Part 39
Edward masuk ke dalam black room dengan wajah sangat cemas, juga marah. Arsyad tidak pernah melihat Edward sepucat ini. Edward adalah laki-laki dengan kontrol diri yang sempurna. Betapapun dera yang ada, wajah Edward akan datar saja. Kali ini, dia melihat betapa mata tua itu lelah sekali. Juga takut dan cemas karena putri satu-satunya tidak bisa dihubungi.
"Dimana Janice?" tanya Edward padanya.
"Pelakunya adalah Jodi Hartono. Bukan Aryo Kusuma."
"Arsyad..." Edward hanya memanggilnya nama ketika Edward sedang sangat marah padanya. "...tolong jangan bohongi saya. Dimana Janice dan Aryo?"
"Angel, putar ulang pesan Janice."
Lalu pesan Janice diputar ulang. Berikut suara tembakkan yang membuat Edward terkejut juga. Gurunya itu sudah memegang dada dan wajah Edward tambah pucat.
"Ini musim berburu. Kemarin Jodi cuma bersenang-senang saja dengan salah satu orang Sanggara Buana. Kali ini Jodi akan mengundang semua. Ini acara sesungguhnya dan Janice yang akan..." Edward tidak sanggup melanjutkan.
Tubuh Edward limbung lalu dia menangkap Edward dan memintanya duduk pada salah satu kursi.
"Saya akan kirim orang-orang saya," satu tangan Edward memegang dada.
"Edward, tolong jangan begini. Janice saudara kami. Orang-orangmu adalah orang-orang ADS juga. Mereka mungkin lebih handal untuk urusan bertarung. Tapi berburu, di dalam hutan liar, hanya saya dan adik-adik saya yang bisa melakukan semua ini."
"Janice sangat mampu..."
"Saya tahu apa kemampuan Janice. Kami dididik bersama oleh kamu, Edward. Tapi melawan empat orang pemburu professional dan juga dua puluh orang penjaga professional di dalam hutan liar...Janice punya batasan." Arsyad menekan nada.
"Kamu boleh turunkan orangmu, Edward. Tapi saya dan adik-adik saya akan membantu," lanjutnya tegas.
"Kami yang seharusnya menjaga kalian." ujar Edward kecewa.
"Kami tidak perlu dijaga. Sampai kapan kamu sadar soal itu. Menurut kamu apa alasan saya membangun ADS? Salah satunya agar kamu dan Janice bisa berhenti. Saya bisa menjaga keluarga saya sendiri," nadanya mulai sedikit naik.
Arsyad melanjutkan. "Edward, Janice itu perempuan biasa. Sekalipun tangguh sekali. Tolong beri dia kehidupan normal saja. Jangan siksa keluargamu sendiri. Ayah mendidik kami keras begini karena kami harus bertanggung jawab atas keluarga kami sendiri. Kami selalu menghargaimu, Edward. Bukan sebagai penjaga kami. Tapi sebagai keluarga. Lakukan itu untuk Janice dan keturunannya nanti. Jangan keras kepala, atau Janice bisa pergi."
"Betapa Aryo Kusuma sudah kalian terima. Hingga kalian melindunginya sedemikian rupa," ada sebersit kecewa di sana.
"Ya, benar. Kami juga melindungi Janice. Memberikan apa yang menjadi haknya. Yaitu hidupnya sendiri." Arsyad menatap Edward. "Kamu yang paling tahu bahwa Janice mampu melakukan apa saja jika dia mau. Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa melarikan diri dari sebuah pernikahan yang diatur akan mudah sekali untuknya? Lalu kenapa Janice tinggal dan setuju. Karena Janice mencintai kamu, Edward. Karena Janice memikirkanmu. Karena Janice tahu kondisi kesehatanmu yang makin buruk. "
Edward menatapnya tidak percaya. "Kalian sudah tahu?"
"Ya Tuhan, Edward. Kamu adalah guru saya. Saya belajar dari yang terbaik. Butuh waktu untuk mengumpulkan seluruh catatan medismu yang kamu sembunyikan rapih sekali. Tapi istri-istri kami pintar. Mereka punya cara mereka sendiri. Jadi ya, kami sudah tahu."
Nafas Arsyad atur perlahan. "Jangan membuat Janice sedih lagi. Beristirahatlah untuk sisa waktumu, Edward. Kamu layak untuk mendapatkan itu semua di penghujung waktu." Matanya menatap Edward dalam. "Biarkan kami membantu. Jodi akan menyerang Ardiyanto dan mungkin Tantri Tanadi. Jaga mereka untuk saya. Saya dan yang lain akan menjemput Janice pulang. Apa bisa begitu?"
Edward diam membeku, seperti berpikir.
***
Rumah tinggal Aryo Kusuma
Ada beberapa anak buah Aryo yang duduk menatapnya. Termasuk Dony yang terlihat marah.
"Bang, lo udah gila apa?" maki Dony setelah mendengar rencananya.
Ya, dia sudah gila karena tahu besok Janice akan menikah entah dengan siapa dan entah dimana. Rokok dia hisap kuat. Botol-botol minuman keras yang setengah kosong terlihat begitu menggoda, tapi dia harus sadar untuk mencari Janice lagi. Jika dulu Edward yang memburunya, sekarang dia yang akan berburu Edward.
"Jangan banyak ngomong. Cari aja Edward. Gue tahu Edward yang tahu dimana Janice."
"Itu orang kayak hantu. Lebih parah daripada Bapak Besar. Semua orang sungkan sama dia. Jangankan benteng pertahanan, nggak ada yang pernah tahu dia ada dimana. Kita kesulitan."
Dony melanjutkan. "Satu-satunya yang bisa menemui Edward jika Edward mau, itu hanya Arsyad Daud."
Kepalanya menggeleng. "Arsyad nggak tahu Edward dimana. Gue udah tanya. Dia juga sedang cari Edward dan akan kasih gue kabar kalau sudah ketemu."
Rokok dia remas dengan tangan. Seluruh pikirannya seperti buntu.
"Terus cari, juga satu pengawal Janice yang gue kasih datanya kemarin. Gue ke tempat Bapak Besar. Mungkin dia tahu sesuatu."
"Bang, di bawah lagi bergejolak. Bapak Besar dan Brayuda lagi sibuk-sibuknya. Pengangkatan Manggala buat semuanya kacau. Dua di antara empat pimpinan menentang. Jauhi tempat Bapak Besar dulu."
Dia terkekeh sambil menyalakan rokok lagi. "Jadi Manggala menggantikan Bapak Besar? Anak baru itu punya nyali juga."
"Lo menghilang. Bapak Besar coba mencari elo kemarin dan lo nggak ada."
Tawanya makin lebar. "Gue nggak mau posisi itu, Don. Gue mau cari pacar gue dan jalan-jalan. Bukan mau menjabat menggantikan Bapak Besar."
"Dengan posisi itu kawanan kita akan lebih kuat," sahut Dony.
Matanya menatap Dony tajam. "Jadi menurut lo posisi kita sekarang nggak kuat?" Tubuhnya berdiri menatap orang-orangnya murka. "Jadi kalian lebih suka jadi orang-orang yang terikat? Kalian pikir Bapak Besar tidak punya aturan? Dunia itu bahkan lebih kompleks daripada dunianya orang-orang berduit."
Dia mulai berjalan mondar-mandir gelisah. Selama ini kawanannya memang ditanggung oleh Herman Daud dan pekerjaan utama mereka adalah melindungi Herman. Tapi sekarang Herman tidak ada. Sebelumnya dia tidak pernah memperdulikan itu, tapi semakin lama posisi kawanannya rentan. Dony ada benarnya. Ah, sial.
Asap dia hembus kasar. "Kalian, sampaikan pada yang lainnya. Ini keputusan gue sekarang. Pilihannya ada 3. Satu, bergabung dengan Brayuda dan Manggala. Kalian akan diperlakukan dengan baik di sana."
"Bang... kita nggak mau pisah dari lo!!" protes Dony.
"Dua, bergabung dengan daerah Barat atau Selatan. Daerah itu basah. Utara main kotor. Timur terlalu mudah, nggak ada tantangannya. Jangan ke sana."
"Lo nggak denger gue, hah?" Dony sudah mendorong tubuhnya kasar.
Anak-anak buahnya memisahkan mereka.
"Atau tiga, ikut sama gue."
"Kemana?" teriak Dony marah.
"ADS. Gue akan minta Arsyad agar gue punya wewenang untuk bentuk tim sendiri di sana. Jadi kalian tetap akan berada di bawah gue. Bukan Arsyad, bukan Mahendra, atau Niko Pratama. Tapi di bawah gue. Gaji bagus, pekerjaan jelas, mungkin kalian bisa hidup normal."
"Tapi jadi kacungnya Daud!!"
Kali ini dia bereaksi dengan mencengkram leher Dony. "Gue Aryo Kusuma-Daud. Jangan lupa. Gue punya seluruh harta Herman Daud dalam genggaman tangan gue. Gue akan beli bagian saham di ADS dengan nilai yang Arsyad Daud tidak bisa tolak. ADS sedang dibangun ulang. Arsyad tidak bisa mengabaikan dana yang besar." Dia mendengkus sebelum melanjutkan. "Ingat, Don. Sudah dari dulu kita jadi kacungnya Daud. Bedanya, sekarang lo kerja buat gue. Bukan buat Herman Daud si keparat itu."
"Bang, udah Bang," tubuhnya dipisahkan dari Dony.
Rokok Aryo hisap dalam lalu menatap orang-orang kepercayaannya lagi. "Jadi pikirkan baik-baik. Pilihan satu, atau dua, atau tiga."
"Tiga," salah satu anak buahnya sudah berdiri berujar. "Gue ikut, dimanapun lo ada. Gue pilih tiga dan gue akan bilang ke anak-anak gue di bawah."
"Bagus, lo pintar berarti."
Dua yang lain sudah mengangguk setuju. "Tiga, Bang. Kapan lagi ngerasain duit lo yang banyak itu kan?"
Kepalanya menatap Dony. "Lo?"
"Lo tahu gue nggak bakalan ninggalin lo, Brengsek. Dasar manusia gila!!" Dony berujar padanya kesal.
Dia tertawa sambil menepuk pundak Dony. "Bagus. Satu masalah selesai. Sebarkan ke yang lain. Gue akan kasih tahu kapan ADS mulai dibuka."
"Kita nggak akan mau diatur sama mereka, Bang. Kita hanya akan mendengarkan elo," tegas salah satunya.
"Bagus. Jangan dengarkan yang lain kecuali gue. Kita buat Arsyad pusing," dia tersenyum kecil lalu menghembuskan asap lagi. "Sekarang yang paling penting. Cariin pacar gue, sebelum gue bunuh suaminya."
Anak-anak buahnya pergi menyisakan Dony. Ponselnya berbunyi. Arsyad Daud. Jantungnya tiba-tiba bergemuruh seolah bersiap untuk berita buruk. Cepat-cepat dia menjawab.
"Syad..."
"Aryo, datang ke tempat gue sekarang. Janice diculik."
"Edward?" tubuhnya mulai bergerak gelisah.
"Bukan, Jodi Hartono. Ini musim berburu. Janice yang akan jadi buruannya."
"Berburu gimana?"
"Ke sini, Yo. Gue jelaskan di sini."
Aryo sudah menyambar jaket dan kunci motor. Berlari menuju garasi dan melajukan motornya kencang. Diculik? Jodi Hartono? Berburu? Apa maksud Arsyad?
***
Dalam tiga puluh menit Aryo tiba di kediaman Arsyad Daud. Tempat dia dan Janice pertama bertemu dulu. Entah kenapa dia menjadi sedikit sentimentil karena saat masuk ke dalam basement, seluruh bayangan wanitanya itu ada di sana. Dia merindukan Janice, juga cemas. Karena nada Arsyad tadi ketika menghubunginya sangat berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Selamat datang, Tuan Aryo Kusuma," ujar Angel saat dia masuk ke dalam black room.
Arsyad duduk seperti memperhatikan kordinat suatu area yang muncul di banyak layar yang ada di dinding. Seperti mencari sesuatu.
"Syad, dimana Janice? Ada apa?" tanyanya.
Arsyad berdiri berhadapan dengannya. Wajah Arsyad kelihatan cemas sekali, ada yang benar-benar salah.
"Jodi Hartono, Janice diculik Jodi Hartono saat dia pergi dari butik kemarin."
"Gimana?"
"Angel, putar ulang pesan Janice."
Tubuh Aryo melonjak terkejut karena suara tembakan dari dalam rekaman. Lalu suara Janice terdengar. Dua tangannya terkepal kuat mendengar itu semua.
"Jodi Hartono, itu anak dari Roy Hartono?" tanya Aryo.
Arsyad mengangguk.
"Jadi Jodi pingin balas dendam karena kita bunuh bapak bejatnya itu?" suaranya makin naik tinggi.
"Bukan. Jodi Hartono punya satu kebiasaan. Dia suka berburu di hutan. Buruannya manusia yang dilepas dan ditembaki seperti binatang."
'BRUAK!!' Tangannya menghantam meja.
"Dia sentuh Janice, gue kuliti dia hidup-hidup!!" teriaknya murka. Tubuhnya yang gusar sudah berjalan mondar-mandir.
"Aryo, dalam dua jam kita harus berangkat, ke sana. Perburuan akan dimulai dini hari. Empat orang termasuk Jodi. Pemburu professional, ditambah dua puluh penjaga Jodi."
"Gue nggak peduli berapapun jumlah orang mereka! Lo kasih tahu dimana, gue ke sana" suaranya bergetar karena emosi.
"Aryo, tarik nafas. Gue, Hanif dan Mahendra akan turun. Juga tim black command dan beberapa orang Edward."
"Kenapa dua jam lagi? Kita berangkat sekarang."
"Hanif dan yang lain sedang siap-siap. Lo juga harus siap-siap."
"Gue udah siap."
"Aryo, hutan belantara itu benar-benar berbeda dengan jalanan. Butuh perlengkapan khusus dan bekal. Hanif dan Mahendra harus pamit dengan pasangan mereka."
"Sabiya?"
"Sabiya akan selalu mengerti. Jangan khawatirkan Sabiya. Dia lebih kuat dari yang dia tunjukkan. Tapi Faya sedang hamil dan Alexandra tidak terbiasa dengan ini semua."
"Kenapa lo ajak Hanif? Selain karena gue dan dia nggak akan bisa akur, gue nggak mau Hanif kenapa-kenapa terus Faya nggak punya suami."
Kepala Arsyad menggeleng sambil tersenyum tidak percaya. "Gue nggak ngerti kenapa lo masih bisa bercanda."
Tubuh Arsyad sudah melangkah ke luar ruangan menuju gudang senjata di bawah. Aryo berjalan mengikuti.
"Gue nggak bercanda, Syad. Sekalipun gue sebel sama adik lo itu, gue nggak mau Faya sedih. Apalagi Faya lagi hamil. Nanti ponakan gue nggak punya Bapak lagi."
Arsyad terkekeh lagi. "Udah, Yo. Serius sedikit."
"Gue nggak paham kenapa lo ketawa."
Mereka sudah masuk ke gudang senjata dan Arsyad mengambil tas hitam dan dua buah ransel. Satu diberikan padanya.
"Siap-siap dan berhenti bercanda."
Bahu Arsyad dia hentikan. "Syad, gue nggak bercanda. Jangan ajak Hanif. Faya nggak bisa kalau nggak ada Hanif, Syad. Gue serius."
"Lo pikir gue kakak macam apa? Hanif adik gue, seseorang yang paling dekat dengan gue selain Niko Pratama. Lo tahu kenapa gue ajak Hanif? Pertama, kemampuan Hanif mencari jejak dan berburu itu terbaik dari siapapun yang pernah gue kenal. Bahkan dari gue sendiri. Kepala Hanif selalu tenang, dan dia selalu punya solusi. Hanif mencintai hutan lebih dari kota ramai. Kedua, hutan tempat perburuan adalah rumah kedua buat Hanif. Karena dulu gue dan Hanif ditempa di sana, di hutan yang sama."
Arsyad melanjutkan. "Tolong jangan ngomong aneh-aneh, apalagi ngomong soal Faya di depan Hanif. Dia masih sangat marah sama lo, Yo. Bahkan kayaknya dia nggak akan maafin lo seumur hidupnya. Jadi jangan pancing Hanif. Gue butuh dia dengan kepala dinginnya. Untuk selamatkan Janice."
"Lo meremehkan gue, Syad."
"Lo meremehkan ini semua, Aryo. Gue akan turunkan yang terbaik untuk selamatkan Janice. Termasuk Hanif." Arsyad memberi jeda. "Siap-siap. Jangan bawa senjata berat, itu akan menghambat."
Tubuh Arsyad mulai bergerak memilih senjata dan memasukkannya ke dalam ransel. Aryo juga mulai memilih.
"Dengan kemampuan Janice, kayaknya kita akan menginap di sana," ujar Arsyad.
"Hah, gue nggak akan biarin ini semua berlangsung lama. TNT Mahendra mana?"
"Disimpan di koper khusus. Mahendra yang akan bawa."
"Kasih ke gue biar gue lempar-lemparin aja."
"Nggak akan kita kasih ke elo."
"Curang."
"Berisik."
***
Tubuh Janice terasa sakit dan kaku saat dia terbangun di tengah hutan gelap. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang sedikit. Nafas Janice hirup panjang lalu dia berdiri memeriksa kondisi tubuhnya terlebih dulu.
Janice masih menggunakan pakaian yang sama. Bagusnya pakaian itu adalah pakaian kerja dengan celana. Dua tangan meregang untuk memeriksa apa ada yang terkilir. Kondisi bahu membiru karena sebelumnya terkilir dan dia sudah membetulkan posisinya. Tangan dia putar lagi, sedikit sakit dan kaku tapi tidak terlalu mengganggu. Sisanya hanya lebam ringan di kaki. Lalu dia memeriksa aksesoris yang dia gunakan. Karena benda-benda kecil itu bisa dia gunakan untuk mengirimkan kordinatnya pada Arsyad. Sialnya, mereka sudah melepas segala aksesoris yang dia kenakan.
Ini sudah musim berburu, dan Jodi Hartono akan menjadikannya sebagai target buruan. Manusia bajingan, sialan.
Lengan kemeja dia cium. Wangi perfume yang bukan miliknya. Wangi yang akan menjadi tanda agar anjing pelacak bisa menemukannya. Dia terkekeh lalu menyobek lengan kemeja. Tebakannya, perburuan akan dimulai dini hari. Saat fajar tiba.
Hah, celana juga, Jen. Cari getah pohon yang bisa menyamarkan bau.
Hal itu baru bisa dia lakukan ketika fajar tiba. Bagusnya lagi matahari belum muncul, ketika muncul dia akan tahu arah mata angin. Lalu dia bisa menyusun rencana. Jadi sekarang, dia akan duduk diam menunggu.
Sepatu, Jen. Ah sial, Jimmy Choo-nya rusak. Awas kamu Jodiiiii!!!!
Janice sudah melepas sepatu sambil berpikir. Siapa yang akan datang menyelamatkannya kali ini? Aryo? Ayah? Apa yang akan dia lakukan setelah itu? Masih maukah dia menikah karena kondisi kesehatan ayah yang buruk? Atau semua kejadian ini bisa memberikannya kesempatan baru. Tapi bagaimana dengan ayah? Otaknya terus berputar cepat. Mencoba menemukan solusi untuk segalanya.
***
Yak, udah siap buat seru2an?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro