Part 33
Pagi hari, Walton Agency.
Saat pertama kali Aryo terbangun, dia tidak menemukan siapa-siapa. Hanya ruangan putih tanpa jendela yang berukuran cukup besar, kemudian seluruh alat-alat kedokteran yang menempel di tubuhnya. Tangan kanannya di gips. Mungkin patah, entah. Dia memanggil siapa saja yang ada di balik ruangan, tapi tidak ada yang datang. Tapi akhirnya dia bisa melihat satuan waktu yang tergantung di dinding. Pukul dua tiga lima pagi.
Tubuhnya masih terasa berantakan, tapi sudah bersih. Seluruh lebam luka terasa nyeri namun bengkak pada mata sudah hilang. Pikirannya terbang pada wanitanya. Dia merindukan Janice, mencintai wanita itu lebih dari siapapun yang pernah dia cinta. Edward sangat menyayangi Janice, sekalipun tidak pernah menunjukkannya. Dia mengerti. Ya, kalau saja dia memiliki anak perempuan cantik dan cerdas seperti Janice, dia juga pasti akan mengamuk marah karena anak perempuannya diculik, dibawa pergi, bahkan mereka tidur bersama.
Bagaimana meyakinkan Edward, agar laki-laki kaku itu mengerti kalau dia sungguh-sungguh dengan Janice? Edward adalah jenis laki-laki yang penuh integritas dan memiliki harga diri tinggi. Tapi harusnya Edward gembira kan karena dia adalah Daud? Sekalipun dia benci karena dia harus mengakui hal itu. Apakah Edward tidak setuju pada semua laki-laki? Atau justru karena dia Daud? Pikirannya terus berputar mencari solusi hingga dia tertidur.
Beberapa waktu tak terasa berlalu. Harum yang dia bisa hirup samar membuat dia membuka mata. Ada seseorang di dalam ruangan.
"Pagi," suara seorang wanita.
Matanya mengerjap beberapa kali lalu menatap seorang wanita berjas dokter putih sedang memeriksanya. Dokter Antania Tielman.
"Pagi, Dok. Wow, harum lo unik banget dok." Ada harum yang berbeda dari wanita ini.
"Lo goda dia, gue pastikan lidah lo nggak akan bisa lo pakai buat ngomong lagi," suara yang dia kenal datang dari sisi kanan ruangan.
Senyum kecilnya mengembang, kemudian dia menoleh. Mareno Daud sedang berdiri dan bersandar pada dinding sambil bersedekap.
"The Don Juan, datang sendiri untuk menjaga wanitanya dari gue. Serius, Ren? Lo takut Antania jatuh cinta sama gue?"
Antania sibuk memeriksa kondisinya dan mengabaikan mereka.
Mareno tertawa kecil. "Gue ke sini mau ngetawain lo. Peluru adik gue rasanya enak, kan? Mau lagi?"
"Boleh. Minta Janice yang antarkan," tantangnya.
"Besar kepala. Lo pikir Edward akan ijinkan?" dengkus Mareno.
"Itu urusan gue."
"Masih besar kepala. Menurut lo Janice serius sama lo? Janice terlalu pintar dan cantik untuk lo," singit Mareno.
Kali ini dia terkekeh. "Look who's talking?" Matanya menatap dokter Antania yang sedang mengganti cairan infus. "Dok, dulu kenapa lo mau sama Mareno? Pasti bukan karena dia pintar kan?"
Mata Tania menatapnya. "Paling enggak, Mareno tidak pernah menembak dan melukai wanita seperti pengecut."
"Oh, sh*t. Itu diungkit lagi. Sakitnya itu di sini, Dok," Aryo memegang dada.
Tania berhenti dari apa yang sedang dilakukan kemudian menatapnya dalam. "Kamu pikir ini semua lucu? Kami semua meresikokan segalanya untuk menolong kamu. Bahkan Sabiya yang kamu tembak dulu, dia yang meminta Ayah Ibrahim untuk mengajak Edward pergi saat Arsyad menjemputmu. Kamu tahu ini tempat siapa? Alexandra Walton. Wanita yang pernah kamu ancam dulu."
"Itu dulu, Dok. Dulu. Kalian senang sekali mengungkit masa lalu," emosinya mulai naik. Refleks satu tangannya menahan lengan Tania yang ingin menjauh darinya.
Mareno Daud bereaksi lalu Antania menghentikan suaminya dengan menggelengkan kepala. Tania menoleh dan menatapnya dalam lalu dia buru-buru melepaskan genggamannya.
"Maaf, itu refleks. Kalian selalu menyerang," ujarnya membela diri.
"Kamu sakit hati karena semua orang selalu ingat dosamu sekarang?" tanya Tania tegas.
Saliva dia loloskan, dia diam saja tenggelam di kedalaman sorot mata penuh misteri milik Tania.
"Ingat sakit hati mu sekarang baik-baik. Rasakan setiap nyeri-nya. Saat orang-orang yang dulu kamu sakiti menatapmu tidak terima. Lalu pastikan, kamu tidak akan mengulangi hal yang sama, Aryo Kusuma."
Kemudian Tania membalik tubuh. Mareno keluar lebih dulu. Seluruh aura Tania berbeda. Ada banyak misteri dan luka. Dia juga bisa merasakan kuat campuran perasaan Tania yang wanita itu tahan. Langkah Tania berhenti di dekat pintu, lagi-lagi Tania menatapnya tapi kali ini dengan ekspresi berbeda.
"Kami tidak menyesal karena sudah memberi kamu kesempatan kedua. Jadi, jangan kacaukan semua." Tania memberi jeda. "Selamat datang di keluarga Daud."
Dia terhenyak tidak mengira. "Terimakasih, Dok. Saya sangat menghargai itu."
Kepala Tania mengangguk lalu wanita itu pergi dari sana.
Sial. Mareno beruntung banget mendapatkan Antania.
***
Aryo sempat tidur sejenak setelah Tania pergi, namun dia sudah terjaga saat mendengar suara detak sepatu heels yang entah kenapa membuat jantungnya tiba-tiba turut berdetak aneh juga. Belum tentu Janice yang ada di balik pintu, bisa saja itu Alexandra Walton si cantik bermata biru. Tapi kali ini hatinya seolah berderak menyambut suara heels tadi.
Mata masih dia pejamkan saat seseorang masuk ke dalam ruangan. Senyum dia tahan karena wangi segar Janice sudah dia bisa hirup dalam. Dia merindukan wanitanya ini, dengan setiap helaan nafas dan sakit tubuh yang tak terperi. Dia juga mengerti bahwa Janice tidak bisa datang begitu saja setiap hari. Edward pasti mengawasi Janice ketat sekali.
Janice berjalan mendekat namun berdiri diam menatapnya saja. Nafas dia hirup dalam dua kali.
"Kalau dulu saya tertipu saat kamu pura-pura tidur begini, sekarang kamu tidak bisa menggunakan tipuan yang sama," Janice memulai.
Senyumnya sudah mengembang lebar dan mata dia buka perlahan. "Bagus. Saya nggak berniat menipu kamu lagi, hanya nggak mau salah sangka kalau ternyata yang datang bukan kamu. Itu aja."
"Kamu nggak punya banyak pengunjung setahu saya."
"Ya, hanya dokter dan tadi pagi saya cukup beruntung karena Mareno datang."
Matanya memuaskan rasa rindu dengan menatap Janice lama-lama. Janice berpakaian kerja formil, seperti dulu saat mereka pertama bertemu. Celana pantalon hitam dengan heels tinggi dan kemeja satin cantik berwarna hijau zamrud seperti warna mata Janice. Rambut panjang Janice tergerai indah dengan wajah yang dirias tipis-tipis. Mempesona...dia terpesona tidak peduli bahwa ini bukan kali pertama.
"Apa kabar, Jen?" bisiknya sambil menghirup nafas perlahan. "Apa kamu bisa mendekat ke sini? Saya merindukanmu setengah mati."
Aryo bisa melihat Janice meloloskan saliva perlahan dengan ekspresi yang ditahan.
"Saya baik. Apa kamu baik-baik?" Janice tetap berdiri di tempatnya.
"Saya tidak baik karena kamu memberi jarak begini. Tolong melangkah ke sini, Jen."
Lama mereka diam lalu dia menggeram kesal. "Oke, saya ke sana."
Susah payah dia menggerakkan tubuh dan menggeser kakinya yang masih terasa sakit sekali.
"Stop, kamu belum pulih benar."
Dia mendengkus sambil terkekeh. "Ini jauh lebih baik daripada saat saya nggak bisa lihat kamu kemarin." Dahinya mengernyit menahan sakit dari kaki yang sudah dia geser untuk bersiap turun dari atas tempat tidur.
"Aryo, stop."
"Ke sini, Jen. Atau saya yang ke sana."
Janice maju satu langkah tapi dia masih tetap belum bisa menggapai Janice dengan tangannya.
"Ayah benar, kamu akan mematahkan kakimu sendiri untuk langsung berlari ke arah saya," bisik Janice.
"Edward lebih tahu saya daripada kamu ternyata." Tubuhnya masih duduk di pinggir tempat tidur.
Mata Janice dia tatap lagi. "Ada apa? Kenapa kamu nggak mau dekat-dekat dengan saya? Apa ruangan ini ada kamera? Apa Edward melihat semua?"
Janice menggeleng.
"Terus kenapa?" tanyanya lagi.
Janice tetap diam saja.
"Mungkin kamu marah sama saya karena saya nggak bisa melindungi kamu dari Edward. Maafin saya, Jen. Saya akan perbaiki semua. Setelah kondisi saya membaik..."
"Tidak akan ada yang terjadi lagi, Aryo."
Jantungnya mulai berdebar seru. "Gimana?"
Ekspresi Janice berubah dingin dan kaku. "Kamu nggak perlu menjemput saya, atau menyelamatkan saya dari siapapun. Karena sekarang saya sudah bersama keluarga saya. Mereka tidak akan melukai saya."
Dia mendengkus keras. "Edward tembak kamu di depan mata saya. Don't give me bulls*it, oke? Saya udah bilang saya nggak akan tertipu dengan sikap kamu setelah insiden kemarin."
"Ayah selalu begitu. Tapi dia selalu mencintai saya. Jadi..."
"...jadi saya juga akan mencintai kamu lebih besar dari apa yang Edward berikan sama kamu selama ini. Saya nggak menyerah mudah..."
"Bukan kamu yang saya mau, Aryo. Kemarin itu hanya karena...."
"Nafsu?" dia tertawa sambil menatap Janice tidak percaya. "Jen, gue nggak sangka ternyata lo suka nonton sinetron murahan dengan adegan pura-pura lupa dan nggak cinta. Norak! Gue nggak tanya apa perasaan lo ke gue, karena gue sudah tahu. Jadi intinya..."
"Kamu salah duga, saya salah duga."
"Oh ya?" tangan dia lipat ke depan. "Lo pikir gue bakat jadi pemain sinetron kayak lo dan meladeni sikap lucu lo sekarang ini?"
"Aryo..."
"Apa? Lo diancam apa sama Edward? Dia akan bunuh gue jadi lo takut dan mau lari dari gue? Dengan dalih menyelamatkan hidup gue?" nadanya mulai tinggi.
"Saya nggak punya perasaan apa-apa..."
"Lo bilang begitu sejuta kali, gue tetap nggak percaya." Dia mulai bergerak lagi berusaha berdiri.
"Stop, jangan berdiri kaki kamu masih..." refleks Janice bergerak menahan tubuhnya.
"Gue nggak takut nggak punya kaki, Jen," tangan Janice dia tampik kasar.
"Jangan keras kepala, bodoh!!" Janice sudah menahannya untuk kembali duduk lalu dia menggenggam lengan Janice kuat.
Mata Janice menatap genggaman tangannya pada lengan wanita itu.
"Lepas, Yo."
"Nggak akan. Sumpah nggak akan," ujarnya tegas.
"Kamu nggak ngerti posisi kamu sekarang!!" teriak Janice marah.
"Saya sangat mengerti apa yang saya mau dan saya akan dapatkan."
"Edward terus akan memburu kamu."
"Silahkan. Saya nggak akan sakiti laki-laki yang sudah membesarkan kamu selama ini. Nantinya Edward akan tahu bahwa saya adalah laki-laki terbaik untuk menjaga putri satu-satunya."
"Dia bisa nekat dan membunuh kamu."
"Edward bisa mencoba tapi saya akan pastikan kalau Edward akan selalu gagal."
"Saya akan dikurung atau dikirim entah kemana."
"Saya akan cari kamu sampai ujung dunia."
"Saya nggak bisa begini, Aryo!!" jerit Janice marah. "Saya nggak bisa hidup dengan rasa khawatir bahwa nyawa kamu akan selalu berada di ujung tanduk. Saya bisa gila!!" Satu air mata Janice meluncur. "Tolong pergi, Aryo. Terus hidup di luar sana...untuk saya. Lakukan untuk saya, please."
Saliva dia loloskan lalu dia menarik tubuh Janice dan memeluk wanitanya itu. "Hidup tanpa kamu itu bukan hidup, Jen. Saya sudah nggak bisa lagi."
"Dasar keras kepala, bodoh." Janice membalas pelukannya.
"Ya, kata semua orang begitu." Hidungnya menghirup wangi Janice dalam-dalam.
Mereka masih terus berpelukan erat, tidak mau saling melepaskan. Janice masih menangis tanpa suara. Sekuat apapun Janice ditempa, Janice tetap perempuan biasa. Dia mengerti betapa cemasnya Janice saat melihat dia terluka, atau pada bayang-bayang di depan sana dengan Edward yang akan menyiksa dia. Janice ketakutan, kalut dan bingung karena tidak tahu jalan keluar untuk masalah mereka. Jadi, dia yang akan mencari jalan itu. Bertahan betapapun Edward akan menyiksanya, atau Janice yang mungkin akan terus berusaha lari darinya.
Pelukan mereka Aryo lepaskan perlahan. Wajah Janice yang basah dengan air mata dia hapus dengan satu tangan. Wanita ini yang sudah menyelamatkan hidupnya berkali-kali. Takdir mereka berpapasan saat dia merasa sudah tidak ada tempat untuknya di dunia, tidak ada yang benar-benar mencintai dia. Janice memberi Aryo alasan untuk terus hidup, memberi tujuan baru. Kesempatan kedua yang ada di depan mata dan dulu dia abaikan.
"Dasar cewek cengeng," kekehnya menggoda Janice.
"Dasar manusia aneh yang menyebalkan," balas Janice.
Bingkai wajah Janice dia sentuh dengan satu tangan. Meneliti apa Janice terluka kemarin waktu menjemputnya. Lalu dengan dua jari dia menyentuh bibir Janice perlahan. Sambil menikmati detik waktu yang terasa lebih lambat. Kepala dia miringkan lalu dia mendekat perlahan. Janice menutup mata indahnya kemudian bibir mereka bertemu. Membelai lembut di awal, kemudian bergetar karena rindu yang mendesak dalam. Air mata Janice sudah berhenti, sekalipun rasa cemas wanita itu tetap tinggal.
Mereka menghentikan waktu, lama-lama. Berusaha mengulang seluruh kenangan indah kemarin. Satu tangan Aryo berpindah ke belakang leher Janice, mengusap lembut leher jenjang milik wanitanya. Janice harus tahu bahwa dia akan melakukan segalanya, apa saja. Karena dia tergila-gila dengan wanita ini. Karena Janice adalah udara untuknya. Perlahan sekali ujung hidung mereka menempel, saat mata indah Janice terbuka.
Sekalipun Aryo benci namun dia berhenti, memberikan Janice kesempatan untuk menenangkan diri. Kemudian dia menatap wanitanya dengan dalam rasa yang dia punya, menyadari bahwa tidak ada satupun di dunia yang dia inginkan selain untuk selalu bersama.
"I still want you to go," bisik Janice disela tatapan mereka. "Hidup bebas di luar sana. Lakukan itu untuk kita berdua."
"Saya lebih baik dikurung dan disiksa seperti kemarin, daripada harus pergi dan berpura-pura lupa dengan semuanya."
"Ayah tidak akan menyerah, dan kamu keras kepala. Apa yang harus saya lakukan agar kalian mengerti, bahwa sikap kalian berdua menyiksa saya?"
"Tetap di sana, tunggu saya. Jangan berpikir untuk pergi dari saya atau mengusir saya pergi lagi." Dia memberi jeda. "Saya akan datang, menjemput kamu. Itu yang kamu harus lakukan."
"Otak kamu begitu bodoh jadi benar-benar nggak bisa mengerti bahwa kita selamanya nggak akan bisa bersama, Aryo."
"Kamu terlalu pintar jadi selalu berpikir berlebihan."
"Berlebihan?" Janice menatapnya tidak percaya. "Kamu bilang saya berlebihan sementara kamu ditembak hampir mati di depan saya lalu dikurung berhari-hari lamanya. Belum lagi disiksa. Saya nggak berlebihan!" Tubuh Janice berdiri gusar.
"Hey, sini dulu. Jangan jauh-jauh. Saya masih belum bisa tangkap kamu."
Matanya menatap Janice yang terus berjalan mondar-mandir gusar. Kemudian dia tertawa kecil.
"Kamu lucu kalau lagi galau, Jen."
"Percuma ngomong sama manusia bebal kayak kamu."
Senyumnya tambah lebar. "Memang percuma, jadi nggak usah ngomong. Kita langsung in-action gimana?"
Sosok Janice sudah bertolak pinggang dan menatapnya galak.
"Oh, I miss that look. Bertengkar lebih seru daripada sedih-sedih kayak tadi. Itu bukan gaya pacaran kita. Mau mulai bertengkar lagi sekarang?"
"Hrrrghhh, saya nggak ngerti kenapa saya bisa..."
"Kamu ngerti, cuma malu aja ngaku sama saya."
"Aryo!!"
"Apa, Sayang?"
Wajah Janice yang tiba-tiba merah memicu tawa. Karena kesal Janice menggeram lagi lalu melangkah ke luar.
"Jen, ayolah. Sini dulu, saya masih kangen."
"Kita bicara kalau kamu sudah waras!" tegas Janice membelakangi tubuhnya.
Pintu tertutup dan tawanya meledak lagi. Tidak berapa lama pintu kembali terbuka. Ada sosok Alexandra Walton berdiri di sana.
"Janice kamu apain? Kok mukanya merah dan langsung pergi begitu?" tanya Alexa polos.
"Halo, Alexa."
Alexa seperti tiba-tiba sadar bahwa seharusnya wanita itu tidak bicara padanya. Tubuh Alexa sudah ingin berbalik ke luar saat dia memanggilnya.
"Alexa, tunggu."
Wanita itu berhenti tapi tidak berani berhadapan dengannya.
"Saya minta maaf, atas kejadian dulu di butik Sabiya. Saya benar-benar menyesal. Apapun alasannya, apa yang saya lakukan dulu salah." Dia diam sejenak. "Apa kamu mau memaafkan saya?"
Tubuh Alexandra berbalik untuk menatapnya. "Kamu harus minta maaf dengan Sabiya. Kamu tembak dia."
"Ya, saya akan lakukan itu tanpa kamu minta. Apa kamu bisa menghubungi Sabiya agar dia bisa datang ke sini? Saya masih belum pulih benar jadi..."
"Kamu juga harus berjanji kamu nggak boleh tembak siapapun lagi."
Dahinya mengernyit. "Itu agak susah. Karena kalau saya mau membantu Arsyad nanti, mungkin saya harus tembak seseorang."
"Kalau begitu jangan bunuh siapa-siapa lagi."
Dia diam berpikir. "Kalau saya nggak bisa berjanji, apa akibatnya?"
Alexa menggigit bibir dengan ekspresi gugup. Calon istri Mahendra Daud ini luar biasa cantik sekali. "Nggak ada...aku tetap maafin kamu karena kamu pacar Janice. Dan karena semua orang bisa buat salah dan berhak untuk kesempatan lain."
Senyum dia kulum karena Alexandra terlihat sedikit takut. Namun mata polos Alexandra memperlihatkan ketulusan hati.
Nafas dia hirup panjang. Tidak menyangka bahwa dia akan berjanji untuk melakukan suatu hal yang sulit sekali karena seorang Alexandra Walton.
"Untuk wanita secantik dan sebaik kamu, saya berjanji untuk tidak membunuh orang lagi."
Kemudian senyum Alexandra mengembang lebar. "Oke, saya maafkan. Jaga Janice baik-baik, dia temanku. Kalau kamu berani membuatnya sedih, aku akan..."
"Akan apa?" tanyanya penasaran.
Alexandra seperti bingung sendiri. Gadis ini manis sekali. "Aku akan bilang Mahendra jadi dia akan meledakkan kamu."
Dia tertawa. "Oke, baik."
Sebelum Alexandra keluar, dia berujar lagi. "Terimakasih Alexa, untuk semua ini."
"Kamu harus berterimakasih pada Mahendra dan saudara-saudaranya. Mereka yang menyusun rencana berhari-hari untuk menolong kamu."
Saat pintu itu tertutup, entah kenapa ada rasa hangat yang menjalar di dada. Apa kesempatan kedua selalu terasa menyenangkan seperti ini? Kenapa dia kemarin abai sekali dan masih terus mengejar wanita milik sepupunya sendiri. Dia sudah gila, wajar saja Hanif Daud begitu murka padanya.
Ah, persetan. Hanif juga rese dari awal.
Sesuatu yang berbunyi bip membuat kepalanya menenggadah ke atas.
"Itu pertama dan terakhir kamu ngomong sama calon istri saya. Jangan manfaatkan kebaikan dan kepolosan Alexa untuk kepentingan kamu sendiri. Atau kamu akan terima akibatnya," suara Mahendra Daud menggema di ruangan.
"Uwooo...kalian luar biasa posesif ya. Apa itu gen bawaan?" ledeknya.
"Hah, saya penasaran bagaimana reaksi kamu sendiri saat tahu betapa Janice dan Hanif dekat sekali sejak kecil."
"Sedekat apa?" rasa penasarannya terpancing cepat.
Mahendra tertawa menyebalkan di sana. "Lihat aja sendiri nanti..."
"Hen, nggak lucu, Hen. Hanif udah married."
"Betapa dunia itu adil ya. Karena Fayadisa dan Janice menganggumi Bang Hanif bahkan sebelum mereka berdua mengenal kamu. Wajar sih, abang saya jauh lebih keren daripada kamu."
Dia mendengkus marah. "Nyebelin sumpah. Lo dimana sih? Jadi selama ini lo bisa lihat gue di sini? Hidih, serem banget. Dasar stalker aneh."
"Nanti gue kirimin foto bagaimana Bang Hanif mesra banget sama Janice waktu kecil dulu."
"Brengseeeek!!"
"Semoga lo nggak cepat sembuh, Yo. Biar tambah merana," Mahendra masih tertawa membuat dia makin kesal saja.
***
Bingung banget sama bromance mereka. Tapi yang jelas semua itu berproses. Karena kesalahan Aryo yang nggak main-main juga dulu, itu yang buat semua transisi dari jahat ke baiknya butuh waktu. Nggak ada yang instan kan, mie aja harus dimasak dulu.
Jadi...masak terus air nya Yooo. Yang sabar yaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro