Part 29
Ada banyak bintang tamu di part ini. Siapa yang kangen mereka?
***
Mata Janice menelusuri seluruh jadwal, dan daftar pekerjaanya yang tertinggal di meja kerja dalam kamarnya di rumah ayah. Dia punya apartemennya sendiri tapi hukuman ayah membuat dia kembali ke sini. Pembicaraan-nya dengan ayah kembali melintas.
"Besok, kamu mulai bekerja. Tuan Muda Mahendra sudah mulai mempersiapkan pernikahannya. Tuan Besar sedang sibuk mengurus Jodi Hartono yang mulai berulah. Saya sendiri yang akan mengawasi kamu. Jika kamu meminta bantuan pada salah satu Daud soal Aryo Kusuma, satu hari setelah itu kamu akan membaca berita hilangnya dia. Tinggal di rumah ini, bukan ditempatmu. Saya kerahkan orang-orang saya yang kamu tidak tahu untuk mengawasi setiap gerak-gerikmu."
Tangannya mengepal kuat. "Lepaskan Aryo Kusuma. Saya akan turuti apapun keinginan Ayah. Tapi lepaskan dia," ujarnya datar.
"Nanti, setelah sikapmu diperbaiki."
"Saya tidak pernah ingkar janji. Lepaskan dia."
"Saya yakin dia langsung akan berlari menuju kamu. Jadi, saya akan membuatnya tidak bisa berlari lagi. Serigala yang satu ini, harus saya patahkan kakinya agar tidak bisa berdiri dan berburu."
Kepalanya menoleh menatap ayahnya tajam. "Orang bilang, saat jatuh cinta kita bisa berbuat nekat dan gila. Jadi saya bersumpah, jika ayah melakukan itu pada Aryo Kusuma saya akan patahkan kaki saya sendiri. Dan ayah, akan kehilangan kaki tangan ayah untuk menjaga Daud. Duduk di kursi roda sepertinya sangat menyenangkan. Jadi saya bisa beristirahat. Ide yang bagus, Ayah. Terimakasih."
Dia tersenyum sinis lalu berdiri dan meninggalkan ayah.
Pintu yang diketuk membuat pikirannya kembali.
"Nona, kendaraan sudah siap."
"Ya." Dia berdiri dan melangkah keluar ruangan. Otaknya terus berputar. Memikirkan bagaimana cara melepaskan sang serigala.
***
"Heeeen, kok kamu belum sampai?" Alexandra menghubunginya saat dia sedang berkendara.
"Sebentar lagi, Lexa. Sabar."
"Bara udah di sini, Janice dan Sabiya juga."
"Loh, kok Bara? Kenapa kamu undang mahluk jadi-jadian itu?"
"Mahendra, nggak boleh ngomong begitu. You are rude." Alexandra melanjutkan sambil berbisik. "It is his gender, he decides, not you."
"Oke, oke. Lagian fungsi aku di sana apa sih? Cuma ngangguk bilang iya? Kalau aku nggak setuju kamu mau ganti gaunnya?"
"Iya juga ya. Hmmm..."
"Lexaaa, aku banyak kerjaan," protesnya.
"Aku mau ditemenin pokoknya. Kamu sayang aku nggak sih?"
"What? Pertanyaan kamu nggak relevan. Apa hubungannya milih jenis pakaian dengan perasaan?"
"Ada. Itu menunjukkan perhatian, perhatian sama dengan sayang."
"Persepsi seseorang atas sesuatu bisa benar-benar berbeda tergantung dari banyak faktor saat mereka..."
"Mahendra Zaidan Daud, you talked dirty again," keluh Alexa. "Pokoknya kamu ke sini titik. I don't want to argue with you because I never win."
"You always win. Buktinya aku ke sana sekarang sekalipun alasan kamu nggak jelas," dia terkekeh kesal dan gemas.
Dia tahu di seberang sana Alexa tersenyum lebar. "That's why I love you, my professor. Drive safe, oke."
***
Enchanted. Butik Sabiya.
Sabiya menatap Alexa yang asyik mengobrol dengan Bara. Lalu berpindah kepada Janice. Entah kenapa dia merasa sikap Janice aneh. Di banyak kesempatan yang dia tahu, sikap Janice akan datar dan diam saja. Tapi Janice tidak pernah terlihat bingung dan tidak fokus. Hari ini untuk pertama kalinya dia melihat Janice beberapa kali menatap ke luar jendela. Pikiran Janice seperti tidak di sana.
Pintu butik berdenting dan dia segera tahu bahwa Mahendra sudah tiba. Adik Arsyad yang canggung itu akhirnya akan menikah.
"Sayang, macet banget ya?" sambut Alexa sambil berdiri dan mencium pipi Mahendra yang terlihat kikuk.
Dia tersenyum lalu menyambut Mahendra juga. "Hai, Hen." Mahendra merangkulnya sejenak kemudian dia berbisik pada Mahendra. "Aku pikir kamu nggak dateng untuk urusan begini."
"Pinginnya begitu, tapi kamu harus tahu kalau Alexa sedang merajuk," Mahen balas berbisik padanya.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
Nafas Mahendra hirup panjang. "You don't want to know, Bi."
Dia hanya tertawa sambil menatap Mahendra.
"Oke, Alexa silahkan fitting pertama. Amy dan Esther akan membantu."
"Lex, kenapa nggak dari tadi pakai gaunnya? Jadi aku hanya tinggal lihat saja," protes Mahendra lagi.
"Ya, aku kan tunggu kamu dan..."
Pintu butik terbuka lagi. Ada Hanif, Faya, Arsyad dan mama Trisa. Lalu Mareno dan Antania di belakang mereka.
"Kalian ngapain ke sini?" tanya Mahendra bingung.
"Surpriseeee!! Kita ke sini buat lihat calon adik ipar yang paling cantik menyiksa perlahan-lahan si manusia gua yang nggak pernah mau keluar dari lab," jawab Mareno konyol.
Wajah Alexa sudah cemberut kesal. "Mahendra-ku bukan manusia gua dan aku nggak siksa Mahendra."
Mereka tertawa. "Reno selalu bercanda, Lex. Nggak usah didengerin," sahut Antania.
"Ayo dimulai, Sayang. Mama nggak sabar," mama Trisa duduk di salah satu sofa.
Alexandra sudah menghilang di balik pintu ruang ganti bersama Bara, Esther dan Amy.
"Bang, lo kenapa ngajak Mareno sih?" protes Mahendra.
"Gila calon bini lo ya. Cemberut aja cakep. Lo belum apa-apain kan, Hen," sahut Mareno asal dan kemudian si empat saudara mulai saling meledek seperti anak-anak.
"Mulut lo tu ya. Maa...Mareno tu Maa," Mahendra mengadu.
"Mareno, jangan sembarangan bicara," mama Trisa memperingati.
Hanif sudah menjitak kepala Mareno lalu Faya dan Antania tertawa. Kepalanya menggeleng saat Arsyad menghampirinya dan mendaratkan ciuman di pipi.
"Kalian sering-sering dong ke sini. Biar butikku ramai terus," timpalnya.
"Aku pusing kalau ada mereka," Arsyad merangkulnya mendekat.
"Fa, duduk Fa. Kamu nggak capek," Hanif merangkul pundak Faya dan memintanya untuk duduk di sofa.
Faya mendelik kesal pada Hanif. "Aku udah duduk dari tadi, Nif. Capek duduk terus. Biya, punya permen nggak?"
"Kamu mual?" tanya Hanif khawatir.
Dia berjalan mengambil toples permen mint dan meletakkannya di meja.
"Lo ribet banget sih, Nif. Orang Faya juga nggak apa-apa kok," sahut Mareno.
"Nah tuh, untuk pertama kalinya aku setuju sama Mareno. Tan, tukeran dong," sahut Faya.
"Boleh banget. Aku sih seneng banget dibuatin susu dan sarapan pagi-pagi, atau dipijitin kaki kalau pulang kantor, daripada ribut cari celana atau dasi yang pas," Antania tertawa kecil.
"Kok kamu gitu sih, Beiby?" protes Mareno kesal. "Yakin mau tukeran? Hanif nggak sejago aku buat urusan yang lain."
"Mau berapa hari, Fa?" tantang Tania dan itu membuat yang lain tertawa.
"Sukurin lo," timpal Mahendra.
"Boys, behave." Mama Trisa tersenyum lebar juga.
"Bener kan. Berisik," bisik Arsyad masih sambil merangkulnya. Mereka sudah duduk di sofa berseberangan dengan para adik Arsyad.
Matanya mencari Janice yang sedang berdiri menatap ke luar jendela.
"Syad..."
"Hmmm?"
"Janice," bisiknya sambil menggendikkan kepala ke arah sosok Janice.
Pandangan Arsyad beralih. Suaminya itu diam memperhatikan. Seperti mengerti dan setuju bahwa sikap Janice aneh sekali. Janice berdiri dengan mata menerawang menatap ke luar jendela. Tubuh Janice seperti bersembunyi di balik tirai jendela butik. Antara mengawasi dengan waspada, menimbang-nimbang sesuatu tapi saat lainnya mata itu menerawang jauh.
Ekspresi Arsyad yang berubah membuat Hanif mengalihkan pandangannya pada Arsyad. Sementara Mareno, Mahendra dan yang lain masih saling menggoda. Kepala Arsyad gendikkan ke arah Janice, lalu Hanif menatap wanita itu juga.
"Apa ada yang terjadi dengan Edward?" bisiknya pada Arsyad. "Janice kelihatan cemas."
Suaminya diam sejenak. "Bukan Edward. Nanti aku periksa."
Satu tangan Arsyad merangkulnya mendekat lalu tersenyum padanya. "Dinner tonight?"
"Serius? Emang ada apa?"
"Apa nggak boleh ajak istri sendiri pacaran?"
Wajahnya memerah malu tapi tersenyum juga.
"Biya, jangan memerah begitu di sini. Banyak orang," bisik Arsyad sambil mencium telinganya.
Merahnya bukan pergi malah tambah menjadi-jadi. Untung saja Bara memanggilnya dari ruang ganti. Jadi dia berdiri dan masuk ke sana untuk membantu Alexandra serta menghindari usilnya Arsyad tadi.
***
"Lidya kemana?" tanyanya pada Alexa saat mereka di dalam mobil menuju safe house dengan Desmon yang menyetir di depan.
"Lidya sibuk dan masih benar-benar marah sama Desmon." Alexa menatap Desmon dari bangku belakang. "Kalian masih berantem?"
Desmon diam saja.
"Berantem? Emangnya ada apa?"
Alexa mendekatkan diri lalu berbisik padanya. "Kamu nggak tahu?"
"Tahu apa?" ujarnya tanpa suara.
"Nanti aku ceritain," bisik Alexa lagi.
"Kenapa harus nanti?" dia balas berbisik. "Dan kenapa harus bisik-bisik begini?"
"Nanti, Heen. Atau aku cium kamu di sini," ancam Alexa.
"Mulai lagi."
"Jadi gaun tadi kamu suka?" tubuh Alexa bersandar santai padanya.
Suka? Dia terpesona melihat Alexandra hingga kehilangan kata-kata. Semua orang tahu Alexa cantik sekali, tapi dengan gaun tadi...dunia seperti berhenti. Norak lo, Hen.
"Lumayan," dia berdehem untuk menutupi rasa canggung.
"Cuma lumayan? Serius? Aku telpon Bara dan Biya biar ganti aja ya," timpal Alexa panik.
"Eh jangan-jangan. Bagus kok."
"Cuma bagus?" Alexa tambah panik lalu mencari ponselnya.
"Lexa, hey, hey. Jangan diganti, aku suka." Mangkanya kalau ngomong jangan sembarangan, Heen. Repot kan.
"Kamu terpaksa bilang begitu kan. Itu hari terpenting buat aku, Hen. Aku harus sempurna. Kalau kamu nggak suka..."
"Aku suka, serius aku suka. Letakkan ponselnya, Lexa."
"Tadi kamu kayak biasa aja."
"Karena dengan atau tanpa gaun itu kamu sudah sempurna, Lex."
Wajah cemas wanitanya itu sudah hilang, berganti dengan senyum kecil Alexa yang menggemaskan. Alexa mendekat lagi padanya.
Hffhhh...aman.
"Ada banyak hal yang harus disiapkan," ujar Alexa kali ini.
"Janice sudah kembali, dia akan bantu, juga Lidya, mamaku, Sabiya, ada banyak orang yang ingin bantu."
"Tapi aku mau kamu juga terlibat. Kita harus cobain kue pernikahan, terus pilih warna dekorasi, terus undangan..."
Alexa terus berceloteh gembira. Dia hanya diam mendengarkan sambil mencium puncak kepala Alexa dan memainkan helai rambut wanitanya.
Mobil sudah tiba di pekarangan safe house dua puluh menit kemudian. Dia turun lalu membukakan pintu Alexa. Mereka masuk ke dalam safe house dengan sambutan Lexy.
"Selamat datang Tuan dan Nona."
"Hai, Lexy. Aku merindukanmu."
"Tuan Mahendra juga sangat merindukan anda."
"Serius?"
"Ya, saya bisa memberikan hasil scan tubuh Tuan Mahendra pada...."
"Lexyyy...stop it. Hrrghhh..."
Alexa tersenyum lebar. "Aku percaya padamu, Lexy dan aku sedang sangat bahagia. Gaunku tadi cantik sekali, sekalipun Mahendra bilang biasa aja."
"Lex, aku nggak bilang begitu." Dia duduk setelah mengambil air mineral dari dalam kulkas dan menenggaknya.
Alexa berjalan mendekatinya lalu meletakkan kedua tangan melingkar di bahunya. "Kamu sibuk banget, Hen."
"Kamu sama sibuknya, Lex."
Sebenarnya dia menyibukkan diri karena sungguh berdekatan terus dengan Alexandra Walton bisa membuatnya benar-benar kelepasan. Alexandra seperti tahu lalu meletakkan dahi pada ujung kepala. Dia duduk di kusi meja makan dan Alexandra berdiri dekat sekali.
"I miss you, Hen. Kenapa aku nggak boleh menginap di sini lagi?" tubuh Alexa makin mendekat.
Gelas dia letakkan kemudian kepalanya mendongak hingga dahi mereka bersentuhan. Dua tangannya sudah mendekatkan tubuh Alexa padanya.
"Karena Mareno benar. Aku bisa kelepasan, Lex."
Bibir Alexa sudah sampai di pipi. "Kita akan menikah, Hen. Emang nggak boleh kelepasan ya?" tanya Alexa polos.
Dia terkekeh, mengerti benar dunia yang Alexa tahu berbeda dari dunianya sendiri.
"Nggak boleh."
"Kata siapa?"
"Kata seluruh norma-norma hukum dan agama. Kamu mau aku bacain undang-undang asusila."
Kepala Alexa menggeleng sambil menggigit bibirnya. "Tapi...aku mau." Bisik Alexa tanpa pura-pura.
Perpaduan antara sikap apa adanya Alexa, juga wajah cantik dengan mata biru seperti telaga, atau betapa Alexa terlihat selalu sempurna, membuat seluruh reseptor rasa seolah mulai bekerja. Ditambah dengan oksitosin dan norepinehim yang sedari tadi sudah mulai berproduksi.
Alexa yang memulai, selalu begitu karena sungguh jika dia yang mulai maka dia tidak bisa berhenti. Bibir Alexa mencari bibirnya sendiri. Menyapu lembut menggoda, seperti memintanya untuk menuntaskan semua. Dia menyambut ciuman Alexa. Sekuat hati menahan diri karena tahu dia akan benar-benar menyesal jika dia melakukannya lebih dulu. Mama benar, mereka harus segera menikah. Karena saat kesibukkannya berkurang dan kebersamaannya dengan Alexa meningkat, hampir mustahil dia bisa terus bertahan dari pesona Alexandra.
Bibir mereka terus mendesak masuk saat refleks tubuhnya berdiri dan mendorong tubuh Alexandra perlahan ke meja makan. Alexa duduk di sana sementara dia sudah turun ke leher jenjang Alexa. Hari ini Alexa mengenakan blouse dengan leher sabrina yang cantik sekali, juga rok selutut yang melengkapi.
Sungguh dia tidak bermaksud apapun tapi entah bagaimana tangannya sudah menelusup ke balik pakaian Alexa. Bibirnya juga terus tinggal di tubuh wanitanya. Tidak mau pergi. Seluruh yang dia rasa benar-benar seperti adiksi.
"Tuan Arsyad Daud menghubungi," ujar Lexy.
Dia terengah lalu berhenti. Matanya menatap mata biru Alexa penuh arti dengan dua tangan membingkai wajah cantik itu.
"See? Ini kenapa aku harus selalu sibuk," ujarnya.
"Lexy, bilang sama Arsyad..."
Bibir Alexa dia cium sesaat. "Belum saatnya, Lexa. Sabar dulu. Setelah itu aku nggak akan biarkan kamu keluar berminggu-minggu."
Alexa tersenyum lebar. "I love you, Hen."
Pipi Alexa dia cium cepat lalu mereka melepaskan diri. "Tolong bantu aku siapkan makan malam, oke? Aku akan urus abangku dulu."
"Lima belas menit kamu nggak turun, aku naik ke atas."
"Iya, sebentar aja."
Dia melangkah menuju labnya sambil menggelengkan kepala kuat. Mengusir hasrat yang masih tersisa tadi. Layar di dalam lab berkedip. Panggilan dari Arsyad terpampang di sana.
"Bang..." ujarnya setelah memijit tombol untuk menerima panggilan.
"Hen, gue minta lo untuk cek seluruh tempat Edward dan Janice."
"Maksudnya?"
"Cek dimana property yang mereka punya, cek juga nama aliasnya. Lo selalu pintar dengan anagram. Mungkin Edward menggunakan anagram untuk menyembunyikan tempatnya."
"Jelasin dulu ke gue ada apa?"
"Janice terlihat dan terdengar aneh."
"Maksudnya?"
"Sikap Janice aneh, dan Hanif setuju soal itu. Ada yang Janice sembunyikan entah apa," jawab Arsyad.
Dahinya mengernyit dalam. "Janice ke lab di ID Tech dan menghubungi gue dari sana. Bertanya soal peluru-peluru baru yang dipinjam Edward."
"Edward pinjam peluru?" tanya Arsyad.
"Ya, dan gue bilang peluru itu belum sempurna. Edward bilang nggak apa-apa karena dia ingin membereskan soal Jodi. Mangkanya gue setuju."
"Bukan Jodi..." gumam Arsyad di sana. "Peluru apa yang diambil?"
"Peluru bius, dan si TRB yang baru."
"TRB?"
"Hmm...lupa. Kebanyakan sama Sabiya. The Taste Receptors Bullet. Peluru yang seperti anak panah kecil. Saat si peluru menancap, dia akan mengeluarkan zat yang akan masuk ke aliran darah dan mengambil alih syaraf-syaraf. Mengirimkan rasa sakit ke otak sampai 50 del, kemampuan manusia cuma 45 del by the way. Kecuali proses melahirkan yang bisa sampai 57 del. Jadi orang yang kena tembak berharap mereka mati aja. Lo minta gue buat peluru yang tidak benar-benar menyakiti, tapi memanipulasi rasa. Untuk proses interogasi. Inget nggak?"
"Oke, gue ingat. Tunggu sebenar, jadi peluru ini tidak benar-benar melukai yang tertembak. Hanya mengirimkan rasa sakit saja?"
"Yup. Kalau kena tulang, si yang tertembak akan merasa tulang mereka patah padahal enggak. Kalau tersebar ke pembuluh vena, tubuh lo akan terasa terbakar dari dalam. Sebenarnya nggak apa-apa."
"Berapa lama reaksinya?"
"Itu yang gue belum selesai uji coba. Harusnya hanya satu-dua hari. Dan peluru ini nggak boleh digunakan berkali-kali pada korban yang sama. Karena syaraf mereka bisa rusak beneran. Dan satu kali aja udah lebih dari cukup. Gue yakin nggak ada yang sanggup nahan sakitnya."
"Lo kasih tahu itu semua ke Edward?"
"Edward terburu-buru."
Arsyad diam di sana, berpikir. "Peluru dan senjata itu Edward bawa dengan koper perak kan, Hen?"
"Ya."
"Dan setiap koper perak atau koper biru lo, itu ada tracker device di dalamnya. Betul begitu?"
"Yes."
"Good. Lo masih ingat kode koper yang Edward ambil?"
"Penghinaan. Ya masih lah." Dia sudah duduk di depan layar siap melacak.
"Lacak, Hen. Kasih tahu gue dimana."
"Sebentar...." Matanya melirik sejenak ke jam di dinding sementara jarinya terus bergerak di atas keyboard, melacak koper perak yang dibawa Edward.
Lima menit sebelum Alexa menyusul ke atas, Hen. Dan lo nggak mau Lexa masuk ke dalam area pribadi lo lagi, karena minggu lalu lo hampir kelepasan.
"Got it..." tangannya menekan tombol enter dan peta terpampang di depan layar.
Peta terus membesar pada area dengan titik merah berkedip. Arsyad juga melihat apa yang dia lihat di seberang sana.
"Koper itu ada di area ADS. Working home-nya Edward," ujar Arsyad.
"Ya, tempat dimana kita semua meeting dengan generasi kedua dulu."
Edward punya beberapa property. Tapi hanya dua tempat yang sering laki-laki itu gunakan. Working House-nya yang berada di area besar ADS dan tidak tersentuh saat kejadian meledaknya markas besar ADS, juga Regular House yang nyaman di pinggiran kota. Tempat tinggal Edward sesungguhnya.
"Sebenarnya ada apa sih, Bang? Beneran soal Jodi?'
Arsyad diam sejenak.
"Bang? Kalau bukan soal Jodi, terus ini tentang siapa?"
"Nanti gue jelaskan. Tapi Hen, gue butuh bantuan lo."
"Untuk?"
"Gue butuh rekaman CCTV, blueprint-nya, dan seluruh detail keamanan di sana. Jumlah penjaga, jadwal, semuanya."
"Bang, Edward nggak pasang penjaga di sana. Rumah itu berada di area ADS yang aman. Sekalipun memang di bagian perimeter luar."
"Gue harap dugaan gue salah, Hen. Apa lo bisa masuk ke CCTV-nya sekarang dan cek? Ini...sedikit penting."
Alexa sudah mengetuk pintu lab. Gadisnya itu terlihat menggemaskan dengan apron pendek dan rambut panjangnya yang digelung asal ke atas. Oh, God.
"Mau nikah besok aja rasanya..." gumamnya dalam hati.
Kemudian Arsyad terkekeh geli di sana. "Sabar, Hen. Ada Alexa di sana ya?"
"Hah? Emang gue ngomong apa?"
"Lo bilang mau nikah besok aja rasanya..." Arsyad tertawa lagi.
"Bang, serius jangan bilang Mareno Bang. Nanti si gila itu makin menjadi."
"Iya, gini deh. Lo cek CCTV malam ini dan kabarin gue. Sekarang silahkan urus-urusan pribadi lo dulu. Ingat, Hen. Jangan kacaukan semua saat sebentar lagi lo dan Alexa resmi menikah. Paham kan maksud gue?"
"Nyebelin lo, Bang. Emang gue Mareno."
"I trust you."
"Daaa Abaaang...sayonara." dia mendengkus kesal sambil mematikan sambungan.
"Heeen...udah sembilan belas menit lebih tiga puluh tiga detik. Maheeen..."
Makin Alexa merengek makin dia merasa dibutuhkan oleh gadis itu. Selama ini dia selalu diperlakukan seperti anak kecil oleh keluarganya, hanya Alexa yang memperlakukannya seolah dia benar-benar laki-laki dewasa. Jadi dia selalu suka saat Alexa bermanja-manja.
"Maaheeeen..."
Pintu dia buka lalu dia terkekeh melihat wajah cemberut Alexa dengan sedikit tepung di pipinya.
"Kamu bikin apa pakai tepung segala?" jari-jarinya menghapus tepung di pipi Alexa perlahan.
"Loh, bukannya kita mau buat ayam goreng tepung ya?"
"Enggak, kamu kan nggak suka gorengan. Aku mau bikin ayam panggang lemon."
"Yaaah...terus gimana dong? Aku udah tuang tepungnya."
Mereka mulai berjalan berangkulan ke dapur bawah.
"Tepung apa?"
"Yang di kotak tutupnya kayu."
"Itu tepung sagu, Sayang. Sejak kapan bikin ayam goreng tepung pakai sagu."
"Kamu sih lama-lama di lab kerja terus. Aku mana tahu tepung sagu bedanya apa. Warnanya juga sama-sama putih. Jangan salahin aku."
Dia tertawa lalu mencium pipi Alexa gemas. "Iya, nanti aku marahin tepungnya. Ya udah aku telpon Anthony aja, buat kirim makan malam kita."
Alexa tersenyum lebar karena memasak bukan hal yang terlalu dia suka.
"Oke. Jadi kita mau apa?" tanya Alexa dengan senyum kekanakkan sambil berdiri menatapnya. "Lanjutin yang tadi aja?"
"Yang mana?" dadanya mulai berdebar seru. Hormon-hormon sialaaan.
Tubuh Alexa mendekat padanya, sementara refleksnya adalah mundur ke belakang. "Alexaa...jangan bercanda oke."
"Aku nggak bercanda, aku beneran kangen," ekspresi Alexa menunjukkan kesungguhan dan keusilan di saat bersamaan.
Hal itu membuat dia tertawa dan melangkah mundur makin menjauhkan tubuhnya.
"Heeen...kok kamu lari sih? Aku beneran kangeeen."
"Iya nanti kangen-kangenannya, Lexa. Aku laper beneran." Dia mulai menghindar dari Alexa yang terus mengikutinya.
"Alasan. Aku mau peluk aja kok," sahut Alexa sambil tersenyum usil.
"Ayolah, Lex. Jangan usil begitu."
Mereka saling meledek dan tertawa. Sampai kemudian dia menyerah dan menyambut pelukan Alexandra.
***
Unc, unch.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro