Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 32

Siapin jantung, siapin tissue.

***

Area ADS. Working House milik Edward.

Aryo berusaha berdiri dengan satu kaki yang masih lemah. Menatap lawannya kali ini. Dia kehilangan satuan waktu dan orientasi hari. Hanya berusaha tetap hidup waktu demi waktu. Kakinya dilumpuhkan lagi saat mereka tahu bahwa peluru sebelumnya sudah dia cabut. Kali kedua peluru itu menancap, dia tidak mencabutnya. Karena saat tembakan pertama, sakit dari peluru itu benar-benar tidak bisa dia jelaskan dengan kata-kata.

Laki-laki dengan tubuh tegap di hadapannya juga terengah-engah. Menatapnya tertarik karena dia masih bisa berdiri sekalipun limbung. Tubuhnya kotor, penuh darah kering. Bau, karena dia hanya diberi makan satu kali dan seember air. Mereka memperlakukannya buruk sekali, tapi tidak masalah. Dia pernah mengalami yang lebih buruk dari ini. Kepala dia gelengkan keras untuk mengusir sakit pada kepala yang mulai datang. Dia harus keluar dari sini hidup-hidup.

"Saya pikir sudah cukup malam ini," ujar lawannya.

"Malam? Ini sudah malam?" satu tangannya berpegangan pada dinding karena kakinya mulai bergetar.

Laki-laki itu mengangguk.

"Kenapa lo nggak bunuh gue aja?" Matanya yang bengkak, membuat dia tidak bisa melihat jelas.

"Perintahnya bukan untuk membunuh, tapi melemahkan."

Dia terkekeh. "Bodoh."

"Apa?"

"Bodoh." Dia tersengal sejenak karena tertawa tadi. "Kalian bodoh karena nggak bunuh gue."

"Saran saya, jangan banyak ulah dan memancing. Kalau Edward emosi, kamu bisa disingkirkan semudah Edward menjetikkan jari."

"Gue nggak gampang mati." Punggungnya sudah bersender pasrah di dinding. Tenaganya terkuras habis dan rasa sakit dari segala bekas baku hantam berhari-hari datang. Orang normal sudah akan mati. Tapi dia tidak normal, selalu begitu.

Tubuhnya merosot ke lantai sambil bersandar ke dinding.

"Sampai ketemu tiga jam lagi," ujar sang laki-laki.

Dia mengangguk. Sudah hafal benar jadwal rutin hari-harinya di sini. Kepala dia sandarkan di dinding. Dia harus bisa tidur selama dua jam lalu bangun satu jam sebelum dia harus bertarung lagi. Lalu dia akan membagi satu porsi makanan menjadi lima. Dia akan makan sedikit demi sedikit di setiap jeda pertarungan.

Ketelitian, kesabaran, daya tahan tubuh, juga kelihaiannya bertarung benar-benar diuji hingga di luar batas maksimal. Berbagai cara sudah dia coba, dan yang paling baik adalah bertahan. Bukan menyerang. Jadi dia membiarkan tubuhnya ambruk ke lantai serta memejamkan mata. Tidur untuk memulihkan tenaga hingga saatnya dia bertarung lagi dengan siapapun yang masuk ke dalam ruangan ini.

***

Janice tidak menyangka bahwa bahkan Arsyad meminta langsung pada ayahnya untuk pergi bersama Edward ke luar kota. Arsyad bilang padanya, bahwa Ibrahim dan Trisa tidak tahu perihal apa yang akan mereka lakukan sekarang. Ayah lebih pintar, karena sudah menghubunginya saat dia keluar dari safe house dan meminta dia pulang segera. Saat dia tiba di rumah, seluruh teknologi yang ayah pasang mengunci dia di dalam. Dia tidak akan bisa keluar jika saja Mahendra tidak menjemputnya.

Saat ini mereka sudah berada di dalam hutan buatan yang mengelilingi kompleks besar ADS, dekat dengan working house milik ayah. Koper perak ada di dalam sana, dan Aryo berada di tempat yang sama.

"Mahendra akan jadi mata, kita yang masuk," Arsyad memulai.

Dia mengangguk lalu menyadari ada seseorang melangkah mendekatinya dari belakang. Refleksnya yang cepat segera mengambil senjata dan membalik tubuh untuk menodongkannya.

Niko menghela nafas. "Hai Jen."

"Nik?" tanyanya heran.

"Gue diminta Arsyad. Profil tubuh Aryo itu sebesar Arsyad. Jadi kalian butuh bantuan," jawab Niko.

"Saya nggak nyaman, ini terlalu banyak."

"Kamu lupa berapa jumlah penjaga di sana, Jen. Tidak boleh ada kesalahan karena kita hanya punya satu kesempatan saja," jelas Arsyad.

"Saya tidak lupa, tapi saya bisa."

"Apa kamu mau terus berdebat dengan saya?" tanya Arsyad.

"Maaf."

"Ayo, kita mulai."

Mereka menyamakan jam di tangan, memasang black glasses, dan earphone pada telinga. Arsyad memeriksa sambungan dengan Mahendra. Lalu mereka mulai bergerak tanpa suara.

***

"Saya punya banyak rasa untuk kamu, Aryo. Kamu harus baik-baik saja." Ada suara wanitanya di dalam kepala.

Kemudian seluruh kenangan mereka dia putar ulang. Bagaimana ketika mereka bertengkar, kemudian saat Janice mencarinya. Atau ketika Janice tersenyum dan tertawa, lalu menangis untuknya. Seluruh kenangan indah kebersamaan mereka adalah satu-satunya alasan kenapa dia masih bisa bernafas hingga sekarang. Dalam tidur yang singkat dan tidak pernah tenang, dia memutar ulang semua. Jika beruntung dia bisa benar-benar tertidur dan siapapun yang datang akan membangunkannya kasar sebelum mereka mulai bertarung.

Saat ini, bukan hari keberuntungannya karena dia tidak bisa benar-benar tidur. Mata tetap dia pejamkan karena ada wajah Janice yang tersenyum bahagia di pantai. Berbaring di atas pasir sebelahnya. Dia merindukan wanita itu dengan setiap detak jantungnya, atau nafas yang saat ini terputus-putus. Entah bagaimana, dia akan keluar dari tempat ini. Tubuhnya akan terbiasa dan akan pulih dengan lebih cepat. Saat staminanya sudah kembali, dia benar-benar akan menjatuhkan lawan, mengambil kunci dan melangkah keluar untuk menjemput Janice.

Ada suara-suara di luar yang membangkitkan instingnya. Matanya memicing lalu susah payah dia bangun untuk bersandar pada dinding. Harusnya belum tiga jam kan? Satuan waktu sudah dia tidak kuasai lagi, tapi entah kenapa dia yakin ini belum tiga jam berlalu. Makanan bahkan belum diantar karena nampan yang ada sudah kosong dan dia tidak mungkin salah berhitung.

Mungkin Edward mau pake cara preman, Yo. Tanpa aturan. Dia terkekeh sendiri.

Jari tangan dan kaki dia berusaha gerakkan lagi. Menunggu lawannya masuk. Pintu terbuka lalu dia memicingkan mata berusaha melihat dengan jelas diantara bengkak pada matanya. Seorang laki-laki menggeram dan berjalan mendekatinya. Dia berusaha bangkit untuk bersiap-siap.

"Apa ini sudah tiga jam? Kalian main curang," dia terkekeh sambil terbatuk karena terasa sesak.

Laki-laki tadi sudah merangkul tubuhnya dari sebelah kanan. "Lo bau banget, Yo. Kita keluar dari sini."

Jantungnya berdebar keras, suara ini. "Syad?" kepalanya menoleh tapi bayangan Arsyad buram.

"Hen, siapkan mobil. Kondisi Aryo parah."

Sudah ada satu laki-laki lagi yang memapahnya dari sebelah kiri. Dia terkekeh lagi. "Nikoo...I miss you."

"Sumpah gue seneng banget liat lo babak belur begini," sahut Niko. Mereka mulai melangkah.

"Kaki gue patah pelan-pelan...hrrrghhhh..." geramnya menahan sakit. Dia berhenti untuk mengatur nafas.

"Kaki lo nggak patah. Tembakan itu hanya untuk memanipulasi rasa aja. Jadi jangan merengek. Jalan, Yo. Lo mau gue seret di depan Janice?" ujar Arsyad yang masih memapahnya.

"Janice?" kali ini hatinya yang berderak-derak.

"Ya, dia di luar sedang mengurus sisa-sisa."

"Cabut pelurunya dan suntikkan penawar yang gue kasih ke elo, Bang," suara Mahendra dari earphone Arsyad terdengar.

"Sumpah jangan, sakit banget rasanya," dia terbatuk lagi.

Si sadis Arsyad tidak peduli lalu langsung menunduk mencabut cepat dua peluru itu lalu dia menahan jeritannya sendiri. Tubuhnya jatuh lagi padahal Niko sudah berusaha memapahnya.

"Manusia gilaa..." makinya pada Arsyad.

Kemudian dengan cepat Arsyad menusukkan sesuatu pada kakinya dan dia menggigit keras tangannya yang sudah penuh luka pertarungan. Niko terkekeh melihatnya.

"Brengsek lo berduaaa. Hrrrghhhh..."

"Kapan lagi gue liat lo merengek kayak bayi begini," Niko masih terkekeh menyebalkan.

Saliva dia loloskan perlahan saat dia merasakan seluruh tubuhnya seperti terbakar dari dalam. Niko dan Arsyad berjongkok di dekatnya. Dua tangan dia hantamkan ke lantai berkali-kali untuk menahan sakit yang dia rasa.

"Sakitnya luar biasa, Bang. Bisa lebih dari 45 del, persis seperti racunnya. Kemampuan rata-rata manusia hanya 45 del, gue udah bilang kan? Karena serum itu belum sempurna. Harusnya hanya satu menit lalu tubuh akan mulai terasa dingin," Mahendra lagi.

"Lo kasih gue apa, begooo...hhrrrghhhh..." tubuhnya terasa luluh lantak, gigi-giginya bergemelutuk hebat, dia kehabisan kata untuk menjabarkan bagaimana rasanya.

"Penawar untuk syaraf-syaraf lo. Fungsinya untuk menetralkan syaraf lo yang sebelumnya dimanipulasi jadi bisa mengirimkan sinyal rasa yang benar," ujar Arsyad.

"Siapa tahu lo bisa sedikit lebih waras kan, Yo?" Niko menepuk pundaknya yang dia tampik kesal.

"Suruh dia tarik nafas dalam, Bang. Berulang kali. Bernafas dengan benar adalah salah satu cara mengalirkan energi," suara Mahendra terdengar jelas.

Nafas dia hirup panjang, berkali-kali. Kemudian dia merasa tubuhnya mendingin. Saliva dia loloskan perlahan-lahan, karena kakinya terasa lebih baik. Masih sakit, tapi lebih baik.

"Gerakkan kaki lo, pelan-pelan."

Kesadarannya sudah kembali. Dia bukan banci dan tidak lemah. Juga dia benci ditertawakan seperti tadi. Jadi dia berusaha berdiri tegak lalu melangkah perlahan.

"Jangan sok," Arsyad dan Niko sudah merangkulnya lagi.

Mereka ke luar dari ruangan dan dia melihat wanitanya sedang berdiri di ujung koridor dengan dua laki-laki yang tidak sadar di lantai.

"Jen..." bisiknya lirih. Betapa dia merindukan wanita itu.

"Sabar, Yo. Satu-satu," ujar Arsyad padanya.

"Kenapa lo ajak Janice sih, Syad? Gue lagi berantakan," protesnya pada Arsyad.

"Syad, bisa kita tinggal di sini aja nggak nih orang gila?" tanya Niko kesal.

Semangatnya seperti terbakar lagi. Dia bisa ke luar dari sini dan Janice datang. Mereka terus melangkah keluar cepat-cepat.

***

Walton Agency.

Van hitam yang bagian dalamnya sudah dirubah seperti ambulance adalah kendaraan mereka malam itu. Arsyad dan Niko membaringkan tubuh Aryo di tempat tidur belakang lalu dia naik ke dalam. Van melaju dengan Arsyad yang mengendarai dan Niko berada di sebelahnya.

Nafas Aryo satu-satu karena seluruh luka di tubuhnya. Engsel tangan bergeser dengan lebam biru di banyak bagian tubuh. Mata Aryo bengkak hingga laki-laki itu hampir tidak bisa membuka mata. Air matanya jatuh satu-satu melihat kondisi Aryo saat ini.

"Jen..." bisik Aryo sambil terengah. Satu tangan Aryo berusaha menggapainya.

"Saya di sini," dia sudah mengenggam erat tangan Aryo yang mencari, sambil berusaha keras menahan tangis.

"Kamu...baik-baik?"

Satu tangan lain yang tidak menggengam tangan Aryo sudah membungkam mulut untuk menahan isak tangisnya. Dia berdehem sebelum menjawab. "Saya baik, dan kamu berantakan."

Aryo tersenyum kecil. "Maaf, kalau saya tahu kamu akan jemput saya malam ini, saya akan mandi..." Aryo terbatuk-batuk. "Tapi saya masih keren kan?"

"Sssst...simpan tenagamu."

"Maaf..."

"Yo, diam dulu. Simpan tenaga kamu."

"...karena saya nggak tepati janji untuk jemput kamu."

Isak tangis makin sulit dia tahan. "Nggak apa-apa. Saya baik-baik aja. Istirahat dulu, oke?"

"We stick together no matter what, Jen. Bahasa Inggrisnya bener begitu kan?" bisik Aryo perlahan.

Dua tangannya sudah menggenggam tangan Aryo yang dia angkat dan letakkan di pipi. Sedikit demi sedikit mata Aryo terpejam lalu laki-lakinya itu benar-benar tidak sadar.

"Syad...tolong lebih cepat," suaranya serak karena tangis dan panik.

Empat puluh menit mereka berkendara hingga tiba di agency milik Alexandra. Antania sudah menunggu mereka tiba di ruang khusus, dengan Mareno yang berdiri di sebelahnya. Alexa dan Lydia ada di ruang sebelah, tidak berani masuk ke ruang tindakan karena tahu segala prosedur kedokteran akan dilakukan.

Tubuh Aryo sudah diangkat dan dipindahkan ke tempat tidur rumah sakit yang tersedia. Lalu dengan cekatan Antania mulai bekerja. Pakaian Aryo akan digunting lalu tangan Mareno menghentikan Tania.

"Stop, jangan sentuh laki-laki ini," ujar Mareno yang marah menatap abangnya.

"Semua harus dibersihkan dan infus harus segera terpasang. Dia dehidrasi hebat, tidak sadar, mungkin patah tulang entah berapa banyak," sahut Tania menatap Mareno tegas.

"Beiby..."

"Don't beiby me. Silahkan kalian berdebat di luar tapi saya nggak akan biarkan pasien saya mati. Semua keluar!!" teriak Tania tegas. "Minta Mahendra masuk, dia tahu dasar-dasar ilmu kedokteran. Saya butuh bantuan," ujar Tania pada Arsyad.

"Antania..." Mareno melangkah lagi lalu Tania yang keras kepala sudah mengacungkan gunting operasi ke wajah Mareno.

"Ke-lu-ar, Sayang. Sekarang," tegas Tania tidak main-main.

Saliva dia loloskan menatap itu semua di hadapannya. Dia mengerti atas sikap Mareno, itu Aryo Kusuma. Laki-laki yang sudah mendera mereka selama ini. Tapi hatinya sakit juga, karena bagaimanapun dia ingin Aryo diberi kesempatan kedua oleh semua orang.

Tubuh Mareno ditarik Arsyad sementara Niko menepuk pundaknya dan mengajaknya keluar.

"Biar para dokter bekerja, Jen."

Di luar ruangan.

Mareno mendorong Arsyad kasar. "Lo apa-apaan, Bang. Itu Aryo Kusuma!!"

"Dia sama Daud-nya seperti kita."

"Dia bukan Daud!! Dia anak Herman, ya benar. Tapi lihat apa yang Herman lakukan pada keluarga kita? Lo amnesia?"

"Herman sudah membayar, Ren. Dengan Tommy, dengan May, lalu dengan nyawanya sendiri. Herman sudah membayar."

"Dan lo sekarang bela dia? Lo lupa dia pernah bikin apa? Dia tembak Sabiya, dia mencoba membunuh Hanif berkali-kali..." Mareno terus menjabarkan seluruh dosa-dosa Aryo.

Jantungnya berdetak perlahan sekali, menelan setiap caci-maki Mareno seperti cacian itu adalah untuk dirinya sendiri. Sikap Mareno persis seperti dia dulu. Dengan angkuh dan pongah dia menghakimi Aryo. Atas apa-apa yang pernah Aryo lakukan dulu. Seolah dia tidak punya dosa, seolah dia manusia suci. Air matanya jatuh satu-satu karena Arsyad terus membela. Niko berdiri diam di pinggir ruangan tidak bisa apa-apa. Karena apa yang Mareno katakan benar. Itu fakta.

Tapi kali ini, dia yang tidak akan diam saja.

"Aluna Sabiya, luka tembak di dada karena kejadian di butik tanggal 11 Maret. Fayadisa Sidharta, luka tembak di perut saat insiden di ADS. Erlangga atau Elang, luka-luka pertarungan dan juga luka tembak..." dia terus menjabarkan seluruh korban yang Aryo pernah lukai sambil berdiri menatap Arsyad dan Mareno.

Mareno dan Arsyad diam menatapnya saat dia berhenti. "Saya, lebih hafal dari kalian semua siapa saja korban dari Aryo Kusuma." Lalu kepalanya menatap mereka semua.

"Sardono, mati saat penyerangan tanggal..." dia menyebutkan seluruh korban yang pernah dia bunuh dalam misi.

"Janice, stop..." ujar Arsyad perlahan.

Lalu dia berpindah pada Arsyad, melakukan hal yang sama. Menyebutkan seluruh korban jiwa. Air matanya jatuh satu-satu.

"Saya hafal semua nama korban saya sendiri..." ujar Arsyad lirih.

"Bagus." Kemudian kepalanya menoleh pada Mareno. "Ahmed al Fikri, usia 27 tahun. Mati karena..." dia melanjutkan lagi. "...Josephine Putri, bukan korban jiwa tapi dia harus menjalani 100 jam terapi karena kamu tinggalkan. Daftar korban wanita lebih banyak untuk kasusmu, Mareno. Apa perlu saya sebutkan satu-satu? Karena saya jauh lebih pandai mengingat nama wanita yang pernah kamu tiduri daripada dirimu sendiri."

Saliva Mareno loloskan perlahan. Mata Mareno menatapnya dalam. "Do you love him? Gilaa!! Oh, God. You love him!!" Mareno memijit kepala sambil memaki.

"Yes, I do. Jadi salahkan saya. Ini semua ide saya, tanggung jawab saya. Setelah kalian selesai di sini, silahkan pergi. Saya yang akan menghadapi Edward sendiri. Saya dan Aryo selalu sendiri, jadi tidak masalah."

"Jen, maksud Arsyad bukan begitu." Niko menyentuh pundaknya lembut.

Dia menatap semua orang di dalam ruangan satu per satu. Arsyad menatapnya dalam, Niko berusaha menenangkannya, Mareno berjalan mondar-mandir gelisah. Kemudian Alexandra yang baru saja masuk sudah mulai menangis juga.

Nafas dia hirup dalam-dalam, menenangkan diri. Tujuanmu sudah tercapai, Jen. Keluar dari sana sejenak, atau kamu bisa meledak.

"Terimakasih atas segala bantuannya." Dia membungkuk sedikit. "Setelah Aryo Kusuma bisa berjalan, saya akan pastikan dia tidak akan mengganggu hidup kalian."

"Jen..."

"Selamat pagi."

Tempat itu terasa sangat menyesakkan. Dengan seluruh bayangan kondisi Aryo yang kritis, dengan seluruh dugaan dan prasangka yang sudah mengakar, dengan segala dendam yang masih terpendam. Yang lebih membuatnya tidak tahan adalah untuk tahu, bahwa dulu dia akan bersikap sama persis seperti sikap mereka sekarang. Padahal, mereka semua adalah pendosa yang sama.

***

Kediaman keluarga Katindig.

Kaki Edward melangkah terburu-buru setelah tiba dari urusan penting di luar kota bersama Ibrahim Daud dan Sanjaya Darusman. Salah satu orangnya melapor bahwa Aryo Kusuma dibebaskan oleh beberapa orang. Sial, seharusnya dia lebih waspada. Kemampuan Janice memang tidak bisa dia sepelekan. Dia juga yakin Janice dibantu oleh para Daud.

"Janice!!"

Kamar Janice kosong. Dia melangkah lagi ke arah sasana di bagian belakang rumah. "Janice."

Anak perempuannya ada di sana sedang melakukan pull up pada salah satu tiang besi yang melintang.

"Apa kamu yang membebaskan Aryo Kusuma?"

Janice berhenti lalu melompat turun. "Ya. Ada masalah?"

"Dimana dia?"

Nafas Janice hirup panjang. "Aman dan saya akan membiarkan dia pergi setelah memulihkan diri."

"Bagus. Jadi bisa saya urus lagi nanti," dia membalik tubuh.

"Kenapa ayah sekejam ini? Apa salah Aryo? Apa salahnya!!!" jerit Janice murka.

Tubuhnya berbalik sempurna menatap Janice. "Dia membawa kamu paksa, menjual omong kosong tentang cinta, memperdaya kamu hingga kamu melanggar peraturan seperti ini..." suaranya makin tinggi karena emosi. "...hingga kamu lupa siapa yang harus kamu jaga!!"

"Saya tidak lupa. Tapi Ayah tidak punya hak memperlakukan Aryo sekeji itu. Dia manusia, dimana hati Ayah hah? Dimana??" Janice terengah dengan air mata. "Apa integritas, dan harga diri Ayah membuat hati Ayah mati?"

'PLAK!!' tangannya melayang tanpa bisa dia kendalikan.

Sedikit darah di bibir Janice usap lalu anaknya itu tersenyum kecil. Ekspresi murka sudah tercetak jelas di mata Janice, seperti murka yang dia rasa saat ini.

"Aryo Kusuma adalah laki-laki yang penuh motivasi. Dan karena sikap murahanmu Aryo tidak akan pergi dari sisimu lagi. Saya tahu itu. Saya benar-benar tidak mau membunuh Aryo. Tapi saya akan lakukan apapun untuk menjauhkan Aryo darimu. Termasuk mengurung dan mematahkan seluruh anggota tubuhnya hingga dia tidak bisa berlari ke arahmu lagi."

"Lakukan itu dan Ayah akan kehilangan aku!!" teriak Janice emosi. Janice mendekat dan menatap matanya dalam. Suara anaknya itu bergetar hebat. "You hurt him again like that, I will kill myself, Dad. I promise you."

Dadanya berdenyut nyeri, mengetahui putri satu-satunya lebih menyayangi orang lain daripada keluarganya sendiri. Janice tidak pernah ingkar janji, tidak pernah. Dia bahkan bisa melihat tatapan mata dirinya sendiri, saat dia berusaha lari dari ayahnya dulu. Untuk bersama dengan wanita yang dia cinta. Jadi dia tahu, bahwa Janice sanggup membunuh dirinya sendiri. Untuk pertama kali, dia gentar. Dia tidak akan sanggup kehilangan Janice.

"Kamu sudah berjanji untuk meninggalkannya dulu. Tepati janjimu." Nafas dia hirup dalam. "Saya tidak akan mengganggu Aryo, jika dia tidak bersamamu."

"Oke."

Dia berbalik untuk melangkah pergi. Kepalanya sedikit pusing, dan dadanya sesak. Kondisi kesehatannya menurun cepat. Harus ada pengganti Aryo Kusuma untuk Janice. Yang bisa memisahkan anaknya dari Aryo Kusuma, juga melindungi Janice nanti, serta meneruskan keturunan keluarga mereka. Umurnya tidak akan lama lagi, jadi dia harus mulai mencari.

***

Walton Agency, dua hari kemudian.

Setelah pertengkaran hebat dengan ayah, Janice berhenti bicara pada ayahnya sama sekali. Hanya mengangguk atau menggeleng jika ayah bertanya. Dia masih tinggal di rumah ayah, dan bekerja seperti biasa. Jadwal yang padat dengan seluruh persiapan pernikahan Mahendra membuat pikirannya teralih sejenak dari keinginan untuk menengok Aryo Kusuma.

Cara dia berkomunikasi dengan para Daud dan Antania adalah melalui Alexa. Kenapa? Karena ayah tidak akan pernah menyangka. Alexa hidup dan besar di dunia yang berbeda. Juga karena seluruh gadget milik Alexandra sudah diproteksi oleh Mahendra. Alexa juga alibi yang sempurna. Seluruh persiapan pernikahan yang terjadi, membuat dia dan Alexa sering bertemu dan bersama-sama.

Saat ini mereka berdua berada di dalam mobil menuju agency-nya, dengan Desmon yang berkendara dan satu orang lagi suruhan ayahnya untuk mengikuti dia kemana-mana. Susah payah dia menahan rasa penasaran karena dia belum menerima kabar apapun tentang kondisi Aryo. Kawanan Aryo mulai bergerak mencari Tuannya yang tidak ada kabar. Brayuda menginformasikan perihal itu.

Setelah dua puluh menit berkendara, mereka tiba. Desmon menunggu di luar sementara orang suruhan ayah masuk ke dalam.

"Lyd, meeting sudah selesai?" tanya Alexandra saat Lydia muncul di lobby kantor dengan tiga orang laki-laki yang terlihat sangat rapih dan tampan.

"Sudah, Tuan Putri. Kita jadi diskusi soal undangan, souvenir dan bla-bla-bla kan. Semua contoh sudah ada di ruangan," Lydia menyahut sambil melihat satu penjaga yang berada di belakang tubuhnya.

"Well, well, well. Ada orang baru nih? Pacar kamu, Jen?" Lydia berjalan mendekati si penjaga.

Dia diam saja.

"Bukan pacar berarti. Soalnya muka lo kaku begitu, Jen," tatap Lydia tanpa malu-malu. "Tampang lumayan, postur...mmm. Gue kasih nilai 90. Mau jadi model nggak? Bayaran lebih bagus dan akses tidak terbatas untuk selalu dikelilingi wanita."

Si penjaga diam saja.

"Lyd, kita nggak punya waktu. Ayok..." ujar Alexa.

"Kamu nggak boleh masuk ke area sana, itu area model perempuan yang biasanya suka setengah telanjang. Apalagi masuk ke ruangan Alexa. Calon suaminya Alexa suka main lempar TNT soalnya. Ngeri." Tangan Lydia menyentuh dada si penjaga. "Jadi kamu duduk di sini ya. Tungguin saya selesai. Jam kerja kamu selesai jam berapa?"

"Lydiaaa..." Alexa tidak sabar.

"Oke, oke. Boys, sini kenalan dulu. Temenin si ganteng ini ngobrol santai." Tiga model laki-laki tadi berjalan mendekati.

Saat si penjaga ingin mengikuti mereka masuk, para laki-laki itu mulai menyentuh tubuh si penjaga hingga si penjaga risih dan berjalan ke luar ruangan.

Lydia tertawa puas. "Desmon aja nggak pernah berani masuk, eh dia macem-macem."

Mereka mulai melangkah ke dalam. "Thanks, Lyd." Alexa tersenyum lebar.

"Hey, ini era-nya wanita. Kita saling jaga," Lydia mengedipkan satu mata padanya. Kemudian dia mengerti bahwa Lydia sengaja melakukan itu semua agar si penjaga tidak mengikuti dia ke dalam.

"Kamu masih musuhan sama Desmon?" tanya Alexa.

"Emang kapan temenannya?" jawab Lydia asal. Mereka masih terus berjalan.

"Desmon bukannya udah minta maaf?" tanya Alexa lagi.

"Gue nggak maafin."

"Lyd..."

"Sayang, kamu fokus aja ke pernikahan akbar tahun ini ya. Jangan bahas Desmon. Bikin gue keki jadi nggak napsu sama cowok normal nanti."

Matanya memandang ke sekeliling area kantor agency Alexa. Dia sudah pernah ke sini tapi baru memperhatikan betapa Mahendra Daud tidak main-main jika sudah merancang sesuatu. Gedung yang terdiri dari empat lantai memiliki tampilan area yang sangat eksklusif dan elegant. Atap-atap tinggi dan beberapa teknologi terpasang di sini. Ruangan yang ditempati Aryo juga letaknya tersembunyi, di balik kantor Alexa langsung. Persis seperti butik Sabiya. Saat ini, mereka sedang menuju ke sana.

"Hi, Lexy. Aku senang kamu sudah ada di sini," ujar Alexa riang saat masuk ke ruangan.

"Halo, Nona. Sistem saya baru terpasang sempurna pagi ini."

"Aku punya pertemuan rahasia..."Alexa terkekeh geli sendiri. "Ini menarik sekali, Lexy. Aku benar-benar berdebar sekarang."

Maksud Alexa adalah dia yang terlibat untuk menyembunyikan Aryo Kusuma. Dia tersenyum melihat tingkah kekanakkan Alexa. Lydia sudah duduk santai memperhatikan saja.

"Mengerti, Nona."

Lexy mengunci pintu-pintu dan memburamkan jendela yang menghadap ke bagian dalam kantor. Kemudian Alexa berdiri menatapnya.

"Kamu sudah aman kan?"

Janice tersenyum kecil karena ekspresi polos Alexa lucu sekali. Gadis ini benar-benar menggemaskan, berbeda sekali dengan saat Alexa sedang berada di luar.

"Ya, saya sudah aman." Aksesoris tidak dia kenakan lagi, dan dia tidak peduli ayahnya tahu atau tidak.

"Tania bilang kondisinya mulai membaik. Semalam dia sempat bangun. Aku dengar, tapi...kata Mahendra, aku nggak boleh ngomong. Jadi aku hanya lihat dari kaca aja."

Kepalanya mengangguk mengerti. "Terimakasih, Alexa. Ini sudah lebih dari cukup."

Tiba-tiba Alexa memeluk tubuhnya hangat, lalu lagi-lagi Alexa menangis. "Aku nggak benci Aryo. Aku sudah maafin. Dulu, aku juga bukan orang baik. Aku jahat, egois, manja, suka iri dengan apa yang orang lain punya. Tapi Mahendra, bersikap baik sekali padaku. Sekalipun awalnya menyebalkan. Jadi, nanti semua akan memaafkan Aryo juga." Alexa melepaskan pelukan lalu menghapus air mata.

"Mareno memang suka keterlaluan bercandanya, aku juga suka kesal. Tapi harusnya Mareno juga nggak jahat. Atau kalau Mareno jahat, aku akan bilang sama Tania," lanjut Alexa dan kalimat itu membuat dia terkekeh kecil.

"Aryo panggil kamu semalam. Kayaknya dia masih kesakitan," lanjut Alexa.

Dia mengangguk lagi.

"Jadi, aku dan Lydia akan memeriksa semua persiapan. Kamu temui dia."

Nafas dia hirup dalam lalu dia mulai melangkah ke pintu yang tersembunyi.

"Jen..." Lydia memanggil.

Kakinya berhenti dan tatapannya beralih ke Lydia yang sudah berdiri.

"...cowok lo ganteng banget sumpah. Seksi gitu...hadeeeh. Sex appeal nya luar biasa. Ngelihat dari jauh aja gue udah gerah."

"Lydiaaaaa..." cebik Alexa kesal.

"Lagian pada serius banget sih. Gue tegarrrr nih, tegaaarrr book."

Dia melangkah lagi sambil tertawa kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro