Part 35
Sedan hitam mewah melaju menembus jalanan ibukota. Hari sudah malam saat Faya dan Hanif baru selesai makan malam keluarga Iwan Prayogo di kediaman besar Iwan sendiri. Ada yang mengusik hati Faya saat Brayuda menyampaikan berita tentang Aryo Kusuma. Jadi dia diam termenung sendiri menatap keluar jendela.
"Fa, ada apa? Kok diam aja?" Hanif menoleh ke arahnya sambil mengendalikan mobil.
"Nggak ada apa-apa."
Hanif tersenyum kecil. "Sebelum aku menikah denganmu, salah satu keahlianku adalah membaca ekspresi orang. Setelah aku menikah denganmu, aku tidak perlu melihat wajahmu untuk tahu bahwa kamu sedang gelisah. Cukup mendengar suaramu saja aku sudah tahu."
"Menyebalkan," sahutnya kesal. "Aku nggak suka dibaca begitu. Apa aku bahkan nggak boleh melamun sendiri, atau punya pikiran sendiri? Apa kamu harus selalu tahu apa isi pikiranku? Apa nggak boleh aku punya rahasia?"
"Boleh. Tapi aku harus memastikan bahwa kamu baik-baik aja," jelas Hanif sabar.
"Aku baik-baik aja, Nif. Kamu nggak lihat aku duduk manis di sebelah kamu begini?"
Reaksi Hanif adalah tertawa kecil, selalu begitu ketika hormon-hormon menyebalkan ini mulai bereaksi dan membuatnya sensitive sekali hingga mudah kesal dan marah.
"Aku nggak suka diketawain," dia mendengkus makin kesal.
"Fa, kamu nggak suka semua hal sekarang. Nggak suka diperhatiin, nggak suka dilarang-larang, nggak suka juga dimarahin, nggak kepingin juga disayang-sayang. Kamu selalu kesal dan marah kalau aku berada di sekeliling kamu," Hanif masih tersenyum dan menatapnya sabar.
Suaminya ini aneh sekali. Terlalu baik, terlalu sabar. Itu semua membuat dia kesal. "Terus gimana tuh kalau aku kayak begitu?"
"Ya nggak gimana-gimana. Kata Mama makin kamu kesal sama aku, makin nanti anak kita mirip wajahnya kayak aku. Jadi aku senang-senang aja. Daripada mirip Brayuda, kan?"
Entah kenapa Faya mengulum senyum juga mengingat abangnya yang konyol itu. "Jangan terlalu baik, Nif. Rasanya aneh."
"Kemarin aku beritahu kamu baik-baik karena kamu ngotot mau naik motor, terus kita bertengkar. Kamu nangis semalaman. Aku nggak akan mau kita bertengkar lagi, seberapapun aku marah, Fa."
"Jadi aku udah boleh naik motor?"
"Nanti, setelah kamu melahirkan dan pulih kembali."
"Ck, jadi sama aja dong," dia kesal lagi.
"Fa, aku melindungi dua nyawa. Bukan hanya satu."
Ya, ada satu nyawa lagi di tubuhnya. Kalimat itu membuat dia bungkam. Sisa perjalanan mereka diam. Pikirannya kembali pada Aryo Kusuma. Sementara Hanif tidak mau membuat dia kesal lagi jadi diam saja. Jalanan tidak terlalu padat hingga dalam empat puluh menit mereka sudah tiba di apartemen Hanif.
Faya membiarkan Hanif menggandeng tangannya sepanjang mereka berjalan menuju lantai atas. Suaminya adalah gentleman sejati. Sikap Hanif selalu penuh rasa, jarang sekali Hanif menaikkan intonasi suara, Hanif juga meletakkan kepentingan dia di atas segalanya. Dia bahagia, sungguh. Tapi dia kesal pada dirinya sendiri yang saat ini mudah sekali emosi. Antania bilang hal itu wajar, karena reaksi kehamilan bisa berbeda-beda. Herannya, Antania bisa sangat sabar menghadapi Mareno yang benar-benar kekanakkan.
"Kamu mau mandi?" tanya Hanif saat mereka sudah masuk ke dalam apartemen.
Dia diam sejenak. Apa dengan bercerita itu bisa mengurangi sedikit gelisahnya? Tapi Hanif bisa marah.
"Fa?" tubuh Hanif sudah berdiri berhadapan dekat sekali. Satu tangan Hanif membelai lembut pipinya. "Kamu mau mandi sambil bercerita?"
"Kamu bisa marah, tapi aku benar-benar gelisah." Dia menimbang sejenak. "Kayaknya nggak usah. Aku mau ganti dan istirahat aja," ujarnya sambil menatap mata Hanif dalam.
Hanif diam sesaat, ekspresi Hanif mengeras. "Brayuda bicara denganmu soal Aryo Kusuma. Begitu?"
Saliva dia loloskan perlahan "Darimana kamu tahu?"
"Saat kamu bersama Brayuda, Bapak Besar bercerita juga."
Sungguh dia tidak ingin bertengkar, berdebat, atau apapun yang bisa menyakiti perasaan Hanif. Intonasi suara Hanif berbeda. Jadi dia menghindar.
"Aku istirahat dulu," ujarnya lirih. Dia mulai melangkah masuk ke dalam kamar.
"Kamu cemas karena Aryo Kusuma menghilang? Juga desas-desus bahwa Aryo tertangkap dan dikurung oleh salah satu preman daerah utara?" nada Hanif penuh penekanan.
"Aryo Kusuma itu sepupumu, Nif. Tolong jangan berpikir yang aneh-aneh."
"Ya, sayangnya ya. Itu fakta. Tapi saudara bisa menjadi bukan saudara kalau dia selalu ingin mengambil apa yang bukan jadi haknya."
"Aryo nggak begitu lagi, dia bahkan sudah nggak pernah hubungi aku. Aku hanya merasa simpati, karena dia anak jalanan seperti aku. Nggak punya siapa-siapa. Hidupnya keras sekali sejak kecil. Aku tahu bagaimana rasanya."
"Itu bukan pembenaran atas seluruh sikap buruknya. Hati-hati, Fa. SImpati berlebih akan menimbulkan empati. Empati yang menumpuk bisa melibatkan hati."
"Kamu mulai berlebihan."
"Kalian punya sejarah dan aku menjaga istriku, itu tidak pernah berlebihan."
Lagi-lagi sumbunya yang saat ini pendek sekali sudah tersulut. "Sejarah apa?"
"Kalian pernah berada di tempat dan situasi yang sama berhari-hari lamanya."
"Sejarahku dan Aryo tidak seperti sejarahmu dengan Daranindra!" nadanya sudah naik tinggi. "Kamu cinta dia dulu, kamu bahkan patah hati karena tahu Dara lebih memilih El Rafi. Aku tidak cinta Aryo. Tidak pernah, dan kamu selalu tidak percaya!!"
"Bagaimana bisa aku percaya kalau kamu selalu membela dia. Membohongi aku berkali-kali saat kita sudah menikah," Hanif berujar tegas tanpa menaikkan nada. Tapi tatapan Hanif seperti terluka. "Daranindra adalah masa lalu. Ketika aku mulai sesuatu denganmu, aku tidak pernah membohongimu tentang wanita lain."
Air matanya sudah jatuh satu. Dia cengeng sekali belakangan ini. "Ya, seperti semua pertemuan rahasiamu dengan Dara dulu? Karena misi?"
"Aku tidak melakukan apapun dengan Dara, Fa."
"Hal itu hanya kamu dan Dara yang tahu, kan?"
"Oh ya? Seperti pelukan mesra kalian saat Aryo membujukmu untuk pergi dulu? Aku tahu lebih banyak daripada apa yang kamu ceritakan, Fa."
"Bagus. Selamat." Dia memberi jeda. Air matanya sudah meluncur sedari tadi. "Ada satu hal yang kamu nggak tahu, Nif. Atau mungkin kamu tidak mau tahu. Itu tentang apa yang aku rasa untuk kamu. Kamu tidak pernah tahu karena pikiranmu selalu berputar pada masa lalu. Selamat malam."
Faya melangkah meninggalkan Hanif di tengah ruangan, masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Dia benci melihat tatapan terluka Hanif. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena seluruh kesalahan yang dia perbuat dulu. Tapi dia juga benci pada Hanif yang tidak mau mengerti, bahwa dia hanya mencintai Hanif saja. Bukan Aryo Kusuma. Dulu, sekarang, seterusnya begitu.
Sementara dia benar-benar khawatir dengan berita dari Brayuda. Aryo Kusuma ditangkap, apa benar begitu? Kawanan Aryo mulai bergerak, jadi seharusnya berita itu benar. Tapi siapa manusia yang bisa menangkap serigala besar seperti Aryo Kusuma? Itu Aryo Kusuma yang bahkan Arsyad kewalahan selama ini. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana? Dimana Aryo? Siapa yang akan menyelamatkannya?
***
Sudah lewat satu minggu setelah terakhir Janice menengok Aryo Kusuma. Satu penjaga masih mengikutinya kemana-mana, menyebalkan. Sementara ayah sedang sibuk dengan persidangan kasus Sanggara Buana yang bergulir lebih awal. Membantu Ardiyanto dan Ibrahim menyelamatkan perusahaan induk milik keluarga Daud.
Alexa memaksanya untuk datang hari ini ke kantor agency dan dia paham maksud Alexa di balik itu. Ada rasa enggan, bukan karena dia tidak merindukan Aryo Kusuma. Tapi lebih kepada sikap waspada. Mahendra menghubunginya diam-diam dan memberi tahu bahwa ayah mulai memeriksa kediaman Arsyad, safe house, MG Hospital, bahkan apartemen Hanif dan Mareno dengan alasan yang dibuat-buat. Ayah mulai mencari dan dia tidak ingin membuat ayah curiga.
Mereka sudah tiba di agency saat sang penjaga bersikukuh masuk.
"Hey, ini kantorku. Kamu tunggu di sana," ujar Alexa galak.
Janice menahan tubuh Alexa lalu menggeleng. "Biar saja, Alexa. Itu sudah jadi tugasnya."
Kepala si penjaga menunduk padanya lalu melangkah di depan mereka.
"Jen, aku nggak suka kantorku dimasuki orang lain. Oh, aku akan mengadukan ini pada Mahendra," bisik Alexa.
"Dia tidak akan berhenti sampai dia melihat sendiri Alexa. Biarkan dia memeriksa jadi dia tidak perlu masuk lagi," jelasnya.
Mereka melangkah panjang-panjang di belakang tubuh si penjaga hingga tiba di kantor Alexandra.
"Selamat datang, Nona. Memindai tamu," sambut Lexy.
"Hai, Lexy. Kita punya tamu nggak diundang. Apa kamu bisa usir dia?"
Si penjaga sudah mulai bergerak memeriksa, tidak peduli dengan wajah kesal Alexandra.
"Pemindaian selesai. Satu tamu tidak terdeteksi. Saya akan menghubungi Tuan Mahendra."
Alexandra berdiri sambil bersedekap menatap marah pada laki-laki itu. Sementara dadanya sudah bergemuruh melihat si penjaga memeriksa dengan teliti dan seksama. Laki-laki itu bahkan memeriksa contoh-contoh undangan, file-file berisi data dari event organizer, dan segala sesuatu yang ada di ruangan itu.
"Selamat sore. Sebaiknya anda berhenti menyentuh barang-barang milik tunangan saya," suara Mahendra di sana.
"Sayang, usir laki-laki kurang ajar ini," sahut Alexa.
"Dimana ruang rahasianya?" si penjaga berhenti dan menatap mereka berdua.
"Dasar kurang a..." wajah Alexa merah marah.
"Alexa, biar aku yang tangani," potong Mahendra. "Kamu punya surat perintah penggeledahan? Aparat hukum negara harus memiliki surat itu jika ingin memeriksa. Kamu tim ADS yang disewa Edward dan saya tahu seluruh datamu, bahkan catatan keuanganmu. Edward membayarmu besar sekali."
"Dimana ruang rahasianya? Atau saya akan terus berada di sini," ancam si penjaga.
"Silahkan, berdiri diam di situ, sementara saya akan memindahkan seluruh isi rekeningmu untuk Alexandra. Bukan karena tunangan saya butuh, hanya sebagai hadiah kecil karena kamu sudah membuat dia marah," nada Mahendra tenang sekali. "Lexy, tunjukkan apa yang saya sedang lakukan."
Proyektor muncul dari atas atap lalu mulai menyala. Pantulan gambar layar komputer Mahendra yang menunjukkan saldo rekening bank milik laki-laki ini. Si penjaga diam tidak bergeming. Ya, karena Janice yakin ayah akan mengganti berapapun dana yang Mahendra akan ambil.
"Aku nggak butuh uangnya. Usir saja dia dari sini, Hen," ujar Alexa kesal.
"Oh, saya punya ide lebih bagus lagi. Hmm...kita lihat apa yang kamu sembunyikan. Semua orang punya rahasia. Bukan begitu?"
Lalu layar berpindah saat Mahendra mengetikkan suatu kode enkripsi ke salah satu system. Mahendra melakukannya cepat sekali dan dalam satu pijatan jari, seluruh sosial media milik laki-laki itu yang terhubung langsung muncul.
"Wow, hobimu mahal. Nggak ada yang salah. Hmmm...apalagi."
Gambar-gambar terus bergerak diiringi dengan Mahendra yang terus mengetik cepat.
"Dimana ruangannya?" nada laki-laki itu mulai tinggi.
Mahendra malah tertawa kecil. "Ah, ini dia. Secret room. Komunitas kecil untuk...kita lihat." Kode-kode bergerak di layar.
Wajah laki-laki ini pucat, lalu dengan satu gerakan cepat si penjaga mengeluarkan senjata yang membuat reflek Janice menarik Alexandra ke balik tubuhnya lalu pasang kuda-kuda. Mahendra tidak kalah cepat karena dinding-dinding bagian atas di sekeliling ruangan terbuka dan memunculkan senjata yang langsung siap siaga.
'Klek, klek, klek...' bunyi senjata yang siap menembak terdengar di sekeliling mereka.
"Pikirkan baik-baik sebelum kamu menembak sesuatu di depan tunangan saya," nada Mahendra berubah menyeramkan. "Peluru ini adalah peluru yang tidak akan membunuhmu, tapi kamu akan berharap kamu mati saja."
Si penjaga masih menodongkan senjata pada proyektor di atas, ingin menghancurkan proyektor itu karena gambar di layar yang masih berkedip memunculkan deretan kode untuk membuka apa arti secret room tadi. Wajah laki-laki itu pucat, dan gugup. Ekspresi si penjaga membuat Janice tersenyum puas. Suasana hening sesaat karena semua seperti berusaha mengendalikan emosi. Lalu laki-laki itu menurunkan senjatanya perlahan.
"Saya hanya menjalankan tugas. Maafkan saya," senjata si penjaga sudah kembali disarungkan. Sekalipun senjata milik Mahendra yang berada di sepanjang dinding, masih bergerak-gerak mengikuti laki-laki itu.
Mahendra tertawa. "Ya, kami tahu. Kamu keluar dari ruangan tanpa melihat safe room yang saya buat untuk Alexandra, kamu akan dipecat oleh Edward. Kamu harus pintar berhemat, tabunganmu nggak terlalu banyak. Saran aja."
"Sayang, aku masih marah dengannya," ujar Alexa kesal.
Mahendra berkata lagi. "Hey anak muda, kamu boleh melihat dan bahkan mengambil gambar ruangan itu, asal kamu meminta maaf dengan sopan pada tunangan saya, lalu minta tolong baik-baik."
Janice sudah tahu bahwa Tuan Muda-nya bisa usil sekali. Tapi se-usil ini? Sungguh perutnya geli karena menahan tawa. Apalagi melihat bahwa laki-laki kaku itu sudah berdiri berhadapan dengan Alexandra lalu meminta maaf. Sementara Alexa mengangkat dagunya tinggi dan pandangan Alexa kembali seperti yang Janice tahu. Menatap si penjaga angkuh sambil berdiri dengan sikap sempurna.
Laki-laki itu mengucapkan maaf pada Alexa dengan sopan, lalu meminta tolong baik-baik.
"Mahendra-ku baik sekali. Jadi aku maafkan karena kamu hanya ingin bekerja. Harusnya kamu meminta tolong dari awal dengan sopan, bukan main masuk begitu," dengkus Alexa. "Kamu harus tahu ADS itu milik Arsyad Daud, kakak dari tunanganku jadi kamu nggak bisa seenaknya."
Laki-laki itu diam saja sambil menundukkan kepala.
Dagu Alexa masih terangkat tinggi. "Hen, jangan terlalu lama. Aku banyak urusan dengan Janice."
"Iya, Sayang."
Dada Janice mulai berdentum cepat. Mahendra akan membuka pintu safe room dan dia yakin Aryo masih di sana. Aryo bisa tertangkap lagi. Matanya menatap Alexa tajam, seperti ingin bertanya dalam diam. Laki-laki itu menunggu saat Mahendra mengetikkan sesuatu.
Tenang, Jen. Alexa memberi isyarat melalui tatapan mereka.
Dua tangan sudah terkepal siaga, saat si penjaga melihat Aryo dia langsung akan melumpuhkannya. Dia bergerak perlahan sekali mendekati laki-laki itu dari belakang saat pintu safe room terbuka. Saliva dia loloskan perlahan. Ruangan itu kosong. Maksudnya, ada sofa nyaman, kaca rias dan juga rak buku yang menggantung di salah satu dinding. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya ruangan berukuran sedang yang ditata apik dan nyaman.
Si penjaga sudah bergerak memeriksa dengan seksama. Sofa diperiksa dengan teliti, meja rias digeser lalu dikembalikan lagi, karena laki-laki itu tidak menemukan apa-apa.
Dahinya mengernyit dalam, berpikir. Ini ruangan yang sama. Karena dia bisa mengingat sofa itu. Tapi kemana tempat tidur besar dan alat-alat kedokteran yang sebelumnya ada? Mahendra Daud luar biasa.
"Saya sudah periksa, terimakasih. Maaf kalau sikap saya membuat Nona tidak nyaman."
Alexa hanya bersedekap sambil menatap laki-laki itu galak. "Oke, silahkan pergi dari sini. Aku banyak pekerjaan dan kamu sudah membuang waktuku."
Si penjaga ke luar ruangan. Mereka masih mengawasi hingga laki-laki tadi benar-benar sudah ke luar dari area kantor melalui layar CCTV yang terpampang pada pantulan proyektor.
"Ya Tuhan, aku marah, kesal dan tegang di saat yang bersamaan." Alexa menghembuskan nafas keras sekali. "Mahendra Daud, kenapa kamu pasang senjata di ruanganku? Tolong singkirkan, Sayang."
"Untuk siapapun laki-laki yang berani masuk ke dalam area pribadi calon istriku, Lexa," ujar Mahendra ringan sambil terkekeh geli lalu senjata-senjata itu sudah bersembunyi di balik dinding lagi.
Janice menyodorkan Alexa satu botol air mineral dan meminta wanita itu duduk. Wajah Alexa sedikit pucat.
"Oh, Janice. Aku salut padamu karena kamu tahan dengan ini semua. Aku nggak bisa tegang begitu. Nanti keriput di wajahku muncul semua. Ya Tuhan."
Dia tersenyum dan mengangguk mengerti. "Maaf, kamu harus terlibat begini."
"Eh, bukan begitu maksudku. Aku nggak masalah, sungguh. Tapi aku benar-benar salut padamu dan pekerjaanmu."
"Terimakasih."
"Jen, kenapa kamu kaku sekali? Apa aku menyeramkan seperti Arsyad?"
Mahendra tertawa di seberang sana. "Alexa, aku pamit dulu karena ada hal lainnya."
"Maheeen, kamu ke sini dong. Masa Janice bisa nengokkin pacarnya, kamu nggak bisa?" rengek Alexa.
"Nanti, sabar dulu. Oke?" sahut Mahendra.
Janice mengulum senyum mendengar mereka berdua berinteraksi. Kemudian dia mulai melangkah ke safe room yang masih terbuka. Matanya mulai memindai, memeriksa. Mahendra seperti tahu apa yang dia pikirkan lalu dinding tempat meja rias bergeser ke kanan dan masuk pada panel dinding di sebelahnya. Lalu pintu yang dia tahu ada di sana. Menuju ke ruangan Aryo Kusuma. Ruangan, di dalam ruangan.
"Jen, aku ada di luar ruangan karena aku ingin memeriksa training para model yang baru tiba hari ini," ujar Alexa padanya.
"Baik. Saya masuk dulu,"
Alexa tersenyum lebar dan mengangguk seperti ikut gembira.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro