Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4

Apartemen Niko Pratama. Malam.

Dia berada di dalam bangunan yang setengahnya hancur, mengenakan seragam tentara dan menggenggam senapan panjang. Ada Arsyad berdiri di sebelahnya, berdiri terengah setelah berlari tadi.

"Lima orang, Nik. Ram cukup kuat menggendong satu orang yang terluka, Pesan sudah dikirim, kita hanya perlu mengulur waktu." Suara tembakan sudah terdengar di luar sana dan mereka sedang berlindung dibalik tebing yang mengelilingi.

"Gue yang akan ulur waktu, Syad. Lari gue lebih cepat. Lo pimpin yang lain ke titik penjemputan yang sudah dekat. Gue akan menyusul."

Arsyad terkekeh sambil menggeleng.

"Jadi gimana?" Ram dan dua lainnya sudah berteriak karena suara bising tembakan di luar sana.

Dia menatap Arsyad dalam lalu mengangguk. "Ingat janji kita, Syad. Jaga keluarga gue kalau..."

Tubuh Arsyad berlari meninggalkannya tiba-tiba. Kemudian helikopter di atas sudah memberondong tubuh Arsyad dengan peluru. Arsyad terus berlari untuk mengalihkan musuh mereka sementara Ram menarik tubuhnya pergi. Dia tidak mau pergi, dia tidak akan meninggalkan Arsyad di sini. "Syaad..."

Tubuhnya bangkit tiba-tiba sambil terengah di tempat tidur. Mimpi itu lagi. Wajahnya yang berkeringat dia usap perlahan. Lalu dia berjalan ke kamar mandi. Dia mencuci wajahnya lalu menatap cermin wastafel di sana. Ada banyak perasaan bersalah yang mendera. Banyak pertanyaan tanpa jawaban. Banyak luka yang dia simpan dan tahan. Arsyad adalah satu-satunya teman untuk dia berbagi segalanya. Karena itu saat Arsyad pergi sungguh rasanya gila. Arsyad seperti penyeimbangnya, mereka saling melengkapi. Dia yang konyol dengan Arsyad yang sangat kaku. Bahkan ketika pertama mereka bertemu, Arsyad tidak bisa tersenyum begitu saja.

Arsyad menjadikan dia seseorang yang lebih baik. Mengingatkannya bahwa masih ada orang yang baik, benar, lurus di luar sana. Menyadarkannya bahwa hidup hanya sementara, jadi berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Siklus manusia akan sama. Lahir, tumbuh, lalu mati. Tidak perduli seberapa kaya, seberapa berkuasa. Semua akan mati pada akhirnya. Kawannya itu sendiri tidak takut mati. Arsyad benar-benar gila saat laki-laki itu sedang memimpin tim mereka dulu. Arsyad akan selalu berbagi bekal, minuman, atau cerita-cerita yang membuat mereka berpikir. Melindungi mereka dengan nyawa yang Arsyad punya. Padahal mereka bukan keluarga sedarah Arsyad. Karena itu dia benar-benar menghormati Arsyad. Sampai mati. Janjinya untuk melindungi adik-adik Arsyad adalah satu-satunya alasan kenapa dia tinggal. Karena jika tidak, dia pasti sudah akan pergi. Tidak tahan dengan seluruh suasana duka yang menenggelamkan dirinya pada lubang hitam yang dalam.

Lindungi adik-adik gue, Nik. Termasuk Audra. Sepupu gue itu sendiri, kesepian, dan gue sayang sama dia. Ingatan tentang janji mereka dulu datang lagi.

Nafas dia hirup banyak-banyak dua kali. Kemudian matanya turun menatap bahunya yang masih dibebat. Ingatan tentang Audra datang. Mereka bertemu pertama saat Arsyad dipanggil kembali untuk sesuatu yang penting ketika mereka baru saja menyelesaikan misi mereka yang pertama. Arsyad kembali terburu-buru dan mengajaknya turut serta. Dia sendiri ingin kembali ke negara ini karena rindu juga dengan keluarganya. Ya, dia bertemu Audra kala itu.

Sosok Audra Daud bukan sosok wanita yang mudah diabaikan. Seluruh sikap Audra sempurna dengan kepala diangkat tinggi dan pandangan yang menilai. Sombong, angkuh, berkuasa, dominan sudah pasti. Itu kesan pertama yang dia lihat. Setelah itu, dia melihat Audra menangis diam-diam di atas bukit. Salah satu kenangan yang tidak mampu dia lupa. Bagaimana bisa? Karena setelah itu bayang-bayang Sabiya berganti dengan Audra. Ya, apalagi setelah dia tahu bahwa Arsyad mencintai Sabiya dalam diamnya.

Audra bukan sosok asing untuknya. Sesekali mereka bertemu dan berpapasan tanpa saling sapa. Aura Audra berbeda, seluruh tingkat kepercayaan diri yang tinggi serta kekuasaan yang melekat pada diri wanita itu, membuat Audra seperti magnet yang membuat seluruh orang menoleh ke arahnya. Penasaran, kagum, kesal karena iri, dan beberapa orang juga takut. Tapi setelah tiga hari berkomunikasi dengan wanita ini, image Audra yang melekat di kepalanya sendiri seperti memudar perlahan.

Entah kenapa dia melihat ada kerapuhan, ketakutan, dan kesepian pada mata coklat gelap Audra. Wanita itu seperti selalu gelisah, karena ketidakpercayaannya pada semua orang, atau mungkin pada semua hal. Audra hanya wanita biasa, yang bisa tersenyum, bicara santai, atau tertawa dibalik sikap angkuh dan dinginnya. Perban pada tubuhnya adalah bukti lain bahwa Audra memiliki hati yang baik karena bisa tiba-tiba khawatir pada dirinya yang selama ini Audra acuhkan. Padahal mereka baru bekerja sama tiga hari saja.

Kepala dia gelengkan keras berusaha mengusir bayang-bayang wanita itu. Itu Audra, Nik. Bukan sembarang wanita.

Dia terkekeh menertawakan dirinya sendiri, lalu dia keluar dari kamar mandi dan duduk di luar balkon hingga pagi.

***

Mereka berdua berjalan beriringan ke arah lobby kantor Sanggara Buana. Siang ini mereka akan menemui Admaja Hadijaya perihal rencana mereka untuk menyusupkan pengurus rumah tangga berpengalaman ke dalam kediaman Herman Daud untuk mendapatkan lebih banyak informasi. Maja memiliki satu pengurus rumah tangga yang tepat sekali untuk hal ini. Ibu Sarni namanya. Jadi mereka harus meminta Maja bekerja sama dan membantu mereka.

Mercedes S-Class Guard berwarna hitam sudah menunggu di lobby. Audra menyadari mobilnya yang diganti, kemudian dia bertanya.

"Mobil diganti? Ada apa?"

"Ini lebih aman dan sudah saya periksa," jawab Niko sambil menghampiri tim ADS yang sudah berdiri menyambut mereka.

Dia bisa mendengar Niko meminta tim ADS itu untuk berada pada mobil di belakang mereka. Masih sedikit bingung, dia masuk saja saat pintu dibukakan oleh Niko.

"Kamu yang menyetir?" tanyanya lagi.

"Ya." Niko sudah berjalan berputar ke sisi kiri depan, masuk dan duduk sambil mengatur posisi dirinya sendiri.

"Apa aku sebaiknya di depan?" Setelah kalimat-kailmat Niko kemarin, dia benar-benar merasa tidak enak atas apa yang pernah dia lakukan pada para penjaganya.

"Saya nggak masalah. Kamu lebih nyaman dimana? Depan atau belakang, nggak akan membuat salah satu dari kita lebih tinggi derajatnya atau lebih hina." Niko tersenyum dari spion tengah.

Dan ya...untuk kesekian kali kalimat Niko berhasil mengusik nuraninya lagi. Kemudian dia turun dan berpindah ke depan.

"Apa saya salah bicara?" Wajah Niko menoleh ke arahnya heran.

"Enggak, hanya nggak ada satupun manusia yang bilang hal itu ke saya."

Niko mulai mengemudi. "Sorry, saya nggak maksud menyindir kamu atau apa. Itu keluar begitu aja."

Nafas dia hela kesal. "Makin kamu bilang begitu, makin saya nggak enak, Nik."

Kemudian mereka sama-sama diam.

"Luka kamu yang ada di bahu kemarin itu, apa sudah sembuh?" dia memulai lagi.

"Sudah."

"Apa perlu penjagaan ketat begini? Saya hanya ingin ketemu Admaja saja. Bukan Jodi Hartono."

Kemudian wajah Niko menoleh sambil tersenyum konyol. "Your safety is my priority."

Dia tersenyum kecil sambil menolehkan wajahnya. Slogan itu sering dia dengar di banyak iklan kendaraan, hotel, penerbangan, dan lainnya. Tapi entah kenapa dadanya mulai berderak tidak beraturan begini. Odraaa...come ooon.

"Sering-sering tersenyum Aud, wajahmu terlihat lebih ramah kalau tersenyum."

Kepalanya menoleh makin ke samping karena dia bisa merasakan wajahnya yang sedikit merah. Ada apa dengannya. Ya Tuhaaan.

"Nggak bisa terlalu banyak, nanti saham Sanggara Buana langsung turun drastis. Yang mereka tahu aku si perempuan tangan besi dan tidak pernah tersenyum." Ekspresi datar sudah dia kembalikan. Pandangan matanya menatap ke depan.

Kali ini Niko tertawa kecil. "Biar mereka berpikiran apa saja, Aud. Jangan terlalu peduli dengan mereka, kecuali kalau mereka bilang sesuatu yang benar. Lakukan hal yang membuatmu bahagia. Jangan membuat penilaian orang-orang memburamkan penghargaan pada dirimu sendiri. Jangan palsukan dingin atau hangat kepribadian kamu, itu akan sangat melelahkan."

"Mudah untuk kamu bicara begitu, Nik. Kamu lihat El Rafi, atau Arya Dirga, atau bahkan Admaja dan Abimana. Mereka semua memalsukan sikap mereka."

"Apa kamu kenal Hanif Daud? Mareno dan Mahendra Daud? Atau bahkan Arsyad Daud? Oh satu lagi, Daranindra Darusman Daud. Mereka semua berada pada status sosial yang sama dengan teman-temanmu tadi, tapi mereka tidak pernah berpura-pura di hadapan media. Kecuali Mareno yang terkadang suka bikin ulah."

Niko melanjutkan. "Dulu Arsyad pernah pulang habis bertugas bareng saya. Andai kamu tahu betapa kotor baju kami karena nggak mau ketinggalan pesawat dan nggak sempat ganti. Waktu itu keluarga Daud sedang ada masalah yang buat banyak wartawan mengikuti anggota keluarganya untuk mencari keterangan yang ada. Arsyad muncul di airport dan sudah ditunggu oleh para wartawan yang seperti serigala lapar. Foto Arsyad buruk sekali, bagus mereka nggak foto saya karena saya bukan siapa-siapa. Besoknya, media langsung mencaci Arsyad karena Arsyad bungkam, mereka juga bilang Arsyad orang kampungan yang nggak tahu cara berpakaian. Kamu tahu apa yang Arsyad lakukan? Arsyad duduk minum kopi membuka koran tanpa melirik pada semua pemberitaan itu. Beritanya baru turun setelah dua minggu. Dan Arsyad, nggak bergeming sedikitpun. He didn't give a d*mn. Padahal, dengan seluruh kuasa dan harta, Arsyad bahkan bisa membeli semua media kalau dia mau. Kamu pasti tahu maksud saya kan? Kamu Audra Daud."

Dia kesal karena lagi-lagi Niko benar. "Itu saat berita perceraian saya mencuat lagi. Saya masih ingat, Nik. Oh, kamu menyebalkan karena mengingatkan saya pada cerita buruk itu."

"Aud, kamu nggak lihat intinya. Media akan selalu menjadi media. Kebanyakan penuh dengan asumsi-asumsi yang tidak ada dasarnya. Atau juga hanya caci-maki yang nggak berbobot sama sekali. Tapi, kamu mau bahagia atau nggak bahagia, kamu bisa atur sendiri."

Nafas dia hirup masih dengan ekspresi kesal. "I hate you suddenly."

"That's your choice also. Saat ada orang yang kasih kamu masukan, kamu bisa dengan senang hati terima, atau malahan kesal seharian."

Tubuh Niko bersender lebih santai sambil masih berkendara. Sikap Niko tenang sekali, dengan gurat senyum pada pipinya yang berjanggut pendek dan rapih. Kemudian karena masih kesal dengan kalimat Niko, dia menyalakan radio. Lagu pertama yang terdengar, adalah salah satu lagu Taylor Swift.

I stay out too late
Got nothing in my brain
That's what people say, mm, mm
That's what people say, mm, mm

I go on too many dates
But I can't make 'em stay
At least that's what people say, mm, mm
That's what people say, mm, mm

Cause the players gonna play, play, play, play, play
And the haters gonna hate, hate, hate, hate, hate
Baby, I'm just gonna shake, shake, shake, shake, shake
I shake it off, I shake it off (Whoo-hoo-hoo)

Kenapa lagunya begini sih? Rutuknya dalam hati. Sebelum dia sempat mengganti lagu dia mendengar Niko menggumamkan lirik lagu itu.

Heartbreakers gonna break, break, break, break, break
And the fakers gonna fake, fake, fake, fake, fake
Baby, I'm just gonna shake, shake, shake, shake, shake
I shake it off, I shake it off (Whoo-hoo-hoo)

"I love this song. Adik saya suka sekali penyanyi ini..." senyum konyol Niko mengembang.

Lalu Niko mulai bernyanyi dan herannya laki-laki itu hafal. Dia menatap Niko benar-benar heran. Laki-laki ini sungguh absurd. Tawanya tidak bisa dia tahan saat Niko mulai bergoyang santai sambil masih menyanyi.

"Niko stop..." Dia masih tertawa melihat tingkah Niko.

Hari ini Niko mengenakan setelan kemeja tanpa dasi dengan warna hitam-hitam, wajah bersih dengan tubuh tinggi besar, namun bernyanyi lagu remaja seperti itu membuat tiba-tiba tawanya lepas berderai.

"You have to try, Aud. The song is good..." Niko masih menganggukkan kepala sambil bernyanyi. "But I keep cruising, can't stop, won't stop grooving. It's like I got this music in my mind saying it's gonna be alright."

Seumur hidupnya dia tidak pernah tertawa selepas ini, bahkan dengan Evan dulu. Sikapnya selalu dia jaga agar sempurna di hadapan siapa saja. Tapi laki-laki ini bisa membuat perutnya sakit dan air matanya keluar karena tawa. Padahal beberapa menit yang lalu sikapnya masih kaku dan juga kesal karena kalimat Niko tadi. Lebih gilanya, mereka sedang dalam misi penting seperti ini.

Dari hari pertama, sikap dan pembawaan Niko membuat semua yang rumit seolah seperti mudah saja. Atau situasi yang sedang berbahaya seperti saat ini yang bahkan Niko memasang banyak penjaga untuknya, tapi dia merasa hari ini adalah hari yang indah saja. Tidak ada apa-apa. Senyumnya masih mengembang lebar saat lagu sudah selesai diputar.

Dia menatap wajah Niko dari samping yang sudah berhenti bernyanyi konyol dan kembali fokus berkendara. Niko Pratama, adalah manusia yang berbeda.

https://youtu.be/8xG7mH8i-WE

***

Di restoran keluarga Daud.

Makan siang Audra dan Admaja diadakan di restoran keluarga Daud. Seluruh pengamanan dan pemeriksaan sudah Niko pastikan berkali-kali agar informasi yang ada tidak bocor keluar atau menimbulkan kecurigaan musuh-musuh mereka. Pertemuan kali ini sangat penting dan bisa menjadi titik terang jika dilakukan dengan benar. Tapi jika salah, nyawa seseorang atau bahkan dirinya sendiri jadi taruhan.

Dia bukan orang yang suka mengenakan jas di siang hari begini. Apalagi ini Jakarta. Tapi tuntutan tugas membuat dia akhirnya rela mengabaikan rasa tidak nyamannya. Mobil dia arahkan ke lobby restoran.

"Kita parkir dulu aja dan turun bersamaan," ujar Audra.

"Aud, panas di luar." Mobil sudah dia hentikan di lobby.

"Valley. Ini restoran keluargaku, lupa?"

Audra bergerak dengan anggun keluar dari mobil yang sudah dibukakan. Ekspresi wajah Audra berganti, menjadi Audra yang dingin, angkuh dengan kepala mengangkat ke atas dan sikap sempurna. Sesaat tadi dia lupa dengan siapa dia tertawa. Karena ekspresi Audra sepanjang jalan bersamanya benar-benar berbeda. Audra tertawa lepas, menggelengkan kepala tidak percaya, dan akhirnya juga ikut bergumam karena tidak tahu teks lagunya. Wanita itu terlihat normal, seperti wanita pada umumnya.

Saat ini, sosok Audra yang berdiri menunggu di lobby benar-benar berbeda. Sedikitnya dia merasa iba, sungguh memiliki segalanya benar-benar bukan jaminan untuk bahagia. Dia turun dari mobil lalu memberikan kunci pada salah satu anak ADS yang sudah menunggu di sana. Kemudian dia melangkah panjang-panjang di depan Audra untuk kembali memeriksa seluruh area. Memindai cermat, melihat apakah ada yang mencurigakan.

"Martin, tolong berikan list seluruh tamu siang ini yang tidak booking tempat. Apakah ada?" ujarnya melalui earphone.

"Ada, Bos. Gue kirim sekarang ke tablet lo," sahut Martin di seberang sana.

"Thanks."

Mereka sudah tiba di ruangan VIP yang terletak di bagian dalam restoran. Tertutup dan terpisah. Tubuhnya berhenti meminta Audra menunggu sementara dia memeriksa ruangan. Ada dua penjaga ADS di depan pintu. Dua penjaga itu mengangguk padanya lalu dia masuk dan melihat bahwa Admaja sudah ada di sana.

"Lima menit terlambat, Nik. Ada apa?" ujar Admaja sambil melirik jam tangannya.

"Lalu lintas Jakarta penuh kejutan, seperti biasa." Dia berjalan keliling ruangan sambil mencermati seluruh kondisi.

Kemudian dia menghampiri Admaja yang wajahnya sudah mengerti tapi tetap kesal juga. Admaja berdiri sambil mengangkat tangannya.

"Kalian gila. Saya sudah diperiksa, Nik. Saya bersih," omel Admaja.

Tubuh Admaja dia periksa seksama tanpa memperdulikan protes laki-laki itu. "Belum dengan saya. Maaf, situasi sedang buruk sekali, Maja. Saya harap kamu mengerti bahwa saat ini tingkat kepercayaan kami sedikit sekali."

"Kalian yang mau minta tolong sama saya, tapi saya yang diperlakukan begini. Lucu," dengkus Maja.

Dia sudah selesai memeriksa Maja dan laki-laki itu sudah membenahi setelan jasnya. "Kami kehilangan Arsyad Daud, Maja. Dan tidak berencana menambah korban jiwa. Kamu memang sudah menandatangani segalanya dengan Arsyad pada pertemuan sebelumnya. Tapi, segala situasi bisa saja membuat kamu berpaling dari perjanjian itu dan memihak Hartono."

Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan mata Maja menatap lurus pada matanya. "Posisi saya jelas, Niko. Sekali lagi kamu meragukan saya, saya benar-benar tidak mau berurusan dengan Daud lagi."

Nafas dia hirup perlahan lalu dia menepuk pundak Maja. "Admaja, maafkan saya oke. Tapi semua hal sedang genting sekarang. Segala prosedur harus saya lakukan dengan benar. Kami tidak takut pada ancamanmu, tapi kami benar-benar berharap kamu bisa membantu."

Selama beberapa detik rahang Maja masih mengeras kesal, tapi kemudian kepala laki-laki itu mengangguk mengerti. "Oke, oke."

Kemudian dia tersenyum singkat dan berjalan membukakan pintu untuk Audra yang segera masuk.

"Siang, Maja."

"Od, aku sungguh mengkhawatirkanmu." Tubuh Maja melangkah dan memeluk Audra hangat. "Aku turut berduka soal Arsyad. Segera jauhi Jodi, Od. Jangan gegabah."

Saliva dia loloskan karena tiba-tiba dia merasa tidak nyaman dengan pemandangan di hadapannya. Audra terlihat sangat serasi berdampingan dengan Admaja.

***

Satu jam kemudian mereka keluar dari restoran. Pembicaraan dengan Maja berlangsung baik dan lancar. Admaja mendukung mereka penuh dan berjanji akan meminta Ibu Sarni, pengurus rumah tangga Hadijaya untuk bekerja sama dengan mereka dengan syarat dia harus memastikan keselamatan wanita itu.

"Nik, kamu nggak lapar? Kamu belum menyentuh makanan apapun sedari tadi," ujar Audra. Mereka sudah kembali ke dalam mobil dan menuju Sanggara Buana.

"Saya nggak bisa makan kalau sedang bertugas. Kebiasaan buruk memang, tapi lari mengejar penjahat dengan kondisi perut penuh benar-benar membuat saya nggak nyaman," ujarnya.

Dia melanjutkan, "Pembicaraan hari ini lancar. Saya akan urus segala persiapan untuk Ibu Sarni. Kamu akan saya antar kembali ke kantor, dan kita bertemu lagi tiga hari ke depan."

"Minggir di situ sebentar, Nik." Tangan Audra menunjuk ke sebuah minimarket.

Refleksnya adalah menuruti keinginan wanita itu karena mungkin Audra ingin berpindah ke kursi belakang. Tapi kemudian Audra turun dan melangkah menuju minimarket. Cepat-cepat dia turun menyusul Audra.

"Aud, apa-apaan? Kamu tinggal bilang apa yang mau kamu beli dan saya yang keluar. Saya belum periksa area ini."

Audra diam saja dan terus berjalan di sepanjang koridor minimarket, memilih apa yang wanita itu ingin beli.

"Oh, diamlah Nik."

Matanya memindai keseluruh area. Prosedur yang ada dia harus memeriksa semua tempat yang akan dikunjungi siapapun orang yang dia jaga. Tidak boleh ada kejutan seperti saat ini. Audra sudah berada di kasir dengan dia yang masih mengawasi. Sementara dia memindai tiga orang laki-laki yang baru saja masuk.

Pancaran aura Audra yang berkelas dan mahal memang membuat semua orang di minimarket itu menoleh penasaran. Alarm tanda bahayanya sudah sedari tadi berbunyi saat Audra turun ke minimarket ini. Jadi dia berdiri membelakangi Audra sambil bersedekap agar dua orang yang antri di belakang Audra memberi jarak.

Mereka masuk ke mobil dan karena kesal dengan tingkah gegabah Audra dia mulai memaki. "Kamu nggak bisa kayak begitu, Aud. Kalau kamu dalam penjagaan saya, kamu ikuti aturan saya. Saya sudah bilang itu kan."

Lalu Audra menyodorkan tiga buah fitbar kepadanya. "Ini snack sehat dari Oat, Quinoa dan whole wheat. Nggak akan bikin kamu terlalu kenyang."

Dia menatap Audra tidak percaya dan berusaha menekan amarahnya. Emosi itu sudah ada sedari tadi saat dia melihat kedekatan Audra dan Admaja ketika makan siang. Belum sempat dia memaki, pintu kacanya sudah diketuk dan satu laki-laki yang tadi berada di minimarket sudah membawa tongkat kayu panjang kemudian mengayunkan ke arah kaca di sebelahnya.

Audra menjerit terkejut karena satu laki-laki lainnya melakukan hal yang sama pada kaca mobil di dekat Audra. Mobil yang dia kendarai adalah salah satu jenis sedan anti peluru terbaik, jadi orang-orang yang menyerang mereka bodoh sekali. Atau memang hanya sebagai peringatan saja.

Nafas dia hirup panjang kemudian dia mengenakan black glasses yang dia bawa. "Martin, urus kecoak-kecoak ini."

"Yes, Bos."

Dia meraungkan mobil lalu mundur cepat keluar dari parkiran minimarket. Membiarkan Martin dan tim ADS lain yang ada di dalam mobil belakangnya membereskan orang-orang bodoh itu.

"Angel, hubungi Mahendra Daud." Mobil dia lajukan dan sudah ada satu mobil lain mengikuti mereka di belakang. "Kenakan seat beltnya, Aud."

Wajah Audra yang pucat mengangguk cepat.

"Nik," Mahendra menyahut di sana.

"Gue diikuti. Tolong cari tahu plat..."

"Posisikan mobil di depannya persis. Gue pindai," pinta Mahendra.

"Nggak perlu, kelamaan. Lalu lintas ramai. Plat nomornya..." dia menyebutkan plat nomor mobil yang mengikuti mereka di belakang.

"Oke, got it. Gue cek dulu. Peta jalur aman dengan gue kirim ke layar sebelah lo see...ka...rang. Done."

Monitor disebelahnya berbunyi blip dan menunjukkan peta jalan lengkap dengan kondisi lalu lintasnya.

"Gue kasih beberapa alternatif jalan langsung ke Sanggara Buana, ikuti tanda biru."

"Got it."

Mereka menyudahi hubungan. Dia sibuk menghindari mobil di belakang sambil berusaha untuk tidak membuat kehebohan. Selama mobil itu tidak mengeluarkan senjata atau apapun, dia tidak akan menyerang. Bisa jadi ini sebuah peringatan yang dikirim oleh Wibowo, atau Darius. Karena sekarang Herman sedang berduka hebat karena kehilangan Tommy dan May.

Dalam empat puluh menit mereka hampir tiba di Sanggara Buana. Mobil tadi sudah pergi, tapi sudah banyak karyawan yang berkumpul dia area evakuasi bagian luar gedung Sanggara Buana. Audra segera menghubungi Lisa, sekertarisnya.

"Lis, ada apa?" tanya Audra.

"Kebakaran di lantai sembilan belas, Bu. Jangan ke sini."

"Saya minta laporan evakuasi. Pastikan semua karyawan tidak terluka, Lis," perintah Audra cepat.

Rahangnya mengeras paham benar ini peringatan keras. Dia akan membunuh Darius nanti. Dengan cepat dia membelokkan mobil melewati kantor besar Sanggara Buana.

"Ayyara, Nik."

"Ada Dado yang menjaga Ayyara dan Damar. Mereka satu sekolah."

Dengan cepat dia menghubungi Dado untuk mengecek kondisi. Aman. Tidak ada sesuatu yang aneh di sekolah dua anak itu.

"Di rumahmu ada Lexy?" dia bertanya pada Audra cepat.

"Carol, bukan Lexy. Seperti yang ada di butik Sabiya."

"Carol, Lexy, Angel, sama saja. Bagus. Kita ke rumahmu saja."

Mahendra menghubunginya untuk melaporkan hasil pencarian. Dalang dibalik ancaman ini adalah Darius dan Wibowo, persis seperti dugaannya. Manusia bajingaaan!!!

"Tuan Mareno Daud menghubungi," ujar Angel.

"Sambungkan."

Hubungan mereka tersambung dan suara pada loudspeaker terdengar jelas. Mereka bertiga dengan cepat berdiskusi dengan Audra yang diam mendengarkan.

"Darius mencari dokumen yang dipegang Sharon. Sekalian mengancam. Herman saat ini nggak sehat. Mereka tahu tentang pertemuan Sharon dan Audra. Jadi mungkin insiden hari ini karena mereka ingin mengirim pesan bahwa mereka mengawasi," ujar Mareno.

"Jadi, gimana? Gue lagi jalan antar Audra ke rumahnya. Rumah Audra aman kan, Hen?" tanyanya cepat sambil masih sibuk berkendara.

"Aman. Kami pasang perlindungan terbaik di sana."

"Bagus."

"Nik, gue mau lo jaga Audra sementara ini. Faya masih masa pemulihan dan sudah dengan Hanif. Tania dan Alexa aman. Sharon ada Doni dan sudah gue taruh di tempat yang aman. Please take care our dear big sister," ujar Mareno.

Dia diam saja, tidak mengira situasi akan berubah cepat seperti ini. Juga masih kesal dengan kelakuan Audra tadi.

"Nggak perlu. Aku baik-baik, Ren. Tapi terima..." sahut Audra.

"Ya, Audra gue yang jaga," potongnya cepat.

"Oke. Sissy, I know you are a very stubborn lady. Please be a nice lady and listen to Niko, ok? He will stay in your house, I believe you have plenty of rooms."

"Tapi Ren, aku benar-benar nggak apa-apa. Ada orang ADS yang biasa..."

"Sissy, kamu belum apa-apa udah nggak nurut. Oke, kalau kamu nggak mau dijaga oleh Niko, aku nggak akan ikut sertakan kamu pada apapun rencana kami, Sis. Pilih mana?" ancam Mareno.

Audra mendengkus kesal tapi diam saja.

"Gue punya kabar," timpal Mahendra. "Kebakaran kantor Sanggara Buana bukan kebakaran besar. Hanya tong sampah berisi kertas yang disulut api dan sudah langsung dipadamkan oleh petugas safety di sana. Jadi aman. Tapi ini ancaman."

"Oke. Sis, sementara bekerjalah dari rumah dulu. Jangan terlalu banyak keluar. Kondisi masih sangat berbahaya," Mareno lagi.

"Dasar tukang atur-atur dan tukang ancam!" sahut Audra marah.

"I take it as a yes, Sissy. Nik, please take care of her."

Hubungan disudahi.

Mobil mereka sudah tiba di gerbang rumah besar Audra yang dijaga. Dia menurunkan kaca lalu dua penjaga di depan membuka gerbang. Setelah mobil tiba di teras rumah besar Audra dia menoleh menatap wanita keras kepala ini.

"Jangan pernah bahayakan dirimu lagi seperti itu hanya demi tiga buah snack. Saya mampu tidak makan tiga hari, Audra. Tapi saya tidak bisa menanggung rasa bersalah saya kalau orang yang saya jaga terluka. Paham?" ujarnya dengan nada yang dia tekan.

Rahang Audra mengeras dan ekspresinya berubah dingin. Punggung Audra tegak kaku dan wanita itu melemparkan snack-snack tadi ke tubuhnya dengan wajah marah. Kemudian turun cepat-cepat sambil mengenakan kacamata hitam. Tubuh Audra masuk ke dalam dengan pintu depan yang dibanting keras.

Kemudian dia menatap tiga buah snack yang tadi Audra beli untuknya. Wanita itu mengkhawatirkannya. Wajah dia usap perlahan. Fokus, Nik. Semua akan baik-baik saja. Fokus dan abaikan Audra.

***

Satu part yang panjang, dan mood swing banget. Gegara si fitbar...hehehe.

Fitbar si biang kerok. Bisa dimakan, bisa juga buat nimpuk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro