkuknya berdiri. Apa yang Jodi akan lakukan padanya?
Niiik..tolong aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro