Part 3
Bertahun-tahun kemudian. Kantor Sanggara Buana.
Setelah insiden ledakan di ADS dan saat Arsyad masih belum ditemukan.
Kedatangan Sharon membuat Audra sadar, bahwa dia bisa melakukan sesuatu untuk membantu para sepupunya sekarang. Seluruh keluarga memang masih berduka hebat karena kepergian Arsyad yang tiba-tiba. Termasuk dirinya. Bagaimana tidak, Arsyad adalah satu-satunya manusia yang mengerti bahwa beban sebagai anak pertama itu berat sekali. Apalagi dia juga anak tunggal.
Sejak dulu Arsyad selalu berusaha ada untuknya. Arsyad bahkan mendampinginya saat proses perceraian dengan Evan berlangsung. Dia juga tahu tentang perasaan dalam Arsyad untuk Sabiya di antara seluruh diam laki-laki itu. Sekalipun sikap Arsyad cenderung dingin dan kaku, sesungguhnya Arsyad hanyalah laki-laki yang kesepian. Persis seperti dirinya sendiri. Karena itu, kali ini dia juga akan dengan senang hati membantu apapun untuk menyelesaikan urusan keluarga mereka yang tertunda. Salah satunya adalah menjatuhkan paman mereka sendiri.
Rencana Sharon masih tidak berbentuk, hanya potongan-potongan informasi. Karena itu setelah Sharon pulang dia menghubungi Hanif dan Mareno. Bagaimanapun mereka tidak bisa berjalan sendiri. Pintu ruang kerjanya diketuk.
"Bu..." Lisa ada di sana. "Ada tamu, Bapak Niko Pratama."
Kepalanya mengangguk. Kedua sepupunya memang mengutus Niko untuk datang dan menyusun rencana bersama. Menemukan kepingan puzzle yang masih belum lengkap hingga nanti susunannya sempurna.
Sosok itu masuk. Tinggi Niko sama dengan Arsyad. Kulit Niko lebih terang daripada Arsyad. Wajah sopan dan rapih dengan deretan gigi putih bersih. Postur tubuh Niko tegap dengan dada bidang. Otot-ototnya yang liat dibungkus dalam kaus hitam dan jaket kulit dengan warna sama. Niko hampir selalu membawa postman bag kulit atau ransel hitam jika bepergian. Tebakannya Niko mengendarai motor besar. Sekalipun ketika Niko masuk harum wangi Niko tercium samar.
Ingatannya tiba-tiba terbang pada saat mereka bertemu dulu dengan Arsyad. Oh, dia merindukan Arsyad dan sosok Niko benar-benar membuat dia mengingat Arsyad lagi.
"Hai, siang." Niko berjalan ke arahnya lalu berdiri dengan jarak beberapa langkah dan mengulurkan tangan. "Saya Niko Pratama."
Sorot mata Niko tersenyum ramah dan hangat. Ya, sama seperti Evan dulu sekalipun ada aura yang lebih kuat dari Niko. Dia berdiri dan hanya mengangguk tidak menyambut uluran tangan itu. Seluruh laki-laki bisa menipu pada awalnya. Dia tidak pernah percaya pada kesan pertama.
"Silahkan duduk, Nik. Dan nggak perlu memperkenalkan diri lagi. Kamu sahabat dari manusia yang paling saya sayang dan hormati."
"Ya, tapi ini pertama kali kamu terpaksa berurusan dengan saya kan. Tidak ada salahnya untuk berkenalan agar kita bisa bekerja sama dengan baik. Itu saja."
Terpaksa. Iya, dia terpaksa.
Niko menurunkan tas ransel sambil menoleh bingung, seperti mencari sesuatu.
"Cari apa?" tanyanya melihat gelagat Niko.
"Ransel ini, saya harus letakkan dimana?"
"Ya di meja, ada banyak meja kan," ujarnya heran juga.
"Ini meja? Saya pikir ini pahatan mahal mahakarya Pablo Picasso?" Niko menunjuk benda di depannya.
"Itu meja, Nik," entah kenapa wajah Niko yang tersenyum konyol membuat dia ingin tersenyum juga. Sekalipun dia bisa menahannya.
Dia akui meja di dalam ruangannya bentuknya sangat berbeda karena memang dipesan khusus ke desainer interior langganan di luar sana.
"Kamu boleh senyum, Aud. Apa nggak capek berwajah kaku kayak gitu? Arsyad terakhir dulu sudah bisa tertawa," ujar Niko menatapnya.
Mata Niko terlihat sedih saat nama Arsyad disebut, tapi bibir Niko masih tersenyum. Mungkin ingin menghiburnya. Dasar aneh.
"Oke, kita mulai sekarang? Atau kamu mau makan dulu?"
"Makan?" tanyanya heran.
"Iya, makan. Badan kamu kurus seperti Alexandra yang model. Tebakan saya kamu belum makan siang."
"Saya sudah makan."
"Kapan? Minggu kemarin?"
"Nik...bisa mulai aja nggak?"
"Bisa. Tapi apa yang akan kita bicarakan akan benar-benar menguras pikiran dan emosi. Saya sudah makan McD tadi. Jadi sudah kenyang. Kamu yakin nggak mau makan dulu?" tatapan polos itu, juga gaya bicaranya yang santai saja seolah mereka teman lama membuat dia mengulum senyumnya lagi.
Niko menarik nafas. "Silahkan tersenyum, Aud. Saya nggak larang."
"Sial, Nik. Kamu bisa serius nggak?" nadanya kesal tapi bibirnya tersenyum juga.
Kemudian Niko tersenyum menatapnya. "Bisa. Tapi lebih enak kalau sambil sedikit bercanda. Kamu tegang banget padahal saya belum beritahu apa rencana Mareno dan saya."
"Bercanda?" Laki-laki aneh. "Kamu masih bisa bercanda?" dia berjalan menjauh untuk mengambil pointer di atas meja.
"Saya paham kita semua sedang berduka, tentang Arsyad. Laki-laki hebat itu sahabat saya. Kami tidak pernah berpisah sejak kenal di akademi dulu. Jadi jangan berpikir bahwa saya tidak kehilangan dia. Tapi, ini sudah saatnya untuk membereskan apa yang dulu Arsyad mulai. Bercanda, atau tidak bercanda, tidak akan membuat Arsyad kembali pada kita. Saya lebih suka suasana yang tidak kaku, karena apa yang akan kita kerjakan bersama adalah hal yang sangat serius dan memiliki resiko hidup atau mati."
Niko berdiri setelah meletakkan ranselnya kemudian melanjutkan. "Things can go wrong. Kamu pasti sudah tahu. Tugas saya, adalah menjaga kalian semua. Seperti dulu Arsyad menjaga kalian."
"Kalian sudah biasa kan?" tanyanya datar. Mereka berdiri dengan jarak tiga langkah.
Senyum tipis Niko di sana. "Ya, itu memang pekerjaan kami. Kami sudah biasa. Tapi apa kamu tahu apa artinya? Artinya, jika ada peluru yang meluncur ke arahmu, saya harus bisa menerima peluru itu. Nyawa kamu dan orang-orang yang saya jaga, adalah lebih berharga dari nyawa saya sendiri."
"Kalian dibayar mahal, Nik. Jangan sentimental," ujarnya ringan.
Ekspresi Niko berubah. "Kami tim ADS punya keluarga. Bukan laki-laki kesepian yang tidak punya siapa-siapa. Tapi kami harus melindungi keluarga orang lain, bahkan mati jika memang harus mati. Bukan cuma kami yang harus siap kehilangan nyawa. Tapi keluarga kami juga harus siap berduka." Raut wajah Niko berubah dingin. "Ya, kami sudah siap, Audra. Apa kamu siap?"
Dia diam menatap aura Niko yang tiba-tiba berbeda. Tidak ada senyum konyol, atau tatapan mata ramah yang tadi ada. Mata hitam keabu-abuan Niko menggelap, seperti ada banyak luka di kedalamannya. Sedikitnya dia terkejut, karena sosok Niko berubah seperti lebih mendominasi. Tidak sekuat Arsyad, tapi tetap membuat suasana berubah kelam.
Kemudian semua kenyataan yang Niko paparkan tadi merasuk ke pikirannya cepat. Selama ini, dia punya beberapa penjaga dan dia tidak pernah menghargai mereka. Karena dia berpikir, bahwa dia mengeluarkan uang banyak untuk mereka menjalankan tugas apapun itu. Kalimat Niko tadi sungguh mengusik hatinya. Para penjaga juga punya keluarga, anak, istri, ibu, ayah, persis seperti dirinya. Jadi apa yang membuat nyawanya sendiri lebih berharga dari nyawa mereka? Uang? Harta? Bagaimana dengan rasa kehilangan dan duka berat seperti dukanya kehilangan Arsyad? Itu tidak bisa digantikan dengan uang.
Selama beberapa saat dia diam membisu. Tidak bisa membalas kalimat Niko tadi. Lalu wajah Niko kembali hangat, tersenyum padanya. "Audra, karena itu saya suka sekali bercanda. Kalau saya terlalu serius, wajah kamu pucat begitu. Jangan takut, kemampuan tim ADS di atas rata-rata. Kami akan baik-baik saja."
Dia berdehem canggung seperti tersadar. "Lexy, tolong proyektornya."
"Baik, Nona. Memproses." Kemudian layar putih turun dan menutupi salah satu dinding.
"Wow, kamu punya Lexy di sini. Arsyad benar-benar menyayangimu."
"Ini..." tangannya mengulur memberikan pointer yang dia genggam.
Niko tertawa kecil. "Ini bukan presentasi bisnis, Audra. Saya tidak membawa slide apapun. Saya sedikit old fashion soal itu. Biar lebih fleksible. Karena Arsyad dan saya bisa membicarakan rencana dimanapun tiba-tiba."
Kemudian laki-laki itu duduk di kursi dekat meja meeting dalam ruangan, dan mengeluarkan file-file dari dalam tas hitam yang dia bawa.
"Can we start?" tanya Niko.
Tubuhnya mematung seperti orang bodoh karena heran sendiri dengan sikap Niko yang berubah-ubah. Laki-laki ini aneh sekali. Niko membuatnya sedikit relax, lalu aura laki-laki itu mengubah suasana menjadi lebih kaku, kemudian atmosfir kaku itu langsung hilang lagi saat senyum Niko kembali. Apapun itu, dia terusik. Laki-laki ini unik sekali.
"Audra?" Niko menatapnya lagi.
Get yourself together, Aud. Memalukan.
"Sebentar, saya harus mundurkan beberapa meeting saya." Dia berjalan ke luar ruangan, sebenarnya untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba datang.
***
Dua hari setelahnya. Malam.
Mereka kembali berada di ruang kerja kantor miliknya setelah dua jam Niko memaparkan apa-apa yang dia temukan sesudah pertemuan singkat mereka dua hari lalu. Pekerjaan Niko luar biasa. Cepat, lengkap dan akurat karena didukung dengan bukti-bukti foto, atau data-data yang sudah diperiksa.
Untuk menjatuhkan Herman, mereka membidik tangan kanannya. Wibowo. Sharon sudah memberikan informasi siapa orang-orang terdekat Wibowo padanya tempo hari. Niko melengkapi itu semua dengan data yang jauh lebih detail lagi. Seluruh kebiasaan orang-orang di sekitar Wibowo dan Herman, jadwal mereka, seluruh data pribadi, bahkan catatan perjalanan dan rekening bank jika dibutuhkan.
Cara bicara Niko lugas, tidak berputar. Struktur berpikir laki-laki ini sangat baik. Karena bisa menjelaskan sesuatu yang kompleks menjadi urutan yang mudah dimengerti. Niko juga hafal dengan point-point utama informasi. Jadi mereka tidak sibuk mencari data lagi ketika butuh klarifikasi. Intinya, dia mengerti kenapa Niko menjadi komandan tertinggi di ADS. Kemampuan Niko mungkin sama baiknya dengan Arsyad.
"Kamu dapatkan semua informasi ini hanya dalam waktu dua hari?" tanyanya heran.
"Saya dapat banyak bantuan. Ini bukan hanya pekerjaan saya."
Cerdas, rendah hati dan tidak langsung menyombongkan diri. Apa hatinya benar-benar baik? Dia mulai penasaran.
"Mareno dan saya kemarin hanya membuat rencana kasar. Tapi belum didukung dengan data yang lengkap. Karena segalanya masih sulit untuk Mareno. Dia benar-benar berduka dalam. Saya sedikit kaget karena tiba-tiba kamu menghubungi Mareno, tentang kedatangan Sharon," lanjut Niko.
"Saya hanya coba membantu. Ini urusan keluarga kami."
"Sekarang, ini urusan kita semua." Nafas Niko hela lalu laki-laki itu bersandar ke punggung kursi di belakangnya. Ada lelah di sana. "Kamu lapar?"
"Saya tidak makan malam, hanya sesekali jika benar-benar butuh."
"Wanita dan diet," Niko tertawa kecil.
"Dunia ini kejam, Nik," dia menyahut ringan sambil tersenyum. Entah kenapa aura santai Niko membuatnya rileks juga. "Kamu ingin makan? Aku akan minta Lisa pesankan."
"Lisa belum pulang? Ini sudah jam sembilan." Niko melirik jam tangannya sendiri.
"Dia dibayar cukup untuk mengangkat ponsel jam berapapun saya menghubungi."
Senyum Niko masih ada di sana, laki-laki itu menatapnya dalam. "Anak Lisa yang masih bayi sakit kemarin. Dia pergi ke dokter malam-malam. Jangan ganggu Lisa. Saya sangat mampu mencari makan sendiri. Tapi terimakasih atas tawarannya."
"Darimana kamu tahu?"
"Itu pekerjaan saya, Aud. Seperti kamu yang hafal luar kepala dengan angka-angka bisnis Sanggara Buana."
"Apa kamu juga tahu jadwal saya?" Kamu tanya apa sih, Od? Come on.
"Apa saya boleh mencari tahu?" Tubuh Niko sudah berdiri lalu laki-laki itu membereskan file-file di atas meja. "Lupakan, nggak perlu dijawab. Anyway, saya pamit." Niko mengenakan jaket hitamnya.
Karena tangan Niko yang merentang dia melihat ada darah yang mengering di lengan atas Niko. Refleks tangannya menahan jaket yang akan Niko kenakan.
"Kamu, berdarah."
Niko menunduk lalu satu tangannya memeriksa tubuhnya sendiri. "Oh, ini plesternya terbuka. It's oke. Saya pinjam kamar mandi ya."
Kepalanya mengangguk cepat. Tiba-tiba dia merasa cemas. "Kamu nggak apa-apa? Itu darah apa?"
Tanpa sadar dia sudah mengikuti Niko yang berjalan ke kamar mandi.
"Saya periksa dulu. I'm okey." Pintu kamar mandi Niko tutup.
Selama dua menit dia berdiri menunggu, cemas. Kemudian sadar bahwa harusnya dia mengambil koper P3K dari Mahendra segera. Jadi cepat-cepat dia menarik koper itu dari laci di buffet dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Nik, aku punya koper Mahendra."
Pintu terbuka sedikit lalu kepala Niko menyembul. "Boleh pinjam juga kopernya?"
Dia mendorong pintu kamar mandi dan melangkah masuk. Dahinya mengernyit cemas melihat luka di bahu Niko yang sudah dilepas bebatnya dan mengeluarkan darah. Dahinya mengernyit dalam.
"Saya nggak tahu cara pakai kopernya. Karena biasanya kalau Arsyad terluka dia langsung pergi ke MG." Dua tangannya mendorong tubuh Niko agar duduk di pinggir bathtub. "Ini luka baru kan?" oke, perutnya mulai mual. Dia benar-benar tidak nyaman melihat darah. Dua tangannya mulai membuka koper P3K dari Mahendra.
"Saya bisa, Aud. I'm okay."
Tangannya dia cuci dan keringkan. Niko sudah mulai mengambil botol aerosol kecil dari dalam koper dan membersihkan lukanya sambil masih duduk di pinggir bathtub. Tubuh besar Niko bertelanjang dada. Ada banyak garis luka di sana. Baru, dan lama. Juga beberapa lebam kehitaman. Harusnya lebam dan luka itu baru terjadi. Apa Niko terluka saat laki-laki itu mencari informasi dua hari ini?
Nyawa kamu dan orang-orang yang kami jaga, adalah lebih berharga dari nyawa saya sendiri. Kami tim ADS punya keluarga. Bukan laki-laki kesepian yang tidak punya siapa-siapa. Tapi kami harus melindungi keluarga orang lain, bahkan mati jika memang harus mati. Bukan cuma kami yang harus siap kehilangan nyawa. Tapi keluarga kami juga harus siap berduka.
Tiba-tiba dia merasa sedih teringat kalimat Niko sebelumnya. "Apa yang habis kamu lakukan, Nik? Kenapa bisa luka-luka begini?"
"Hey, kamu pasti pernah melihat Arsyad atau Mareno juga terluka kan? Ini pekerjaan kami." Niko membuka band aid gel berukuran sedang dan menempelkan langsung pada luka tadi.
Benda itu berdesis seperti membakar cepat untuk mensterilkan luka tanpa membuat luka baru. Tanpa sadar dia mengernyit nyeri dan memalingkan wajahnya. Sementara Niko terus mengurus luka itu.
"Koper ini berguna sekali. Dulu saya punya beberapa di ADS. Sekarang sudah tidak ada," ujar Niko saat mengambil perban steril untuk membebat lukanya,
Ada getir pada nada Niko. Laki-laki ini kehilangan rumahnya saat ADS hancur, kehilangan sahabat dekatnya saat Arsyad tiada, dan itu sama saja seperti Niko kehilangan segalanya. Tapi Niko masih bisa tersenyum. Padahal mungkin Niko sama berduka seperti tiga sepupunya yang lain.
Dia membantu Niko membebat luka, sekalipun tidak tahu cara yang benar. Jarak tubuh mereka dekat sekali, dengan suasana ruangan ini yang senyap tanpa suara. Niko adalah laki-laki pertama yang membuatnya benar-benar merasa nyaman dan santai sekalipun diskusi mereka adalah hal yang melibatkan nyawa.
"Jadi dari tadi kamu terluka? Atau dari kemarin? Ini luka karena apa? Apa karena kamu mencari bukti dan data-data?"
"I'm okay, Aud. Tenang saja."
"Kamu harusnya pergi ke MG, Nik. Tania akan mengurusmu."
"Saya akan kehilangan waktu. Semakin cepat segalanya dimulai, semakin baik."
"Kamu tinggal dimana?" dia terkejut pada rasa penasarannya sendiri dengan Niko Pratama.
"Apartemen saya. Nggak terlalu jauh dari sini."
Perban sudah selesai dililitkan. "Saya nggak biasa pasang perban. Jadi nggak rapih."
"Ini sudah cukup. Terimakasih."
Niko berdiri dan mengenakan kausnya lagi lalu mulai merapihkan sisa-sisa perban dan mengembalikan segalanya ke dalam koper P3K.
"Apa kamu pernah beristirahat? Maksudnya tidak bertugas menjaga orang?"
"Tidak pernah. Selama ADS berdiri dan seluruh team saya bertugas di bawah, saya harus siap dipanggil kapan saja oleh mereka kalau mereka membutuhkan saya. Di ADS, kami saling menjaga dan harus siap ada untuk satu sama lainnya."
"Siapa yang menjaga kalian?"
Niko terkekeh lalu mereka keluar dari kamar mandi. "Kalau kata Arsyad, yang menjaga kita adalah Tuhan yang di atas sana. Begitu kata dia."
Koper P3K sudah diletakkan di atas meja, kemudian Niko berdiri menatapnya. "Saya pamit. Terimakasih sekali lagi."
"Apa besok kamu datang?" Dia berdehem sebelum melanjutkan. "Maksud saya, besok jadwal saya penuh. Jadi saya hanya bisa sore."
"Saya tidak bisa. Besok lusa. Saat jadwal makan siang bersama Maja. Ingat rencana tadi kan?"
Ya, dia harus meminta bantuan Maja perihal salah satu pengurus rumah tangga keluarga Hadijaya agar mau bekerja dan menjadi mata mereka.
"Oke," kepalanya mengangguk.
"Selamat malam, Audra."
Tubuh Niko sudah menghilang keluar ruangan dan dia masih bisa membaui wangi dari tubuh Niko yang tertinggal.
***
Kediaman Arsyad Daud.
Kebiasaan Edward sebelum tidur adalah berkeliling memeriksa semua hal. Apalagi saat ini Tuan Besar masih belum sadar dan masih dalam perawatan intensif. Juga Tuannya yang lain, Aryo Kusuma. Para penjaga sudah memberi laporan lengkap untuk keseluruhan perimeter area. Aman, tidak ada yang tahu. Dia sendiri belum bisa berkata apapun tentang tindakannya kali ini. Jiwanya turut hancur saat insiden di ADS terjadi. Apalagi melihat duka hebat keluarga besar Daud sekarang.
Pertimbangannya adalah karena kondisi Tuan Besar yang belum stabil. Dia belum menyerah, tidak akan. Tuan Besar akan bangun lagi nanti. Karena dia menyayangi Arsyad seperti anak laki-lakinya sendiri. Jadi dia akan mengupayakan apa saja agar Arsyad selamat.
Kakinya melangkah menyusuri koridor. Di depan pintu kamar Arsyad dia berhenti sejenak, masuk dan memeriksa seksama tubuh besar Arsyad yang masih belum sadar. Kemudian, dia berpindah pada kamar kedua. Tempat Aryo Kusuma menjalani perawatan yang sama.
Pilihannya dulu untuk mempertemukan Herman dan Aryo saat ini dia rasakan tepat. Karena dia melihat sendiri bagaimana Aryo bangun berdiri dan berusaha memapah tubuh Arsyad untuk mencari jalan keluar yang dia yakin Aryo tidak tahu. Tapi ketakutan akan kematian, membuat Aryo berusaha lebih keras untuk bertahan hidup saat Arsyad sudah hampir menyerah. Itulah kelemahan Arsyad, Tuan Besarnya itu tidak takut mati. Padahal dia sudah selalu mengingatkan, rasa takut juga dibutuhkan untuk memiliki kewaspadaan diri.
Dia sudah tiba di dalam area sasana. Suara Janice yang sedang berlatih bisa dia dengar. Anak perempuan satu-satunya itu sedang melatih gerakannya.
"Jen, tidur."
"Nanti, saya benar-benar ingin membereskan Rodman. Apa ayah tidak bisa menghubungi Bapak Besar? Saya ingin ke sana dan menghabisinya sendiri." Kaki Janice menendang ke atas dan menahan gerakannya di sana.
"Bukan begitu caranya. Rodman adalah ikan kecil. Orang bayaran rendahan yang akan menurut asal ada uang. Waktumu akan terbuang sia-sia mengurusi Rodman. Jangan hilang fokus dan tujuan. Target kita adalah Roy Hartono. Selain Roy, yang lainnya tidak penting."
"Rodman membuat keluarga yang kita jaga bersedih sampai hampir gila, Ayah. Bagaimana Ayah bisa mengabaikan itu?" Janice sudah berdiri tegak sambil mengusap peluh.
"Tetap tidak. Ingat-ingat ilmu strategi yang saya ajarkan dulu. Istirahat setelah ini Jen."
"Okay aku tidak bisa membunuh Rodman. Tapi aku ingin Aryo Kusuma pergi dari tempat ini. Setelah bangun, dia bisa membocorkan seluruh rahasia kita dan itu tidak baik."
"Aryo Kusuma adalah Daud. Jadi sudah menjadi tugas kita untuk menjaga dia. Apa sudah jelas, Jen?" Matanya menatap Janice tegas. "Cari tahu apa rencana para wanita Daud. Awasi dan jaga mereka."
Kepala Janice mengangguk dalam, kemudian dia berjalan keluar dari sasana. Masih sibuk memikirkan banyak rencana.
***
Pemanasan dulu. Jangan yang berat berat. Eh tapi emang janjinya buat ga kasih yang berat di lapak ini ya. Hampir aja lupa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro