Part 28
Niko sudah berdiri di pinggir kolam dan meminta Martin untuk keluar dari area itu. Martin langsung menuruti. Setelah Martin pergi dia menarik lengan Audra ke arah dalam rumah, tidak peduli dengan protes Audra.
"Ada apa sih, Nik? Nggak usah tarik-tarik," Audra berusaha melepaskan lengan wanita itu yang dia genggam erat.
Dia tahu dia bukan siapa-siapa. Tapi melihat Audra dipeluk, dan digandeng oleh Abimana hanya dengan baju tidur satin saja. Lalu pagi ini Audra hanya mengenakan bikini hitam mengobrol santai dengan Martin, anak buahnya. Emosi yang selalu bisa dia kontrol dengan baik benar-benar sudah naik sampai kepala. Audra terus dia bawa masuk ke dalam kamar utama. Setelah itu dia melangkah mengambil jubah handuk dari kamar mandi besar Audra di dalam kamar.
"Pakai," jubah dia sodorkan.
Dahi Audra mengernyit dan ekspresi marah Audra sudah di sana. "Pakai? Aku mau berenang. Kamu apa-apaan sih." Kepala Audra menggeleng lalu mulai melangkah ke luar kamar. Dengan cepat dia menarik tangan Audra lagi.
"Saya pakaikan kalau kamu tidak bisa." Tangannya menyampirkan jubah handuk untuk menutupi tubuh Audra.
Tangan Audra menampik kuat. "Don't touch me."
Tubuhnya terdorong ke belakang satu langkah dengan masih menatap Audra marah.
"Kamu sengaja?"
"Hah? Sengaja? Sengaja apa?" tatap Audra tidak percaya.
"Semuanya."
"Semua apa?"
Rahangnya merapat marah dan kesal pada dirinya sendiri. "Pakaian kamu, sikap kamu pada Abimana, Martin, siapa lagi?" dia meledak juga.
'PLAK!!' Tangan Audra melayang menampar kuat.
Satu jari Audra menunjuk wajahnya. "Hidup saya tidak berputar di sekeliling kamu, Niko Pratama." Suara Audra bergetar hebat. "Abimana calon suami saya, dan Martin...saya minta Martin memeriksa apa kolam sudah bersih, karena saya tahu kamu tidak akan ada untuk saya lagi!!" Audra menjerit murka.
"Saya tidak meminta kamu menjaga saya. Dulu, dan sekarang. Silahkan pergi kalau kamu tidak mau!!" lanjut Audra.
Tubuhnya bergetar hebat menahan segala rasa. Dia kalut, bingung dan marah pada segalanya. Pada Audra, pada dirinya, pada kenyataan tentang mereka.
Keluar, Nik. Keluar.
Cepat-cepat dia berjalan keluar kamar utama dengan tangan mengepal kuat. Langkah kakinya makin cepat ketika dia sudah berada di luar rumah. Dia mulai berlari lagi, lebih cepat dari sebelumnya, lebih jauh jika bisa. Meninggalkan semua himpitan rasa di belakang. Dia mencintai wanita itu demikian banyak, hingga rasanya dia mau gila. Untuk bersama dia tidak bisa, tapi untuk pergi juga dia tidak mampu. Hal itu baru dia tahu dan dia marah pada dirinya sendiri karena itu.
***
Malamnya.
Abimana tiba pukul delapan malam. Bersetelan jas tanpa dasi dengan buket bunga besar di tangan dan sekotak coklat. Dia meminta Martin memeriksa itu semua karena paham dia bisa kelepasan.
"Malam, Nik. Dimana Audra?" tanya Abimana. Mereka berdiri berhadapan di ruang tengah rumah utama.
"Tunggu di sini. Sebentar lagi dia turun," jawabnya kemudian dia membalik tubuh untuk berjalan ke dapur mengambil laptopnya.
"Nik, sampai kapan Audra dikurung di sini."
Langkahnya berhenti. "Sampai Arsyad bilang aman."
"Saya hanya ingin mengajak Audra makan malam, di restoran keluarganya. Apa kamu nggak bisa bicara dengan Arsyad?"
"Silahkan bicara sendiri."
"Hai, Bi." Audra turun dengan gaun santai yang pas dan cantik sekali.
Make-up Audra sapukan tipis-tipis hingga wajahnya terlihat lebih segar, sesegar wangi dari tubuh Audra yang menguar.
"Malam, Aud. Apa kamu kalau di rumah selalu cantik begini?" ujar Abimana sambil menatap Audra kagum.
"Kamu berlebihan, Abi." Audra tertawa kecil lalu mereka berpelukan sesaat. "Wow, kamu bisa dapat tulip? Darimana?" Mata Audra menatap buket bunga mahal itu terpana.
"Pesanan khusus. Kamu suka?"
"Suka? Aku rindu bersepeda di Noorwijkerheut," bunga-bunga itu Audra peluk dan sentuh satu-satu.
"Ini dari Lisse. Kita bisa ke sana untuk bulan madu. Kamu mau?"
Dia mulai melanjutkan langkah ke dapur. Tidak mau mendengar apapun yang mereka katakan atau lakukan. Sialnya, Audra dan Abimana juga melangkah ke arah yang sama. Jadi dia bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan.
"Nanti aku pikirkan. Aku masih sibuk dengan Sanggara Buana."
"Hey, aku dan Mami sedang bernegosiasi dengan mereka. Kami membantu." Mereka berjalan berangkulan masuk ke area dapur.
Saat seperti ini dia merasa Audra dengan sengaja melakukan ini semua. Ini apa? Bersikap ramah pada Abimana di hadapannya. Apa benar begitu? Atau ini hanya prasangka buruknya saja karena ini rumah Audra kan? Dia dan Audra juga tidak memiliki hubungan apa-apa. Wanita itu bebas berbuat apa saja. Hrrrghhhh....
"Ya, terimakasih. Aku harus meletakkan bunga-bunga cantik ini di vas. Duduk dulu," ujar Audra.
Abimana duduk di salah satu kursi tinggi setelah melepaskan jas dan meletakkannya di salah satu kursi. Dia membereskan laptopnya yang masih ada di sana agar dia berpindah tempat saja. Demi Tuhan dia tidak mau berdekatan dengan mereka berdua.
"Tadi aku bertanya pada Niko, kapan aku bisa mengajakmu keluar. Makan malam misalnya," ujar Abi.
"Nanti aku akan bicara pada Arsyad. Tapi aku sendiri tidak terlalu ingin keluar, Bi. Arsyad bilang Jodi mengerahkan segalanya kali ini." Audra masih bergerak-gerak memindahkan bunga ke dalam vas besar.
Tubuhnya bergerak lebih lambat. Ingin tahu pembicaraan normal mereka.
"Aku tahu Jodi terobsesi denganmu sedari dulu. Wajar aja, kamu wanita yang terlalu menarik. Iya kan, Nik?" tanya Abi tiba-tiba padanya.
Laptop sudah dia tenteng. "Saya harus bekerja, selamat malam."
"Aaah...Nik. Kamu nggak seru. Temani kami mengobrol dulu," keluh Abimana.
"Pekerjaan saya banyak."
"Hey, Nik. Saya punya tiga perusahaan yang saya harus kelola. Tapi saya berhenti bekerja jika sudah pukul delapan untuk beristirahat. Atau saya bisa mati karena stroke dan kelelahan," Abi menatapnya sambil tersenyum lebar dan ekspresi yang normal saja.
Dia yang tidak normal karena saat ini yang ingin dia lakukan adalah menghantam sosok sempurna milik Abimana.
"Selamat malam." Langkahnya panjang-panjang meninggalkan mereka.
"Nikoo ayolaaah..."
"Abi, sudah. Jangan ganggu Niko."
Di dalam kamar.
Pintu balkon dia buka dan dia mulai menyalakan rokok. Pikiran dia harus alihkan atau dia bisa menghancurkan seluruh isi kamar. Laptop sudah menyala dan dia ingin memeriksa seluruh jadwal Audra satu bulan ke depan. Juga memeriksa perkembangan seluruh pembangunan ADS, email-email laporan dari tim di bawahnya atau dari para Daud, serta penyelidikan tentang siapa yang disewa oleh Jodi Hartono. Saliva dia loloskan perlahan karena dia melihat jadwal acara pertunangan Audra dan Abimana yang akan berlangsung dua minggu mendatang.
Audra...ya Tuhan. Rokok makin dia hisap dalam dan berharap panas yang mulai terasa di dalam dada bisa membakar habis seluruh rasa untuk Audra.
Setelah dua puluh menit, dia mulai bertanya-tanya sedang apa Audra dan Abimana.
You don't want to know, Nik. Let her go. I can't, d*mn it!! I can't.
Perdebatannya sendiri itu berhenti saat jari-jarinya bergerak memasukkan kode akses CCTV rumah ini. Matanya memeriksa satu per satu. Mereka tidak berada di ruang keluarga, dapur juga kosong menyisakan bunga-bunga sialan tadi. Dia terus memeriksa teras belakang, teras depan, ruang tamu, ruang baca, lalu berhenti pada ruang menonton atau bioskop berukuran sedang yang ada di dalam rumah Audra. Mereka berdua berada di dalam sana.
Abimana sedang bicara sambil terus menatap film di hadapan mereka. Sementara Audra tersenyum menanggapi. Mereka sedang menonton romance-comedy, genre kesukaan Audra. Matanya terpaku di sana. Mengawasi gerak-gerik mereka. Kemudian setelah empat puluh menit. Tangan Abimana mulai meraih tangan Audra untuk digenggam. Audra menatap tangan mereka yang bergenggaman sejenak. Seperti termenung memikirkan sesuatu lalu kemudian tersenyum kecil pada Abimana.
Stop, Nik. Berhenti.
Dia tidak bisa, dia terus melukai dirinya sendiri. Itu hukuman karena dia tidak berani maju. Dasar pengecut sialan. Laptop dia tutup kasar lalu dia bangkit dan duduk di luar balkon. Menatap rembulan di atas sana. Lalu ingatannya terbang saat dia melatih Daranindra dasar-dasar dan protokol keamanan utama. Saat itu dia bertanya pada Daranindra. Bagaimana wanita itu bisa bertahan karena El Rafi Darusman tinggal di atas sana.
"Nik, saya cinta Rafi dengan segala yang saya punya. Maksudnya bukan dengan harta, karena saya tahu Rafi punya lebih daripada saya. Tapi, saya punya tekad dan niat yang kuat. Saya akan pastikan bahwa besar tekad saya melebihi seluruh rintangan yang ada."
"Kelihatannya gampang, tapi pasti susah kan?" tanyanya ketika itu.
Dara tertawa. "Menantang, tapi enggak susah juga. Buktinya saya bahagia. Kalau El Rafi tinggal di atas sana, saya akan buat tangga yang tinggi sekali, sampai saya tiba di tempat El Rafi. Lagian, Rafi akan selalu ulurkan tangannya ke bawah. Menjaga saya agar nggak jatuh lagi. Jadi harus usaha dua orang."
Matanya terpejam dan kalimat itu terus berulang. Dulu kalimat itu hanya tanya jawab biasa. Tidak ada artinya. Tapi saat ini, kalimat Dara seolah merasuk ke dalam hati dan pikirannya. Daranindra dan El Rafi sudah melalui banyak hal. Tapi mereka keras kepala sekali, satu sama lain tidak mau melepaskan genggaman mereka. Audra sudah mencoba mengulurkan tangan padanya saat wanita itu menyatakan keinginannya untuk bersama. Dia yang abai, dia yang menampik uluran tangan Audra. Dia...bodoh sekali.
Dara benar. If you want to go up there, make a d*mn stair, Nik! The angel won't fall down to you, you idiot.
Saliva dia loloskan perlahan. Apa dia bisa? Dia harus bisa atau dia benar-benar bisa gila melihat seluruh kenyataan di depan mata.
Susun rencana, Nik. Apa yang paling ahli yang lo bisa lakukan untuk memenangkan Audra kembali. Think!!
***
Keesokkan pagi.
Mata Audra mengerjap lalu dia bangkit untuk menuju kamarnya sendiri. Pintu dia buka dan ada Abimana yang sedang tidur di sana. Sosok Abimana tinggi, dengan rambut hitam tebal yang lurus. Wajah Abimana cukup tampan. Rahang Abi lonjong dan hidungnya mancung sekali. Dia tersenyum kecil mengingat obrolan mereka semalam. Dia baru tahu jika Abi sebenarnya laki-laki yang sama terluka seperti dirinya sendiri. Kesepian, dan berusaha mengusir sepi dengan bekerja membabi buta, bersenang-senang setelahnya, dan berhubungan dengan beberapa wanita. Tidak ada yang serius, begitu kata Abi semalam dan itu membuatnya tertawa. Klise.
"Abi..." dia menyentuh bahu Abi perlahan.
Mata laki-laki itu mengerjap lalu Abi tersenyum lebar. "Hai, calon istri."
Dia tertawa. "Dasar konyol. Bangun. Kemarin kamu bilang kamu punya rapat jam sembilan pagi dengan direksi. Benar begitu Abimana Tanadi?"
"Aku suka kamu panggil begitu." Dua tangan Abi merengkuh tubuhnya yang segera berkelit cepat. "Hey, hey, aku bilangin Mami ya."
"Ayolah, Aud. Morning kiss setelah itu aku bangun."
"Enak aja. Cepetan bangun."
"Kamu selalu bermain susah didapat, Aud. Padahal sebentar lagi kita resmi. Ah, dasar wanita menyebalkan," sungut Abi sambil bangkit dari tempat tidurnya.
"Say anything you want, but you need to work harder to get me," ledeknya saat Abi masuk ke kamar mandi.
Setelah membersihkan diri, dia mengantar Abi ke luar menuju teras depan. Saat itu dia berpapasan dengan Niko yang baru saja keluar dari dalam kamar yang letaknya persis di sebelah kamarnya sendiri. Tubuh Niko diam terpaku menatapnya. Setengahnya dia senang bisa menyiksa Niko perlahan, dan setengah lagi dia benci karena menyakiti Niko begini. Semua terjadi tanpa sengaja dan tidak direncakan. Karena dia masih ingin membereskan urusan Sanggara Buana kemudian setelah itu dia baru akan fokus pada hubungan pribadinya.
"Hai, Nik. Saya pulang dulu. Jaga calon istri saya baik-baik," ujar Abimana.
Niko masih diam menatap dia dan Abi bergantian. Dia menarik tangan Abi perlahan. Paham benar jika tidak segera pergi, Niko akan mulai baku hantam.
"Niko kenapa, Aud?" bisik Abi saat mereka sudah di bawah.
"Banyak pikiran. Hati-hati di jalan, oke."
Abi mencium pipinya sesaat kemudian naik ke dalam mobil dan pergi. Tubuh dia balik lalu nafas dia hirup panjang.
Jangan mulai pertengkaran pagi-pagi, Aud. Abaikan Niko. Belum saatnya.
Dia mulai melangkah masuk lalu langsung naik ke atas. Niko sudah tidak ada di koridor. Bagus, paling tidak dia bisa menghindar hari ini. Dugaannya salah karena Niko sudah duduk di pinggir tempat tidur dalam kamar. Menunggunya.
"Carol..."
System berkedip dan menjawab. "Ya, Tuan."
"Kunci pintunya. Ada bahaya di luar dan jangan buka sebelum saya minta."
"Baik."
Pintu-pintu terkunci. Dia menatap Niko tidak mengerti. Oke, dia tahu Niko cemburu. Tapi mengunci pintu? Serius? Apa maksudnya?
Kemudian Niko berdiri mendekatinya perlahan. Berhenti ketika jarak diantara mereka tersisa dua langkah saja. Jantungnya mulai berulah. Berderak tidak beraturan seperti saat-saat mereka bersama dulu.
Jaga sikapmu, Aud.
Wajah Niko terlihat letih sekali, ada banyak emosi dan luka pada matanya. Apa Niko akan berteriak dan memaki seperti kemarin? Atau apa?
"You go too far, Aud," suara Niko bergetar emosi.
"Too far? What do you mean?"
"Did you sleep with him?" nada Niko makin tinggi.
Rahangnya langsung mengeras mendengar tuduhan Niko. Emosi dia tekan kuat. "Kalau jawabannya iya, memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu?"
"Banyak."
"Banyak? Kamu lucu, Nik?" emosinya meluncur karena dia sudah mendengkus sambil setengah berteriak. "Setiap aku bertanya, kamu hanya jawab nggak tahu dan emosi nggak jelas begini. Aku benar-benar nggak paham..."
"D*mn I love you, Audra. I try not to, but I love you!!" teriak Niko tiba-tiba.
Matanya membelalak terkejut dengan kalimat Niko tadi. Dia tidak bersiap untuk ini. Saliva dia loloskan perlahan. Jantungnya berdebar keras sekali hingga dia bisa merasakan getaran organ itu pada jari tangannya sendiri.
"Don't fool me, Nik."
"Fool you? I did fool myself once, and it didn't work."
Tatapan mereka beradu. Dia berusaha mencari ketidak jujuran di sana, atau apa saja agar dia bisa mulai memaki laki-laki bodoh ini.
"Kamu tolak aku, Nik. Apa perlu aku ingatkan lagi?" suaranya mulai bergetar.
Seluruh campuran rasa mulai naik ke atas mata. Rindu, ragu, juga besar rasa hatinya yang tertahan di dalam dada selama ini. Atau ingatan bagaimana dia menangis berhari-hari setelah malam di atas pesiar.
"Ya, aku bodoh, Aud. Aku benar-benar bodoh."
Air matanya jatuh satu. "Kamu benar-benar idiot, Nik. Laki-laki pengecut yang tidak mau berusaha." Sialnya air mata lain menyusul. Dia menangis dalam diam.
"Katai aku apa saja, aku bisa terima. Tapi..." Niko memberi jeda. "...jangan-pernah-lakukan hal yang semalam kamu lakukan dengan Abimana-lagi." Nada Niko penuh dengan penekanan. Suara Niko bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
"Aku akan lakukan apa yang aku mau, dan itu bukan urusanmu. I said I never look back, Nik. You missed it already."
Niko melangkah lagi sementara dia mundur perlahan masih sambil menangis. "Oke. Say that you don't love me," ujar Niko.
Kepalanya menggeleng perlahan, air matanya mulai tambah deras. "Don't play with me. Kamu tahu kamu sudah membunuh perasaanku kemarin?" Dia masih terus melangkah ke belakang karena Niko terus maju perlahan.
"Kamu pikir aku nggak berusaha melupakanmu?"
"I don't care about you. You hurt me, I hate you, Nik." Punggungnya sudah menyentuh tembok yang dingin.
"Say that you don't love me."
"Stop, berhenti di situ."
"Say it!!" Dua tangan Niko sudah memenjarakannya.
"I don't..."
"I don't want to hear you lie."
Niko membungkamnya dengan ciuman yang mendesak kuat. Dua tangannya berusaha mendorong Niko menjauh. Dia menjerit dan memaki marah. Karena tubuhnya sudah berkhianat dengan tidak berusaha sungguh-sungguh untuk menjauhkan tubuh laki-laki ini. Dia rindu, dia cinta, dia kalut dan terluka. Lalu dia bisa merasakan hal yang sama pada ciuman panjang Niko Pratama. Ciuman yang dia tidak mau pada awalnya, tapi hatinya tidak bilang begitu. Karena akhirnya dua tangannya merengkuh tubuh Niko mendekat. Membiarkan tubuh mereka merekat kuat. Niko berhenti sambil terengah. Laki-laki itu menempelkan dahi dan hidung mereka sambil menyentuh rahang wajahnya.
"You drive me crazy. You really drive me crazy," bisik Niko padanya.
"What should we do, Nik?" air matanya jatuh lagi.
"I'll make a stair to get to you up there."
Dia menangis sambil tertawa kecil. "You need a d*mn big and long stairs."
"I don't care. I want you and I will bleed if I must bleed for you."
Tulus dan kuat perasaan Niko bisa dia rasakan. Matanya menatap di kedalaman mata Niko. Kakinya berjinjit dan kepalanya miring sedikit.
"I will never let you go, Niko Pratama. Never," bisiknya.
Kali ini bibir mereka merasakan dengan lebih perlahan. Besar perasaan yang tertahan. Seluruh rindu saat mereka jauh dan terpisahkan. Lalu saat mereka berdekatan namun terpisah jurang yang lebih dalam. Jarak itu masih ada di depan mata. Tapi mereka akan saling mengulurkan tangan dan tidak melepaskan lagi.
***
Perasaannya meluap-luap dan itu semua membuat tubuhnya seolah bergerak sendiri. Salah, seluruh rasa yang mengendalikan tubuhnya saat ini. Audra masih mencintai dia, mungkin bahkan terus mencintai dia sekalipun dia sudah menyakiti Audra dulu. Dia bisa merasakan rindu yang sama, serta seluruh rasa yang tercetak jelas pada mata Audra.
Dia tidak bisa berhenti untuk terus merasakan Audra. Wanitanya ini mengenakan baju tidur satin yang dia suka, dengan wangi tubuh yang terasa manis saat bibirnya merasa. Apa-apa yang terjadi membuat dia gila. Mengetahui ada laki-laki lain yang menyentuh Audra semalam.
"I will break Abi's hand after this," ujarnya di tengah ciuman panas mereka.
"You should punish me also," tantang Audra.
"Yes, I will. I will punish you now."
Kemudian yang dia tahu dia sudah mengangkat tubuh Audra ke atas tempat tidur. Dia gelap mata karena cemburu membakar seluruh kewarasannya. Bayangan bagaimana Audra tertawa bersama Abimana, lalu pelukan dan ciuman singkat mereka, atau saat Audra mengobrol santai dengan anak buahnya dengan bikini di kolam renang, membuat akal sehatnya pergi.
Audra melepas kaus yang dia pakai. Lalu dia meloloskan pakaian satin Audra dari tubuh wanitanya itu. Mereka tidak berhenti. Seperti saling melampiaskan rindu dan kemarahan di waktu yang sama. Audra membiarkannya melakukan apa saja, dan dia membiarkan jari-jari Audra menusuk punggungnya dalam. Karena sakit itu mengirimkan gelenyar yang lebih hebat di kepala. Membuat dia menggeram, membuat Audra melenguh.
Mereka lupa dengan seluruh norma. Atau apa yang akan mereka hadapi setelah ini. Bahaya akan selalu ada, jadi mereka ingin melupakan itu sejenak. Beristirahat sebentar, karena satu sama lainnya sudah pulang.
***
Kepalanya berada pada dada bidang Niko. Sudah lima belas menit yang lalu mereka selesai. Kemudian Niko diam saja tidak bicara.
"Kamu mikirin apa?" dia memulai.
"Arsyad will kill me."
Dia tertawa kecil. "Yes, of course. Terus?"
Niko memeluk tubuhnya hangat lalu mencium puncak kepalanya. "Kamu benar-benar keterlaluan, Aud."
"Loh, kok jadi aku?"
"You slept with him. Apa perlu sejauh itu, Aud?"
Dia terkekeh lalu mendongak menatap Niko. "I didn't sleep with him. Kamu pikir aku cewek gimana sih?"
"Serius?"
"Aku tanya, kamu pikir aku cewek model gimana?"
"Cewek menyebalkan yang suka berulah bikin aku jadi gila." Ekspresi Niko membaik. Laki-laki itu diam sejenak, seperti menyesal. "I'm sorry. I go to far."
"Kamu umur berapa sih, Nik?" kepalanya menggeleng kesal. "Dasar cowok menyebalkan."
"Serius, Aud."
"Jangan bilang kamu menyesal karena itu bikin aku pingin lempar kamu ke luar balkon sekarang."
"Maksudku nggak begitu, Aud. Harusnya aku menunggu."
"Sampai kapan? Sampai tangganya jadi?"
Niko menggeleng tapi tertawa juga. "Kamu benar-benar...." Nafas Niko hirup panjang.
"Apa?"
"Bikin aku kehilangan kata." Niko menggeser tubuhnya hingga mereka berbaring miring berhadapan. Perlahan dahi dan hidung mereka bersentuhan.
"Say it again," pintanya.
"Say what?" tanya Niko pura-pura tidak mengerti.
"Kamu tahu apa."
"I love Ayyara so much."
Dia tertawa karena tahu Niko menggodanya.
"You love Ayyara's mother also."
Niko mendengkus sambil tersenyum lebar. Memperlihatkan gigi-giginya yang rapih sekali.
"Apa rencanamu?" tanyanya.
"Bicara pada Arsyad, skip bagian ini atau empat sepupumu akan menggantungku di depan gerbang ADS. Kemudian menyusun rencana."
Dia menghela nafas enggan. "Abi...akan tetap datang."
"Ck, ah. Itu karena kamu kasih dia harapan."
"Hey, aku hanya bersikap baik dan normal."
"Itu menurutmu. Aku laki-laki dan aku tahu saat wanita mulai mengirim sinyal. Seluruh sikap 'baik'mu itu adalah sinyal untuk Abi maju."
"Karena aku berpikir kamu nggak akan maju, Nik."
Nafas Niko hembus marah, mengakui sebagian kebenaran pada kalimatnya tadi.
"I love you, Aud. Bahkan ketika nanti aku diam saja, atau cemburu seperti orang gila. Itu semua karena aku punya perasaan padamu. Ingat itu."
"I forgot it already." Dia menggendikkan bahu cuek. "Unless you remind me."
Niko terkekeh kesal tahu apa maksudnya. "Jangan menggodaku, Aud. Aku laki-laki normal dan kita baru selesai."
"Jadi cuma segitu doang?" tantangnya lagi.
Kepala Niko menggeleng sambil menatapnya gemas. "Aku serius harus bekerja, dan kita tidak akan melakukannya lagi sampai nanti."
Mata dia putar kemudian dia mulai bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. "You're suck, Nik," godanya.
Sebelum dia sempat bangkit, Niko menarik tubuhnya lagi.
***
Turunin nggak part ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro