Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 38

Suasana mall siang itu tidak terlalu ramai. Ardiyanto sengaja menjemput cucu semata wayangnya karena rindu. Dia tidak terkejut saat melihat Niko di gerbang sekolah Ayyara. Tapi terkejut karena Ayyara dan Niko terlihat dekat sekali.

"Minta Ayyara dan Niko masuk ke sini," ujarnya pada salah satu penjaga yang duduk di depan.

Niko masuk dan duduk di bangku depan. Sementara Ayyara duduk di sebelahnya.

"Wah ada Opa. Tumben banget Opa jemput Yara. Pasti ada Opa ada maunya."

"Hus, Yara. Yang sopan," tegur Niko dari bangku depan. "Selamat siang, Om. Maaf saya tidak tahu kalau Om akan menjemput Ayyara."

"Hmm...saya ingin ajak Ayyara makan siang."

"Maaf, apa boleh tahu dimana lokasinya?"

"Restoran favorit Ayyara," dia menatap cucunya yang tersenyum lebar.

"Opa, kata Om Niko sama Om Arsyad di luar lagi banyak bahaya. Kita makan di rumah aja gimana? Aku telpon mama biar cepat pulang."

"Bahaya itu ada kalau kita takut Ayyara. Daud tidak pernah takut dengan apapun. Lagian mama sedang sibuk, jangan ganggu mama," satu tangan mengusap kepala Ayyara. "Kamu nggak pingin makan es krim kesukaan kamu?"

"Oooh...kita mau ke The Peony ya? Boleh nggak Om? Itu nggak di dalam mall kok."

"Kamu tidak perlu minta ijin pada Niko, Yara. Opa yang ajak kamu. Niko silahkan siapkan segalanya," ujarnya tegas sambil menatap Niko di depan.

"Baik, saya akan siapkan."

Niko ke luar dari mobil menuju mobilnya sendiri. Kemudian mereka melaju ke restoran yang dituju sambil mulai pembicaraan ringan dengan Ayyara. Dalam tiga puluh menit mereka tiba. Kakinya sudah bisa digunakan untuk berdiri. Sekalipun masih terasa sakit. Ini semua sedikit merepotkan tapi sebanding dengan kerinduannya pada Ayyara.

Suasana siang itu tidak terlalu ramai. Meja sudah disiapkan di dalam restoran, dekat dengan kebun bunga peony di bagian belakang. Niko dan dua penjaga sudah berdiri di sekitar mereka. Berjaga, siaga. Dia sudah terbiasa karena banyaknya musuh keluarga. Apalagi menjelang pernikahan Audra dan Abimana. Jodi Hartono ternyata tertarik juga pada anaknya dan membuat situasi lebih rumit.

Restoran ini adalah restoran kesukaan Ayyara karena suasanya yang hangat dan penuh kebun bunga. Mahendra mensponsori The Peony dengan cara memasang alat-alat khusus pada kebun bunga di bagian belakang agar suhu udara di sana terjaga dan bunga peony bisa tumbuh. Keponakannya itu memang terlalu jenius dan tidak pernah kehabisan akal. Jika saja kondisi kesehatan Sofia istrinya prima seperti Trisa, mereka pasti akan memiliki banyak anak seperti Ibrahim.

"Yara lagi belajar disiplin dan bela diri sama Om Arsyad, Opa. Seru deh. Barengan sama Damar. Jadi nanti Opa jangan kaget kalau Yara bisa...ciaat...ciaaat..." Yara terus berceloteh.

Dia tersenyum bahagia. Ayyara mirip sekali dengan Audra kecil. Rambut hitam yang panjang, lalu mata bulat sempurna yang memancarkan kecerdasan dan keberanian. Tapi jiwa Ayyara lebih bebas. Audra kecil adalah gadis penurut dan sangat pintar. Sedangkan Ayyara sesekali bisa membantah mamanya atau dia sendiri. Generasi jaman sekarang memang sangat berbeda.

"Yara nggak mau les piano atau ballet saja? Jadi seorang lady. Urusan berantem, biar diurus oleh para laki-laki," tanyanya. Dia melirik pada Niko yang sedang menerima panggilan ponsel dan pergi ke belakang.

"Siapa yang jaga mamaku nanti, Opa. Aku harus bisa jaga mama."

Ini saatnya.

Dia berdehem sejenak. "Ayyara sudah tahu soal Om Abimana?"

"Abi yang mana? Abimana." Ayyara terkekeh geli. "Namanya aneh. Aku tahu mama lagi dijodohin sama Opa. Minggu lalu Abi yang mana..."

"Om Abimana, Yara. Jangan kurang ajar," tegasnya.

"Iya iya. Om Abi beliin Yara satu set rumah Barbie yang terbaru." Ayyara tertawa. "Aku bukan anak kecil, Opa. Aku sudah dewasa. Dan Barbie? Really? Oh my God, it is soo yesterday. Outdated, Opa. Aku nggak suka."

"Yara, Om Abi hanya berusaha bersikap sopan dan baik."

"Come on, Opa. Mama nggak cinta Om Abimana. Masa Opa nggak tahu anak Opa sendiri?"

"Yara!"

"Loh, aku serius Opa. Mama nggak cinta Om Abi. Bukannya kalau nikah harus cinta ya? Ya Yara nggak tahu cinta itu apa. Tapi kata Om Mareno dan Om Arsyad begitu."

"Om Abi adalah laki-laki yang sangat baik dan terhormat. Sesuai untuk mama dan akan jadi ayah Yara nanti. Opa sendiri yang pilihkan untuk mama dan Opa pilih yang terbaik."

Tiba-tiba Ayyara menatapnya marah. "Yara nggak tahu urusan orang dewasa. Yang Yara tahu kalau Om Abi akan jadi ayah Yara, harusnya Om Abi datang saat ada penjahat kemarin itu. Harusnya Om Abi bisa lindungi mama dan Yara. Selama ini yang Yara tahu hanya ada Om Niko dan Om Arsyad aja. Atau Om Mareno dan Om Mahendra. Nggak ada Om Abi. Dimana Om Abi yang katanya Opa baik itu?"

"Yara..."

Tubuh Ayyara sudah berdiri. "Pokoknya Ayyara nggak setuju Om Abi menikah dengan mama. Mama Yara cinta orang lain, bukan Om Abimana."

"Duduk, Yara!!"

"Opa nggak bisa paksa-paksa Ayyara kayak Opa paksa mama. Dasar Opa jahat!!" Ayyara sudah menangis dan berlari ke luar restoran.

Salah satu penjaga mengejar Ayyara lalu disusul Niko yang baru kembali dari belakang.

"Nik...Ayyara," dia berteriak cemas. "Cepat, cucu saya. Kejar cucu saya."

"Tolong kembali ke rumah saya akan urus ini," Niko sudah berlari menyusul Ayyara ke luar restoran.

Satu penjaga dan satu perawat pribadinya sudah menghampiri untuk mendorong kursi roda ke luar restoran. Di luar dia melihat Niko baku hantam di ujung jalan dengan tiga orang laki-laki. Wajahnya pucat melihat itu semua. Sudah ada SUV hitam yang dekat dengan posisi Niko dan Ayyara. Mereka sudah diintai dan ditunggu sedari tadi.

"Masuk ke dalam mobil," ujar si penjaga tapi dia bersikukuh ingin pergi ke sana. Menyelamatkan cucunya.

"Om Niko, tolong Yara!!" jerit Yara sambil terus meronta karena Niko dan satu penjaga berusaha melumpuhkan empat orang laki-laki berbaju hitam.

"Pak, anda harus berada di dalam," si penjaga memeperingatkan lagi.

"Saya tidak akan pergi, sialan!! Itu cucu saya." Susah payah dia berdiri dari kursi roda lalu melangkah menuju cucunya yang ditarik paksa.

Tubuhnya yang goyah dipapah oleh si perawat. Dia tidak berdaya. Niko sudah mengeluarkan senjata.

"Tutup mata, Yara!" teriak Niko.

Lalu suara senjata bergema. Penjaga lain yang sudah melindungi tubuhnya sambil menghubungi polisi. Matanya menatap Ayyara yang sudah dipeluk dan digendong oleh Niko sambil dilindungi oleh satu penjaga. Mobil SUV hitam besar tadi sudah pergi menyisakan dua orang tergeletak di jalan, mati.

Niko menurunkan Ayyara yang masih menangis dan berjongkok memeriksa dirinya. "Anda baik-baik saja?"

Jantungnya terasa sakit sekali. "Ayyara, Nik. Ayyara."

"Ayyara aman, Om. Ayo masuk ke dalam mobil. Emir, cepat." Niko dan perawat sudah membantunya berdiri.

Ponselnya berbunyi. Nomor tidak dikenal. Dia mengangkat hubungan itu ketika Ayyara kembali memeluk Niko kuat. Ketakutan seperti dirinya sendiri.

"Halo, calon Ayah mertua." Tubuhnya sudah duduk di kursi roda dan membeku mendengar suara itu. "Audra akan menikah dengan saya, bukan dengan Abimana."

"Manu..sia..sialan!" nafasnya putus-putus. Karena dadanya sakit sekali.

"Nikoooo...Ayyaraa Niiik!!" ada suara Audra berteriak di sana.

Niko sudah merebut ponsel dalam genggamannya saat tubuhnya sudah dibantu masuk ke dalam mobil. Dia bisa melihat lamat-lamat bagaimana Niko berdiri diam dengan wajah sama pucat. Audra diambil pergi. Air matanya jatuh satu. Ini menyesakkan. Mengetahui dia tidak berdaya begini.

"Bawa ke MG!" Niko berujar cepat pada Emir dan memasukkan tubuh Ayyara di sebelahnya yang masih menangis.

"Aku mau sama Om Niko. Mama dimana, Om?" jerit Ayyara.

"Yara, dengar Om. Om harus jemput mama. Mama dalam bahaya. Ayyara jaga Opa di MG dengan Tante Antania. Oke? Jangan menangis." Niko memeluk Ayyara yang masih menangis keras.

"Emir, bawa ke MG segera," ujar Niko menatap Emir di depan.

"Nik..." bisiknya perlahan sambil memegang dada.

"Om, simpan tenaga."

"Bawa Audra pulang. Bawa anak saya pulang dengan selamat," ujarnya tersengal.

Niko menatapnya lalu mengangguk mantap. Entah kenapa dia bisa mempercayai Niko Pratama. Ayyara benar, hanya Arsyad dan Niko yang selama ini menjaga mereka. Mobilnya sudah melaju saat Ayyara mulai menangis lagi.

"Opa, aku takut. Yara nggak mau Om Niko dan Mama kenapa-kenapa. Yara sayang mama dan Om Niko."

Dia memeluk tubuh Ayyara hangat. Sambil terus berdoa.

***

Mobil sedan hitam yang Niko kendarai melaju cepat. Pikirannya terbang pada apa yang terjadi pagi tadi. Dia dan Audra masih sarapan bersama Ayyara. Semua baik-baik saja. Audra bahkan menciumnya hangat sebelum dia berangkat mengantar Ayyara sebelum bekerja.

"Jaga Ayyara, Nik. Apapun yang terjadi, jaga Ayyara." Mereka berdiri di dapur sementara Ayyara sudah menunggu di mobil. Audra mencium bibirnya lembut.

"Jaga dirimu," dia memeluk Audra erat.

"Hey, aku hanya pergi bekerja. Menyelesaikan semua. Sedikit lagi." Audra tertawa. "Jangan pulang malam, oke. I love you."

Mereka berpisah di area dapur setelah dia mencium Audra lagi. Entah kenapa dia enggan sekali pergi dari sisi Audra pagi ini. Seperti merasakan akan terjadi sesuatu. Karena itu dia sendiri yang menjemput Ayyara, bukan Dado. Sementara Martin bersama Audra.

Fokus, Nik. Fokus.

Black glasses dia kenakan cepat. "Angel, calling Mahendra Daud dan Arsyad Daud."

"Menghubungi."

Dalam dua nada sambung keduanya mengangkat.

"Nik?"

"Dia dapatkan Audra, Syad. Bajingan itu mengambil Audra," geramnya menahan seluruh bentuk emosi.

"Oh, God. Kumpul di tempat gue. Gue panggil yang lainnya," ujar Arsyad.

***

"Angel, temukan Audra Daud," Arsyad duduk sambil memperhatikan banyak layar di dinding. Cemas sudah merayap di dada saat Niko memutus hubungan tadi.

"Mencari."

Salah satu ruangan di basement rumahnya sendiri sudah dia ubah menjadi black room yang dulu dia miliki di ADS. Dengan fasilitas sama dan teknologi yang lebih mutakhir. Karena menunggu hingga pembangunan ADS selesai membutuhkan waktu, sedangkan dia tahu bahwa keamanan keluarga tidak bisa menunggu. Setelah Niko memutus hubungan, semua adiknya dia panggil datang.

"Lokasi Audra Daud, ditemukan."

Tubuhnya berdiri dan memeriksa cepat. Kantor Sanggara Buana. Tempat parkir?

"Tracker device sudah dibuang saat Audra dibawa, Angel. Cari rekaman CCTV, hubungi tim ADS yang berjaga di sana."

"Memproses permintaan." Angel berbunyi bip. "Selamat datang Tuan Mahendra Daud dan Mareno Daud."

Adik-adiknya sudah tiba.

"Bang, Audra gimana?" tanya Mareno dengan wajah cemas. "Ayyara aman?"

"Ayyara ada di MG bersama Paman Ardiyanto. Mereka baik. Niko ada di sana saat orang-orang Jodi coba ambil Ayyara."

Mareno menghembuskan nafas lega. Sementara Mahendra sudah duduk dan membuka laptop seperti mengerjakan sesuatu.

"Mahen, respond Angel melambat beberapa hari ini. Ada apa?" tanyanya.

"Ulah hacker-hacker nya Jodi yang nggak terima kemarin gue kerjain. Mereka ngebales, Bang. Gue lagi pulihkan, sebentar. Sorry gue banyak urusan soal pernikahan gue sendiri," jawab Mahendra sambil terus bekerja.

"Temukan Audra, Hen. Sambil menunggu Niko dan Hanif datang," perintah Arsyad yang disambut dengan anggukkan cepat Mahendra.

"Gue dengar soal insiden di butik kemarin, Bang. Jadi Mama sudah ketemu si biang kerok Aryo Kusuma?" Mareno sudah duduk di salah satu kursi.

"Sudah. Edward akan menikahkan Janice," ujar Arsyad.

"Janice setuju?" tanya Mareno.

"Janice terpaksa, Ren. Atau Edward benar-benar akan membuat Aryo Kusuma hilang," ujarnya prihatin.

Mareno diam sejenak. "Kayaknya emang keluarga kita dapet karma soal perempuan, Bang. Lo sadar nggak kalau kita semua susah banget kalau mau ketemu jodoh. Mama dan ayah semua oke. Tapi seluruh situasi berubah sangat sulit waktu kita ketemu pasangan kita. Iya nggak sih?"

"Hhh, gue nggak sempat berteori soal itu." Arsyad menoleh pada Mahendra. "Hen, apa sudah dapat lokasi Audra?"

"Sebentar, Bang. Ada yang aneh dengan Angel. Sebentar..." Mahendra terus mengetikkan sesuatu. Dahinya mengernyit dalam. "Ada pesan yang tertahan. Tadi gue habis reboot systemnya Angel. Semua data dan pesan yang tertunda masuk sekarang. Gue butuh waktu."

Ponsel Arsyad berbunyi. "Ya, Edward?"

"Dimana Janice?" tanya Edward dengan nada panik.

"Apa maksudnya?" dia bertanya balik.

"Kalian sembunyikan Aryo dan Janice? Begitu?" tuduh Edward marah.

"Edward tenang dulu. Ada apa?

Niko dan Hanif sudah tiba. Semua orang menatapnya cemas karena mendengar nada Edward yang panik.

"Jangan main-main, Syad!" maki Edward.

"Kemarin Janice pergi dari butik dan Aryo bersama saya di butik. Aryo tidak bersama Janice. Tenang dulu, Ed. Ada apa?" tegasnya.

Edward menarik nafas panjang. "Saya ke sana dan saya akan cari sendiri. Janice anak saya. Jangan pernah mempengaruhi keputusannya."

Hubungan disudahi.

"Bang, ada apa?" Mareno dan Hanif menatapnya.

"Fokus satu-satu. Audra dulu. Mahendra, apa hasilnya?"

"Gue masih mencari, Bang. System Angel terganggu. Reboot baru selesai."

Angel berbunyi bip. "Pesan dari Nona Janice Katindig."

'DUAR-DUAR!' suara tembakan tiba-tiba membuat mereka terkejut.

"Kirimkan pesan dan kordinat saya pada Arsyad Daud. Pesan pada Arsyad Daud. Saya tertangkap, sepertinya orang-orang Jodi. Semoga saya salah." Ada jeda sejenak dengan suara Janice yang tersengal. "Kirim tanda bahaya. Sekarang."

Lalu terdengar suara tembakan berperedam dua kali. Arsyad sudah memijit dahi dan berjalan mondar-mandir.

Janice dan Audra tertangkap. Bernafas, Syad. Satu demi satu. Pertama, bagi tim.

Matanya menatap adik-adiknya yang sudah berdiri. Hanya Mahendra yang masih sibuk mencari kordinat.

"Ini musim berburu, Bang. Ini musim berburu," dahi Hanif mengernyit dalam. Lalu adiknya itu meloloskan saliva. "Janice adalah buruan musim ini. Sementara Audra adalah hadiahnya."

"Ya Tuhan..." desah Niko sambil mengusap wajah dengan dua tangan.

"Paling enggak kita punya waktu untuk Audra. Mahendra, lacak Janice terlebih dahulu. Setelah selesai berburu, Jodi akan pergi ke tempat Audra yang disembunyikan. Harusnya urutannya begitu."

"Gue yang akan cari Audra. Lo urus Janice, Syad," Niko lagi.

"Bareng gue, Nik," ujar Mareno lalu Niko mengangguk setuju.

"Oke, gue dan Hanif yang akan urus Janice. Mahendra menjadi mata seperti biasa."

"Bang, lo harus bilang soal Aryo Kusuma," Mareno menatapnya.

Hanif sudah bersedekap menunggu penjelasan darinya. Sementara Niko sudah pergi ke luar ruangan untuk bergerak mencari Audra.

"Ada apa, Bang?" tanya Hanif.

"Janice dan Aryo, mereka bersama."

"What?" wajah Hanif benar-benar berubah gusar. "Lo bercanda kan, Bang?"

"Tenang dulu, Nif. Tarik nafas. Paling enggak Aryo nggak ngejar bini lo lagi," ujar Mareno tanpa dosa.

Hanif mendelik marah. "Aryo nggak akan serius dengan Janice. Ini hanya pengalihan saja. Gue tahu bagaimana perasannya buat Faya."

"Bang, Aryo benar-benar serius kali ini. Suer gue nggak bohong. Gue lihat sendiri," tiba-tiba Mahendra angkat bicara.

Hanif menatap mereka bertiga tidak percaya. "Jadi kalian dan Aryo...." Kepala Hanif menggeleng keras.

"Bukan ide gue sumpah. Gue sama bencinya kayak lo, Nif," kelit Mareno.

"Dasar cemen lo," maki Mahendra.

"Gue nggak mau musuhan sama abang sendiri," timpal Mareno lagi.

"Sudah cukup!!" teriak Arsyad tegas lalu menatap Hanif yang sudah berdiri berhadapan dekat dengannya. "Seluruh perasaan marah, lo bisa lampiaskan pada gue nanti. Setelah Janice di sini. Setelah Audra kembali. Dua-duanya harus kembali pulang dengan selamat. Selain itu nggak penting."

"Nggak penting buat lo bukan berarti nggak penting buat yang lain." Hanif mendorong tubuh Arsyad kasar. Nada Hanif naik tinggi sambil menatapnya marah. "Gue udah curiga dari awal soal Aryo. Yang gue nggak ngerti bisa-bisanya lo lindungi dia? Itu Aryo Kusuma. Dia tembak Fayadisa dan Sabiya di depan mata gue!!" nafas Hanif tersengal.

Geraman kesal Arsyad tahan. "Aryo datang dan minta maaf pada semua orang. Aryo belum pergi menemui Fayadisa untuk melakukan hal yang sama karena tahu lo pasti akan marah begini."

"Dia tetap Aryo Kusuma. Apa semudah itu minta maaf kalau kerusakan yang dia buat terhadap keluarga kita terlalu parah? Dia melukai perempuan, Syad. Perempuan. Belum lagi berkali-kali mendekati Faya dengan perilaku kurang ajar. Apa lo lupa, Syad? Hal itu tidak bisa gue maafkan begitu saja." Ada seluruh marah dan kecewa pada dalam mata Hanif.

Arsyad mengerti, sungguh dia mengerti kemarahan Hanif terhadap Aryo Kusuma. Laki-laki itu melukai dua wanita yang paling penting untuknya. "Oke, jangan maafkan Aryo. Lakukan apa yang menurut lo benar, Nif. Gue nggak akan bela siapapun lagi. Lihat sendiri faktanya nanti. Lo adik gue, NIf. Selamanya gue akan selalu berada di belakang lo. Sekalipun gue punya penilaian gue sendiri tentang Aryo Kusuma sekarang." Nada dia tekan tenang. Ingin meredam murka pada mata Hanif. "Apa bisa kita berhenti bertengkar? Ada Janice dan Audra yang butuh kita semua sekarang."

Saliva Hanif loloskan. Adiknya ini berusaha meredam emosi yang tadi sempat terpercik keluar. Masih ada banyak marah dan kecewa. Tapi Hanif selalu menjadi yang paling bijaksana dan paham bahwa kondisi saat ini sedang genting. Jadi Hanif mengatur nafas lalu mengatupkan rahang. Berdiri diam sambil menatapnya.

"Mahen, gimana? Dimana Janice dan Audra?" kepala Arsyad sudah menoleh pada Mahendra yang duduk di depan komputer.

Niko masuk dengan ponsel di tangan. Arsyad meminta Niko duduk dulu mendengarkan Mahendra.

"Oke, gue sudah dapatkan lokasi berburu Jodi dan undangan berburunya. Manusia ini super gila, Bang." Jari Mahendra mengetik cepat. "Ada empat orang dengan Jodi yang jadi peserta. Old fashion style, dengan senjata laras panjang. Tempatnya ada di luar kota. Gue nggak nemu titik pas dimana Janice berada. Area hutan ini terlalu luas. Bagusnya..." Mahendra menatap Arsyad sambil tersenyum kecil. "Ini hutan tempat kita summer camp waktu kecil, Bang. Lo dan Bang Hanif paham benar medannya. Juga Janice. Gue sedang periksa satelit tentang kondisi terbaru."

"Periksa berapa orang yang Jodi turunkan di sana." Lalu Arsyad beralih pada Niko. "Gimana, Nik?"

"Ada tiga tempat yang gue bisa periksa bareng Mareno. Gue akan bawa Martin dan Emir. Lo bawa Felix dan Ram," ujar Niko.

Arsyad mengangguk setuju. "Audra masih punya waktu. Janice yang tidak bisa menunggu. Kita nggak tahu seberapa jauh Janice terluka. Nik, konfirmasi tempat dulu sebelum melakukan penyerangan apapun. Jangan masuk ke dalam perangkap yang Jodi pasang sebelum gue selesai dengan Janice di hutan. Tunggu gue kembali, Nik. Oke?"

"Gue bisa menyelamatkan Audra, Syad. Tolong urus Janice saja. Jangan bebankan semua di pundak lo." Niko diam sejenak menatapnya. "Waktu Audra akan cepat habis saat Jodi tahu lo datang menjemput Janice. Saat itu Audra bisa dipindahkan entah kemana dan akan lebih sulit untuk kita menemukan Audra. Jadi begitu gue tahu Audra dimana, gue akan jemput dia, Syad."

Fakta itu tidak bisa Arsyad abaikan, Niko benar. "Jaga Audra dengan nyawa lo, Nik. Gue tahu Audra bukan saudara buat lo..."

"Syad, gue jatuh cinta sama Audra," ujar Niko tiba-tiba.

Bukan hanya Arsyad, Mahendra dan Hanif menatap Niko tidak percaya. Sementara Mareno terkekeh kecil.

"Seru banget hari ini. Suer seru," Mareno tersenyum geli.

Seluruh perasaan kesal dan marah naik perlahan di kepala. Arsyad berusaha mengontrol itu semua. Apalagi ini? Ya Tuhan.

Niko Pratama diam menatapnya lalu berujar lagi. "Gue serius, Syad. Gue benar-benar jatuh cinta sama sepupu lo itu. Gue akan nikahi...."

"Stop!!" Saliva Arsyad loloskan. "Bukan berarti kalau lo sahabat dekat gue, dan lo bisa lolos dari ini semua mudah, Nik!"

"Bang, itu Niko, Bang. Justru karena Niko bukankah kita harusnya lebih percaya?" ujar Mareno membela.

"Gue nggak ngomong sama lo," sahut Arsyad tegas pada Mareno. Matanya kembali pada Niko. "Kita urus ini nanti, Nik. Sekarang, pergi jemput Audra.

Rahang Niko mengeras menatapnya. "Kalau lo bisa kasih Aryo Kusuma kesempatan, gue percaya lo bisa kasih gue kesempatan. Atau mungkin kita nggak sedekat yang gue bayangkan."

Niko keluar ruangan disusul dengan Mareno. Menyisakan Arsyad, Hanif dan Mahendra.

"Hen, siapkan heli. Gue akan siap-siap." Arsyad menoleh pada Hanif. "Faya sedang hamil, gue nggak mau lo bunuh siapapun, Nif."

Hanif diam saja menatapnya. Masih dengan kemarahan yang dipendam.

Saliva Arsyad loloskan. "Gue harus hubungi Aryo Kusuma. Dia berhak tahu dan gue butuh..."

"Lo nggak butuh dia. Ada gue, Bang. Ada Mahendra." Hanif bersedekap dengan wajah datar. "Selama ini hanya kita."

"Apa yang lo lakukan kalau Faya ada dalam bahaya, Nif? Yang gue ingat dulu lo yang maju paling pertama untuk jemput Faya."

"Semakin lo bilang begitu, semakin nggak paham gue kenapa lo bisa segampang itu lupa dengan apa yang terjadi dulu. Apa perlu gue ingatkan, Syad? Bahwa Aryo Kusuma yang hampir membunuh Leo dan melecehkan Faya, istri gue!"

Satu tangan Arsyad memijit dahi. Hanif adiknya berperasaan sangat kuat, hingga terkadang sulit lupa hal-hal yang buruk dan benar-benar susah memaafkan. Nafas dia hirup panjang, berusaha tidak terpancing dan tenang.

"Nif, salahkan gue karena gue yang memberi Aryo kesempatan kedua. Juga mendukung hubungan Janice dan Aryo. Karena untuk pertama kalinya gue melihat Aryo Kusuma mau memperbaiki diri. Aryo nggak sempurna. Tapi apa kita semua sempurna?"

"Lo bisa ngomong begitu karena bukan Sabiya yang dilecehkan. Apa yang lo lakukan sama Rangga, Syad? Apa?!" Hanif maju mendorong tubuhnya lagi.

"Rangga itu bajingan yang nggak mau berubah!! Aryo nggak benar-benar melukai Faya atau tidak menghargai Faya. Sementara Rangga....Aryo dan Rangga berbeda!!" Emosinya sudah tersulut lagi lalu dia balas mendorong tubuh Hanif.

Mahendra sudah berdiri di tengah-tengah memisahkan mereka.

"Bang, ayolah. Waktu Janice cepat habis. Dalam delapan jam perburuan dimulai. Kalau mau berantem nanti aja, serius," ujar Mahendra.

"Bang Hanif..." Mahendra menatap Hanif sambil memegang pundaknya. "Lo selalu jadi Abang favorit gue. Karena menurut gue lo paling bijaksana. Nggak kaku. Gue sayang lo, Bang. Tapi, gue bisa lihat apa yang Bang Arsyad bilang benar. Aryo benar-benar cinta Janice dan Aryo mau berubah. Gue lihat sendiri, Bang." Saliva Mahendra loloskan. "Lo bisa benci Aryo terus, silahkan. Tapi biarkan dia menyelamatkan wanita yang paling berharga untuk dia. Or at least die trying."

Hanif bungkam lalu berjalan ke luar ruangan.

"Thanks, Hen," ujar Arsyad pada adiknya.

"Gue bicara fakta, Bang. Nggak berniat bela siapapun." Mahendra sudah membereskan laptop. "Gue siap-siap ya. Empat jam lagi kita berangkat."

Arsyad mengangguk lalu Angel berbunyi lagi.

"Selamat datang, Tuan Edward Katindig."

Nafas dia hirup panjang lagi. Oh, ini akan berlangsung seharian.

***

Keseruan masih akan berlangsung. Stay tune.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro