Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 36

Selalu ada banyak campuran rasa ketika mereka bertemu. Dulu di tempat Arsyad, lalu perjalanan mereka, kemudian saat ini. Janice berpikir sedikit demi sedikit rasa itu akan pergi, pudar. Apalagi tahu banyak rintangan yang menghadang. Dia juga berpikir bahwa melupakan seseorang yang dia cinta akan semudah saat dia jatuh cinta. Semua asumsi itu karena untuk Janice, ini adalah kali pertama.

Tapi dia salah. Tubuhnya bahkan berdiri kaku karena jantungnya mulai berdentum seru. Padahal dia belum membuka pintu, belum melihat sosok laki-laki itu. Ini sudah terjadi saat mereka tinggal bersama di tempat Arsyad. Dua minggu setelah seluruh sikap menjengkelkan Aryo, rasanya setiap kali ingin memeriksa kondisi Aryo persis seperti saat ini. Sekalipun dulu dia tidak mengerti apa artinya. Perlahan dia mengetuk pintu dua kali lalu membukanya hati-hati.

Aryo Kusuma sedang bersandar pada tempat tidur rumah sakit yang atasnya sudah ditinggikan. Sudah tidak ada baju pasien rumah sakit. Laki-laki itu mengenakan kaus hitam polos dan celana pendek hitam. Tangan Aryo masih diinfus tapi gips sudah dilepas. Laki-laki itu tertidur sambil memeluk bantal dengan satu tangan dan selimut tipis yang jatuh di lantai. Kali ini benar-benar tertidur.

Janice mendekat perlahan, menatap wajah bengal itu. Nafas Aryo berhembus teratur dan perlahan. Dia mengamati seluruh bekas luka yang perlahan hilang. Daya tahan tubuh Aryo Kusuma luar biasa. Itu yang Tania bilang padanya. Tubuh laki-laki ini seolah diciptakan untuk bertarung. Karena seluruh luka-luka pulih dengan cepat. Mahendra memang memberikan serum khusus, tapi Mahendra juga terkejut dengan efektifitas serum yang Mahendra buat sendiri pada tubuh Aryo Kusuma. Mahendra sudah melakukan beberapa tes, dan hasil menunjukkan Aryo memiliki beberapa sel dan gen yang lebih unggul daripada milik empat saudara. Kesulitan hidup seolah menempa segalanya. Fisik dan mental Aryo Kusuma.

Dia jatuh cinta, sekarang dia tahu dan mengerti. Karena dia selalu merindukan laki-laki bengal ini, atau bagaimana seluruh tubuhnya bereaksi hanya dengan menatap Aryo begini, juga dengan kenyataan bahwa dia akan melakukan apa saja asal Aryo Kusuma hidup di luar sana, dengan atau tanpa dia. Ayah tidak akan berhenti sampai mereka benar-benar terpisah. Fakta itu menghancurkan hatinya sendiri.

Selimut yang jatuh Janice ambil dan dia menyelimuti tubuh Aryo perlahan. Lalu refleks tubuh Aryo adalah duduk tegak dan menangkap tangannya cepat. Mata hitam Aryo menatapnya waspada. Selama beberapa detik Aryo seperti berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia hanya duduk di pinggir tempat tidur dan diam saja. Lalu laki-lakinya itu menghembuskan nafas perlahan.

"Maaf, itu semua refleks," dengan cepat Aryo menarik tubuh Janice untuk memeluknya. "Ini beneran kamu kan, Jen? Gue nggak mimpi kan?" Kepala Aryo makin tersuruk di lehernya.

"Kenapa kamu jarang ke sini sih? Gue bosan dan benar-benar pingin keluar. Gue kangen sama kamu kayak orang gila," ujar Aryo sambil memaki dan masih memeluk tubuhnya.

Tubuh Janice diam tidak membalas pelukan Aryo. "Tania bilang kondisi kamu sudah makin baik. Makan normal, dan serum Mahendra bekerja lebih baik daripada biasanya. Kamu bahkan sudah mulai berlatih ringan di dalam kamar ini. Kamu benar-benar nggak normal, Yo. Orang lain butuh waktu lebih dari satu bulan untuk pulih benar."

"Sama nggak normalnya kayak manusia yang ciptain serum itu. Dan selalu gangguin gue di sini. Stalker aneh tukang cemburuan dan marah-marah," Aryo sudah melepas pelukan. Kepala Aryo mendongak seperti bicara pada seseorang. "Mahen, ngomong sekarang."

Ada tawa Mahendra di sana. "Gue banyak kerjaan, bayi besar. I'm off today. SIlahkan kangen-kangenan."

"Lo panggil gue apa? Awas lo kalau gue udah keluar nanti," dengkus Aryo kesal.

Kepalanya menggeleng menatap Aryo tidak percaya. "Jadi kamu setiap hari ledek-ledekkan sama Mahendra?"

"Ya gue nggak ada kerjaan. Mungkin si aneh itu juga nggak ada kerjaan. Mangkanya ngeladenin gue."

"Tuan Muda Mahendra tidak pernah tidak punya pekerjaan. Jadwalnya tiga bulan mendatang sudah penuh," jawabnya.

"Nggak tahu, kamu tanya aja sama dia. Gue harus keluar Jen, serius. Gue yakin Dony sudah mulai gelisah. Karena biasanya gue kasih kabar," dua tangan Aryo masih melingkari tubuhnya.

"Tunggu hasil tes terbaru, baru kamu ke luar. Kaki kamu sudah baik?"

Aryo tersenyum dan itu membuat wajahnya berubah kekanakkan, dengan rambut habis keramasnya yang jatuh begitu saja ke depan.

"Sudah, gue udah nggak apa-apa. Sekarang yang sakit yang ada di sini," Aryo mengambil tangannya untuk diletakkan di dada bidang Aryo. "I miss you, Jen."

Dadanya mulai berderak tidak beraturan. Kemudian dia sadar bahwa Mahendra bisa melihat ini semua jadi dia menjauhkan tubuhnya. Tangan kuat Aryo menariknya mendekat lagi.

"Yo, ada Mahendra. Nggak usah ngomong aneh-aneh," bisiknya.

"Hah, nggak peduli. Biar aja dia ngeliatin jadi pingin. Urusan dia," sahut Aryo asal.

Lalu tubuh Aryo bergerak untuk menciumnya, dia menahan dengan dua tangan sambil menatap Aryo memperingati. "Aryoo..."

"Hrrrghhh...bener kan. Mahendra itu emang kurang ajar. Sekarang kamu di sini, gue nggak bisa apa-apain," dengkus Aryo marah.

Tanpa dia duga Aryo berdiri, menarik tiang infus lalu memeriksa ke sekeliling. "Mahendra pakai nano camera kayaknya, karena nggak ada yang mencurigakan." Mata Aryo memindai ke langit-langit.

"Tempat ini jauh lebih hebat dari apa yang kamu bayangkan. Mahendra punya segala macam senjata yang bisa keluar dari balik dinding atau atap-atap. Ini safe room untuk Alexandra. Jadi pasti Mahendra menggunakan teknologi terbaik di sini."

"Serius? Ada senjata?" Aryo terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Kamu bilang saya orang gila. Keluarga Daud itu lebih gila dari saya, Jen."

"Dan kamu Daud juga, kamu sama gilanya," dia juga sudah berdiri.

"Saya bukan Daud. Saya Aryo Kusuma." Aryo menggunakan kata 'saya' karena sepertinya emosi laki-laki itu sudah mulai turun. "Kalau alasan Edward pisahkan kita berdua karena saya Daud, saya tidak akan pernah mau menjadi Daud."

Janice tertawa miris. "Bagaimana caranya menolak seluruh sel dan aliran darahmu?"

"Entah, mungkin dengan meminta Mahendra untuk buatkan sesuatu yang bisa mengganti seluruh sel dan darah itu. Apa saja, asal saya bisa bareng kamu."

Tubuh mereka berdiri berhadapan dengan jarak tiga langkah. Saling menatap serba salah. Bukan, hanya dia yang merasa serba salah. Karena tidak ada keraguan di mata hitam Aryo Kusuma. Aryo mencintai dia dan hanya ingin bersamanya saja. Seluruh bahasa tubuh Aryo bilang begitu tanpa ragu. Selang infus Aryo tarik dan cabut kasar. Tidak peduli pada darah yang menetes di lantai.

"Nanti Tania bisa pasang lagi," ujar Aryo dengan suara yang lebih berat tertahan.

Aryo sudah menggenggam lengannya kuat lalu menariknya menuju pintu di pojok ruangan. Yang akhirnya dia tahu bahwa pintu itu adalah pintu kamar mandi mewah berukuran besar.

Pintu tertutup dan Aryo memojokkanya di dinding. Tanpa basa-basi Aryo mencium bibirnya tergesa.

"Tempat ini aman. Nggak ada kamera di sini..."nafas Aryo panas menyapu pipinya. "...atau kalau ada, saya nggak peduli. Saya mau kamu, Jen. Sekarang." Kemudian Aryo menunduk dan menciumnya lagi.

Dia bisa merasakan besar rindu yang Aryo tahan, atau betapa rasa frustasi bercampur baur dalam ciuman mereka. Frustasi karena merasa terkungkung dan terpenjara, juga frustasi karena hampir putus asa mencari jalan bagaimana agar mereka bisa bersama. Aryo terus menciumnya dalam tidak memberi jeda. Membuatnya tinggi dalam waktu singkat karena dia merasakan hal yang sama. Sama rindu, sama cinta.

Dua tangannya melingkar di leher Aryo. Mungkin ini terakhir mereka akan bertemu, karena dia harus melepaskan Aryo saat Aryo sudah berada di luar sana. Mereka tidak bisa bertemu lagi, dan dia harus menjauhi Aryo demi kebaikan laki-laki itu sendiri. Jadi dia membiarkan dirinya sendiri tenggelam lagi untuk terakhir kali.

Nafas mereka putus-putus karena seluruh rindu yang menghantam. Kebutuhan mereka untuk saling menyentuh dan disentuh benar-benar tinggi. Aryo membuka kancing-kancing kemeja satinnya terburu-buru sambil terus menciumi lehernya. Rok selutut yang dia kenakan sudah Aryo lepas dan biarkan jatuh di kaki. Dia sendiri hanya bisa mencengkram kuat kaus hitam Aryo sambil bersandar di dinding yang dingin.

Tubuh Aryo menjauh sejenak lalu laki-lakinya itu melepas kausnya sendiri. Kemudian Aryo mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di atas wastafel besar di dalam kamar mandi. Mereka bertatapan lagi.

"Kamu akan di sini seharian, Jen."

***

Tatapan sayu Janice membuat dia lupa diri. Juga bagaimana bibir Janice yang dia cium tadi bersemu kemerahan, Janice membiarkannya melakukan apa saja dan yang dia lakukan adalah berusaha berkata bahwa dia rindu, dia mencintai Janice dengan seluruh helaan nafasnya, dan dia tidak akan menyerah sampai mereka bisa bersama.

Mereka bergerak bersama-sama, satu irama. Tidak peduli mereka ada dimana. Atau pada kenyataan masih banyak yang menentang hubungan mereka. Semua tidak penting, karena yang terpenting adalah saat ini, sekarang. Untuk tahu mereka masih saling memiliki. Esok hari nanti mereka pikirkan lagi.

Kepala Janice terkulai di pundaknya ketika mereka selesai. Nafas mereka atur kembali saat dia memeluk Janice lembut. Masih dengan Janice yang duduk di atas wastafel dan dia yang berdiri.

"Kenapa kamu sedih? Mata kamu bilang begitu. Ada apa lagi?" tanyanya.

Janice makin memeluknya erat. "Nggak ada apa-apa."

"Kamu nggak sendiri, Jen. Ada saya. Saya akan betulkan semua setelah saya keluar dari sini. Jangan sedih begini," dia menatap mata Janice dalam sambil membelai lembut pipi Janice dengan satu jari.

"Saya nggak apa-apa," bisik Janice lagi.

Pipi Janice Aryo cium sesaat kemudian dia mengambil jubah mandi putih dan memakaikannya di tubuh Janice yang hampir seluruhnya terbuka. Sementara dia mengenakan lagi celana pendeknya tadi. Janice masih diam saja bahkan saat dia mengangkat Janice dan memindahkan tubuh wanitanya untuk dia dudukkan di dalam bathtub besar yang kosong dan kering. Sementara dia bersandar sambil mendekap Janice dari belakang.

Janice meletakkan kepala di dada saat dia bertanya. "Gimana kondisi di luar? Kamu lagi sibuk apa?"

"Serius kita ngobrol di kamar mandi gini?" tanya Janice.

Kemudian Aryo tersenyum kecil. "Mau di luar? Boleh-boleh aja. Tapi nanti repot kalau saya mau lagi."

Satu tangan Janice memukul kepalanya kemudian dia tertawa.

"Kenapa kamu terlihat baik-baik aja? Masih bisa ledek-ledekkan sama Mahendra, dan ketawa-ketawa sekarang?" dengkus Janice kesal.

"Karena saya nggak over thinking, dan nggak jago main sinetron. Bukan artis." Helai rambut Janice dia mainkan.

Wanitanya itu diam saja.

"Kenapa kamu selalu khawatir? Cemas? Kamu pikir saya nggak bisa jaga diri setelah ini?" Puncak kepala Janice dia cium perlahan. "Kamu selalu menyepelekan saya. Saya masih the one and only Aryo Kusuma. Satu-satunya lawan seimbang Arsyad Daud, jangan lupa."

"Hah, kayaknya saya dulu terlalu tinggi menilai kamu. Waktu kita latihan bersama, jatuhin kamu itu nggak sesulit yang saya duga."

"Ya, karena saya mengalah untuk wanita menyebalkan yang saya suka banget."

"Penghinaan. Jadi saya menang karena kamu mengalah? Nope. Kamu emang nggak sebagus itu."

"Oke, saya nggak bagus. Kamu yang menang."

"Kok gampang banget?" protes Janice dengan nada kesal.

Aryo tertawa lagi. "Karena saya mau gampang aja. Mengalah buat kamu untuk hal yang nggak penting begitu. Karena intinya bukan menang atau kalah, saya cari perhatian kamu, Jen. Ketika saya dapat apa yang saya mau, saya rela kalah terus."

Janice menjitaknya lagi sambil mengancam. "Kamu ngomong manis lagi saya pergi sekarang."

Aryo tambah terkekeh geli.

"Jangan ketawa-ketawa."

Kekehan Aryo bungkam lalu dia mengeratkan pelukan. "Kalau bilang kangen boleh?"

"Enggak," jawab Janice singkat.

"Terus disuruh diam aja?"

"Ya."

"Kamu lagi PMS ya?"

"Apa sih?"

"Saya cuma nanya."

"Nggak perlu nanya-nanya."

"Terus kita mau ngapain? Kalau ketawa nggak boleh, dan nanya nggak boleh. Cium kamu boleh?"

Kepala Janice menggeleng.

"Minta nambah yang tadi boleh?"

"Hrrrghhh...kamu bisa nggak sih normal sedikit?"

Tawanya dia tahan. "Nggak bisa. Setelannya udah begini."

Janice tiba-tiba ingin menjauh dari pelukannya dan dia langsung menahan tubuh Janice agar tidak kemana-mana. "Iya iya iya, jangan ngambek. Jangan tinggalin saya."

"Saya bilang kalau kamu manis-manis saya pergi nih."

"Saya emang manis, Jen," Aryo tidak tahan untuk tidak menggoda Janice. Karena wajah Janice terlihat lebih seksi jika sedang marah.

Tangan Janice bersedekap sambil masih duduk dekat dengannya dan memberi tatapan marah. Tuh kan, dia seksi banget. Apa Janice sadar kalau muka marahnya malah bikin tambah....hrrghhh.

Tawanya sudah pecah karena ekspresi Janice makin marah. "Iya, oke. Saya stop. Jangan jauh-jauh, please." Tubuh Janice sudah dia tarik mendekat lagi.

Senyum Aryo masih mengembang ketika Janice mulai berujar.

"Apa rencana kamu setelah ini?" tanya Janice.

"Meyakinkan Edward dan menjemput kamu buat keliling Indonesia," jawabnya ringan.

"Aryo..." Kalimat Janice berhenti. Nada Janice serius sekali sekalipun dia sudah menggoda Janice berkali-kali.

"Ya?"

Sepi sesaat seperti membekukan mereka. Entah kenapa dia tahu bahwa Janice akan memintanya pergi lagi. Wanitanya itu diam lama. Membiarkan hening waktu berdetak perlahan sementara dia terus memainkan helai rambut Janice satu-satu sambil terus mendekap tubuh Janice dari belakang. Merasakan seluruh beban berat dalam pikiran Janice yang tidak kunjung pergi. Keras kepala seperti dia sendiri.

"Saya tetap harus meninggalkanmu," helaan nafas Janice bisa dia rasakan.

"Silahkan..." puncak kepala Janice dia cium. "...coba lari dari saya. Saya akan menemukanmu, dimanapun kamu berada," bisiknya.

Tubuh Janice bergelung, meringkuk dalam pelukannya. Hatinya tidak akan goyah lagi. Ini akan sangat sulit, dia mengerti. Tapi Janice sudah menjadi udara untuknya, bagaimana dia bisa hidup tanpa udara. Mereka berpelukan lama-lama. Bicara tanpa kata, berusaha ada untuk satu sama lainnya, selama yang mereka bisa.

***

Sudah dua hari sejak pertemuan Aryo dengan Janice di tempat ini. Saat Aryo bangun pagi tadi, sudah ada hasil test laboratorium yang diantar bersamaan dengan sarapan. Dia duduk di pinggir tempat tidur sambil membuka amplop putih dengan logo MG Hospital. Angka-angka dia baca sekalipun tidak terlalu mengerti apa artinya. Kesimpulan dari hasil lab dia sudah bisa keluar dan beraktifitas seperti biasa. Bagus, jadi dia bisa mulai bersiap diri.

Nafas dia hirup lalu menatap ke sekeliling ruangan. Malam itu dia datang tanpa apapun, jadi saat ini dia tidak akan membawa apapun kecuali pakaian yang dia kenakan. Janice tidak datang, mungkin sekarang dia harus berusaha menahan semua rindu terlebih dulu. Sambil menyusun rencana untuk meyakinkan Edward.

"Apa yang lo tunggu?" suara Mahendra di sana.

"Janice, tapi gue tahu dia nggak bakalan dateng. Anyway, gue yang akan ke sana," jawabnya sambil berdiri untuk bersiap-siap. Hasil test lab tadi dia letakkan di meja.

"Rekening lo sudah dibekukan oleh Edward. Dia nggak main-main, Yo."

Dia terkekeh mengerti sambil bergerak mengganti pakaiannya. "Menurut lo gue nggak tahu? Lagian rekening itu punya Herman Daud. Gue masih punya uangnya Aryo Kusuma yang sama banyak. Karena gue rajin menabung."

"Dasar gila. Masih sempet bercanda. Seluruh orang-orang lo sudah mulai mencari, dan Edward dengan mudah bayar satu dua orang untuk mengawasi lo."

Kepalanya mengangguk mengerti.

"Abang gue bisa sehebat itu karena dia punya guru yang hebat. Jadi kalau lo selama ini nggak bisa rubuhkan Arsyad, kemungkinan lo kecil banget untuk menang dari Edward."

Mata dia arahkan ke atas. "Lo bisa tunjukkin nggak kamera nya dimana? Biar gue nggak kayak orang bego ngomong sendiri?"

Mahendra terkekeh lalu salah satu bagian atap terbuka dan menunjukkan sebuah kamera yang tadinya dia pikir adalah lampu sudut. Pandangan-nya menatap ke sana lalu berujar pada Mahendra.

"Pertama, Abang lo emang hebat. Tapi gue selama ini nggak pernah mau benar-benar menyingkirkan Arsyad. Karena kalau nggak ada Arsyad, apa asyiknya. Semua manusia lain nggak sebanding sama Arsyad. Gue bisa kehilangan semangat hidup kalau Arsyad nggak ada." Dia memberi jeda. "Kedua, gue nggak berusaha menang dari Edward. Edward itu bapaknya Janice. Gue selamanya nggak akan bisa pisahkan mereka."

"Jadi rencana lo apa?"

"Membiarkan Edward menang. Setelah Edward puas dengan kemenangannya, gue akan tunjukkan bahwa gue sungguh-sungguh. Niat gue baik kali ini. Bukan untuk merusak Janice, tapi untuk menjaga dia."

"Wow, niat yang mulia. Tapi lo lupa, sayangnya lo Daud, Yo. Edward selamanya nggak akan membiarkan lo berhubungan dengan Janice."

Dia mendengkus. "Hati yang keras harusnya bisa kalah dengan tekad yang kuat. Menurut lo dulu Janice apa nggak setengah mati benci gue?"

"Gue masih benci elo sampe sekarang. Nggak berubah."

"Masa? Kalau nggak berubah, kalian nggak akan membiarkan gue hidup sampai sekarang. Hati dan pikiran bisa berubah, Hen. Jadi gue akan coba merubah Edward si kepala batu itu."

"Pake apa?"

"Kirimin bunga kali, sama coklat tiap hari," sahutnya cuek sambil menggendikkan bahu. "Edward diabetes nggak?"

Mahendra terkekeh di sana. "Dasar manusia gila."

Nafas dia hirup panjang. "Terimakasih, Mahendra. Buat semuanya. Kalian orang baik. Sekarang gue tahu itu."

"Gue minta satu hal," ujar Mahendra.

"Apa?"

"Jangan ganggu Abang gue lagi. Hanif maksud gue. Juga Faya,"

"Hen, gue udah mau pergi sebelum ADS meledak. Gue mau jemput Dony dan Sharon karena Faya sudah memilih. Gue paham, Hen. Lo pikir gue sengaja tembak Faya? Gue nggak gila, Hen. Gue ralat, gue gila. Tapi gue nggak pernah akan menyakiti Fayadisa. Tapi abang rese lo itu yang selalu punya pikiran jelek."

"Ya karena lo bolak-balik gangguin istrinya. Bagus Hanif nggak lempar TNT,"

Dia tertawa. "Kayak lo waktu itu?"

"Ya, kayak gue. Dan gue akan lakukan itu lagi kalau lo ganggu abang-abang gue nanti. Gue nggak suka basa-basi kayak Edward. Lo bikin ulah, lo gue basmi. Selesai."

"Paham, paham. Gue hutang banyak sama Arsyad. Jadi kalau kalian masih jadi adiknya Arsyad, kalian aman."

"Hey, kenapa lo balik ngancem?"

Mereka tertawa kecil. "Anyway, apapun itu. Terimakasih."

Mahendra diam saja. Kemudian pintu terbuka lebar, menunjukkan ruang kerja Alexandra yang kosong. Kakinya melangkah pergi meninggalkan tempat dimana dia banyak berpikir, merenung, menyusun rencananya sendiri. Dulu dia masih ragu, dan bingung tentang segalanya. Sekarang, dia sudah menemukan apa yang selama ini dia cari. Yaitu dirinya sendiri. Ya, dia adalah Aryo Kusuma. Daud atau bukan Daud, dia tetap seorang Aryo Kusuma. Dia punya dua keluarga. Di jalanan dengan kawanannya. Juga di sini, rumah keluarga ayahnya.

***

Seorang laki-laki mengawasi gerak-gerik wanita bertubuh semampai yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Wanita itu menggenggam tablet dan berjalan masuk ke rumah sakit MG. Kemudian dia mengangkat ponsel untuk menghubungi atasan-nya.

"Bos, buruan untuk anda akan siap sebentar lagi," ujar si laki-laki.

"Harus wanita itu. Saya tidak mau yang lain," sahut atasannya di seberang sana.

"Bagaimana dengan hadiahnya? Buruan saja? Atau hadiahnya juga saya harus siapkan?"

Diam sejenak.

"Siapkan juga hadiahnya, di tempat terpisah. Kalau dia melawan, bawa anaknya. Setelah selesai berburu, saya ingin menikmati hadiah saya."

"Baik." Hubungan disudahi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro