Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 31

Kediaman keluarga Katindig. Bertahun-tahun sebelumnya.

Edward melihat sosok ayahnya berdiri berhadapan dengan wajah murka.

"Apa permintaanmu tadi? Ulangi!!" Hardik ayah. Mereka berada di ruang tengah.

Tubuhnya sedikit bergetar. Dia ingin keluar, hidup bebas tanpa tugas yang mendera. Normal seperti remaja pada usianya.

"Ulangi!!" tongkat ayah sudah menghantam betis kaki dan dia berusaha tetap tegak berdiri.

"Saya..." saliva dia loloskan. Ini berat untuk diucapkan. "Saya ingin berhenti...mengurus keluarga Daud." Air matanya jatuh. "Saya keluar dari..."

"Pergi!! Pergi anak sialan!!"

Tangannya mengusap air mata cepat kemudian dia menatap ayah, mencoba memantapkan hatinya sendiri. Ayah tidak mau menatapnya lagi, malu. Karena seluruh hutang budi yang sudah ada bergenerasi, keluarga mereka sudah bersumpah untuk membayar nyawa-nyawa yang dulu diselamatkan oleh Daud, dengan kesetiaan keluarga Katindig. Itu semua harga mati. Tapi dia jatuh cinta, jadi dia ingin membangun keluarga dan memiliki dunia yang normal saja. Jadi kakinya berlari menyambar ransel yang sudah siap di atas meja, serta kunci motor hitamnya.

Motornya melaju cepat, seolah takut jika dia akan tertangkap. Paham benar, ayah akan mengejar di belakang. Murka ayah hanyalah penundaan sementara, dari apa yang harus dia hadapi nanti. Dia akan diseret kembali, dijegal dan dipaksa. Karena hutang budi dibawa mati. Selalu begitu.

Hujan turun tiba-tiba. Dia tidak berhenti dan malah makin memacu motornya sendiri. Merasakan bahaya yang segera akan datang menyusul dari belakang. Ketakutan karena dia merasa menjadi buronan, pelarian. Seluruh kendaraan dia curigai, bahkan motor dengan penumpang biasa bisa membuatnya gugup. Fokusnya terganggu, sementara jarak pandangnya tidak sempurna.

Dia ingin menyalip mobil di hadapannya yang lambat sekali. Tangannya memutar setir ke sisi kiri yang bersebelahan dengan lajur kendaraan dari arah sebaliknya. Dia tidak menduga bahwa truck besar itu berada di sana dengan kecepatan penuh. Kemudian, detik-detik mencekam terjadi. Motornya menghantam truck dengan dia di sana. Semua gelap, pekat, juga basah karena hujan terus mengguyur. Suara terakhir yang dia dengar adalah orang-orang yang ingin membantu.

Rumah Sakit. Dua hari setelah kecelakaan.

Ayah sudah berada di pinggir tempat tidur. Berdoa sambil menggenggam tangannya. Kesadarannya pulih perlahan, tubuhnya terasa berantakan. Dia kecelakaan. Apa benar begitu?

Kemudian ayah sadar bahwa dia sudah bangun. Laki-laki yang sedari dulu keras itu meneteskan air mata lalu mencium keningnya. Dia terkejut karena sikap ayah. Sepanjang dia hidup, dia hanya bisa mengingat kehangatan ayah hingga dia berusia lima. Setelah itu ayah berubah drastis. Mendidiknya keras sekali.

"Apa yang kamu rasa?" tanya ayah perlahan.

"Berantakan," dia serba salah.

"Istirahat dulu, saya akan panggilkan dokter," ujar ayah sambil berdiri.

Saliva dia loloskan perlahan, ada hangat yang merasuk tiba-tiba ke dalam dada. "Ayah..."

Mereka diam sejenak.

"...maafkan saya. Saya bersalah."

Ekspresi ayah berubah. Menjadi lebih teduh dan seperti lelah. Ayah duduk lagi di sebelahnya.

"Edward, Ayah paham apa yang kamu rasa. Apa kamu pikir ayah tidak merasakan itu juga? Ingin bebas, menikmati hidup." Ayah memberi jeda. "Tapi Ed, kita berdua tidak akan lahir ke dunia, jika bukan karena keluarga Daud. Kakek dari Ibrahim Daud, kehilangan kakak dan istrinya saat menolong keluarga kita."

Kepalanya menunduk, dia sudah tahu cerita itu.

"Apa keluarga Daud pernah berperilaku buruk pada kita? Menghina misalnya? Atau memperlakukan kita seperti pelayan mereka?"

Dia menggeleng.

"Keluarga Daud adalah keluarga yang tanpa pamrih. Awalnya bahkan mereka tidak mau dibantu. Mereka merasa membantu keluarga kita adalah hal yang memang harus dilakukan." Ayah diam sejenak. "Jadi Ed..."

"Saya jatuh cinta. Saya ingin hidup bersama dia."

Ayah tersenyum mengerti. "Kamu hanya ketakutan, bahwa ayah tidak akan memperbolehkan. Dengarkan Ayah, Ed. Kamu boleh jatuh cinta, membina keluarga, memiliki anak. Selama istrimu tidak berdarah Daud, ayah akan restui."

Pandangannya menatap ayah heran. "Kenapa memangnya?"

"Peraturan pertama dan paling utama, darah kita tidak boleh bercampur dengan darah mereka. Karena itu kita adalah para penjaga. Bukan pasangan untuk Daud. Kita harus menjaga peraturan itu baik-baik, Ed. Karena jika peraturan dilanggar, maka seluruh generasi sebelumnya, akan menunduk malu di alam sana."

Nafas dia hirup perlahan kemudian dia mengangguk mengerti.

"Pacar kamu menangis sejak semalam saat dia tiba. Dia ada di luar," ayah berdiri lagi saat seorang dokter masuk dan tersenyum lebar.

"Ayah sudah tahu?"

"Ayah sudah lama tahu. Hanya menunggu kamu meminta restu," ujar ayah.

"Jadi kamu sudah bangun. Luar biasa," ujar sang dokter yang terlihat masih sangat muda. Dokter itu berjalan mendekatinya.

"Saya harus melakukan beberapa tes, khawatir ginjal barumu tidak cocok."

"Ginjal?" tanyanya heran.

"Kamu terluka parah, anak muda. Untung saja Ibrahim dan Ardiyanto Daud segera turun tangan membantu. Satu ginjalmu adalah milik Ibrahim sebelumnya."

Kepalanya menunduk dalam. Campuran rasa bersalah menghantamnya telak. Bagaimana dia bisa meninggalkan keluarga yang sudah bergenerasi ada untuk mereka. Selalu ada. Sejak saat itu, dia bersumpah dia akan mengabdikan hidupnya tanpa ragu. Tanpa tanya.

***

Kediaman keluarga Katindig. Saat ini.

"Saya akan pastikan kamu selalu menang. Itu tugas seumur hidup untuk saya."

"I love you, Jen. Sampai mati."

"Yang saya takut adalah kehilangan kamu."

"We stick together no matter what, oke?"

"Aryo!!" tubuh Janice duduk tegak tiba-tiba. Terbangun dari tidur yang sudah tidak pernah lelap lagi.

Wajah dia usap perlahan dengan kedua tangan, lalu dia memeluk ke dua kakinya sendiri. Merasakan sakit yang mulai datang merayap, tidak mau pergi. Otaknya bekerja dengan baik, tapi pikirannya dipenuhi dengan Aryo Kusuma saja. Betapapun dia mencoba menghilangkan seluruh bayangan mereka, hal yang terjadi malah sebaliknya. Dia bukan hanya mengingat apa yang mereka lakukan, tapi juga bisa merasakan seluruh detak jantung Aryo saat mendekap tubuhnya. Atau panas tubuh dan tatapan Aryo yang memiliki banyak rasa. Aryo seperti berada di sebelahnya dengan seluruh kata-kata manis dan konyol laki-laki itu.

Air matanya jatuh satu-satu. Ini menjadi ritual baru. Tidur yang penuh mimpi dan tidak pernah tenang, kemudian terbangun dengan seluruh kenangan berputar, dilanjutkan dengan sakit yang seolah menikam tanpa henti, mencabik seluruh sisa hati. Setelah itu, dia tidak bisa membendung tangisnya sendiri. Dia merindukan Aryo, membutuhkan laki-laki itu untuk menghilangkan seluruh sakit yang dia rasa sekarang. Sakit yang lebih hebat dari jenis luka terburuk yang pernah dia terima. Ini sakit sekali, sesak, nafasnya seperti berhenti.

Matanya menatap ke sekeliling kamar. Ini kamarnya sejak kecil dulu. Tidak semua sama, karena ranjang kecil sudah berganti dengan yang besar. Juga wallpaper kuning cerah sudah diganti dengan abu-abu dewasa. Harusnya dia merasa bahagia seperti saat-saat dia harus menginap di rumah ini dulu. Bahagia itu tidak ada lagi. Dia terpenjara di rumahnya sendiri, dan oleh ayahnya sendiri.

Seluruh gerak-geriknya di awasi. Bahkan dia yakin kamar pribadinya ini juga dipasang banyak kamera. Ayah membuatnya tidak bisa bergerak sama sekali. Seperti mengerti bahwa dia sedang menyusun rencana untuk membebaskan Aryo Kusuma. Ya, dia sudah berjanji untuk menyudahi hubungan mereka. Tapi tetap dia harus membebaskan Aryo dari cengkraman ayah.

Tubuhnya bangkit lalu dengan cepat dia mengusap habis air mata. Menangis tidak akan menyelesaikan apa-apa. Dia harus bergerak hingga otaknya bisa bekerja lebih cepat. Pintu-pintu tertutup dan terkunci, aksesnya dibatasi, dia juga tidak bisa menggunakan peralatan apapun yang bisa membantu rencananya. Tapi, dia punya otak. Dia mengingat sendiri seluruh rencana yang dia susun rapih.

Dia mulai meregangkan tubuh sebelum memulai. Tubuhnya sudah menelungkup di lantai, bersiap untuk push-up. Kemudian dia mulai bergerak naik turun. Saat tubuhnya mulai berkeringat, otaknya berputar cepat.

Oke, sampai mana kita kemarin, Jen?

Mmm...kita sudah tahu peluru apa yang digunakan ayah. Kemungkinan kaki Aryo baik-baik saja karena peluru Mahendra hanya akan mengirimkan rasa, bukan benar-benar mematahkan tulang.

Oke, jadi apa lagi?

Sekarang, dimana Aryo Kusuma? Oke, kita sudah mencoret dua property. Hanya tersisa dua lagi.

Dia berdialog dengan diri sendiri sambil terus bergerak.

***

Masih banyak yang harus disiapkan untuk pernikahan Alexandra dan Mahendra. Janice sudah menghubungi dua event organizer karena besarnya acara yang akan berlangsung dua hari. Dia tidak pernah sesibuk ini mengingat pernikahan Mareno, Hanif dan bahkan Arsyad diselenggarakan sangat sederhana mengingat mereka adalah Daud. Jadi, sepertinya Ibrahim dan Trisa tidak mau menahan diri kali ini.

Mahendra Daud adalah sosok yang benar-benar pemalu. Selalu bersembunyi dari keramaian sedari dulu. Sikap Mahendra akan benar-benar lebih santai dan terbuka hanya pada ketiga saudaranya. Jadi pernikahan sebesar ini dan jumlah undangan yang tidak main-main, membuat Tuan Muda-nya itu resah sekali.

Hal itu tidak berlaku untuk Alexandra Walton. Calon istri Mahendra itu sudah terbiasa hidup di bawah spotlight sejak muda. Karena pengaruh keluarga, juga profesi Alexandra sebagai model. Perpaduan yang unik memang, tapi mereka sangat serasi, sekarang dia bisa merasakan itu semua. Melihat ketika para Tuan-nya sedang bersama pasangan mereka, jiwa mereka seolah terjalin sekalipun tidak kasat mata.

"Jen?" mama Trisa menyentuh bahunya lembut. "Ada apa, Sayang? Sedari tadi kamu melamun."

Betapa beruntungnya para Daud karena memiliki wanita hebat di hadapannya ini yang menjadi ibu mereka. Dia berdehem sebelum menjawab, "Saya baik, Ma. Jangan khawatir."

Trisa tersenyum, "Kemampuan saya untuk tahu bahwa seseorang sedang tidak baik-baik saja sekalipun mereka berpura-pura itu di atas rata-rata."

Dia dan Trisa Daud sedang berada di salah satu bakery terkenal, duduk berhadapan menunggu Alexandra datang untuk mencicipi kue pernikahan.

"Jen, kamu harus selalu ingat bahwa kamu punya kami semua. Jangan selalu merasa sendiri. Sikapmu selalu menjaga jarak entah kenapa," ujar Trisa lagi.

Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Di luar bakery ada dua penjaga, di dalam juga ada dua. Salah satu dari mereka atau semuanya adalah orang-orang ayah sekalipun mereka berseragam ADS. Ya, ayah sudah merekrut mata-mata bahkan tanpa sepengetahuan Arsyad, untuk mengawasinya. Orang-orang ADS itu akan dipilih oleh ayah acak, diundang untuk bicara, dijelaskan sebuah misi palsu yang mengatas namakan Arsyad. Tim ADS akan percaya. Bagaimana tidak, itu Edward. Guru dari Arsyad Daud sendiri.

"Mama berpikir Edward terlalu keras padamu sejak dulu."

Dia mengangguk kecil. "Terimakasih, Ma. Tapi saya baik-baik saja."

Trisa menarik nafas panjang masih cemas.

"Saya akan hubungi Alexandra dulu," kelitnya.

Sebelum dia mengangkat ponsel pintu bakery terbuka. Alexandra melangkah masuk. "Maafin aku, Ma. Jalanan macet sekali."

"Nggak apa-apa, Sayang. Kamu sendiri? Dimana Mahendra?" Mama dan Alexa saling menempelkan pipi.

"Aku cemas, Mahendra belum mengangkat telponku. Setelah ini aku ke sana."

"Mungkin Mahendra hanya sibuk, Sayang."

Koki dia panggil kemudian dia berdiri untuk memeriksa segalanya kembali. Potongan kue-kue sudah mulai disediakan di meja.

"Tapi semalam Mahen bilang dia nggak enak badan."

Pembicaraan Alexa dan Trisa berhenti karena sang koki sudah menjelaskan segalanya tentang kue yang dia buat. Dia berdiri tidak jauh dari meja mereka. Lagi-lagi sambil menghitung rencana. Satu hari lagi dia akan melaksanakan semua sendiri. Setelah itu dia akan meninggalkan Aryo Kusuma, mendorong Aryo pergi. Demi kebaikan laki-laki itu sendiri.

Tiga puluh menit berlalu, Trisa dan Alexa sudah memilih kue pernikahan dan juga hidangan manis lainnya yang akan disediakan saat resepsi. Dua wanita itu sudah berdiri saat ponsel Alexa berbunyi.

"Hen?" jawab Alexandra.

Wajah Alexa berkerut dalam, terlihat cemas sekali. "Ya ampun, Hen. Iya aku ke sana. Tunggu aku."

"Ada apa?" tanya mama Trisa.

Alexa menutup ponsel dengan ekspresi sedih. "Mahendra muntah-muntah, Ma. Aku harus ke sana."

"Saya hubungi MG," ujarnya cepat.

"Jen, itu Mahendra. Anak itu pasti sudah menghubungi MG dari tempatnya sekarang," Mama Trisa menatap Alexa. "Jangan terlalu cemas, Lexa. Kamu bisa tangani ini sendiri?"

"Ma, apa boleh aku pinjam Janice? Kalau Mahendra demam atau nggak mau makan aku masih bisa. Tapi muntah-muntah, aku nggak pengalaman. Aku mau urus Mahendra, hanya aku harus diajari."

Trisa terkekeh kecil karena nada Alexa yang manja sekali. "Ya, Sayang. Boleh. Janice, temani Alexa dulu. Sekalian kalian cek kembali daftar undangan setelah dokter MG datang. Oke?"

Kepalanya mengangguk kecil. Safe house? Ini kesempatan untuk mengkonfirmasi lokasi Aryo.

"Ma, aku pamit ya." Alexandra memeluk Trisa Daud hangat. "Aku sayang mama banyak-banyak."

Trisa Daud tertawa lagi melihat sikap Alexandra.

"Ayo Jen. Mahendra-ku sendirian."

Mereka melangkah cepat ke luar dengan mobil yang sudah menunggu.

***

Safe house.

Alexandra sedang duduk di sebelahnya sibuk menelpon sementara Desmon berkendara di depan. Kebetulan yang tidak disangka-sangka. Safe house adalah tempat paling aman. Maksudnya, bahkan ayah tidak bisa masuk ke dalam sistem pertahanan yang dibuat Mahendra. Tapi dia tidak bisa sembarangan ke safe house jika bukan karena alasan yang jelas seperti tadi. Ayah bisa curiga. Otaknya berputar.

Ayah memiliki akses CCTV pada hampir seluruh ruangan di safe house. Kecuali, laboratorium Mahendra yang merangkap kamar Tuan Mudanya. Dia akan meminjam seluruh teknologi di dalam lab, untuk mengkonfirmasi lokasi Aryo hingga dia tidak perlu memeriksa langsung dan membuang waktu. Penjelasannya pada Mahendra akan dia pikirkan nanti.

"Jam tanganmu, Jen. Dan sepatu, anting-anting, peralatan bekerja." Matanya memindai seluruh yang dia kenakan. Ayah pasti sudah menyelipkan micro-camera atau apapun di salah satu benda yang dia gunakan. Kemudian dia tersenyum kecil. Dia memiliki alibi yang sempurna.

Hampir satu jam mereka tiba dan Alexandra langsung berlari masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam Alexa berhenti di dapur lalu membalik tubuh menghadapnya.

"Apa yang harus disiapkan saat ada orang muntah, Jen?" tanya Alexa.

Kepalanya mengangguk, ini alibinya. "Saya siapkan, anda tunggu di dalam kamar Mahendra. Periksa kondisinya."

Alexa mengangguk cepat lalu naik ke atas. Dia menggulung lengan kemeja lalu mulai menyiapkan segalanya. Saat dia melakukan itu, dia melepas seluruh aksesoris yang dia kenakan, meletakkan tas kerja dan tablet di meja makan, termasuk membuka sepatunya. Setelah selesai, dia membawa nampan lalu melangkah ke atas untuk masuk ke dalam laboratorium canggih milik Mahendra.

***

Di dalam laboratorium.

Tubuhnya berdiri kaku, melihat sosok Tuan Besarnya di sana. Satu jari Arsyad memberi tanda agar dia diam. Mahendra dan Alexandra berdiri di sebelahnya. Kemudian tangan Arsyad bergerak menggunakan bahasa isyarat, tanpa kata.

"Letakkan nampannya, Jen," tangan Arsyad bicara.

Mereka semua mahir dengan segala jenis bahasa dan kode, termasuk dirinya. Dia mengangguk lalu meletakkan nampan di meja terdekat.

"Apa kamu sudah aman?" tanya Arsyad lagi.

"Maksudnya?" dia bertanya dengan gerakan tangan juga.

Mata Arsyad memindai tubuhnya. "Oke, kamu aman," Arsyad mulai bicara.

"Aman apa sih, Hen?" tanya Alexa tidak mengerti.

"Dari semua penyadap yang bisa saja dipasang Edward," jawab Mahendra.

Tubuhnya membungkuk sedikit memberi hormat. "Selamat sore. Apa Tuan Mahendra baik-baik?"

"Ya ampun, Janice. Jangan kaku begitu." Alexandra melangkah mendekatinya lalu tanpa dia duga wanita manja ini memeluk tubuhnya.

"Mahendra-ku nggak sakit. Aku hanya pura-pura. Kata Mahendra, pacar kamu lagi ditahan sama ayah kamu yang marah. Kamu pasti ketakutan sekarang. Aku juga bisa gila kalau Mahendra kenapa-kenapa." Alexandra melepaskan pelukan. "Apa kamu hamil mangkanya ayah kamu semarah itu?"

Entah kenapa kepolosan Alexandra, ketulusan hati wanita itu membuat hatinya hangat sehingga dia tersenyum dan terkekeh sendiri. "Saya nggak hamil. Tapi saya kaget, karena ternyata kalian sudah tahu."

"Mahendra-ku memang jenius."

"Hey, hey. Woman-talk nanti, Lexa. Abang pingin ngomong dulu."

"Saya butuh bantuan untuk melacak lokasi Aryo," ujarnya tidak mau membuang waktu.

"Kami sudah tahu Aryo dimana, Jen," jawab Arsyad. "Duduk dulu, kita susun rencana."

Kemudian mereka berdua duduk dan menyusun rencana. Kemampuan Tuan Besarnya luar biasa. Karena bisa dengan cepat menyadari semua di antara seluruh kesibukan Arsyad. Pembangunan ADS, ancaman terhadap keluarga Daud dari Jodi Hartono, dan sekarang...Arsyad sudah punya rencana tanpa cela untuk menyelamatkan Aryo Kusuma. Dia menambahkan beberapa detail penting karena yang paling tahu soal ayah, adalah dia, anaknya.

"Saya nggak bisa biarkan kamu jalan sendiri, Jen. Saya ikut."

"Ayah saya akan langsung curiga saat saya dan anda tidak ada di tempat kita masing-masing. Ayah memperingatkan keras bahwa saya tidak boleh bicara. Jadi biarkan ayah tahu, saya yang membebaskan Aryo. Jangan libatkan diri anda, Tuan. Ini urusan pribadi saya."

"Edward nggak akan bisa marah pada Arsyad, Jen," timpal Mahendra.

Dahi Arsyad mengernyit dalam. "Janice ada benarnya. Saya yakin Aryo terluka parah dan butuh tempat untuk berlindung sementara. Jika Edward tahu saya terlibat, dia akan memeriksa seluruh tempat kita dan pasangan kita. Menempatkan Aryo kembali ke kawanan juga bukan piihan."

"Fasilitas di habitatnya Aryo nggak sebagus punya kita pasti," timpal Mahendra.

"Dan, Aryo sangat butuh penawar dari peluru yang lo ciptakan, Hen."

"Yah, Bang. Penawarnya belum jadi. Mana gue tahu kalau Edward akan pakai."

"Sudah berapa persen?" tanyanya pada Mahendra.

"70, gue nggak suka kalau belum diuji coba."

"Gunakan saja. Saya yakin Aryo bisa bertahan," dia memutuskan cepat.

Tubuh Arsyad bersandar di kursi. "Satu demi satu. Pertama, escape plan sudah dibuat dan kita sudah setuju. Kedua, saya dan Mahendra tetap harus ikut. Alibi Mahendra mudah, dia selalu ada di dalam lab yang tidak terdeteksi. Saya akan buat alibi saya sendiri."

"Dengan?" tanya Mahendra.

"Gampang, nggak keluar kamar. Bersama Sabiya."

"Bang, nanti lo nggak keluar kamar beneran lagi?"

Arsyad menatap Mahendra kesal.

"Lah, gue serius."

"Ketiga, tempat berlindung." Arsyad meneruskan. Nafas Arsyad tarik panjang.

"Tempat Alexandra, kantor agencynya," ujar Janice cepat. "Safe house adalah tempat pertama yang Edward akan periksa. Kemudian tempat Dony dan kawanan mereka. Mareno dan Hanif, tidak tahu soal ini. Kita tidak punya waktu untuk menjelaskan dari ulang. Rencana akan jalan delapan jam dari sekarang. MG Hospital juga dengan mudah ayah bisa periksa. Relasi banyak di sana. Jadi paling aman adalah kantor agency Alexandra. Karena saya yakin Mahendra akan keberatan kalau Aryo berada di apartemen Alexa."

"Yes, sudah pasti. Maaf, Jen. Tingkat percaya saya pada Aryo Kusuma masih rendah. Don't take it personally."

"None taken," angguknya mengerti.

"Apa kamu keberatan, Alexa?" tanya Arsyad.

Mereka menatap Alexa yang sedari tadi diam mendengarkan dengan penuh rasa penasaran.

"Aku mau membantu. Tapi...ini...Aryo yang dulu ada di butik Sabiya ya?" tanya Alexa ragu.

"Ya. Ini Aryo Kusuma yang sama," jawabnya mengerti. "Jika dia berani menyakiti kamu atau siapapun lagi, saya sendiri yang akan patahkan tangan dan kaki Aryo sendiri. Tugas saya adalah melindungi keluarga Daud sejak dulu, dan itu tidak akan berubah sekalipun saya memiliki perasaan pada musuh mereka."

"Jen, kalau saya masih merasa Aryo adalah musuh, saya nggak akan bantu begini. Jadi Aryo bukan musuh kami lagi, oke?" tegas Arsyad.

"Oke, aku percaya pada Arsyad dan kamu, Jen. Aku dengan senang hati membantu." Alexa tersenyum tulus.

"Good. Jadi di tempat Alexandra. Mahendra tolong siapkan segalanya di sana."

Lagi-lagi hatinya menghangat tiba-tiba. Dia punya keluarga, ini benar-benar keluarganya. Orang-orang yang dia tidak sangka memikirkan dirinya begini, juga meresikokan kenyamanan hidup mereka, bahkan nyawa. Selama ini dia selalu merasa sendiri. Sekalipun sikap para Daud baik sekali. Karena dia selalu menyelesaikan segalanya sendiri, seluruh situasi membuat dia tidak pernah meminta bantuan pada Daud. Sekarang bahkan sebelum dia meminta, Arsyad, Mahendra, dan Alexandra langsung membantu.

Kepalanya menunduk lalu air matanya jatuh satu. "Terimakasih, untuk segalanya."

Alexandra langsung berpindah duduk di dekatnya. Merangkul pundaknya perlahan. "Kata Mahendra, kamu selalu sendiri selama ini. Jadi kalau butuh bantuan, kamu harus bilang. Aku yakin semua akan membantu."

Arsyad berdiri dan menepuk pundaknya. Sementara Mahendra meninggalkan mereka berdua untuk segera melaksanakan rencana. Wangi lembut Alexandra yang memeluknya membuatnya sedikit tenang. Sikap wanita manja ini sungguh sangat mengejutkan. Karena dia menyangka bahwa Alexandra bukan tipe wanita yang akan peduli. Tapi dia salah besar. Karena pelukan wanita ini bahkan terasa sangat tulus dan hangat sekali. Sekarang dia mengerti, kenapa Mahendra Daud jatuh cinta setengah mati pada Alexandra Walton.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro