Part 30
Pagi itu Audra sedang menyiapkan sarapan di dapur untuk dirinya dan Niko. Laki-lakinya itu masih mandi di kamar atas setelah berolahraga pagi. Ayyara masih ditempatkan di rumah Arsyad dan dia merasa itu yang terbaik untuk saat ini. Setiap hari dia dan Niko akan melakukan panggilan video dengan Ayyara di sana. Gadis kecilnya terlihat sudah lebih tenang dan sedang asyik berlatih bersama Damar. Pelatihnya adalah Arsyad sendiri, setiap pagi sebelum Arsyad memulai aktifitasnya. Sekolah Ayyara dan Damar untuk sementara dipindahkan menjadi home schooling dengan guru terbaik yang dipilih oleh Arsyad.
Hubungannya sendiri dengan Niko semakin...oh entah, dia bahagia. Niko benar-benar menyesal atas apa yang mereka lakukan tiga hari lalu, sedangkan dia sendiri tidak sama sekali. Dia mencintai Niko Pratama, dan alasan itu sudah cukup. Abimana terus menghubungi, dan dia mulai menarik diri perlahan. Saat Abimana datang, dia akan menghindar dengan banyak alasan. Paham benar sumbu Niko pendek sekali jika Abimana ada. Hah, dia akan bereskan itu nanti. Saat ini, dia sedang sangat bahagia dan bahkan tidak peduli jika untuk sementara ini mereka harus sembunyi-sembunyi.
"Kamu bikin apa?" Niko muncul saat ponselnya berdering.
Nama Abimana terpampang di sana dan Niko yang melihat itu langsung mendelik tidak suka. Dia mengecilkan volume suara ponsel hingga hanya bergetar saja. Abimana benar-benar tidak mau menyerah karena getaran pada ponselnya tidak berhenti.
"Angkat, Aud."
"Nik, serius? Aku nggak mau berantem sama kamu pagi-pagi."
Nafas Niko hirup panjang seperti menghalau emosi. Niko terlihat tampan sekali dengan harum segar dan rambut setengah basah.
"Angkat saja, aku ke depan dulu."
"Nik..."
Serba salah ponsel itu dia angkat juga. Dia akan selesaikan cepat. Satu tangan lainnya masih menggenggam piring untuk menempatkan telur dan roti.
"Abi?"
"Audra, nyalakan TV. Berita pagi. Sekarang," suara Abimana panik sekali.
"Carol, nyalakan TV," perintahnya.
"Menyalakan."
Ponsel dia sudah letakkan di meja saat matanya terpaku pada berita pagi di TV.
"Telah ditemukan mayat dari seorang laki-laki dengan kondisi yang mengenaskan di dalam sebuah hutan jauh dari pusat kota. Korban berinisial AS diduga adalah salah satu karyawan dari PT Sanggara...."
'PRANG!!' piring yang dia pegang jatuh dan tubuhnya bergetar. Ulah Jodi.
Sosok Niko muncul terburu-buru dari arah ruang tengah untuk memeriksa."Aud, ada apa?"
Tubuhnya yang lemas ditangkap oleh Niko lalu dibimbing untuk duduk di kursi tinggi. Mata Niko terpaku pada berita di TV sambil mengambil ponsel dari genggamannya.
"Nik, Audra nggak apa-apa?"
"Abi, jangan kemana-mana. Stay di sana. Saya dan Arsyad akan kirim orang untuk berjaga di sana."
"Audra gimana, Nik?"
"Audra aman. You stay there."
"Oke, oke. Kabari saya, Nik."
Hubungan di sudahi. Niko membuatkannya teh hangat kemudian memanggil bibi untuk membereskan yang piring pecah tadi. Gelas teh sudah ada di dekatnya saat ponsel Niko berbunyi.
"Arsyad. Aku harus terima ini. Kamu tunggu di sini sebentar." Niko berlalu ke teras belakang dan menerima panggilan Arsyad di sana.
"Nyonya nggak apa-apa?" tanya bibi karena wajah pucatnya.
"Bi, saya mau ke atas. Tolong bilang Niko saya ada di kamar."
Jubah tidur satin dia eratkan karena dia merasa suhu tubuhnya anjlok tiba-tiba. Perutnya juga sedikit mual. Ya, dia bukan wanita bodoh yang tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan keji itu. Jodi Hartono dan kebiasaannya berburu manusia. Manusia laknat itu sama sekali tidak punya hati. Mengerikan. Saat ini korban Jodi adalah salah satu karyawannya sendiri. Ini menjadi benar-benar pribadi.
"Carol, hubungi Lisa," ujarnya saat sudah sampai di dalam kamar yang tertutup.
"Menghubungi."
Dia duduk di salah satu sofa sambil memijit kepala.
"Ya Bu..."
"Lisa, segera pulang ke rumah. Saya akan kirimkan satu penjaga ke sana. Kerjakan semua dari rumah sampai saya memperbolehkan kamu masuk."
Lisa diam sejenak di sana. "Maaf, Bu. Apa ini...karena...Andi Setiawan?"
"Siapa dia, Lis?"
"Dia dari departemen IT, Bu. Merantau ke kota ini, tinggal sendiri. Anaknya memang introvert jadi semua menyangka kalau Andi hanya pulang kampung aja. Semua orang di kantor cemas."
Mual itu datang lagi. Salah satu orang yang tidak bersalah disiksa sedemikian rupa hanya karena konflik keluarganya sendiri.
"Dimana keluarganya, Lis?"
"Saya akan berikan seluruh data ke Ibu."
"Tolong aturkan meeting besar dengan seluruh direksi segera."
"Baik, Bu."
"Saya akan minta Dado untuk antar dan jaga kamu di rumah. Tolong ikuti perintah saya."
"Baik, Bu. Terimakasih. Tolong Ibu juga hati-hati."
Hubungan disudahi saat Niko masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu berlutut di hadapannya. Dia menatap Niko tidak berdaya, dengan satu-dua air mata. Niko mendesah sedih lalu memeluk tubuhnya.
"Apa salah karyawanku, Nik? Dia nggak salah apa-apa." Luapan rasa keluar begitu saja. Perasaan bersalah, ketakutan hebat, juga amarah pada Jodi Hartono.
"Kami akan berburu Jodi, Aud. Aku dan Arsyad akan selesaikan semua." Tangan Niko membelai punggungnya lembut. "Jangan khawatir, aku ada di sini."
Saliva dia loloskan perlahan. "Apa bisa kamu minta orang lain saja?" dia mulai terisak. "Ini terdengar egois, but I don't want to lose you. Jodi nekat sekali." Dia makin memeluk Niko erat.
Nafas Niko hirup panjang. "Tidak boleh ada kesalahan. Jadi aku sendiri yang akan memastikan, bahwa Jodi sudah tidak ada."
Bayangan atas keselamatan Niko dan Arsyad yang bisa berada di dalam ancaman membuatnya makin menyurukkan kepala di pelukan Niko. Dia tidak mau Niko pergi, tapi dia tahu Niko harus pergi.
"Kamu harus kembali. Harus. Atau aku bisa gila nanti..." bisiknya lirih.
Niko mencium pipinya lembut lalu melepaskan pelukan mereka perlahan. Jari-jari Niko membingkai wajahnya sambil mengusap habis air mata.
"Everything will be oke," senyum Niko terasa tulus sekali.
"Everything is not oke," timpalnya serak.
"Yes, for now. But I'll make sure that it will be oke."
Pandangan mata Niko teduh sekali. Membuat isakannya perlahan mereda, membuat dia percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Padahal mereka punya seluruh rintangan di depan sana. Tapi Niko mencintainya, sebanyak dan sedalam yang dia rasa. Jadi mereka bisa, ini akan berhasil. Itu kalimat yang harus dia ulang terus dalam hati.
Niko mencium keningnya perlahan. "Saya harus conference call dengan Arsyad dan para sepupumu." Tubuh Niko berdiri lalu mengambil obat dari Tania dan memberikan padanya.
Obat itu dia minum. Tangannya masih dingin sekali saat Niko memindahkannya ke tempat tidur. Selimut Niko tarik menutupi tubuhnya.
"Istirahat dulu. Saya ada di sebelah." Niko mencium jemari tangannya.
Selama beberapa saat, Niko masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menggenggam tangannya. Matanya mulai berat, kemudian tertutup perlahan.
***
"Halo, Boys." Arsyad menyapa mereka.
Niko duduk di meja kerja memperhatikan semua di monitor laptop.
"Manusia gila. Bedebah jahanam. Pengecut brengsek. Beraninya sama orang yang nggak bisa apa-apa." Seluruh kata makian sudah keluar dari mulut Mareno yang terlihat geram sekali.
"Hey, hey. Tahan emosi. Istri lo lagi hamil, Ren. Behave." Arsyad memperingatkan.
"Bang, ini nggak bisa dibiarin," ujar Mareno.
"Gue setuju," timpal Mahendra.
"Ini persis seperti apa yang Jodi mau, kita terpancing," Arsyad memulai. "Itu hanya umpan, undangan untuk menyerang. Dan Jodi sudah siap."
"Abang ada benarnya," sahut Hanif.
"Itu manusia, Syad. Bukan umpan. Manusia itu punya nama, punya keluarga, dan punya atasan namanya Audra Daud yang sekarang stress menyalahkan dirinya sendiri," ada banyak getir saat dia mengatakan ini. Nafas dia hirup panjang, dia harus tenang. "Jadi bagaimana?"
"Mahendra sedang melemahkan seluruh benteng penjagaan Jodi dengan cara memblokir pundi-pundi uangnya untuk membayar para professional itu."
"Gue lagi war sama banyak hacker yang Jodi sewa. Ini seru sekali, Nik," Mahendra memang sedang berada di dalam lab dengan jubah tidur dan asyik memperhatikan lima layar komputer sekaligus.
"Abisin semua, Hen. Atau lo nggak bisa married," ujar Mareno.
"Apa hubungannya sama gue married?"
"Hey, hey, jangan mulai. Kalian itu bisa serius nggak sih?' keluh Hanif kesal.
"Nif, yang hamil tu Faya, kenapa lo yang jadi sensitive. Kayak test-pack aja," rengut Mareno.
"Sudah, stop. Oke." Arsyad memberi jeda. "Hanif, sementara ambil alih pemberitaan di Sanggara Buana. Seluruh karyawan harus ditenangkan dan cuma lo yang bisa lakukan itu. Bicara pada Ardiyanto agar paman tahu. Mareno, bagaimana progress penyidikan di Sanggara Buana?"
"Tanadi membantu. Gue enggan menerima bantuan itu. Gue nggak suka kita punya hutang budi sama keluarga lain. Lagian taruhannya Sissy kita yang paling cantik dan galak itu. Kalau kita mulai menerima bantuan Tanadi, pernikahan Audra dan Abimana nggak bisa dihentikan lagi. Dan gue tahu kita semua nggak mau itu terjadi. Terutama satu orang sih."
Mata Niko mendelik pada Mareno. Apa si tengil ini sudah tahu?
Mareno menatapnya sesaat sambil tersenyum konyol.
Sial. Mareno tahu.
"Elo pasti nggak mau kan Audra nikah sama Abimana, Bung? Uhuk..uhuk. Maaf, maksud gue, Bang. Bang Arsyad," Mareno mulai bersikap menyebalkan.
Yang lain tidak memperhatikan candaaan konyol Mareno. Adik Arsyad yang satu ini sekali-kali harus ditempeleng kepalanya kuat-kuat. Dia diam saja.
"Audra tertekan dengan perjodohan itu dan coba mengulur waktu. Gue tahu. Jadi gue nggak suka segala sesuatu yang dipaksakan. Apalagi ini soal pasangan hidup. Anyway, jadi bagaimana soal Sanggara Buana, Ren?"
"Bang, lo dan Mahendra urus Jodi si bangsat itu. Gue dan Bang Hanif urus Sanggara Buana. Gue akan bereskan apa yang terjadi di sana. Gimanapun kemampuan bisnis gue sama bagusnya kayak kemampuan gue di ranjang." Kemudian Mareno menatapnya lagi dari layar. "Nik, lo bisa bantu urus Abimana? Atau lo udah punya rencana?"
Nafas dia hirup lagi, mulai benar-benar kesal dengan Mareno.
"Hey, sejak kapan lo main perintah-perintah begitu," protes Arsyad.
"Sejak lo nggak ada kemarin. Siapa suruh mati, kan gue jadi sedih," sahut Mareno.
"Mareno nggak usah didengerin, Bang." Hanif kali ini.
Arsyad menggelengkan kepala kesal. "Nik, tolong urus penjagaan semua keluarga. Termasuk Tanadi. Gue yakin Jodi emosi karena berita pernikahan Audra-Abi, dan akan mengancam atau benar-benar menghabisi Tanadi juga. Semua penjagaan orang-orang penting ada dalam arahan lo, Nik. Gue akan hubungi Pablo untuk cari tahu siapa professional itu."
Dia terkekeh kesal. "Pablo sudah gue hubungi semalam. Gue akan berburu Jodi dengan cara gue sendiri."
Arsyad mendengkus. "Nik...ayolah. Jodi biar gue yang urus."
Kepalanya menggeleng kecil. "Sorry, gue nggak minta ijin."
"Oke, oke. Tapi kita bergerak bersama. Jangan ada kesalahan," Arsyad mengalah.
Otaknya mulai berputar menyusun rencana. Pertama, seluruh penjagaan untuk kedua keluarga. Jika Abimana berpikir bahwa Audra yang berhutang pada keluarga Tanadi, maka dia akan membuat Abimana tahu, bahwa Abimana yang akan berhutang pada Audra. Kedua, cara menyingkirkan Abimana. Dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan dan akan mulai bekerja. Ketiga, Jodi Hartono. Bergabung dalam rencana Arsyad untuk memastikan manusia laknat itu tidak ada di dunia.
***
Arsyad menatap pada layar-layar di hadapannya. Mahendra sudah menyiapkan segala data tentang benteng pertahanan Jodi. Tempat Jodi berpindah-pindah. Manusia itu punya banyak property tersembunyi. Juga para professional yang berjaga. Laporan keuangan seluruh usaha keluarga Hartono juga sudah dia cermati.
Adiknya yang jenius itu bahkan sudah mulai membuat Jodi merugi di pasar saham. Untuk menurunkan nilai perusahaan yang Hartono kendalikan. Saat ini Mahendra sedang berusaha masuk ke sistem keamanan Jodi diam-diam. Untuk mengetahui dimana posisi Jodi. Juga pada akses keuangan Hartono. Membuat Jodi bangkrut tiba-tiba akan sulit dilakukan. Karena itu, dia meminta Mahendra untuk mengalihkan dana pembayaran Jodi untuk para professional ke rekening lain. Ketika tidak ada bayaran, maka tidak ada jasa yang akan dilakukan. Keamanan Jodi akan melemah.
Sayangnya sistem itu dijaga oleh banyak peretas sewaan. Sementara dia dan Niko akan melumpuhkan satu demi satu professional yang Jodi sewa. Jodi menyewa bukan hanya satu, tapi tiga kelompok yang terkenal ahli. Setelah kelompok Rodman yang sudah mereka lumpuhkan dulu. Jika mereka tidak berhati-hati, maka penyerangan terbuka seperti kemarin akan berlangsung, korban jiwa berjatuhan, dan itu bukan pilihan.
"Mahendra Daud calling," suara Angel memutus pikirannya.
"Yes, Hen?"
"Bang, gue udah dapet blueprint seluruh working-house Edward. Lo mau lihat."
"Ah, iya. Gue terlewat soal itu karena kasus Jodi. Tunjukkan."
Layar di hadapannya menampilkan denah rumah kerja Edward. Dia hafal luar kepala. Tapi dia penasaran, apa ada ruangan yang disembunyikan? Matanya memindai cermat hingga membuat tubuhnya berdiri. Tidak ada yang aneh.
"Hen, lo berhasil masuk ke sistem keamanannya?"
"Meremehkan petugas. Lo mau lihat apa?"
"CCTV live?"
"Nggak bisa karena gue belum pasang alat untuk menyambungkan di sana. Tapi rekamannya bisa."
Dahinya mengernyit, berusaha mengingat-ingat jeda waktu antara di pesiar, dan saat Janice menghubunginya. Kemudian juga saat Janice mulai kembali bekerja. Dia menyebutkan tanggal tiga hari berturut-turut. Kemudian Mahendra menampilkan satu demi satu.
Tanggal pertama tidak ada yang aneh, begitu juga tanggal kedua. Lalu matanya menatap tidak percaya melihat beberapa laki-laki menyeret tubuh seorang laki-laki yang setengah tidak sadar.
"Bang? Itu siapa?" Mahendra dengan cepat memindai wajah si laki-laki itu.
"Nggak perlu dicari, Hen. Itu Aryo Kusuma."
"What? Gara-gara Aryo bawa Janice? Tapi Janice udah balik dan baik-baik aja. Atau Aryo bikin ulah lagi?"
Otaknya berpikir cepat, menyambungkan semua fakta yang sebelumnya terpecah. Juga runtutan waktu dan kejadian. Nafas dia hirup panjang sambil mengumpulkan seluruh praduga. "Angel, hubungi Hanif Daud."
"Menghubungi."
"Ya, Bang?"
"Lo udah bicara sama Janice?"
"Percuma, Janice diam aja."
"Ingat-ingat, apa arti ekspresinya."
Hanif diam sesaat. "Kurang tidur, sudah pasti. Cemas dan gelisah juga jelas. Tapi untuk pertama kalinya, gue lihat Janice sedih sekali, dan takut, Bang. Mirip dengan ekspresi Mareno saat kasus Antania dulu. Atau ekspresi Sabiya," bisik Hanif seperti tidak mau menyinggung perasaannya. "Ini ada apa sih, Bang?"
Janice jatuh cinta? Dengan Aryo Kusuma? ujarnya dalam hati.
"Ada lagi yang lo baca dari Janice?"
Jeda sesaat. "Ada dua berkas samar merah di lehernya."
"Leher?"
"Iya, kayak apa ya. Kayak habis dicubit jadi meninggalkan jejak merah."
Itu tanda ciuman Aryo. Sh*t. "They are together." Satu tangan memijit dahinya sendiri.
"Bang, 'They' itu siapa?" tanya Hanif dan Mahendra.
"Nif, gue harus bicara dengan Mahendra."
"Oke, I'm out. Tapi lo hutang penjelasan ke gue, Bang," ujar Hanif sebelum menyudahi sambungan.
"Bang?" Mahendra menatapnya heran.
"Hen, tarik nafas dulu. Gue paham banget bagaimana perasaan kalian soal Aryo Kusuma."
"Gue bakalan nggak suka kelanjutannya," timpal Mahendra.
"Hen, bagaimanapun Aryo Kusuma sepupu kita."
"Yang sudah tembak Sabiya, Faya, dan bunuh banyak anggota ADS, Bang. Lo udah lupa?" masih banyak emosi yang terdengar dari kalimat Mahendra.
"Everybody deserves a second chance, Hen."
"Pantesan lo ngomongnya sama gue doang. Bang Hanif tahu dia ngamuk beneran," sungut Mahendra. "Nggak segampang itu maafin Aryo, Bang."
"Kita bisa maafin Tommy, Hen. Kenapa nggak kita maafin Aryo? Gue tinggal bareng dia setelah insiden ADS. Aryo nggak seburuk yang kita pikir selama ini."
"Lo lupa apa yang dia lakukan sama Faya? Atau Bang Hanif?"
"Tapi Aryo lepasin Faya pada akhirnya, tanpa disakiti. Aryo nggak pernah bisa sakiti Faya. Itu fakta, Hen. Soal Hanif, Aryo cemburu buta. Kita semua tahu itu. Kelemahan Aryo cuma satu, saat dia jatuh cinta dia akan terjun bebas nekat melakukan hal-hal yang keluar batas. Persis seperti Herman, ayahnya."
"Gue masih nggak ngerti arah pembicaraan ini, Bang?"
"Mahendra, kita harus tolong Aryo. Dia dalam bahaya."
Tubuh Mahendra sudah berdiri karena terkejut. "Lo..." Mahendra menggeleng tidak percaya. "...Aryo Kusuma punya kawanannya sendiri, Bang. Dia serigala liar..."
"Yang dikurung dan disiksa sekarang. Karena Aryo dan Janice bersama, Hen. Edward murka dan Edward sangat mampu membunuh Aryo dan menghilangkan jejaknya."
"Ini apalagi, sih Bang? Aryo dan Janice? Hah? Serius?" Mahendra mulai gusar. "Janice sekertaris kita kan. Perempuan pintar dan kaku yang lo dan Bang Hanif sayang banget."
"Iya, Janice yang itu, Hen. Ini sulit dipercaya tapi..."
Dahi Mahendra mengernyit lalu seperti mengerti sesuatu. "Sh*t, tanda di leher Janice. Mereka jalan bareng, dan...do they sleep together? Really?"
"Bukan urusan kita, Hen. Tapi Aryo dan Janice butuh bantuan kita."
Adiknya masih terlihat sangat gusar.
"Mahendra, Aryo Kusuma adalah sepupu kita. Gue yang menjamin kalau Aryo bisa berubah. Gue yang bertaruh, Hen. Lo boleh nggak percaya Aryo, tapi apa lo nggak percaya gue?"
Tubuh Mahendra berjalan mondar-mandir. "Ini aneh banget, Bang."
"Hen, nggak ada yang sempurna di dunia. Kita semua buat salah, dan akan sangat senang kalau ada orang yang bisa memaafkan dan kasih kesempatan kedua. Gue nggak bisa ke sana sendiri. Itu Edward. Hanif dan Mareno, istri mereka sedang hamil. Mereka nggak boleh melukai siapapun. Hanya tersisa lo, dan Niko. Cuma kalian yang bisa bantu gue, atau gue jalan sendiri."
"Itu namanya bukan pilihan, Bang. Lo curang. Lo tahu gue nggak akan mau ninggalin lo lagi. Atau lo tinggalin." Mahendra bertolak pinggang kesal. "Oke, oke. Gue bantu lo soal Aryo. Tapi kalau laki-laki itu berulah, gue akan ledakkan kepalanya sendiri pakai MM-TNT terbaru."
"Deal," ujarnya cepat.
"Bang Hanif bisa bunuh gue, Bang."
"Gue yang akan kasih Hanif pengertian, nanti. Setelah kita keluarkan Aryo dari sana."
"Apa rencana lo?"
"Janice sudah bertugas untuk menyiapkan segala tentang pernikahan lo. Jadi bilang ke Alexa untuk meminta Janice datang ke safe house. Janice diikuti dan disadap oleh Edward. Gue akan bicara sama Janice. Di dalam lab lo nggak ada kamera kan, Hen?" periksanya.
"Nggak ada. Bang, kita bisa buat Edward murka juga."
"Itu urusan gue. Gue udah punya solusinya."
Setelah itu sambungan dia sudahi. Tubuhnya duduk terhenyak di kursi. Edward Katindig kesetiaannya luar biasa. Dan hanya benar-benar patuh pada dua orang di keluarga Daud. Pamannya Ardiyanto, juga ayahnya Ibrahim. Karena Edward hutang nyawa. Satu ginjal di dalam tubuh Edward, adalah milik ayahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro