Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 37

Kantor Ibrahim Daud.

Ibrahim bersyukur salah satu menantunya adalah seorang dokter. Jadi dia bisa menyelidik tanpa harus melibatkan anak-anaknya langsung. Gerak-gerik Edward benar-benar mencurigakan. Sekalipun sebenarnya itu bukan alasan utama kenapa dia khawatir begini. Rasa cemasnya saat ini lebih kepada kondisi kesehatan Edward sendiri. Mereka bepergian beberapa kali dan Edward seperti menutupi sesuatu.

"File-file Edward dikunci dengan akses khusus. Hanya dokter Reyn yang bisa membuka file-file itu, Ayah," ujar Tania melalui ponsel.

"Saya bisa minta Reyn catatannya," sahutnya.

"Sayangnya nggak segampang itu. Kami para dokter disumpah untuk menjaga kerahasiaan pasien kami. Apalagi jika pasien itu meminta secara khusus," jelas Tania.

Nafas dia hela. Bagaimana caranya untuk mengetahui apa yang Edward berusaha tutupi, dia bicara sendiri.

"Tapi Ayah, aku punya cara lain."

"Apa?"

"Kalau sudah ada hasil aku baru akan memberi tahu. Ayah hanya ingin informasi kondisi kesehatan Edward kan?"

"Ya."

"Baik, aku akan dapatkan informasi itu. Beri aku tiga hari."

"Terimakasih, Sayang. Jangan terlalu lelah, kamu sedang hamil. Mareno selalu menjemputmu kan?"

Tania tertawa kecil. "Iya, Ayah. Terimakasih. Salamku untuk Mama."

"Assalamualaikum," tutupnya mengakhiri panggilan mereka.

Pintu ruangan diketuk lalu laki-laki yang dia bicarakan tadi dengan Tania masuk ke dalam ruangan.

"Selamat siang, Tuan," sapa Edward.

"Oh Siang, Edward. Ada apa?"

Tubuh Edward terlihat lebih kurus, wajah Edward juga sedikit pucat.

"Apa kamu baik-baik, Edward? Kamu terlihat sedikit pucat," tanya Ibrahim.

"Jangan khawatirkan saya, saya baik."

"Saya harus mengkhawatirkan kamu karena kamu adalah bagian dari keluarga Daud," ujarnya.

"Tuan, jika anda benar-benar mengkhawatirkan saya, apa saya bisa minta tolong sesuatu?" tanya Edward tiba-tiba.

"Apa Edward?" tubuhnya sudah berdiri dan berhadapan dengan Edward.

"Saya ingin menikahkan Janice, tolong bantu saya untuk menjadi saksi nikahnya."

Rasa terkejut Ibrahim tidak bisa tutupi. "Janice? Menikah? Dengan siapa?" Dia memberi jeda. "Silahkan duduk dulu, Edward. Maaf saya benar-benar terkejut."

Tubuh Edward duduk di sofa tengah ruang kerjanya. Dia sendiri sudah menempatkan diri berhadapan dengan Edward., mendengarkan dengan seksama.

"Sebelumnya saya ingin minta maaf karena saya lancang. Saya ingin pernikahan Janice cepat diadakan. Sederhana saja, tidak perlu pesta. Tapi tetap saja semua syarat dan aturan akan terpenuhi. Mungkin pernikahan ini akan lebih dulu daripada pernikahan Tuan Muda dan Nona Alexandra. Jika anda tidak keberatan."

Dahinya berkerut. "Tentu saja saya tidak keberatan, Ed. Tapi saya merasa ini terlalu terburu-buru. Saya nggak pernah dengar kabar kalau Janice punya pacar, atau mungkin saya nggak tahu." Dia diam sejenak tidak mau menyinggung perasaan Edward. "Intinya adalah saya turut berbahagia selama kamu dan Janice bahagia. Siapa calon suami Janice? Boleh saya tahu?"

"Salah satu anak dari kolega saya yang bisa saya percaya."

"Ed, kamu menjodohkan Janice?"

"Ya."

"Saya tidak bermaksud ikut campur, tapi apa Janice akan bahagia kalau dijodohkan begitu? Saya bahkan tidak berani bilang apapun pada anak-anak saya soal pasangan hidup. Hanya menyetujui pilihan mereka saja."

"Anak-anak anda memiliki pasangan yang sempurna. Mereka memilih dengan sangat baik."

"Karena mereka menggunakan hati mereka, Ed. Mereka jatuh cinta. Seperti saya dan Trisa. Apa kamu yakin Janice bisa mencintai laki-laki pilihan kamu ini?"

"Nanti, pada akhirnya. Saat ini cinta tidak relevan lagi."

"Ed, kamu sangat mencintai Elise hingga masih sendiri sampai saat ini. Dulu kalian bahagia. Saya lihat sendiri itu semua. Ayahmu tidak menjodohkanmu dengan paksa. Iya kan? Apa adil kalau Janice tidak diberi kesempatan untuk memilih?"

"Ini yang terbaik untuk Janice."

"Sudahkah kamu bertanya pada Janice?"

"Belum. Dia akan menuruti saya."

Nafas dia hela. Edward selalu keras kepala. Kemudian dia ingat permintaan Sabiya dan Arsyad padanya beberapa waktu lalu. Agar mengajak Edward pergi dinas ke luar kota. Saat itu dia merasa ada sesuatu yang salah. Tapi dia diam saja. Apa ini ada hubungannya?

"Saran saya, pikirkan dengan baik, Ed. Pernikahan bukan hal main-main karena ini akan menyangkut kehidupan seseorang, dan orang itu anakmu sendiri. Jangan terburu-buru. Atau kamu punya alasan kenapa kamu terburu-buru?"

Edward menatapnya datar.

"Ed, apa kamu sakit?" Ibrahim menatap Edward seksama.

"Ya, umur saya tidak akan lama lagi. Saya ingin seseorang bisa menjaga anak saya dan meneruskan kewajiban keluarga Katindig dan terus menjaga keluarga anda."

"Saya tidak peduli dengan hal itu. Saya tidak minta dijaga lagi. Kamu boleh berhenti, Janice boleh berhenti. Hiduplah yang normal di luar sana. Kalian keluarga kami, bukan penjaga kami lagi. Apalagi tahu kamu sedang sakit begini," ujarnya mulai kesal.

"Maaf, itu bukan keputusan anda."

"Ya Tuhan, Edward," tanpa sadar dia mendengkus kesal. "Apa ini karena ginjal sialan itu? Saya menyesal memberikan ginjal saya karena dengan begitu kamu mengikatkan diri pada keluarga saya dan selalu bersikap kaku sekali. Kamu sudah saya anggap seperti kakak saya, Ed. Seperti Ardiyanto untuk saya. Kenapa kamu keras kepala sekali?"

Lagi-lagi Edward bungkam, hanya menatapnya datar dan kaku. Selalu seperti itu. Dia seperti bicara pada batu. Emosi dia atur lagi.

"Baik, saya mendengar permintaanmu. Saya akan menjadi saksi nikah Janice. Kapan rencananya?" tanyanya.

"Tiga hari lagi," jawab Edward.

"Secepat itu?" udara Ibrahim keluarkan perlahan. Lalu dia menghirup nafas lagi. "Oke, tiga hari lagi."

"Terimakasih, Tuan. Tempat acara saya akan informasikan menyusul. "Saya pamit dulu."

Kepalanya hanya mengangguk kecil lalu menatap punggung Edward saat laki-laki yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri itu ke luar ruangan.

***

Enchanted Boutique.

Butik Sabiya terlihat mewah dan anggun persis seperti pembawaan wanita itu sendiri. Sabiya adalah wanita paling berani yang pernah Aryo kenal. Faya dan Janice boleh memiliki seluruh kemampuan bertarung dan kekuatan. Sedangkan Sabiya yang dia tahu adalah wanita anggun yang bahkan tidak pernah memegang senjata. Sabiya juga hidup di dalam keluarga yang hangat dan nyaman. Sebelumnya dia berpikir dengan begitu Sabiya akan mudah sekali diancam.

Tapi bahkan saat dia menodongkan senjata dulu pada wanita itu, Sabiya tidak bergeming sedikit pun. Bersikukuh tidak mau membocorkan tempat pernikahan Hanif dan Faya padahal Sabiya tahu taruhannya adalah nyawa. Istri dari Arsyad Daud ini memang sangat istimewa. Kekuatan hati yang tidak ditunjukkan oleh kekerasan, tapi dengan anggun sikap dan kecerdasan emosional.

Aryo berdiri lagi di ruang tunggu. Persis seperti dulu ketika dia masih sangat emosi dengan berita pernikahan Hanif dan Faya. Seorang wanita bernama Esther keluar dari dalam dan langsung berwajah pucat ketika melihatnya.

Oh ayolah, gue cuma pakai kaus dan jins santai. Kenapa dia ketakutan sih?

Senyumnya mengembang lalu dia melepas kacamata hitamnya. "Halo, selamat pagi. Apa Sabiya ada?"

Esther mundur satu langkah masih dengan wajah pucat.

"Tunggu dulu, jangan takut dulu. Saya nggak bawa senjata, serius." Aryo memutar tubuhnya bahwa sungguh dia tidak membawa apapun kecuali ransel hitam yang dia letakkan di meja.

"Esther, ada siapa?" suara Sabiya dari arah dalam.

"Mba Biya jangan ke si..."

Sabiya sudah muncul lalu berdiri terpaku menatapnya. Ekspresi Sabiya datar, seolah berusaha mencari tahu apa niatnya datang ke sini.

"Hai, Bi," dia tersenyum lagi. Apa senyumnya aneh karena Sabiya masih tidak bereaksi.

"Masuk ke dalam Esther."

Esther berlalu cepat masuk ke dalam ruangan. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak delapan langkah. Di antara meja ruang tunggu.

"Selamat pagi, Biya," sapanya lagi.

"Pagi. Ada perlu apa ke sini?" Sabiya berdiri dengan sikap tenang. Persis seperti yang dia ingat dulu.

"Salah satunya menganggumi butik kamu yang bagusnya sudah di renovasi dan terlihat jauh lebih baik dari terakhir saya ke sini," nafas dia hela lalu dia melihat ke sekeliling, mencoba mencairkan suasana.

"Saya tidak akan berterimakasih soal itu."

"Saya nggak berharap kamu berterimakasih pada saya." Langkah dia hentikan lalu dia menatap Sabiya lagi. "Saya lihat kamu sudah sangat sehat."

"Tiga puluh menit dari sekarang saya sudah memiliki janji temu. Apa kamu bisa langsung ke intinya saja?" ujar Sabiya.

Dia bernafas panjang lagi kemudian berdiri tenang dan menatap Sabiya yang sama sekali tidak takut dengannya. Bagus, dia tidak ingin ditakuti.

"Saya ingin minta maaf. Saya bersalah," kalimat itu dia tekankan perlahan.

"Atas?"

"Saya..." saliva dia loloskan. "Saya benar-benar tidak bermaksud menembakmu dulu. Saya sedang gila saat itu, tergila-gila pada wanita yang salah. Saya hanya ingin mengancam jadi kamu memberi tahu tempat pernikahan Faya. Tapi saat Arsyad menyerang, saya tidak sengaja menarik pelatuknya."

Pandangan Sabiya lekat menatapnya. Ekspresi datar Sabiya membuatnya merasa makin bersalah.

"Intinya saya minta maaf. Saya benar-benar menyesal karena sudah menyakiti kamu," ada kelegaan saat mengucapkan kalimat itu.

Pintu butik yang terbuka berdenting. Ada seseorang yang masuk tapi mereka tetap berdiri berhadapan dan diam. Mata Sabiya terus menatap manik matanya. Sementara dia sudah bisa menghirup wangi tubuh khas Arsyad Daud. Laki-laki itu berdiri di belakangnya, mengawasi dalam diam.

"Apa kamu mau memaafkan saya?" lanjutnya lagi.

Tanpa dia duga Sabiya berjalan menghampirinya cepat, lalu...'PLAK-PLAK!'

"Auw..." Sabiya mengibaskan tangan yang barusan saja melayang dan mendarat di pipinya. Sabiya menamparnya. "Itu karena sudah menembakku dan selalu berusaha membunuh abang-abangku dulu."

Tangan masih Sabiya kebaskan dan itu membuat Aryo terkekeh geli. "Wow, pukulan kamu kuat juga. Tapi kamu lebih cocok tersenyum dan tertawa. Galak itu bagiannya Faya dan Janice aja. Bukan kamu."

"Jangan ngerayu istri gue, Bodoh." Arsyad masih berdiri di belakangnya.

"Ya bini lo galak banget ternyata," kekehnya sambil memasukkan dua tangan ke kantung celana. "Pukul saya lagi, Bi. Saya pantas dapatkan lebih banyak dari itu."

Sabiya menatapnya lagi. Mereka sudah berdiri berhadapan dekat sekali. Lalu dia bisa melihat Sabiya menghembuskan nafasnya. Lagi-lagi dia tidak menduga kalau Sabiya akan mendekatinya dan memeluk tubuhnya.

"Kamu persis seperti Fayadisa. Dulu, pasti hidupmu keras sekali. Apalagi saya tahu bagaimana sikap Paman Herman. Saya turut berduka cita atas kehilanganmu. Tommy, ibumu, ayahmu. Pelukan ini karena kamu sudah menyelamatkan suami saya. Jangan kembali ke jalan itu. Lalu saya akan dengan senang hati memaafkanmu."

Dia kehabisan kata-kata. Hanya diam membeku karena tidak mengira dengan kejutan sikap Sabiya. Pelukan wanita ini terasa tulus sekali, seperti pandangan mata Alexandra padanya, atau sikap tegas Antania. Di balik seluruh kemarahan mereka padanya dulu, api dendam mereka sudah padam. Diganti dengan ketulusan dan kesempatan yang terbuka lebar. Saat dia sadar dia balas memeluk Sabiya hangat.

"Terimakasih, karena sudah menolong saya kemarin. Alexandra bilang pada saya bahwa kamu membantu."

Arsyad berdehem ringan lalu Sabiya melepaskan pelukan mereka. "Bi, harusnya kamu nggak peluk Aryo depan aku." Tubuh Arsyad sudah berdiri di sisi Sabiya.

Dia tertawa kecil. "Kalian parah banget cemburuannya. Kalian semua."

Nafas dia hela, dia dan Arsyad berdiri berhadapan. Ini kali pertama dia melihat Arsyad setelah laki-laki ini menyelamatkannya.

"Apa kabar?" tanya Arsyad.

"Gue? Baik, Syad. Males nggak sih basa-basi gini. Gue udah tepati janji."

"Masih kurang satu, adik gue. Hanif," ujar Arsyad.

"Ck aaah...yang lain deh. Siapa aja tapi jangan Hanif. Dia nggak akan maafin gue, Syad," kelitnya.

Arsyad tertawa kecil. "Bagus, jadi lebih menantang kan?"

Pintu butik berdenting lagi. Mereka bertiga menoleh dan sudah ada Trisa Daud, Alexandra dan Janice masuk dari arah pintu. Matanya menatap Janice yang hanya melihat lurus ke depan, tidak balas menatapnya.

"Assalamualaikum, anak-anak Mama," Trisa Daud tersenyum lebar melihat mereka bertiga satu per satu. Pandangannya teralih dari Janice karena Trisa Daud melangkah mendekatinya. "Ah, akhirnya Mama bisa bertemu dengan seseorang yang menyelamatkan Mama dulu dengan Tommy. Juga menyelamatkan anak Mama, Arsyad. Halo Aryo, apa kabarmu?"

Dia bingung karena Trisa Daud sudah memeluknya hangat. Wajah bingungnya membuat Arsyad terkekeh dan Alexandra tertawa geli.

"Halo...Tante..." ujarnya terbata-bata dan membalas pelukan Trisa dengan canggung.

Trisa melepas pelukan mereka lalu mendongak menatap matanya. "Panggil saya Mama. Bukan Tante."

Karena sangat canggung dia berdehem ringan. "Ini sangat aneh."

"Apa kamu sehat? Antania bilang kamu terluka parah," Trisa menggenggam lengannya dan memintanya duduk di sofa. Sementara Trisa duduk di sebelahnya masih sambil menatapnya hangat.

Sungguh dia tidak mengerti kenapa jadi begini. Ini benar-benar membingungkan. "Saya...sehat."

Sabiya, Alexandra dan Janice masuk ke dalam butik. Menyisakan dia, Arsyad dan Trisa Daud yang duduk di sofa.

"Kamu kelihatan kaget?" tanya Trisa sambil tersenyum kecil.

Tidak ada kemarahan sama sekali. Tatapan dan genggaman tangan Trisa pada satu tangannya benar-benar terasa...entah. Dia tidak pernah diperlakukan sebaik ini seumur hidupnya dengan orang yang baru pertama kali dia temui secara langsung. Ya, karena biasanya Herman meminta dia mengintai Trisa diam-diam. Jadi ini bukan kali pertama dia melihat Trisa. Tapi tetap saja, sikap Trisa padanya aneh sekali.

"Saya..." nafas dia hembus lagi "Saya nggak terbiasa dengan jenis sikap ini. Anda baik sekali, saya tahu itu sudah lama. Tapi berhadapan langsung dengan anda, rasanya berbeda."

"Kamu akan terbiasa." Tangan Trisa menepuk lengannya lalu melepaskan genggaman tangan mereka.

"Maaf, tapi saya bukan orang yang baik. Perbuatan saya dulu..."

Trisa tertawa dan memotong kalimatnya. "Jangan terjebak pada masa lalu. Saya selalu yakin, tidak ada satu orang pun yang terlahir jahat. Dan yang saya hitung adalah tindakanmu selanjutnya. Bukan apa yang kamu lakukan kemarin dulu terhadap anak-anak saya. Walaupun Arsyad tidak memberimu kesempatan, saya yang akan memberimu kesempatan. Apa kamu mau berubah, Aryo? Hanya menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Satu demi satu, perlahan-lahan."

Saliva dia loloskan. Aura Trisa Daud yang memancar benar-benar terasa hangat dan tulus. Itu membuatnya sangat gugup. Tiba-tiba dia tidak ingin mengecewakan wanita baik hati ini.

"Ya, saya mau. Apa anda bisa berhenti tersenyum tulus begitu? Itu membuat saya...apa ya. Saya seperti iblis yang sedang bertemu malaikat. Jadi saya malu sendiri," matanya tidak berani menatap Trisa.

Kemudian Trisa tertawa. "Kamu pandai bergurau. Seperti Herman."

Arsyad juga tertawa dan dia menatap Arsyad kesal sekali. "Kenapa lo juga ketawa?"

"Kapan lagi gue ngeliat lo begini." Arsyad tambah tertawa.

"Hey hey, minggir. Kenapa lo duduk dekat-dekat Mama gue?" Mahendra muncul dari arah pintu lalu langsung menarik tubuhnya berdiri.

"Halo, Sayang. Alexa sudah di dalam," Trisa Daud menatap Mahendra yang sudah duduk di sebelahnya.

Dia berdiri sambil menggelengkan kepala kesal. "Dasar manja."

"Ma, jangan deket-deket dia. Nanti Mama ketularan jadi tukang marah-marah dan usil, dan narsis. Kayak siapa ya?" Mahendra mencium pipi Trisa.

Dia hanya menatap Mahendra kesal.

"Oh iya, Syad. Edward kemarin ke kantor ayah," ujar Trisa tiba-tiba.

Kepalanya langsung menoleh menatap Arsyad yang sama tidak mengertinya.

"Untuk?" tanya Arsyad.

"Mumpung kamu dan Mahendra ada di sini. Edward minta ijin untuk menikahkan Janice lebih dulu. Dua hari lagi."

Aryo membelalak terkejut. "Gimana maksudnya?"

Arsyad sudah berdiri dan menahan lengannya karena dia ingin maju. "Sabar dulu, Yo. Ada mama di sini," bisik Arsyad.

"Maaf, apa maksud Tante Janice akan menikah dua hari lagi?" tanyanya masih tidak percaya.

"Ya, kata Edward begitu. Ayah Ibrahim sudah berusaha membujuk Edward agar tidak terburu-buru. Tapi keputusan Edward sudah bulat. Kami tidak bisa ikut campur," jawab Trisa sambil memandang penuh selidik.

Emosi mulai merayap naik membakar dadanya. Ya Tuhan, tidak boleh begini. Dia datang dengan niat baik. Situasi sudah mulai baik. Jangan berakhir begini.

Kontrol emosi lo, Yo.

"Aryo, ada apa?" tanya Trisa.

"Tahan emosi, Yo. Ada Mama di sini," Arsyad mengingatkan lagi.

Susah payah dia menekan nada. Agar kata-kata dan intonasinya tidak menyakiti Trisa. Saliva dia loloskan. "Saya yang akan menikahi Janice nanti. Saya tahu Edward tidak setuju. Tapi saya tidak akan biarkan Janice menikah dengan orang lain kecuali saya."

Wajah Trisa terlihat terkejut juga.

"Maaf, saya benar-benar kaget dan saat ini sangat emosi. Saya harus bicara dengan Janice di dalam."

Kemudian satu penjaga yang tadinya berada di luar butik sudah masuk dan menatapnya tegas.

Siaaal, Edward pasang penjaga dan gue nggak mau baku hantam di depan Trisa Daud, rutuknya dalam hati.

Arsyad langsung berdiri di tengah antara dia dan penjaga itu.

"Kamu tidak boleh bertemu Janice lagi. Itu perintah Edward," ujar si penjaga.

"Mahendra, bawa mama masuk ke dalam," ujar Arsyad tenang.

Mata Arsyad menatapnya dalam. "Nggak di sini, Yo. Nggak di sini. Kendalikan emosi lo. Ada banyak wanita di dalam."

Rahangnya mengatup perlahan. Dua tangan sudah terkepal kuat, menahan segala bentuk kemarahan yang tiba-tiba datang. Janice akan menikah? Sampai mati dia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Janice.

"Aryo, temui Janice di dalam," ujar Trisa kali ini sambil berdiri berhadapan dengan si penjaga.

"Maaf, Nyonya..."

"Ini butik milik anak saya. Kondisi kesehatan saya sedang tidak baik, apa kamu mau membuat keributan di sini dan membuat saya mati karena jantungan, anak muda?" tegas Trisa.

Si penjaga ingin menggeser tubuh Trisa tapi Mahendra bereaksi.

"Jangan berani sentuh mama gue. Atau lo dapat akibatnya, paham?" Mahendra sudah menangkap lengan si penjaga sambil menatap laki-laki itu dingin.

Cepat-cepat dia berbalik menuju bagian dalam butik, membiarkan Arsyad, Trisa dan Mahendra menahan penjaga itu untuknya.

***

Sedari tadi Janice berdiri di luar ruang ganti. Dia tidak menyangka bertemu Aryo di tempat ini, sekalipun tahu bahwa Aryo sudah diperbolehkan pergi sejak dua hari yang lalu. Mahendra bilang Aryo langsung ke luar saat itu juga. Tapi sejak itu Aryo belum menemuinya.

Alexandra sedang fitting terakhir gaun pengantin dibantu dengan Amy dan Sabiya di dalam ruang ganti. Tubuh dia posisikan hingga dia bisa mendengar apa yang terjadi di ruang tunggu. Saat Aryo, Trisa Daud, Arsyad dan Mahendra mengobrol hatinya terasa tenang dan hangat. Paham benar satu demi satu pintu terbuka untuk Aryo Kusuma. Laki-lakinya itu tidak akan sendiri lagi. Aryo punya keluarga yang peduli padanya saat ini.

Kepala Janice menunduk dalam, mengingat perintah ayah padanya semalam. Dia akan dinikahkan, dua hari dari sekarang. Posisinya yang terjepit antara ketidak setujuan ayah dengan sikap Aryo yang keras kepala sungguh membuat semua menjadi lebih sulit lagi. Ayah tidak akan berhenti, Aryo juga tidak akan berhenti. Ini semua benar-benar melelahkan.

Untuk pertama kali dia tidak punya solusi. Karena jika dia menolak pernikahan itu, Aryo akan tetap terus mengejarnya. Lalu ayah akan murka lagi dan keselamatan Aryo yang selalu jadi taruhan. Dia tidak mau itu terjadi. Tapi menikah dengan laki-laki asing? Hhhh....dia benar-benar meragukan kemampuannya perihal itu.

Keributan di ruang tunggu membuat telinganya siaga. Tanpa sengaja Trisa memberi tahu kedatangan Edward kemarin pada Arsyad dan Mahendra. Aryo sudah berdiri dengan wajah murka. Lalu satu penjaga yang ayah sewa sudah menghalangi. Ada rasa sakit yang berdenyut nyeri. Apa cinta selalu sulit begini? Kenapa dia tidak bisa melupakan Aryo Kusuma, jadi bisa dengan mudah mendorong Aryo pergi.

Janice mundur dua langkah paham benar Aryo akan masuk ke bagian dalam butik dan menemuinya. Tablet dia letakkan di meja.

Tenang, Jen. You got this.

Sosok Aryo sudah berdiri di hadapannya dengan seluruh emosi yang seperti mau meledak. "Kita pergi dari sini. Sekarang."

Kepala dia gelengkan keras. "Kita bicara, ikut saya."

Dia membawa Aryo menuju salah satu ruangan tertutup setelah meminta dua karyawan pindah sementara. Pintu dia tutup lalu mereka berdiri berhadapan lagi. Seluruh rasa yang Aryo punya dia bisa rasakan melalui tatapan mata hitam laki-laki itu. Dia mengerti bagaimana rasanya karena dia merasakan hal yang sama.

"Kapan kamu tahu soal pernikahan kamu sendiri?" Aryo memulai dengan nada yang ditahan.

"Semalam."

"Kita pergi dari sini. Menjauh, lari. Atau saya bisa menyakiti siapapun orang yang akan membawamu pergi."

"Saya tidak suka berlari."

"Jadi apa?" Tubuh Aryo mulai bergerak-gerak gusar. "Saya tidak mau menyakiti siapapun lagi. Edward atau calon suamimu. Saya ingin berhenti."

"Bagus. Akhirnya kamu punya tujuan baru, menyadari bahwa keluarga Daud berada di sisi kamu. Saya sangat bahagia untuk kamu, Yo."

"Saya tidak bahagia!!" Aryo membentaknya. "Lebih baik saya kembali seperti dulu. Sendirian di jalan dan menjadi Kusuma saja. Kalau ternyata memiliki darah Daud akan membuat saya tidak bisa memiliki kamu!! Kenapa kamu nggak ngerti?"

Seluruh pahit rasa dia telan perlahan. Mulutnya tetap bungkam.

"Jangan berikan saya tatapan itu!! Demi Tuhan saya tidak akan mau berpisah denganmu."

"Saya sudah setuju untuk menikah..."

'BRAK!!' tangan Aryo menghantam salah satu meja di sana. "Jangan permainkan perasaan saya. Tolong jangan. Cukup Fayadisa saja." Nafas Aryo tersengal menahan seluruh emosi. Mata Aryo menatapnya dalam.

"Rencanamu payah sekali, Jen. Sangat payah. Lari dari saya? Berharap saya percaya bahwa kamu mau menikahi yang lain?"

"Dengan begitu kamu akan berhenti."

"Siapa bilang?" Tubuh Aryo mendekatinya perlahan. Mereka berdiri dekat sekali. "Saya bersumpah jika kamu nekat menikah, saya akan selalu ada di dalam kamarmu dan suami barumu. Saat dia ingin menyentuhmu, saya akan mematahkan satu demi satu jari tangannya. Sialnya saya sudah berjanji pada Alexandra untuk tidak membunuh lagi. Tapi menyiksa laki-laki yang menyentuhmu, saya masih bisa."

Aryo tidak main-main dengan ancamannya.

"Jadi, Jen. Menikah sana. Jadilah istri orang lain. Tapi kamu tetap akan tidur dengan saya setiap malam, selama-lamanya." Aryo mendekat dan berbisik di telinganya. "Saya bahkan akan menghamilimu. Suamimu akan saya jadikan boneka, agar Edward tidak tahu bahwa sebenarnya kita berhubungan. Rencana saya lebih bagus kan, Jen?"

Janice memilih tetap diam, tidak bergeming sekalipun hatinya terasa hancur. Dia ingin Aryo berpikir bahwa dia adalah wanita yang tidak punya hati. Dengan begitu Aryo akan membencinya, lalu Aryo akan pergi. Hidup bebas lagi di luar sana bersama kawanannya. Sementara dia akan berada di penjara yang sama. Dia akan pikirkan nanti bagaimana cara membebaskan diri juga. Tapi paling tidak laki-laki yang dia cinta selamat dari murka ayahnya.

"Apa kamu masih mau menikah dengan orang lain?" tanya Aryo lagi.

"Masih. Apapun yang terjadi di antara kita sudah cukup sampai di sini. Selamat tinggal, Aryo Kusuma."

Pintu dia buka cepat saat satu tangan Aryo sudah menahan lengannya. Ada Arsyad berdiri di depan pintu menatap Aryo seperti memperingati.

"Lepaskan Janice, Yo. Tenangkan diri lo. Sabar dulu," ujar Arsyad.

Aryo mendengkus lalu membalas dengan suara datar. "Seperti lo yang sabar waktu Sabiya nikah dengan Rangga dulu? Tapi terus apa, Syad? Lo bunuh Rangga pada akhirnya. Bukan begitu?"

Rahang Arsyad mengeras.

"Lo pikir cuma lo yang tahu asal-usul banyak orang? Gue tahu semua tentang musuh terbaik gue, Syad. Karena itu gue tahu lo cinta Sabiya dari awal," lanjut Aryo.

"Menahan Janice sekarang tidak akan membuat Edward berhenti, Yo. Bukan begini. Tenang dulu," nafas Arsyad hirup panjang.

Genggaman tangan Aryo dia lepaskan cepat saat tahu fokus Aryo terganggu dengan Arsyad. Dia segera berjalan keluar dari tempat itu sementara Arsyad menahan tubuh Aryo yang ingin mengejarnya. Di ruang tengah dia pamit terburu-buru pada Trisa Daud. Wanita itu menatapnya prihatin tapi kemudian mengangguk.

"Liburlah dulu, Jen. Tenangkan diri sebelum membuat keputusan apapun," pinta Trisa padanya.

"Terimakasih, Ma. Saya pamit dulu."

Si penjaga sudah membuntutinya yang ingin masuk ke dalam mobil.

"Jaga Aryo agar tidak mengikuti saya. Lakukan apa saja untuk menghentikan dia. Saya ingin sendiri. Ayah tahu saya ada dimana."

Laki-laki itu mengangguk lalu berjaga di depan butik. Dia masuk ke dalam mobil dan mengenakan kacamata hitamnya. Mesin mobil dia hidupkan dan pedal gas dia injak dalam. Rasanya sesak, sakit sekali seperti tidak ada udara. Seluruh bayangan Aryo yang terluka lalu wajah pucat ayah yang memintanya baik-baik semalam bercampur menjadi satu. Karena itu dia ingin menjauh dulu, berkendara dengan dirinya sendiri. Menenangkan diri.

Jangan cengeng, Jen. Jangan menangis.

Kenyataannya dia sudah menangis terisak sambil terus berkendara. Aryo harus hidup, karena dia tidak bisa hidup jika Aryo Kusuma tidak ada. Tapi ketika dia memilih itu, dia tahu dia harus membunuh hatinya sendiri. Karena sudah menyakiti Aryo berulang kali. Karena terpaksa meninggalkan satu-satunya laki-laki yang pernah dia cinta.

Bukan cuma itu. Tapi permintaan ayah yang bercampur dengan kondisi kesehatan ayah yang makin turun membuat dia berpikir ulang. Bagaimanapun ayah keras mendidiknya, ayah tetap menyayanginya. Dia tetap menyayangi ayah. Semalam ide menikah tidak terlalu buruk mengingat itu semua. Tapi sekarang? Sungguh dia ingin membunuh dirinya saja karena hantaman rasa nyeri yang tidak mau pergi.

Tanpa terasa sudah satu jam dia berkendara. Dia sudah tiba di jalan bebas hambatan menuju luar kota. Air matanya masih terus meluncur. Fokusnya terganggu. Jadi ketika salah satu ban belakangnya meledak hingga mobilnya terangkat dan berputar, dia tidak sempat bereaksi.

Refleks dua tangan sudah melindungi kepala. Air bag membuka melindungi Janice dari hantaman bagian depan dan samping. Dunia berputar dan terasa membingungkan. Semua terjadi cepat sekali. 

Denging pada telinga membuat dia kesulitan berkonsentrasi. Ditambah lagi posisinya yang duduk terbalik di kursi supir dengan seat belt terpasang karena ledakan tadi. Jam tangan dia goyangkan hingga benda itu mengeluarkan jarum panjang untuk menusuk air bag mobil yang sudah mengembang. Berhasil. Kemudian dia bisa merasakan bahu kanan yang terkilir.

Matanya melihat tiga pasang kaki keluar dari sebuah SUV besar hitam.

"Ingat perintahnya. Jangan dibunuh," suara salah satu orang bisa dia dengar.

"Angel..." kacamata dia ketuk dua kali. Satu tangan mendorong kuat bahunya sendiri agar kembali ke posisinya. 'KRETEK' suara engsel yang kembali pada tempatnya bisa dia dengar. "Hrrrghhhh...." Nafasnya tersengal menahan sakit. Dia harus bergerak cepat.

"Ya, No...na. Si..nya...tergang..gu."

'DUAR-DUAR.' Engsel pintu mobil di tembak tiga kali.

"Kirimkan pesan dan kordinat saya pada Arsyad Daud. Pesan pada Arsyad Daud. Saya tertangkap, sepertinya orang-orang Jodi. Semoga saya salah." Tangannya meraih dashboard mobil untuk mengambil senjata. "Kirim tanda bahaya. Sekarang."

Senjata itu jatuh tapi tubuhnya sudah ditarik keluar dengan paksa. Ah, Sial. Sudah ada dua orang yang menariknya tadi juga empat orang lain yang menodongkan senjata. Dia mendorong dua laki-laki itu kasar lalu berdiri dengan susah payah. Ada darah yang menetes dari dahi dan dia abaikan. Matanya memindai cermat.

Profesional berseragam dengan senjata lengkap. Hhhh...Jodi Hartono.

"Cepat selesaikan," ujar salah satunya.

Lalu dua peluru sudah bersarang di pundak dan tangannya. Tubuhnya ditangkap seseorang sebelum dia menutup mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro