Part 25
Tissue ya, tissue.
***
Ayah sudah duduk di sebelahnya saat dia bangun. Diam, tanpa kata-kata. Menatap dengan ekspresi dingin yang tidak ditutupi. Kepala dia gelengkan kuat kemudian ingatan apa yang terjadi kemarin berputar cepat. Matahari dia bisa lihat dari balik jendela. Aryo. Dia menahan nafasnya.
"Saya pikir, saya sudah jelas memberitahu kamu," mulai ayah.
Dia menatap ayahnya dengan amarah yang ditahan. Tubuhnya sudah tegak duduk sempurna di pinggir tempat tidur.
"Kamu boleh berkeluarga. Nanti. Tidak saat ini dan bukan dengan laki-laki itu."
"Kenapa?"
"Saya bisa memukulmu karena kamu pura-pura lupa."
"Pukul saja. Jawab saya, kenapa kalau saya dengan dia?"
"Setelah saya jawab, kamu akan menerima hukumanmu."
Dua tangannya terkepal kuat. "Saya tidak peduli!! Jawab saya kenapa?" teriaknya sambil menatap ayah murka.
"Karena kamu menjual dirimu untuk keluarga yang seharusnya kamu jaga!! Kamu boleh punya keturunan, tapi tidak boleh berdarah Daud. Saat anakmu berdarah sama, maka trah keluarga kita, seluruh rasa percaya dari para tetua, kehormatan keluarga, dan kredibilitas saya jadi taruhannya!! Apalagi kamu berani tidur dengan Aryo Kusuma!!" Teriak ayah murka sambil berdiri.
"Lihat putri Edward, wajar saja kalau dia menikahi salah satu Daud. Itu bagian dari rencana Edward untuk menguasai segalanya." Ayah mulai berjalan mondar-mandir di ruangan sambil bicara sendiri. "Apa kamu dengar soal Janice? Dia memiliki anak dari Daud. Saya pikir Edward pasti mengatur semua. Pantas saja Edward bersikukuh menetap. Ternyata Edward gila harta. Apa pantas dia menjadi penghubung kita lagi? Laki-laki tua itu sama sekali tidak punya integritas diri. Menjual anak perempuannya pada salah satu Daud begitu saja."
Air matanya meluncur satu-satu. Saliva dia loloskan perlahan. Ayah memaparkan penjelasan yang tidak terbantahkan. Hal itu masuk akal mengingat banyaknya orang yang ingin menjatuhkan Daud. Sedikit berita miring bisa dengan mudah digunakan oleh musuh-musuh Daud sebagai alasan. Ayah akan disingkirkan, hingga mereka tidak bisa melindungi Daud lagi.
"Jadi, apa perasaan kamu saat ini relevan, Tuan Putri?" Ayah sudah berhenti dan berdiri di hadapannya.
"Sampai kapan kita harus berdiri di belakang Daud?" suaranya bergetar. "Kenapa kita tidak bisa berdiri sejajar atau bahkan melepaskan diri dari mereka? Apa bahkan mereka masih ingin kita lindungi?"
"Pertanyaan macam apa itu?!" teriak ayahnya murka.
"Apa saya, dan anak-anak saya nanti akan terus hidup begini?" dia meneruskan seluruh pertanyaan yang selama ini menghantui. Tidak peduli dengan amukan ayah. "Apa ayah tidak lelah? Apa ini yang ayah mau untuk putri ayah sendiri?"
"Stop!!"
Tongkat ayah melayang cepat dan dengan satu tangan dia tangkap. Tubuhnya berdiri lalu menatap mata ayah. Air matanya terus jatuh. "Saya jatuh cinta, dan saya ingin berhenti menjaga keluarga Daud. Saya ingin memiliki hidup saya sendiri."
Ayah mengangkat ponsel lalu bicara pada seseorang di seberang sana.
"Patahkan lengannya."
Wajahnya pucat pasi. Tangannya berusaha menggapai ponsel ayah saat mendengar suara laki-laki yang dia cinta disiksa sedemikian rupa.
"Berhenti!! Berhenti...tolong berhenti!!" Dia jatuh bersimpuh di kaki ayah. Memohon, mengiba, dia akan melakukan apa saja. "Stop!! Please stop."
"Saya tahu cara ini lebih efisien," ujar ayah padanya.
Tangisnya pecah, ratapan tidak berdaya dan putus asa. Suara-suara itu masih ada di sana. Suara Aryo dipukuli. Bayang-bayang mengerikan itu merasuk di kepala. "Tolong, berhenti. Tolong, maafin saya."
"Saya bahagia lihat kamu bahagia."
Suara Aryo sudah ada di kepala. Berganti-ganti dengan suara dari ponsel ayah, saat orang-orang ayah memukuli laki-lakinya.
"Memang begitu rasanya. Di banyak waktu kita akan bahagia, tapi di waktu lain akan jadi sakit rasanya."
"Kamu nggak cocok nangis. Lebih cantik kalau lagi marah-marah."
"Kamu begitu nyata, sampai rasanya saya sulit percaya."
Dia menjerit frustasi. Rasa sakitnya masih kuat mendera. Dia lupa bertanya pada Aryo bagaimana caranya agar sakit ini pergi. Hanya laki-laki itu yang bisa membuat sakitnya pergi.
"Stooop...pleaseee. Stoop. Berhenti!!" dadanya dia pukul sendiri. Dua telinga dia tutup rapat-rapat. Berusaha menghilangkan suara-suara itu.
Detik waktu terasa panjang sekali. Dia tidak tahu berapa lama dia menangis dan menjerit frustasi.
"Saya benci melihat putri saya satu-satunya begini." Ayahnya meneteskan air mata dengan suara yang sama bergetarnya. "Tapi, membiarkan kamu menghancurkan semua yang sudah dibangun oleh keluarga kita bertahun-tahun lamanya, juga bukan pilihan. Pilih laki-laki lain, selain Daud. Saya akan restui."
Air matanya terus jatuh, dia merintih nyeri. Rasanya perih tidak terperi. Karena itu Sabiya hampir gila ketika Arsyad mati, atau jiwa Mareno yang seperti dicabut pergi melihat Antania jatuh dari tebing. Dia mengerti sekarang, dia mengerti.
Edward berjongkok dan meraih tubuhnya untuk duduk di pinggir tempat tidur.
"Jangan sakiti Aryo Kusuma. Aku mohon, Ayah. Lepaskan dia, aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Selamanya." Tangisnya terus menderu,
Ayah duduk di sebelahnya lalu merangkul pundaknya perlahan. "Saya mencintai kamu, lebih banyak dari seluruh cinta yang sudah dan akan kamu temukan nanti. Minta apa saja, tapi jangan yang satu ini."
Kepalanya mengangguk cepat-cepat. Kemudian ayah meminta orang-orang suruhannya berhenti.
Apa saja, asal Aryo Kusuma hidup di luar sana. Apa saja.
***
Wajahnya sudah tertutup darah saat para pengecut itu berhenti dan keluar ruangan. Dengan dua tangan dia berusaha bangkit namun jatuh lagi. Tangan terasa remuk, karena diinjak berkali-kali. Kakinya mati rasa dan tidak bisa digerakkan karena pengaruh tembakan Edward kemarin. Apa benar kemarin? Dia kehilangan satuan waktu. Ruangan kosong ini tidak berjendela jadi dia tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, atau dimana dia berada saat ini
Bangun, Yo. Janice butuh lo. Bangun dan keluarkan Janice dari sini.
Nafas dia hirup dalam beberapa kali. Mencoba mengumpulkan kekuatan. Dua tangan berusaha menopang tubuhnya yang lemah. Tapi usahanya sia-sia. Tubuhnya ambruk lagi ke lantai.
"Saya sedang bahagia. Ini perjalanan yang tidak direncanakan tapi menyenangkan." Janice tersenyum lebar sambil tertawa.
Bangun, Yo. Bangun!!
Dia marah pada dirinya sendiri yang lemah sekali, kemudian dia bangkit lagi. Berusaha menyeret tubuhnya ke sudut ruangan, agar dia bisa duduk bersandar dan memeriksa kaki. Apa benar patah? Kenapa tidak bisa digerakkan sama sekali?
"Lepaskan dia, Ayah. Saya akan lakukan apa saja!!" Janice menjerit dan menangis untuknya.
Fokus, Yo. Fokus. Periksa tubuh lo dulu.
Kedua telapak tangan dia lebarkan lalu dia gerakkan perlahan. Jari pada tangan kanan terasa sakit sekali. Saliva dia loloskan, dia harus bisa menggunakan tangan atau kaki. Salah satunya. Kemudian matanya berpindah ke kaki. Memindai dan memeriksa. Peluru itu masih di sana. Seperti anak panah yang kecil sekali. Menancap pada tulang keringnya. Saat ini kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali. Tapi dia tidak melihat ada bagian yang patah. Mungkin dia harus mencabut panah kecil itu dulu.
Cabut Yo. Cepat.
Dengan dua tangan dia menekuk kaki. Lalu tangan kirinya mencabut panah itu kuat hingga dia menggeram karena sakit menghantam hebat.
Good. Satu lagi, Yo. Satu lagi.
Rahangnya bergetar saat dia mencabut satu anak panah lain di kaki. Dia terengah lelah dan menyenderkan tubuhnya di dinding. Matanya terpejam dan wajah wanitanya di sana. Tersenyum dan tertawa, kemudian menangis untuknya.
Tunggu dulu, Jen. Sebentar lagi. Saya akan jemput kamu. Semua akan baik-baik saja. Tunggu saya.
***
Kediaman Ardiyanto Daud. Makan malam keluarga.
"Jadi, apa kita sudah bisa tentukan tanggalnya?" mami Tantri angkat bicara sambil tersenyum menatapnya.
Dia diam dan terus makan. Paham benar bahwa pendapatnya tidak akan didengarkan. Abimana sama diamnya. Sejak kejadian di kapal pesiar, dia marah sekali pada Abimana dan benar-benar tidak bergeming saat laki-laki itu berusaha meminta maaf padanya. Wisnu Tanadi, adik Abimana yang baru pulang dari luar negeri duduk di sebelah Abimana.
"Abi?" Tantri Tanadi menatap Abimana sambil tersenyum.
"Kalau Abi nggak mau, saya mau. Kamu mau nikah sama saya aja, Aud?" ujar Wisnu sambil tersenyum konyol dan menatapnya. Adik laki-laki Abimana ini memang lebih pemberontak.
Ardiyanto dan Tantri Tanadi tertawa kecil menanggapi gurauan Wisnu. Sementara dia masih diam.
"Bagaimana kalau dua bulan mendatang? Karena Mahendra Daud dan Alexandra yang sebentar lagi menikah. Setelah pemberitaan mereka selesai, Audra dan Abimana bisa menikah?"
"Ah, Om. Jadi Om tolak saya?" kekeh Wisnu sambil menyentuh dadanya. "Sakitnya itu di sini Om?"
Mereka tertawa lagi. Mereka, bukan dia.
"Wisnu, sudah bercandanya. Kakakmu kesal dan jadi tegang begitu," timpal Tantri.
"Mungkin nanti setelah menikah Abi lebih santai, Ma. Jadi, dia duluan aja."
Ekspresi Abi keras dan kaku. Dia tidak peduli.
"Audra, apa kamu baik, Sayang? Kamu diam sekali malam ini?" tanya mama padanya.
Cih, apa kalau saya bicara saya didengarkan oleh kalian? geramnya dalam hati.
"Saya baik-baik. Hanya sedikit lelah," jawabnya sopan.
"Tenang saja, Sayang. Sanggara Buana akan baik-baik saja. Mami sudah bicara pada beberapa orang agar penyidikan segera diberhentikan. Negara harusnya berterimakasih dengan keluarga kita. Karena keluarga kita sudah banyak membantu pertumbuhan ekonomi negara. Belum lagi pajak dari setiap sektor industry yang keluarga kita bayarkan dengan patuh selama ini." Mami Tantri menatapnya sambil tersenyum. "Mami akan mendukung dari belakang."
Saya bisa menyelesaikan urusan saya sendiri. Kamu pikir kamu bisa membeli hidup saya dengan perjanjian bisnis sialan ini?
"Terimakasih atas bantuannya," balasnya perlahan.
Hening lagi. Makan sudah dia selesaikan. Kemudian seorang pelayan mengangkat piring-piring di meja dan menggantinya dengan hidangan penutup.
"Abimana juga diam saja dari tadi. Ada apa? Apa kalian bertengkar?" tanya ayah sambil tersenyum pada Abimana.
"Saya baik-baik, Om. Terimakasih."
"Audra marah sama Abi, Om. Karena Abi kurang ajar sebelum waktunya. Begitu kan?" ujar Wisnu santai sambil menatap mereka berdua dengan ekspresi usil.
Wajah Abimana pucat dan dia menikmati ini.
"Apa benar begitu Abi, Audra?" tanya Tantri Tanadi tegas.
Matanya menatap Abimana dingin, datar. Kira-kira apa yang akan dia katakan. Ini sedikit menghiburnya.
"Ya, benar begitu. Tapi tidak ada yang terjadi. Saya hanya lupa diri dan saya sudah minta maaf pada Audra berulang kali. Tapi dia belum memaafkan saya." Abimana balas menatapnya dalam. "Saya minta maaf, Aud. Maafkan saya. Saya benar-benar serius ingin menikah denganmu. Terlepas apapun permintaan Mami."
Saliva dia loloskan. Situasi berbalik begini. Otaknya berputar cepat. Dia tahu apa yang paling dia butuhkan saat ini.
"Sayang...Abimana sudah minta maaf," satu tangan mama menyentuh pundaknya.
Kepalanya mengangguk lalu dia tersenyum kecil. "Saya hanya ingin tahu apa calon suami saya cukup gentleman untuk mengakui kesalahannya sendiri di depan keluarga. Saya akan maafkan dan setuju untuk menikahi kamu..."
Dua keluarga tersenyum lebar.
"...dengan satu syarat. Saya yang menentukan tanggal. Karena seluruh Sanggara Buana, juga urusan persidangan saya yang belum selesai. Saya akan tentukan tanggalnya setelah saya atur semua."
Ya, yang dia butuh adalah waktu.
Mami Tantri tersenyum dan mengangguk mengerti. "Tidak lebih dari tiga bulan, Sayang. Silahkan atur segalanya seperti yang kamu mau. Termasuk mas kawin, perjanjian pernikahan yang akan diurus pengacara keluarga, perjalanan bulan madu, dan bahkan kamu bisa menyebutkan kado pernikahan apa yang kamu mau."
"Lebih baik lagi jika kamu bisa mempercepat program setelah pernikahan nanti. Ayah senang kalau Ayyara segera punya adik," Ardiyanto angkat bicara.
'Uhuk..uhuk...' Wisnu tersedak minumannya. "Maaf, maaf. Silahkan lanjutkan. Saya ke kamar mandi."
Dia bisa melihat tatapan kesal Abimana pada adiknya saat Wisnu berjalan santai menuju kamar mandi.
Ada yang salah pada hubungan mereka, dan aku sudah tahu apa.
"Bagus. Berarti tujuan kedatangan kami tercapai. Seluruh pengaturan pernikahan bisa dimulai. Juga mungkin beberapa pemberitaan agar para pengganggu tahu bahwa dua keluarga kuat akan bersatu," ujar Tantri Tanadi.
"Ya, setuju," timpal ayah.
Caramel pudding di hadapannya tidak dia sentuh. Semua terasa hambar, seperti hatinya.
***
Perjalanan pulang.
"Akting kamu bagus sekali. Apa rencanamu, Aud?" tanya Abimana sambil mengendarai mobil untuk mengantarkannya pulang.
"Menikah denganmu," jawabnya tidak peduli.
Abimana terkekeh kesal. "Kamu pikir aku bodoh."
"Mungkin."
"Ketika kamu resmi menjadi istriku, aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi, Aud. Apapun alasannya. Jangan harap kamu bisa menggugatku cerai begitu saja."
"Pasti bukan karena aku lebih kaya kan?" kepalanya menoleh menatap Abi dari samping. "Mmmm...apa mungkin karena persaingan dengan adikmu Wisnu?"
Tangan Abi mencengkram setir mobil kuat. "Kamu takut aku setuju menikah dengan Wisnu dan bukan dengan kamu? Kenapa? Karena dulu dia meniduri tunanganmu? Siapa namanya?"
Rahang Abimana mengatup marah. Kelihatan jelas apa yang dia katakan adalah benar. Informan yang dia sewa saat Wisnu pulang ke negara ini bekerja dengan baik.
"Jangan mulai jadi wanita brengsek, Aud."
"Salah, Abi. Kamu yang mulai menjadi brengsek. Memperebutkanku seperti trophy dengan dalih perjodohan dan niat mulia karena ingin menolong Sanggara Buana. Really?" dia terkekeh sinis. "Bullshit!!"
Abi menoleh ke arahnya kemudian tersenyum menyebalkan. "There's no free lunch, Honey. Yes, you are the trophy. You will become my greatest achievement. Bayangin aku bisa kalahkan Jodi Hartono, dan adikku sendiri."
"You will never get that trophy, Darling."
"Oh really? You will never escape me, or my family. You need us, you need me," kekeh Abi menyebalkan.
"Ya, aku butuh kamu sampai aku tidak membutuhkanmu lagi," balasnya sinis.
"I'll take the challenge. We'll see."
Ada banyak kemarahan dan luka pada mata Abi saat ini. Dia tidak peduli, sungguh. Dia hanya membutuhkan Abi sebagai bagian dari rencananya sendiri.
Sisa perjalanan mereka habiskan dengan diam. Abimana tidak ingin turun saat mereka sampai di teras rumahnya, dan dia pun tidak berharap Abi melakukan hal itu. Jadi dia melangkah masuk ke dalam rumah besarnya yang sepi. Ayyara pasti sudah tidur di atas, ini sudah setengah sebelas.
Dia melangkah lelah menuju kamar dan melewati kamar yang Niko tempati dulu. Langkahnya berhenti kemudian dia menatap pintu kamar Niko. Perlahan dia masuk ke dalam. Berdiri menatap ke seluruh ruangan hampa. Rasa rindu perlahan merayap di dada, lalu akan diikuti dengan nyeri yang hebat mengetahui bahwa Niko menyerah begitu saja.
Cepat-cepat dia keluar kamar dan melangkah lebar menuju kamarnya sendiri. Lampu kamarnya sudah menyala remang. Apa bibi baru membereskan kamarnya? Seharusnya tidak kan? Cemas sudah melanda dan kecemasannya jadi kenyataan. Saat dia membalik tubuh, sudah ada seorang laki-laki yang duduk di sana menunggunya.
"Selamat malam, Sayang."
Wajahnya langsung pucat pasi.
***
Siap-siap buat part berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro