Part 26
Yak, tarik nafas lagi.
***
Niko sedang berkendara menuju ADS saat layar pada helmnya berkedip merah. AUDRA DAUD. Status: RED ALERT. Refleksnya adalah langsung berhenti dan berputar arah menuju kediaman Audra. Sambungan dari Arsyad masuk.
"Audra dalam bahaya. Mahendra kirim sinyal."
"Dimana dia?" tanyanya cepat.
"Rumahnya. Gue kesana. Hubungi yang lain." Hubungan disudahi.
"Angel, hubungi black command dan Mahendra Daud. Now!!" teriaknya sambil terus memacu motornya cepat.
Satu demi satu timnya dan Mahendra masuk dalam saluran. Ram, Emir, Felix, Desmon dan Mahendra. Martin dan Dado berjaga di kediaman Audra seharusnya.
"Hen, talk to me."
"Jodi Hartono berada di rumah Audra, Nik. Gue bisa lihat helinya di pekarangan belakang. Martin ditugaskan Arsyad berjaga di kediaman Ardiyanto karena acara dengan keluarga Tanadi malam ini. Dado dan para penjaga lain tidak terlihat karena penjaga yang ada di CCTV bukan orang ADS. Gue sudah hubungi Mareno dan Antania. Hanif masih belum angkat."
"Felix, Emir dan Desmon, kirim semua yang ada di ADS. Semuanya," ujarnya cepat. "Ini bisa jadi kasus penyanderaan dan ada banyak orang di sana. Minta Martin datang juga."
"Oke, Bos. I'm out."
Tersisa dia, Ram dan Mahendra.
"Hen, dimana Audra? Apa lo bisa lihat Audra di sana?" dadanya terasa sesak.
"Gue udah periksa di semua tempat yang berkamera. Audra nggak ada, Nik. Audra berada di dalam kamar utama bersama Jodi. Itu dugaan gue."
Jantungnya seolah berhenti. Dia tidak boleh terlambat.
"Nik, tunggu gue. Gue ke sana, oke? Jangan gegabah. I'm out," Ram berujar cepat.
"Arsyad hubungi gue. Hati-hati, Nik. I'm out," timpal Mahendra.
Bayangan wajah Audra sudah ada di sana. Selama tiga detik matanya terpejam dan suara itu datang. Niko, tolong aku, Nik.
Sesaat tadi waktu seperti berhenti. Saat mata sudah dia buka, motor dia pacu lebih cepat. Menerabas semua rambu, berlomba dengan waktu.
***
Kediaman Audra Daud.
Nafas dia tarik dalam perlahan, berusaha menenangkan dirinya dari detak jantung yang berdentum keras. Ekspresi dia atur sedemikian rupa untuk menghadapi sosok laki-laki itu ketika dia membalik tubuhnya.
"Malam, Jod. You miss me, huh?" dia berbasa-basi sambi mengambil dua langkah maju.
Jodi sudah berdiri saat lampu kamarnya menyala otomatis. "Yes, I miss you so much. Kamu nggak pernah angkat telpon aku. Ini akibatnya."
Tubuh Jodi melangkah mendekatinya. Dia berdoa keras dalam hati. Tubuhnya perlahan bergeser menuju meja kerja, dimana dia bisa menyalakan alarm yang tersembunyi di sana.
"Od, apa kamu berpikir Abimana bisa membantumu soal Sanggara Buana?" tanya Jodi dengan ekspresi datar.
Mereka berdiri berhadapan dengan dia yang membelakangi meja kerja. Gesture tubuh dia buat santai kemudian dia bersandar pada meja di belakang dengan dua tangannya menggenggam pinggiran meja. Mencari tombol tersembunyi di sana.
"Aku harus gimana, Jod? Semua diatur oleh orangtuaku. Kamu tahu itu seperti...apa ya. Tradisi. Pernikahan dengan perjodohan dan agenda bisnis di baliknya." Tombol berhasil dia temukan lalu dia pijit perlahan.
"Orangtuamu salah mengambil keputusan. Jika mereka ingin menjodohkanmu, Hartono adalah keluarga nomor 1. Apa yang Tanadi punya tidak ada apa-apanya. Mami Tantri menawarkan perlindungan karena perusahaanmu diperiksa?" Jodi terkekeh kecil. "Aku bisa menendang semua auditor itu besok..." bibir Jodi dekatkan ke telinganya. "...jika kamu meminta, Sayang," bisik Jodi.
Jodi makin mendekat lalu satu tangan Jodi membelai rahang pipinya lembut. "Tapi aku tahu kenapa ayahmu melakukan hal itu." Mata hitam Jodi lebih gelap dari biasanya. Berbahaya. "Aku yakin kamu tahu apa yang terjadi pada ayahku, Od."
Senyum kecil Jodi mengembang lalu laki-laki itu memiringkan kepala. "Dia dibunuh oleh Arsyad yang ternyata masih hidup. Wow..." kekeh Jodi.
Dia balas menatap Jodi dengan ekspresi datar. "Aku turut berduka. Apa kalau aku bilang itu kamu percaya?"
Tahan ekspresimu, Aud.
"Aku nggak berduka, karena ayah tidak setuju jika aku menikahimu. Jadi, biar saja dia mati," perlahan Jodi mencium pipinya. Satu tangan Jodi merengkuh tubuhnya mendekat.
Saliva dia loloskan perlahan sambil berusaha keras menenangkan diri.
"Paling tidak sekarang aku nggak perlu menahan diri seperti sebelumnya. Jika aku mau, aku akan lakukan." Bibir Jodi turun ke lehernya. "Di sini...sekarang. Setiap saat, suka-suka. Para penjaga sudah aku ganti di depan. Para pelayan terkunci di kamar mereka masing-masing. Ayyara tidur pulas di kamarnya dengan satu orangku di sana."
Jantungnya benar-benar berhenti mendengar ancaman Jodi. Ayyara.
"Kamu terburu-buru sekali, Jod." Mata dia pejamkan erat menahan tubuhnya yang gentar. "Paling nggak, biarkan aku mandi. Aku habis bersama Abimana tadi. Kamu tahu maksudku kan?"
Jodi terus menyentuhnya. "Abimana akan aku buat menyesal karena sudah menyentuhmu tadi."
Bibir Jodi tiba di bibirnya sendiri. Hati dia matikan karena tahu dia harus menunggu bantuan datang. Hanya ada satu laki-laki yang ada dibenaknya sekarang. Nama itu terus dia ulang sambil berharap dimanapun laki-laki itu berada, panggilannya terdengar. Niko, tolong, Nik. Tolong aku, Niko.
Ciuman Jodi makin dalam dan dia berusaha keras menahan tangis. Tubuhnya didorong perlahan ke arah kasur sementara Jodi masih terus menciumnya tidak sabar. Dia dipaksa, terpaksa. Karena bayangan Ayyara yang tertahan di kamarnya sudah ada di pelupuk mata. Dia akan membunuh Jodi dengan tangannya sendiri setelah ini semua.
"Jood...sabar dulu. Aku mau mandi dulu." Dia berusaha mengulur waktu.
"You can't fool me anymore, Od." Tangan Jodi sudah merayap ke belakang, berusaha membuka risleting baju.
Niko...Niiiik.
Bagian belakang gaunnya sudah terbuka setengahnya, saat ponsel Jodi berdering.
"Hrrrghhhh...Apa?" dengan marah Jodi mengangkat ponsel masih sambil memeluknya paksa.
"ADS, Bos. Banyak tamu datang."
"Bereskan!!"
Refleksnya adalah menendang pusat tubuh Jodi dengan lutut dan mendorong tubuh bajingan itu kuat hingga Jodi terjatuh. Dia berlari keluar kamar saat Jodi bangkit dan mengejarnya keluar.
Ayyara, Aud. Ayyara.
Seorang laki-laki bertubuh besar keluar dari kamar Ayyara. Langkahnya berhenti sambil menatap laki-laki itu murka.
"I will kill you if you touch her!!" teriaknya murka sambil berlari menerjang laki-laki itu. Dia akan melawan entah dengan apa.
Tubuhnya ditangkap oleh Jodi dari belakang. Dia meronta marah sekuat tenaga.
"Terlalu banyak, Bos. ADS turunkan semua. Kita harus pergi," ujar laki-laki tadi.
Nafas Jodi bisa dia rasakan di lehernya. "Aku akan datang lagi, membawa hadiahku nanti. Setelah aku menghabisi semua sepupumu yang tersayang."
"HHrrghhhhh..." Kaki Jodi dia injak kuat-kuat lalu sikutnya menusuk ke belakang.
Tangan Jodi terlepas darinya sementara tubuh Jodi terdorong ke belakang. Laki-laki besar itu maju ke arahnya.
"Jangan ganggu mamaku. As**ole!!" Ayyara muncul dari balik pintu dengan tongkat baseball di tangan. Memukul kepala laki-laki itu kuat.
"Yara!!"
Jodi berdiri kemudian berjalan cepat ke arah lantai bawah dengan tangga, melarikan diri. Dasar pengecut bajingan. Kepalanya menoleh menatap laki-laki tadi yang sedang mendorong tubuh Ayyara kasar. Dia bukan Fayadisa yang mahir berkelahi, atau Janice si sekertaris keluarga Daud. Tapi saat melihat anaknya terancam bahaya, dia akan melakukan apa saja. Tongkat baseball Ayyara sudah terlempar jatuh. Dia mengambil tongkat itu dan mulai memukul si laki-laki.
Kepala, pangkal leher, ulu hati, atau pusat tubuhnya, Aud. Dulu Arsyad pernah mengajarkannya beberapa kali.
Tongkat dia ayunkan kuat ke arah yang dia tahu. Laki-laki itu menghindar dan mencekik lehernya. Ayyara berdiri mengambil vas bunga di dekatnya lalu melompat dan menghantamkan vas bunga itu kepala sang laki-laki. Cekikan terlepas dari lehernya lalu dia terbatuk jatuh ke lantai. Darah menetes dan sang laki-laki menatap mereka murka. Dia menggapai dan melindungi Ayyara di balik tubuhnya sendiri. Laki-laki itu mengayunkan tinjunya kuat saat dia memeluk tubuh Ayyara dan memejamkan mata bersiap menerima pukulan.
'BUAK-BUAK.'
Matanya terbuka perlahan. Niko sudah berdiri di sana menghantam laki-laki tadi hingga jatuh.
"Tutup mata kalian."
Kepala Ayyara dia surukkan pada tubuhnya agar tidak melihat saat Niko mematahkan leher laki-laki tadi. Dia belum pernah melihat ekspresi Niko saat ini. Dingin dan menakutkan dengan seluruh amarah yang seolah tertahan. Tidak ada rasa sesal saat Niko menginjak kepala laki-laki yang sudah tidak bernyawa itu di lantai. Kemudian mata mereka bertemu. Air matanya jatuh satu-satu.
"Aud, Ayyara...." Arsyad berlari dari arah tangga dan langsung memeluk dia dan Ayyara. "Kalian nggak apa-apa, kan?"
Gemetar yang sedari tadi dia tahan membuat kakinya lunglai. Tubuhnya jatuh di lantai. Ayyara menangis terisak ketakutan, sementara Arsyad masih terus menenangkan. Matanya hanya menatap Niko saja. Tidak berdaya. Laki-laki itu diam lalu membungkuk dan menyeret mayat laki-laki tadi turun ke bawah. Mareno dan Antania yang juga datang naik ke atas menghampiri mereka.
"Sis..."
"Ayyara. Ya Tuhan, Sayang."
Arsyad sudah melepas pelukannya kemudian Mareno menggendong Ayyara masuk ke dalam kamar bersama Antania.
"Aud...Sis. Hey." Satu tangan Arsyad mengusap pipinya lembut.
Selama beberapa saat dia seperti teruputus koneksi. Kemudian ketika kesadarannya kembali, wajah dia tutupi karena tangisnya pecah lagi. Arsyad memeluknya hangat. "Kami di sini. Sudah nggak apa-apa. Saya akan urus Jodi, Aud. Everything will be oke."
Everything is not ok, Syad. It is not ok.
***
Mereka berdiri di ruang baca, satu jam setelah mereka mengamankan rumah Audra. Dia, Arsyad, Mareno dan Hanif yang datang belakangan.
"Ayyara gue bawa ke tempat gue," Arsyad membuka pembicaraan. "Audra nggak mau pergi dari sini. Nif, tolong bujuk Audra lagi."
"Gue udah coba bicara. Sissy kita itu keras kepala luar biasa. Dia marah pada orangtuanya soal perjodohannya dengan Abimana. Jadi dia nggak mau pindah sementara ke sana. Apalagi pindah ke salah satu tempat kita. ADS nggak ada sekarang, jadi Audra juga nggak bisa kita tempatkan di ADS. Gue juga nggak suka soal ini, tapi tempat terbaik sekarang adalah rumahnya sendiri. Tanpa Ayyara di sini."
"Ck...Rumah ini pernah dimasuki. Jadi bukan nggak mungkin Jodi datang lagi. Dado dan yang lain bisa dilumpuhkan," jelas Arsyad kelihatan gusar sekali.
"Karena rumah ini nggak punya yang terbaik. Saat Niko di sini, kondisi aman terkendali." Mareno menatapnya sejenak. "Menurut gue, tugaskan Niko lagi untuk jaga Audra. Kalau Audra harus bersembunyi, Mahendra punya pulau tuh. Sekalipun fasilitasnya masih belum ada."
Dia diam saja. Masih berusaha menghilangkan gemuruh di dalam dada karena melihat Audra dan Ayyara disakiti seperti tadi.
"Nik?" Arsyad menatapnya.
"Ram sama baiknya," jawabnya cepat.
Dia ingin menjaga Audra, tapi dia tahu dia tidak mampu menyembunyikan perasaannya nanti.
"Kalau ada satu orang yang gue percaya selain adik-adik gue, itu elo, Nik. Bukan Ram atau yang lain," sahut Arsyad.
"Gue setuju," Hanif mengangguk.
"Gue apalagi. Itu ide gue by the way," sahut Mareno sambil masih menatapnya seperti mencari sesuatu.
"Jadi, Nik. Gue minta tolong lo untuk jaga Audra sementara ini. Ayyara adalah tanggung jawab gue," Arsyad menatapnya sungguh-sungguh.
Dia diam saja tidak menjawab. Karena dia tahu perasaanya tidak relevan saat ini. Adik-adik Arsyad pamit ke luar satu per satu, menyisakan mereka berdua saja di ruangan.
"Gue akan berburu Jodi, Syad," ujarnya sambil menyalakan rokok di balkon kamar baca.
"Tahan dulu. Benteng pertahanan Jodi nggak main-main. Gue nggak mau kita perang skala besar seperti kemarin. Terlalu banyak korban jiwa hanya untuk mengejar beberapa orang. Itu bodoh."
"Apa rencana lo?"
"Gue lagi susun dengan Mahendra agar akses pertahanan Jodi melemah. Jadi kita lebih mudah masuk dan habisi."
"Hmm..." asap dia hembuskan kasar. "Kapan kita bisa mulai menyerang?"
"Gue usahakan secepatnya."
"Kalau lo lama, gue turun sendiri. Lo lihat sendiri gimana Ayyara tadi," tangannya sedikit bergetar karena emosi.
Arsyad menatapnya dari samping. "Nik, lo udah berapa hari susah tidur?"
"Bahas itu lagi? Serius?"
"Gue kenal lo udah lama. Lo saudara gue. Gue benci lo nggak mau ngomong tapi tampang lo mirip orang yang hidup segan mati tak mau begini. Apa lo benar-benar nggak bisa cerita, Nik? Gue usahakan bantu lo."
"Lo nggak bisa bantu gue kali ini, Syad." Kepalanya menggeleng keras. Dia menatap hamparan pekarangan luas rumah Audra sambil terus menghisap rokoknya.
"Lo ngomong dulu dong, Nik!" Arsyad mulai kesal.
Ekspresi Arsyad benar-benar khawatir. Menatap matanya dalam dengan dua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Andai ini semudah berbicara, maka dia akan bicara. Tapi seluruh kata-katanya nanti bisa membuat orang-orang di sekelilingnya kecewa dengan sikapnya, atau bahkan menanggung akibat dari keegoisannya sendiri.
"Makasih, Syad. Lo udah baik banget selama ini."
"Kalimat apa tuh?" Arsyad menatapnya tidak percaya dan makin kesal.
Pintu ruang baca terbuka dan Ayyara yang memeluk boneka kesayangannya ada di sana. Antania berada di belakang tubuh Ayyara. Tubuhnya berbalik dan cepat-cepat melangkah menuju Ayyara setelah mematikan rokoknya. Dia berlutut lalu memeluk Ayyara yang berkaca-kaca menatapnya.
"Aku takut, Om." Ayyara memeluknya kuat.
Rahangnya mengeras. "Sudah nggak ada bahaya lagi. Om, di sini."
"Jangan tinggalin Ayyara dan Mama lagi," bisik Ayyara. "Please."
Saliva dia loloskan. Air matanya jatuh satu lalu cepat dia hapus.
"Sekarang, Ayyara tinggal sama Damar dulu. Banyak bahaya di luar sana."
"Aku mau di sini sama Om dan Mama."
"Ayyara nanti bosan, di sana ada Damar dan rumah Om Arsyad bagus sekali. Damar sedang latihan di sana, Yara nggak mau ikut latihan?"
Pelukan mereka terlepas.
"Tapi Om janji jaga mama di sini."
Dia mengangguk perlahan sambil mengusap air mata Ayyara. Gadis itu memeluknya lagi. "Jagain mamaku baik-baik, Om."
"Yara, yuk. Udah malam," Arsyad menepuk pundak Ayyara perlahan.
Ayyara digandeng Arsyad keluar ruangan bersama Antania dan Mareno yang sudah menunggu di teras depan.
"Audra aku kasih obat penenang, Nik. Tadi dia shock sekali. Sekarang Audra sedang tidur. Obat-obatnya ada di meja nakas. Pastikan Audra konsumsi, Nik. Besok aku datang untuk periksa lagi," pesan Tania.
Setelah semua pulang. Dia naik ke lantai atas dan menemukan pintu kamar Audra sedikit terbuka. Tanpa dia bisa cegah kakinya melangkah masuk. Lalu ingatan apa yang terjadi tadi datang. Baju Audra yang setengah terbuka karena dipaksa, atau saat bajingan itu mencekik Audra dan mendorong tubuh Ayyara kasar. Atau ekspresi tidak berdaya Audra saat mereka bertatapan. Saat ini Audra sedang tidur tenang. Tidak seperti gemuruh di dalam dadanya yang memporak-porandakan seluruh rasa.
***
"Beiby, kok diam aja. Besok-besok biar Aryan aja yang datang kalau ada kasus begini. Kamu kecapekan ya?" Mareno menatapnya sambil mengendarai mobil.
"Audra keluargaku juga, Ren."
Diamnya kali ini karena benar-benar cemas dengan kondisi Audra. Dia menatap suaminya dari samping.
"Jodi Hartono akan kejar kalian semua. Menurut kamu ini hanya ancaman atau Jodi serius?" tanyanya.
"Aku sih lebih senang dikejar-kejar kamu daripada Jodi," ujar Mareno tersenyum konyol.
Dia memukul bahu Mareno kesal. "Kamu tuh bisa serius nggak sih?"
Mareno terkekeh kecil lalu menarik nafas panjang. "Arsyad sudah punya rencana soal Jodi. Aku yakin kematian Roy kemarin itu abang pelakunya. Kalau abang sudah jalankan sesuatu, dia akan menghitung cermat resiko dan sudah punya rencana untuk antisipasi. Abangku itu detail and control freak. Dia gila kalau sudah buat strategi. Jadi, mari kita menunggu perintah dari Yang Mulia Tuan Besar Arsyad Daud. Semua akan baik-baik, Beiby. Jangan buru-buru abang, karena aku yakin abang tahu persis kapan waktu yang tepat."
Kepalanya mengangguk setuju. Lalu ingatannya terbang pada apa yang Ayyara bilang padanya tadi.
"Aku takut mama kenapa-kenapa, Tante. Mama selalu sedih sekarang, mama sering nggak makan. Mama kangen Om Niko. Yara juga kangen Om Niko. Apa Tante bisa bilang ke Om Niko untuk tinggal di sini sama Yara dan Mama?"
"Ren, kamu tahu soal Niko dan Audra?"
"Naah...itu lebih menarik. Kamu kenapa tiba-tiba nanya?"
Dia menceritakan apa yang Ayyara bilang padanya. Wajah suaminya sudah tersenyum konyol menyebalkan sekali.
"Luar biasaa, akhirnya Bung Niko jatuh cinta," kekeh Mareno geli.
"Ren, serius dong."
Mareno terlihat seperti berpikir sejenak, menyambungkan sesuatu kemudian tersenyum lebar lagi. "Soal itu biar aku yang urus, Beiby. Aku jago nih kalau soal jadi matchmaker begini."
"Mareno, jangan bikin ulah yang buat semua tambah runyam. Kamu tahu kan Audra dan Abimana sebentar lagi tunangan."
"Beiby, aku bilang aku yang urus Niko dan Audra. Biar Abang yang urus Jodi. Nah...kalau kamu urusin aku aja. Oke?"
Dia mencebik kesal saat Mareno mencium pipinya cepat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro