Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 34

"Aku nggak bisa datang," bisik seorang laki-laki di seberang sana.

Saliva Rianti loloskan. Seluruh ketakutan yang seperti sudah mengintai sejak lama datang, menggerogoti rasa percaya dan akal sehatnya.

"Aku ke tempatmu," ujarnya memutuskan.

"Jangan, nggak sekarang."

"Kenapa?" dadanya mulai bertalu-talu penuh curiga.

"Semua sedang dalam kondisi siaga dan bahaya. Aku nggak mau kamu terlibat."

Dia mendengkus lirih. "Alasan yang lumayan. Tapi aku tetap akan ke sana."

"Rianti, please. Tolong mengerti ini semua bukan karena aku nggak mau, tapi aku nggak bisa," tegas laki-lakinya.

"Kamu akan terus nggak bisa." Air matanya jatuh satu lalu dia menghirup nafas panjang. "Aku sudah dengar beritanya."

Laki-laki itu diam saja di seberang sana. Saliva dia loloskan perlahan kemudian dia mengangguk mengerti apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Selamat sore," ucapnya sebelum memutuskan hubungan ponsel.

Rianti menangis keras di dalam mobil. Terluka karena laki-laki yang sama. Oh, bodohnya dia. Sangat-sangat bodoh karena terus berharap untuk sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Lima belas menit berlalu ketika dia sudah bisa menenangkan diri, menghirup nafas dalam dan menghapus habis air mata. Mobilnya dia parkirkan di depan sebuah kedai kopi. Dia membuka pintu mobil tiba-tiba saat pintu itu tanpa sengaja menyenggol seseorang.

"Ah, maaf-maaf. Saya nggak hati-hati," ujarnya.

Laki-laki itu memegang bahu kiri yang terantuk pintu mobil tadi. "Nggak apa-apa."

"Serius nggak apa-apa? Bahu kamu sakit ya?" Dia menatap sosok itu.

Tubuh tinggi dan tegap dengan postur sempurna. Rambut cepak dengan mata yang seperti selalu siaga.

"Saya beneran nggak apa-apa. Malah kayaknya kamu yang kenapa-kenapa. Mata kamu bengkak habis nangis," laki-laki asing itu tersenyum lalu deretan gigi yang putih bersih dan rapihnya sudah terlihat di sana.

Wajahnya memerah malu. "Saya ketahuan kayaknya."

Laki-laki menawan itu mengangguk. "Maaf, saya nggak mau ikut campur urusan kamu. Saya masuk dulu, mau beli kopi."

"Oh, iya...saya juga...mau beli kopi," ujarnya terbata-bata.

Sikap laki-laki itu hangat dan sopan. Mungkin karena sejenak tadi hatinya sakit sekali, dan tiba-tiba merasa gembira karena bertemu orang baru. Sepertinya laki-laki ini baik. Kemudian dia memutuskan untuk masuk juga mengantri kopi bersama.

***

Sudah pukul tujuh malam dan Niko belum kembali. Apa ada masalah? Apa Jodi mulai menyerang lagi? Karena cemas tubuh Audra berjalan mondar-mandir di tengah ruangan rumah besarnya. Ayyara yang turun dari kamar atas menatapnya sambil tersenyum meledek.

"Nungguin siapa, Ma?" tanya Ayyara.

"Kamu makan duluan aja, Sayang," ujarnya abai.

"Beneran mama sayangnya sama Yara? Bukan sayangnya Mama itu Om Niko sekarang?" Ayyara cekikian usil.

"Yara! Mulai deh usil. Makan malam duluan, mama tunggu..."

"...sayangnya Mama. Alias, Om Niko Pratama."

"Yara, hiiiihhh. Kamu Mama cubit nih."

Ayyara tertawa usil dan malahan duduk di sofa. "Ma, aku seneng banget Mama dan Om Niko jadian. Abis kata Damar Mama mau dijodohin sama...siapa namanya ya. Abi-siapalah itu. Aku nggak mau ya Mama nikah lagi selain sama Om Niko."

Tubuhnya berhenti dan menatap Ayyara yang mulai beranjak dewasa dengan ekspresi tidak percaya. "Pertama, Mama nggak jadian. Mana ada itu istilah jadian."

"Abis apa dong? Pacaran? Sayang-sayangan? Apa aja nggak apa-apa asal nanti Om Niko jadi papa Ayyara."

"Yara, hiss kamu deh. Kedua ya, kamu masih terlalu kecil untuk paham urusan orang dewasa. Hubungan Mama sama Om Niko masih Mama usahakan."

"Oma dan Opa tahu nggak?"

"Kamu nggak boleh asal ngomong sama Oma dan Opa, Yara. Mama serius. Kamu mau Mama putus sama Om Niko?"

"Tuu kaaan...berarti Mama jadian kaaan? Nyambung-kaaan. Mangkanya Mama takut putus. Orang udah nyambung."

"Ayyara, ya ampuuunn."

"Mama mukanya meraah..." Ayyara tertawa tergelak.

Karena gemas dia menghampiri Ayyara dan gadis kecilnya itu berlari menghindarinya.

"Iya iya...aku nggak ngeledek lagi. Jangan kelitikin Yara."

"Anak usiiill," dia tertawa juga.

Pintu depan terbuka dan Ayyara langsung berlari menuju sosok Niko yang berdiri di sana, bersembunyi di balik tubuh tegap Niko. Dia berhenti tiba-tiba lalu berdehem canggung. Ayyara masih terkekeh geli.

"Om, aku mau dicubit Mama Om. Tolongin aku," Ayyara mengadu sambil masih bersembunyi.

Dia hanya mendelik kesal pada anak gadisnya itu. Niko merespon dengan tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Selamat malam, Ladies. Kalian belum makan?" tanya Niko.

"Mama nggak nafsu makan kalau Om belum pulang," jawab Ayyara.

Niko menatapnya masih sambil tersenyum. "Aku mandi dulu ya."

Kepalanya mengangguk kecil lalu mengekori tubuh Niko yang menaiki tangga ke atas. Dia ingin bertanya apa yang sedang terjadi di luar sana. Belakangan ini Niko selalu pulang malam.

"Ma, mau kemana?" bisik Ayyara.

"Sssst..." dia terus melangkah ke atas sambil menatap Ayyara kesal.

Pintu kamar Niko dia tahan lalu dia masuk.

"Audra, ada Ayyara di bawah. Nggak pantas kalau kita di dalam kamar berduaan," ujar Niko perlahan.

Mereka sudah berdiri berhadapan dengan pintu kamar Niko yang terbuka lebar.

"Aku khawatir. Ada apa, Nik? Kamu selalu pulang malam dan berangkat pagi-pagi sekali," tanyanya cemas.

"Tidak ada apa-apa. Jodi belum bergerak lagi, tapi aku harus mengawasi."

"Abimana menghubungi aku tadi. Dia bilang kamu kirim satu orang tim mu dan satu lagi orang ADS lain. Dia juga ingin tahu kondisi terbaru."

"Ya, benar. Jodi marah dengan berita pertunangan kalian." Ekspresi Niko berbeda. Seperti dingin dan terluka ketika mengucapkan kalimat itu. "Jadi aku harus pasang penjaga. Ayahmu sudah dalam..."

"Nik, aku akan batalkan pertunangannya."

"Aku tidak ingin bahas soal itu hari ini, Aud. Aku sedang benar-benar tidak dalam kondisi baik."

"Aku serius, Nik."

"Audra, please. Ayyara sudah menunggu di bawah dan aku nggak mau Ayyara kelaparan."

Niko berlalu masuk ke kamar mandi. Gerakan tubuh Niko membuat wangi tubuh laki-laki itu menguar. Samar-samar dia bisa mencium wangi manis yang berbeda. Seingatnya, harum tubuh Niko tidak seperti ini.

Audra kembali turun menuju meja makan. Ayyara sudah mulai makan sementara dia hanya duduk termenung sendiri. Waktu cepat sekali berlalu hingga dia lupa akan pesta pertunangannya sendiri. Satu minggu dari sekarang. Apa yang harus dia lakukan untuk membatalkan semua, atau paling tidak menunda. Kemudian, sikap Niko juga membuatnya gusar. Ada yang Niko tutupi dan dia bisa merasakan itu. Lima belas menit kemudian Niko turun dengan wajah lebih segar. Niko langsung duduk di hadapan Ayyara seperti biasa.

"Udah selesai makan?"

Ayyara tersenyum lebar. "Aku nggak tahan laper, Om. Nggak kayak Mama."

Niko terkekeh. "Bereskan sendiri ya. Letakkan di belakang."

"Iya, iya. Malahan di rumah Om Arsyad aku disuruh cuci piring sendiri bareng Damar. Aku heran deh, Om Arsyad rumahnya bagus banget begitu, kok bisa nggak ada tukang cuci piring."

"Itu namanya belajar mandiri. Sebelum belajar beladiri, Damar diajarin cuci piring dulu, cuci baju, bersihkan kamarnya sendiri sama Om Arsyad. Baru belajar beladiri."

"Iya Damar juga bilang begitu. Tapi aku masih nggak ngerti maksudnya apa."

"Coba tanya sama Om Arsyad."

"Om Arsyad kalau diam serem. Aku jadi nggak berani. Padahal kata Damar Om Arsyad bisa ketawa juga. Pokoknya Om kesayangan aku cuma Om Niko aja. Eh salah deh. Kesayangannya Mama." Ayyara terkikik geli. "Aku ke atas ya. Biar Om bisa berduaan."

"Yaraaa," kekeh Niko kesal karena diledek oleh Ayyara.

Anaknya sudah berlalu ke lantai atas saat Niko beralih menatapnya.

"Kamu nggak makan?" tanya Niko.

"Kamu sendiri?"

"Aku mau buat kopi. Tadi sudah makan."

Dahinya mengernyit lagi. "Dimana?"

"Makan di luar tadi sore. Jadi masih kenyang," jelas Niko sambil berdiri dan beranjak ke dapur membuat kopi.

Lagi-lagi Audra mengekor di belakang.

"Kamu beneran mau nggak cerita terus sama aku?"

"Soal apa?"

"Kabar tentang Jodi yang terbaru."

Niko menghela nafas. "Audra, biarkan aku dan Arsyad urus soal Jodi."

"Loh, aku nggak masalah kok kalian urus Jodi. Tapi apa nggak boleh aku bertanya? Ini ada kaitannya dengan aku, dengan Ayyara. Keselamatan kami."

"Aku nggak ngelihat ada manfaatnya kalau aku kasih tahu kamu. Yang ada kamu cemas dan susah tidur lagi nanti."

"Aku nggak suka jadi orang yang nggak tahu apa-apa. Hanya duduk diam bekerja seolah dunia berputar baik-baik saja. Padahal banyak yang sedang terjadi dan keluargaku terancam bahaya. Belum lagi Abimana..."

"Sebaiknya kamu urus tunanganmu itu daripada terus menerus bertanya apa yang aku sedang lakukan," Niko mulai emosi.

"What?" Dadanya terasa sakit ketika Niko mengucapkan kalimat tadi. "Apa menyindir sekarang juga jadi salah satu keahlian kamu?"

"Aud, please. Aku nggak mau bertengkar malam-malam. I just want to have a nice coffee, okey?" nafas Niko tarik lagi.

Rahang dia katupkan perlahan sambil menatap Niko kesal. Niko mulai bergerak lagi membuat kopi. Kemudian dia sadar bahwa Niko resah sekali. Seperti ada banyak hal yang sedang berputar di kepala laki-lakinya itu. Apa mungkin ini ada kaitannya dengan pertunangan dia dan Abi yang makin dekat? Niko cemburu dan panik karena acara itu sudah di depan mata. Sementara dia sendiri belum menunjukkan rencana seungguhnya untuk menyudahi hubungan basa-basinya dengan Abimana. Apa begitu?

Ya, pasti begitu, Aud. Apalagi?

Kali ini dia yang menghirup nafas panjang berusaha meredam emosi. Niko sedang menuang kopi ke dalam cangkir. Setelah Niko selesai, dia mengambil cangkir itu dan membawanya menjauh.

"Audraa..." keluh Niko menyusulnya.

Audra terus berjalan menuju ruang baca dengan Niko yang membuntuti. Mereka sudah berada di dalam lalu dia meletakkan cangkir kopi tadi di meja. Mereka berdiri berhadapan.

"Sikap kamu aneh banget, Aud."

"Persis kayak kamu, Nik," dagu dia angkat tinggi.

Kakinya mulai melangkah maju perlahan mendekati Niko. "Nik, kamu pernah punya pacar nggak?"

Niko terkekeh tidak percaya. "Pertanyaan jebakan. Bilang pernah salah, nggak pernah disangka bohong. Begitu kan?"

"Intinya bukan itu. Maksud aku, it takes two to tango. Butuh dua orang, Nik. Aku dan kamu. Bukan aku aja atau kamu aja," jarak mereka makin dekat.

"Aku tahu bagaimana caranya menjalin hubungan, Aud. Tapi situasi ini bukan hanya masalah cinta-cintaan. Tapi hidup dan mati."

Perlahan dia mengisi paru-paru lagi. Langkahnya berhenti karena dia sudah bisa mendongak menatap wajah laki-laki yang dia cinta ini.

"Kamu resah, cemas, sedang banyak pikiran." Satu tangan Audra letakkan di bahu Niko. "Kalau bercerita itu bisa meringankan sedikit beban kamu, kenapa kamu nggak cerita sama aku?"

Tubuh mereka sama-sama statis. Diam, tegak dan saling menatap.

"Nggak segampang itu, Aud."

"Karena kamu membuatnya sulit."

Mereka diam sejenak. "Istirahat, okey. Aku benar-benar butuh kopi." Niko mencium pipinya singkat dan ingin berlalu.

Tapi sebelum itu terjadi, dua tangannya sudah menahan Niko pergi. Dia berjinjit dan mencium bibir Niko tanpa basa-basi. Niko yang terkejut menggeram kesal berusaha menjauhkan tubuhnya yang tidak bergeming.

Awalnya Niko ingin menolak halus. Seluruh bahasa tubuh Niko bilang begitu. Tapi saat dua lengannya melingkari leher Niko, dua tangan Niko juga merengkuh tubuhnya mendekat dan memperdalam ciuman mereka. Dia bisa merasakan banyak rasa di sana. Cemas, ragu, cemburu, juga frustasi dan rindu. Mereka memang tinggal bersama, tapi sejak melakukan hal itu, Niko memberi jarak.

Satu tangannya mulai berpindah ke balik kaus Niko. Dia ingin Niko tahu, bahwa dia hanya mencintai laki-laki ini saja. Jadi Niko harus tahu kalau dia akan melakukan sesuatu untuk membatalkan pernikahannya.

Niko menjauhkan tubuhnya sambil terengah. "Sudah, Aud. Sudah."

Sebelum dia sempat berkata-kata, Niko mencium pipinya cepat lalu beranjak keluar ruangan.

"Nik!!"

Langkah Niko berhenti. "Aku berusaha, Aud. Menjagamu dengan benar. Tolong jangan artikan sebaliknya."

Pintu ruang baca tertutup menyisakan dia yang berdiri kehilangan kata-kata.

PIkir sesuatu untuk membatalkan segalanya, Aud. Tidak ada laki-laki yang suka dengan posisi nomor dua.

***

Sudah beberapa hari sejak insiden ancaman terhadap anak dan cucunya berlalu. Ardiyanto beberapa kali juga sudah bertandangan ke kantor Sanggara Buana. Bukan hanya karena untuk menjawab seluruh pertanyaan dari auditor negara, tapi juga untuk memberi kesan pada para pegawai bahwa dia sudah kembali dan ada untuk menjaga Sanggara Buana lagi.

Mareno dan Hanif banyak membantu untuk menekan rumor yang tidak perlu, sementara Tantri Tanadi sudah bergerak agar proses audit berlangsung lebih cepat dan Sanggara Buana terhindar dari temuan yang bisa lebih merugikan lagi. Sedangkan Ardiyanto dan Audra harus hadir pada tiap pertemuan resmi bersama dengan para auditor tadi.

Ardiyanto masih mengenakan kursi roda. Sesi terapi belum selesai untuk memulihkan kondisinya. Arsyad memasang dua penjaga dan satu perawat pribadi laki-laki bersertifikat resmi. Pagi ini, dia tidak menyangka Arsyad sudah menunggunya di dalam ruang kantor.

"Pagi, Paman. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Ada apa, Syad?"

Pintu diketuk dan Ibrahim Daud masuk ke dalam. Mereka kembali saling mengucapkan salam.

"Ada apa? Kalian membuatku cemas," ujar Ardiyanto menatap Ibrahim dan Arsyad bergantian.

Ibrahim tersenyum kecil. "Nggak ada apa-apa, Bang. Kami ingin menengokmu dan memastikan kamu sudah sehat."

"Hah, saya masih abangmu, Him. Saya sehat dan mampu. Jangan kekanakkan," dengkusnya kesal. "Bagaimana perkembangan situasi terbaru?"

"Tentang hal yang paling penting, keamanan kita semua. Niko mengatur semua keamanan keluarga dan sampai saat ini Jodi tidak berani mendekat. Karena Niko mengerahkan tim khususnya. Bukan sembarang tim," Ibrahim menjawab sambil menatap Emir di dekat pintu dan tersenyum.

"Saya tidak pernah ragu dengan kemampuan Arsyad soal itu, Ibrahim," ujarnya.

"Saya mendapatkan banyak dukungan dari tim di bawah, Paman," sahut Arsyad. "Menjaga tiga keluarga bukan perkara mudah. Apalagi Jodi Hartono tidak main-main kali ini. Mama dan Tante Sofia diikuti kemarin. Ada beberapa orang yang selalu mengawasi Mami Tantri dan Abimana di sekitar mereka."

Nafas dia hirup dalam. Rasa cemas mulai datang. "Bagaimana dengan Audra dan Ayyara? Apa mereka aman?"

"Kamu paling tahu kalau anak dan cucumu aman, Bang," jawab Ibrahim. "Niko sendiri yang bersama mereka."

"Jadi hidup kita semua di tangan Niko dan Arsyad sekarang?" dia mendengkus kesal.

"Masih di tangan Tuhan, Bang. Tidak pernah di tangan manusia. Tapi ya, Niko dan Arsyad yang menggerakkan semua," Ibrahim menjawab dengan nada tenang.

"Oke, saya akan memberi tahu perkembangan penyidikan," dia ingin memulai.

"Tidak perlu, Arsyad sudah tahu semua," timpal Ibrahim cepat.

"Saya bahkan punya cara agar ini cepat berakhir," sahut Arsyad.

Kepalanya menoleh dan menatap anak sulung dari Ibrahim ini. "Bicara."

Arsyad mulai memaparkan apa rencananya. Detail, cermat, didukung dengan fakta-fakta dimana hukum memiliki celah agar mereka bisa bernegosiasi dengan kondisi. Juga apa saja yang harus disiapkan bersama dengan resiko yang digambarkan jelas. Anak Ibrahim Daud ini luar biasa kemampuannya.

"Bagaimana, Paman?"

"Memajukan sidang penyidikan dengan seluruh bukti yang dikumpulkan lebih awal. Apa itu tidak malahan menimbulkan kecurigaan?" tantangnya pada Arsyad.

"Pengacara keluarga akan mengajukan nama hakim bersih dengan track record baik pada para penyidik, juga membiarkan mereka untuk memeriksa seluruh background. Penyidik bisa memilih sendiri, jadi semua proses transparan. Penyidik yang sudah lelah juga dengan ini semua akan dengan senang hati menyambut ide ini. Audra akan meyakinkan semua pihak bahwa cara ini adalah salah satu cara penyelesaian yang baik. Everybody wins. Penyidik mendapatkan apa yang mereka mau, negara bisa menutup kasus dan fokus pada hal lain, keluarga kita selamat."

"Arsyad, ada tanda tangan saya pada dokumen itu."

"Satu dokumen, Paman. Hanya satu dari lima belas dokumen lain. Kita tidak akan berbohong. Akui bahwa itu memang tanda tangan Paman. Lalu nyatakan bahwa sangsi bisa dijatuhkan dengan adil. Audra akan menyiapkan seluruh catatan keuangan lengkap dan jelas. Sepupu saya menjalankan Sanggara Buana dengan sangat baik dan bersih. Audra tidak takut dengan itu semua." Arsyad memberi jeda. "Pada bisnis, wajar saja jika ada satu-dua kesalahan, bukan? Apalagi Sanggara Buana adalah perusahaan besar dan sudah ada bergenerasi. Pemerintah tidak akan menampik kontribusi yang selama ini sudah kita lakukan."

"Apa sangsi terberatnya, Syad?" tanyanya lagi.

"Denda dalam jumlah besar karena satu kesalahan. Saat ini, pemerintah lebih membutuhkan dana daripada memenuhi penjara. Sekalipun ya, ada kemungkinan penahanan dalam jangka waktu pendek. Perihal itu, Mareno dan Hanif sudah bergerak untuk mengurus citra keluarga kita di luar sana. Membangun empati."

Ibrahim Daud tertawa lebar lalu menepuk pundak Arsyad yang duduk bersebelahan dengan bangga. Dia harus mengakui, rencana Arsyad tidak bercela. Memang masih memiliki resiko, tapi seluruh resiko sudah dibentengi dengan solusi. Luar biasa.

Nafas Ardiyanto hela lega. "Baik, saya setuju. Terimakasih, Syad."

"Paman, ini semua rencana kami berlima. Saya, Audra, dan para adik saya. Kami tidak akan membiarkan Sanggara Buana jatuh. Apapun alasannya."

"Kalian harus mulai melibatkan para sepupu kalian yang lain. Sepupu-sepupu manja yang mau enak sendiri. Setelah ini selesai, saya akan mengadakan pertemuan keluarga besar dan akan mulai menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berkontribusi, maka tidak akan ada dana yang akan mengalir pada mereka," ujarnya tegas.

"Saya setuju itu, Bang. Sudah saatnya Nugraha dan yang lain ikut serta. Jadi anak-anak saya bisa pergi berbulan madu dengan istri-istri mereka. Saya ingin Arsyad cepat punya jagoan," Ibrahim meledek Arsyad.

"Saya sudah punya jagoan, Ayah. Ada Damar," timpal Arsyad.

"Ya, kalau begitu saya ingin punya cucu cantik seperti Sabiya."

"Mareno dan Hanif yang akan berikan," kelit Arsyad.

"Kamu egois sekali, Syad. Menyimpan Sabiya untuk dirimu sendiri," kekeh Ibrahim lalu mereka tertawa.

***

Audra berjalan mondar-mandir gelisah di dalam ruang kerja. Seluruh rencana yang sudah dia susun rapih terus berputar di kepala. Tapi rencana sempurna itu tidak akan terjadi saat ayahnya tidak setuju. Jadi dia meminta Arsyad untuk datang dan bicara dengan ayah. Karena hanya ada satu manusia di bumi yang ayah mau dengarkan, Arsyad Daud.

Pintu diketuk lalu sosok tegap Arsyad masuk. Nafas dia tahan berusaha membaca ekspresi Arsyad. Tubuhnya sudah berdiri menunggu Arsyad mengucapkan sesuatu. Lalu saat senyum tipis Arsyad muncul, dia sudah berlari menubruk tubuh Arsyad karena ingin memeluknya.

"Berhasil, Sis. Rencanamu gila tapi luar biasa," Arsyad terkekeh sambil balas memeluknya. "Kenapa kamu nggak bilang sendiri?"

Dia melepaskan pelukan Arsyad. "Ayah cenderung berprasangka denganku. Karena dia tahu aku tidak setuju dengan perjodohan sialan itu. Ayah akan terus mengaitkan dengan perjodohanku. Semalam aku coba bicara pada ayah untuk menunda pertunanganku dengan Abimana. Karena segala situasi keamanan yang masih nggak tentu. Acara pertunangan membuat keamanan menjadi rentan kan? Tapi ayah malah menduga itu hanya akal-akalanku saja untuk mengulur waktu. Jadi pesta pertuangan megah sudah dirubah menjadi acara keluarga sederhana, masih di waktu yang sama."

"Hey, aku tahu itu hanya akal-akalan kamu aja dengan dalih keamanan rentan. Kamu memang mau menunda kan?"

Audra tertawa. "Iya, sudah pasti iya."

"Terus apa kaitannya dengan sidang yang dimajukan?" Dahi Arsyad mengernyit sejenak seperti berusaha mengaitkan sesuatu. "Sis...jangan bilang kalau tanggal sidang adalah tanggal pertunangan kalian?"

Lagi-lagi dia tersenyum lebar. "Ya, sepupu-ku tersayang. Itu benar. Semua sudah aku atur rapih. Kalau alasan keamanan tidak mempan, satu-satunya yang ayah tidak akan korbankan adalah Sanggara Buana."

"Wow..." Arsyad tertawa. Mereka berjalan menuju sofa dan duduk bersebelahan di sana. "Kamu...benar-benar..." tawa Arsyad makin lebar. "Tapi menyiapkan seluruh dokumen butuh waktu."

"Hey, hey, menurut kamu aku hanya tidur-tiduran aja? Aku bekerja, Syad. Dan akan membereskan semua. Daud selalu membereskan semua sendiri."

"Apa kamu sebenci itu dengan Abimana hingga benar-benar ingin menghindar?"

"Aku tidak benci Abimana. Kami berteman baik. Tapi aku sudah punya piihanku sendiri, Syad. Bukan Abimana."

Ekspresi Arsyad yang terkejut membuat dia terkekeh geli.

"Siapa, Sis?"

"Nanti, ketika urusan Sanggara Buana sudah selesai. Mungkin aku yang harus melamarnya," ujarnya konyol.

"What?"

Dia tertawa. "Laki-laki ini istimewa. Dia punya kecenderungan untuk terlalu memikirkan orang lain, hingga tidak memikirkan kepentingannya sendiri. Aku bahkan harus menjebaknya agar dia bilang cinta."

"Siapa, Aud?"

"Nanti, Syad. Belum saatnya, kita harus membereskan banyak hal lebih dulu."

"Apa Ayyara tahu?" Arsyad masih menyelidik.

Kepala Audra mengangguk sambil tersenyum mengingat bahwa anaknya itu malah menjadi mak comblang nomor satu. Selalu meledek dia dan Niko. Dahi Arsyad makin mengernyit dalam.

"Aud, setahuku kamu nggak dekat dengan siapapun kecuali Ni..."

Pintu ruang kerja diketuk dan Lisa masuk ke dalam. Pembicaraan mereka terhenti karena tubuhnya juga sudah berdiri. Audra menghargai Niko jadi dia ingin Niko bicara langsung pada Arsyad, bukan melalui dia.

"Bu, meeting direksi sepuluh menit lagi."

"Oke." Dia menoleh pada Arsyad yang juga sudah berdiri. "Terimakasih," tubuh Arsyad dia peluk sesaat.

"Hati-hati dengan siapapun yang kamu ingin nikahi, aku tidak mau apa yang terjadi dulu dengan Evan terulang lagi. Kamu harus memberitahuku nanti, jadi aku bisa periksa semua," ujar Arsyad protektif.

"Iya, iya. Aku harus bersiap meeting. Salamku untuk Sabiya."

Lalu Arsyad meninggalkannya pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro