Part 40
Tarik nafas panjang.
***
Aryo menatap ke sekelilingnya. Ada Arsyad, Hanif dan Mahendra. Ram dan beberapa orang ADS lain dari di heli yang berbeda. Hanif tidak mau menatapnya sedari tadi. Hanya diam, bungkam tanpa kata. Dia juga berusaha menahan segala cemas dan gusar perihal Janice. Tapi entah kenapa sikap Hanif benar-benar mengganggunya.
"Hen, lo udah ketemu kordinatnya?" Arsyad bertanya pada Mahendra.
"Belum pas benar. Kita akan turun nggak terlalu jauh dari tempat itu lalu lanjut jalan darat tiga puluh menit. Jangan heran kalau kita akan disambut. Gue yakin mereka sudah siap-siap," sahut Mahendra.
Kepala Arsyad mengangguk mengerti. Mereka tiba pukul empat pagi. Helikopter sudah meninggalkan mereka dan nanti akan datang untuk menjemput lagi. Arsyad meminta semua berkumpul dan mengeluarkan peta area.
"Ini tempat dimana Jodi akan berkumpul." Tangan Arsyad menunjuk satu titik. "Cakupan area berburu bisa luas. Apalagi dengan kemampuan Janice yang nggak main-main. Janice paham benar area ini karena dia ditempa langsung oleh Edward di sini. Tapi Janice nggak punya peta terbaru, dan Janice nggak tahu soal tempat kumpul Jodi."
"Bang...tapi...." Mahendra seperti berpikir sesuatu. Mata mereka terpaku di peta.
"Janice akan menuju tempat kumpul Jodi kalau Janice ingin pergi ke perkampungan terdekat. Karena arahnya sama, dan kita nggak tahu Janice dibuat terluka seberapa parah. Semoga Jodi meremehkan Janice, jadi Jodi melepaskan Janice tanpa dilukai. Hanya untuk diburu saja," ujar Hanif.
"Hanya...wow. Seolah-olah berburu manusia itu hanya hobi biasa. Orang-orang kaya sialan!!" sahut Aryo geram.
"Lo nggak jauh lebih baik dari mereka," Hanif menatapnya tajam.
"Apa? Gue nggak pernah..." Arsyad menahan pundaknya lalu dia menatap Arsyad marah. "Sial..." dia pergi dari sana sambil menenteng tas.
"Aryo, kita bergerak bersama," ujar Arsyad.
Aryo terus melangkah menuju dalam hutan. "Lo bikin rencana sana. Gue punya cara gue sendiri."
Setelah berjarak kurang lebih dua ratus meter, telinganya siaga. Ada yang mengintai. Instingnya berkata mereka disambut jauh lebih awal daripada yang mereka duga. Tubuhnya merunduk, dia harus memperingati Arsyad dan yang lain. Gelap, dia memicingkan mata. Rahangnya mengatup kesal karena sudah tahu dimana posisi lawan.
Seseorang melompat dari arah atas pohon. Tubuh Aryo geser ke samping dan dua tangan sudah siap menjatuhkan orang itu. Dengan cepat dia memukul tiga kali dan mematahkan leher orang tadi. Tidak ada waktu lagi, mereka akan diserang. Dia tidak bisa berteriak pada Arsyad. Alat komunikasi mereka belum dia pasang karena tadi terlalu emosi. Pilihan terakhir, dia akan jadikan dirinya umpan.
Earphone Aryo pasang cepat dan nyalakan. Juga black glasses yang diberikan Mahendra padanya.
"Syad," bisiknya.
Belum ada sahutan. Sementara bulu romanya sudah berdiri lagi, bisa menyadari kawan-kawan dari manusia monyet ini akan datang.
Black glasses diaktifkan. "Mode malam, aktifkan."
Dengan cepat Aryo bisa melihat lebih baik dan benar saja. Sudah ada dua orang yang diam-diam menghampirinya. Pistol suar dia tembakkan ke atas, jadi dengan begitu manusia-manusia monyet ini akan mengejarnya. Arsyad akan tahu dia ada dimana.
'DUAR-DUAR.'
Kemudian tubuhnya sudah berlari dan musuh-musuh tadi mulai mengejarnya.
"Yo!" suara Arsyad terdengar pada earphone. "Gue udah lihat posisi lo."
"Lo kelamaan bikin rencana. Gue pancing mereka ke dalam," ujarnya sambil berlari diantara pepohonan.
Suara seperti berdesir berada di sekelilingnya. Matanya memindai cepat sambil masih berlari. "Panah, mereka pakai anak panah, Syad."
"Harusnya lo dengerin sampe abis tadi," maki Arsyad. "Perburuan resmi belum dimulai. Jadi mereka nggak akan pakai senjata api. Tapi panah-panah besi itu ada racunnya, Yo. Hati-hati. Tim sudah dibagi dan gue menuju ke tempat lo."
"Gue bisa beresin monyet-monyet ini sendiri."
Dua anak panah besi hampir saja mengenai tubuhnya. Aryo memindai cepat lalu memutuskan sesuatu. Dengan cepat dia berhenti dan berlindung di salah satu pohon. Musuh ada di belakang. Senjata sudah ada dalam genggaman. Dia muncul dari balik pohon lalu dengan cepat membidik dan menembakkan dua peluru.
'DUAR-DUAR!'
Suara tembakan bergema. Satu orang jatuh.
'DUAR!' dua kali ini.
Aryo berlindung lagi.
"Lo nggak boleh menembak, Yo!!" teriak Arsyad.
"Auw, nggak usah teriak-teriak." Telinga dia usap perlahan. "Buat apa kita bawa senjata?"
"Kalau lo menembak, Jodi akan mulai perburuan lebih cepat," suara Hanif kali ini. "Selamat, lo udah bikin Janice dikejar lebih cepat daripada seharusnya."
"Sh***tt!!!" makinya keras. "Kalian nggak bilang sama gue tadi."
"Karena lo nggak mendengarkan dan main pergi begitu aja, Aryo Kusuma." Nada Hanif meremehkannya.
"Hrrrghhhhhhh...f**k you, Nif. I'll deal with it."
Lalu Aryo keluar dari tempatnya dan mulai mencari musuh-musuh yang mengejar lagi. Satu orang dia bidik dan lempar dengan pisau. Ketika tubuhnya berbalik, satu orang lain sudah dilumpuhkan Arsyad. Refleks tubuhnya menunduk saat Arsyad tiba-tiba menunduk. Lalu panah Hanif meluncur melewati mereka dan merobohkan satu lagi.
Hanif berjalan melalui Aryo tanpa menoleh sama sekali. "Lo urus amatir ini, Bang. Gue cari Janice."
"Hey, lo pikir gue ke sini buat diurusin sama Arsyad? Janice pacar gue."
Hanif terus melangkah tidak peduli.
"Sudah-sudah, urusan dalam negeri nanti. Ram dan Felix sedang sibuk dan gue harus awasi. Kalian silahkan maju menuju titik yang ada di black glasses. Itu tempat si Jodi dan teman-temannya berada. Sepertinya perburuan sudah dimulai," potong Mahendra.
"Lo dimana sih, Hen? Bingung gue," tanyanya melalui earphone.
"Nggak usah ribut gue dimana. Gue sibuk," jawab Mahendra cepat.
***
Ada suara tembakan terdengar dari kejauhan. Janice yang sedari tadi siaga sudah berdiri siap. Perburuan sudah dimulai. Dia menatap langit yang mulai berubah warna. Matahari datang dari arah timur. Dengan cepat dia melepas ikat pinggangnya agar dia bisa naik ke atas salah satu pohon tinggi. Dia harus tahu kemana dia akan menuju.
Entah kenapa setelah sinar matahari sedikit menerangi dan keadaan di sekelilingnya mulai terlihat sedikit lebih jelas, dia merasa dia tahu tempat ini. Area di sekelilingnya tampak sangat akrab. Bau tanah, pohon-pohon, dia seperti pernah ke sini. Apa mungkin? Tubuhnya terus naik lalu berhenti di cabang pohon yang kuat. Dia memandang ke sekeliling area hutan kemudian dia terkekeh sendiri.
Ini hutan tempat kamu disiksa sama ayah dulu, Jen. You love and hate this place.
Oke, bagus. Jika timur di sana, rumah penduduk ada di arah utara. Tapi apa dia mau ke sana? Tidak, dia harus menghabisi Jodi dulu. Tapi sebentar, dia harus memeriksa siapa yang menjemputnya. Jika orang-orang yang menjemputnya sudah akan menghabisi Jodi, untuk apa dia berusaha? Oh, ini makin baik. Janice memutuskan cepat kemana dia harus pergi sebelum anjing-anjing pelacak sialan itu membauinya karena dia sudah mendengar suara-suara di sana.
Janice melompat dari satu cabang ke cabang lain, hingga tiba di tanah. Getah pohon untuk menyamarkan bau harus dia temukan. Lalu dia akan mengintai dari salah satu pohon tinggi, memeriksa siapa penjemputnya. Harusnya Arsyad ada. Tuan Besarnya itu punya kecenderungan terlalu bertanggung jawab hingga meletakkan semua beban di pundaknya. Jadi harusnya Arsyad datang. Janice mulai bergerak dengan berlari menuju arah yang dia tahu. Suara-suara anjing itu terdengar makin jelas. Cepat Janice. Larinya makin cepat sambil memindai kondisi sekitar. Pohon itu ada di depan sana saat anak panah dari besi hampir saja menggores lengannya.
"HHrrrghhhh..." dia membalik tubuh dan mengejar seseorang dengan seragam loreng tentara. Bukan para pemburu, hanya penjaga yang dipasang Jodi agar dia tidak keluar dari area perburuan.
Laki-laki itu terus menembakkan anak panah padanya sementara dia menghindar sambil berlari menuju sosok laki-laki itu. Marah karena dia diperlakukan seperti binatang. Juga karena mereka semua merusak sepatu Jimmy Choo-nya. Satu anak panah yang menancap di tanah dia ambil cepat lalu tubuhnya meluncur mudah di tanah saat si laki-laki melayangkan satu pukulan. Bahan celana yang dia gunakan adalah kualitas terbaik. Jadi sangat nyaman, lentur dan memungkinkan jika dia ingin meluncur begini. Dengan mudah dia menghantam bagian bawah tubuh si laki-laki lalu berdiri cepat di belakang tubuh laki-laki itu dan menancapkan anak panah yang dia genggam di leher.
"You underestimate me, Jerk!! This is for my Jimmy Choo."
Tubuh laki-laki itu rubuh di tanah. Dengan cepat dia mengambil handgun dan pisau milik si laki-laki. Suara-suara anjing masih terdengar sekalipun suara itu sudah terpecah.
Tidak ada waktu untuk getah pohon, Jen.
Dengan cepat dia melucuti pakaian laki-laki tadi dan dia kenakan. Earphone laki-laki itu dia pasang pada telinganya sendiri. Tubuh si laki-laki dia sembunyikan di balik salah satu pohon. Sementara pakaiannya sendiri dia bawa.
"Alpha tiga, tim delta makin berkurang jumlahnya. Tetap siaga. Status terkonfirmasi. Arsyad Daud, Hanif Daud, Ram Paradin, Felix, dan beberapa tim ADS yang lain."
Dia mendengarkan itu semua sambil tersenyum lebar memiliki rencana baru yang lebih baik lagi.
***
Area hutan ini sudah Jodi periksa. Harusnya medan tidak terlalu berat jadi dia bisa selesaikan cepat. Banyak penjaga professional yang dia bayar dan sudah berada di perimeter area. Dia tahu Arsyad Daud akan datang bersama adik-adiknya. Bagus, jadi dia bisa membunuh semua bersamaan. Janice Katindig adalah umpan yang sempurna. Karena wanita-wanita Daud dijaga ketat dan sulit sekali dibawa pergi. Hanya Janice saja yang terbuka.
Hobi ini sudah lama dia lakukan. Sejak lulus kuliah dan bebas dari perundung-perundung di sekolah, dia mulai memikirkan sesuatu untuk balas dendam. Sebelum lulus kuliah, ayah sama sekali tidak memberikannya uang saku. Hanya uang sekolah yang jumlahnya fantastis dan langsung masuk ke rekening sekolah. Jadi dia harus bekerja keras dan menjadi bahan cemooh orang banyak. Ayah memberikannya akses tanpa batas perihal dana setelah dia menyelesaikan kuliah. Benar-benar tidak berbatas karena ayah asyik dengan wanita. Akhirnya dia tahu bagaimana membalas para perundung itu. Ketika uang ada di genggaman tangan, dia seperti memiliki dunia. Satu tahun penuh dia berlatih gigih. Seluruh perilaku buruk yang dia terima sejak sekolah hingga kuliah adalah motivasi terbaik untuk membalas.
Rencana disusun rapih, area disiapkan, buruan diambil dan dilepas di area tadi. Lalu dia mulai berburu. Ditemani dengan Bloodhound dan beberapa Doberman miliknya. Saat dia melihat ekspresi memohon dari buruannya, sungguh rasanya tidak terkira. Tapi dia tidak mudah puas begitu saja. Jadi setiap tahun dia akan berburu. Mengincar orang-orang yang dulu pernah merundung dan menghinanya. Dengan berburu dia merasa hidup, berbeda, hebat, berkuasa. Dan seluruh rasa itu menjadi adiksi gila untuknya.
"Lo mengundang banyak masalah hari ini, Jod. Yang lain nggak mau ikut," kekeh salah satu temannya yang memiliki hobi yang sama.
"Mereka nggak punya nyali. Arsyad memang hebat, tapi orang hebat akan kalah dengan orang banyak, juga duit banyak," sahut Jodi santai.
Mereka terkekeh. "Gue benci dengan keluarga Daud. Sok berkuasa. Harus ada yang kasih mereka pelajaran."
"Setuju, mangkanya gue ikutan," sahut yang lainnya dari earphone yang tersambung.
Tim memang dipecah dua. Mereka berjalan menyusuri hutan dan melacak dimana Janice bersembunyi ketakutan. Dengan bloodhound dan Doberman yang menuntun mereka.
"Apa boleh kita nggak bunuh buruan kita kali ini?" tanya yang lain.
Jodi terkekeh. "Mau diapain?"
"Dia cantik banget, seksi. Sumpah cantik banget. Lo udah simpan Audra, yang ini buat kita bertiga. Habis itu terserah kita. Gimana?" jawab temannya tadi.
"Boleh, silahkan aja. Kita tangkap lalu bawa. Selesai," ujar Jodi ringan.
"Nah, begini baru semangat."
Mereka terkekeh ringan.
***
Rahang Aryo katupkan marah mendengar apa-apa yang pemburu-pemburu sialan itu katakan. Dia dan Arsyad sudah menunggu di jalur yang para pemburu akan lewati. Arsyad berada di atas salah satu pohon, mengintai. Sementara dia berada dibalik pohon lain. Hanif jalan sendiri dan dia tidak peduli. Ram dan yang lain sedang sibuk dengan para penjaga yang menyebar di sekeliling perimeter area.
Lima orang sudah dia dan Arsyad lumpuhkan. Tapi itu hanya penjaga biasa. Mereka harus bisa menemukan si para pemburu sialan itu. Jadi Arsyad memperkirakan arah, dan menunggu. Awalnya dia tidak sabar, tapi anehnya Arsyad benar. Dua dari empat pemburu melewati area tempat mereka mengintai dengan dua anjing pelacak. Arsyad memberi isyarat agar dia tidak langsung menyerang. Arsyad selalu kelamaan.
Kepala dia sudah miringkan dua kali ke arah manusia-manusia bejat tadi dengan tidak sabar sambil balas menatap Arsyad. Seolah memberi tanda, cepetan begoo. Gue nggak sabar mau menghantam. Dia memutuskan untuk menghitung sampai tiga, jika Arsyad tidak bergerak dia yang akan menghabisi dua manusia bejat ini.
Satu...
'Jangan dibunuh,' Arsyad menggunakan bahasa isyarat.
Dua... dia hanya diam menatap Arsyad kesal. Kenapa dia tidak bisa membunuh manusia bejat ini? Ah, janjinya pada Alexandra. Tapi Arsyad nggak tahu kan? Berarti ada alasan lain. Sorry Lexa, gue better minta maaf daripada minta ijin.
'Yo, lumpuhkan dan tidak dibunuh,' Arsyad si bawel itu masih mengirimkan peringatan.
Tiga...
Aryo bergerak dari belakang perlahan sementara Arsyad melompat dari atas pohon. Dua kali dia menghantam satu orang dengan cepat, sementara Arsyad membereskan satu lainnya. Dua laki-laki itu bahkan tidak sempat berteriak dan pingsan mudah sekali. Ini terlalu gampang, menyebalkan.
Earphone dua laki-laki ini Arsyad matikan. Sementara anjing-anjing menggonggong keras dan Arsyad menenangkan binatang-binatang itu. Anjing-anjing tadi Arsyad lepaskan ikatannya dan pergi menjauh.
"Kenapa gue nggak bisa bunuh manusia begini?" bisiknya kesal sambil menginjak kepala salah satunya.
"Ini anak-anak para konglomerat. Lo nggak bisa main bunuh begitu aja. Gue punya cara lain agar mereka jera. Mereka hanya ikutan Jodi. Ingat, tujuan kita Jodi."
"Hrrrghhh...brengseeekk!!"
"Hen, cari tahu ini siapa dan kirim berita ke orangtua mereka tentang apa yang mereka lakukan. Hukum dengan cara lo, Hen. Silahkan."
Mahendra terkekeh di sana. "Ayay captain!"
"Dimana Hanif?" tanya Arsyad.
"Ini rumah Bang Hanif, mungkin dia sudah bertemu Janice sekarang. Duduk minum kopi sambil makan indomie. Nunggu kita selesai," Mahendra tertawa kecil. "Sebentar, Ram dan Felix masih kerepotan."
Kepala Aryo menggeleng tidak percaya. "Emang genetik keluarga Daud itu gila. Gue nggak ngerti kenapa Mahendra bisa santai aja." Aryo mulai melangkah lagi. "Syad, tolong tanya Hanif apa dia sudah bertemu Janice?"
Arsyad masih ada di belakang mengikat dua bajingan tadi ke salah satu pohon. "Lo tanya aja sendiri."
"Ah, sial. Hen, lo nggak bisa lacak Hanif dimana?" tanyanya.
"Kenapa? Lo kangen sama abang gue?" Mahendra balik bertanya.
"Brengsek mulut lo emang."
"Sama kayak lo kan?" ledek Mahendra lagi.
"Mahendra, gue serius."
"Abang gue itu kalau sudah ada di rumahnya begini nggak akan ada yang bisa melacak. Arsyad aja nggak pernah bisa. Hanif akan muncul kalau dia mau muncul."
"Lo bukannya punya tracker device atau apa?" Aryo tidak menyerah.
"Dimatiin. Udah dibilangin Hanif sehebat itu di sini. Mangkanya Janice nge-fans berat sama Bang Hanif," jawab Mahendra.
"Stop, oke. Stop!" Nafas dia hirup panjang, kesal. Untuk tahu bahwa kesempatan Hanif menemukan Janice lebih dulu sangat besar.
Mahendra terkekeh geli.
"Hen, jangan usil," Arsyad memperingatkan.
"Adek lo nggak waras semua," sungutnya kesal.
***
Memiliki pengalaman berburu membuat insting Jodi terasah jika berada di dalam hutan begini. Dia merasakan akan ada bahaya tiba-tiba. Dua temannya tidak besuara lagi, lalu dia sudah berjalan cukup lama namun anjing-anjing berburu miliknya seperti hanya berputar.
"Gue cek orang-orang gue dulu. Ada yang nggak beres," ujar Jodi pada temannya.
"Lo turunin banyak kan? Apa mungkin sebanyak itu bisa dilumpuhkan gampang?" tanya temannya dengan ekspresi cemas.
"Alpha satu, laporan?" ujar Jodi menggunakan earphone yang salurannya sudah dipindahkan.
"Bos, tim dihabiskan satu per satu. Mereka benar-benar hebat," bisik salah satu suara di sana.
"Saya bayar kamu karena kamu yang terbaik, Bodoh!!" makinya kesal.
"Kami akan selesaikan."
Dengan kesal Jodi memindahkan saluran lagi mencoba menghubungi dua temannya. "Anton, Zack? Kalian dengar?"
Tidak ada sahutan.
"Anton? Zack?"
Belum sempat menunggu jawaban tiba-tiba anjingnya menggongong seru. Mereka menemukan sesuatu. Jodi mulai berlari mengikuti anjingnya yang terburu-buru.
"Akhirnya dapat juga," ujar temannya bersemangat.
"Kita harus selesaikan cepat dan pergi dari sini. Para penjaga mulai kewalahan," ujar Jodi masih sambil berlari.
"Setuju, gue juga udah nggak sabar lihat si cantik. Kalau Anton dan Zack kelamaan, gue duluan," temannya menyeringai.
***
Mungkin istilah hutan adalah rumahnya terlalu berlebihan, tapi Hanif tidak menampik bahwa dia selalu merasa sangat nyaman jika berada di tengah rimbunnya pohon dan suara desau angin yang menggoyangkan dedaunan. Atau betapa nyanyian burung liar, atau bahkan suara-suara lain yang dihasilkan oleh para binatang juga bisa sangat menghibur.
Pada situasi ini, pikiran dan emosinya lebih mudah dia kendalikan. Apalagi saat ini Janice sedang dalam bahaya. Jadi fokusnya sudah dia kembalikan setelah sebelumnya dirusak oleh keberadaan Aryo Kusuma. Hanif tidak ingin membunuh siapapun lagi. Jadi senjata yang dia genggam adalah panah bius dari Mahendra. Hanya untuk melumpuhkan, bukan membunuh.
Tempat ini Hanif hafal sekali. Sekalipun ada banyak yang sudah berubah. Misal, area hutan rimbun yang semakin berkurang karena pinggiran hutan sudah mulai ada perkampungan.
Salah satu pohon dia naiki untuk memeriksa keadaan. Selama sepuluh menit dia diam mendengarkan. Seluruh suara-suara di sekitarnya. Mahendra, Ram, Felix dan tim yang lain sedang berputar mengelilingi area Utara, Timur dan Selatan. Berusaha menghabisi para penjaga yang berada di perimeter luar. Jodi menempatkan banyak orang. Pondok singgah Jodi berada di bagian Barat, seharusnya Janice berada tidak jauh dari sana.
Apa yang Janice akan lakukan? Pikir, Nif.
Janice akan terbangun dan langsung siaga. Wanita itu sudah sangat terlatih sekalipun memang saat ini Janice tidak terlalu sering berada di hutan, tapi kemampuan Janice dia tidak ragukan. Lalu Janice akan memeriksa tubuhnya, menunggu matahari terbit hingga wanita itu tahu dimana dia berada, dan Janice akan segera sadar tentang tempat ini. Janice tahu pemukiman penduduk ada di Utara, jadi wanita itu akan mengarah ke sana.
Bagaimana dengan Jodi, Nif?
Informasi dari Mahendra, Jodi selalu menggunakan anjing pelacak jenis Blodhound dan juga dua Doberman. Indra penciuman anjing-anjing itu hebat. Jadi Janice pasti sudah ditandai hingga bisa dilacak mudah. Lalu Janice akan berusaha menghilangkan baunya sendiri menggunakan getah pohon khusus. Sementara Jodi akan menyusur mulai dari area Barat dan akan fokus menutupi jalan Janice menuju rumah penduduk, area Utara. Janice akan berlari menghindar dan berusaha menemukan rumah penduduk.
Oke, Utara kalau begitu.
Hanif turun dari pohon dan bergerak cepat sambil terus waspada. Sesekali dia akan membungkuk dan menunduk jika instingnya berkata begitu. Dia ke sini untuk menemukan Janice dan menyelamatkannya, bukan untuk membunuh para penjaga atau bahkan Jodi Hartono.
Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, Hanif menemukan salah satu sepatu Janice yang tanggal. Senyumnya mengembang lebar. Tubuhnya berjongkok dan mata dia picingkan. Jejak langkah Janice harusnya terlihat. Wanita itu akan bergerak terburu-buru jadi pasti ada ranting yang patah atau jejak di tanah. Benar saja, ada jejak kaki Janice yang tidak mengenakan alas ke salah satu arah. Hanif mulai melangkah lagi.
Beberapa ratus meter dari tempat pertama Hanif menemukan mayat seorang penjaga Jodi, hanya dengan pakaian dalam saja. Dia terkekeh dalam diam. Very good, Jen. Hanif melanjutkan pencariannya. Sekalipun kali ini dia sangsi, apa Janice ingin mereka selamatkan? Atau Janice memiliki rencananya sendiri? Jodi salah karena menyepelekan kemampuan Janice. Jodi benar-benar salah.
***
Janice emang one of the kind.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro