Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 24

Naah...mulai dari part ini silahkan tarik nafas dalam. Hidup tidak pernah akan selalu indah. Apalagi di dunia Daud. 

***

Manusia menyebalkan itu akhirnya pergi juga. Dasar egois, mau menang sendiri, tukang atur-atur dan kekanakkan sekali. Hanya sedikit kualitas baik yang Aryo punya. Tapi entah kenapa dia tetap suka. Aaaahhhh...dia sudah gilaaaaa.

Harusnya kamu nggak tidur sama dia, Jen. Apa juga sih yang kamu pikirin? Sekarang sikapnya makin menjadi-jadi. Cemburu berlebihan, bolak-balik ingin menggandeng tangan di depan umum, entah setelah itu apa lagi. Dan itu semua salah kamu, Jen. Karena kamu membiarkan dia masuk ke dalam hidupmu. Dasar cewek bodoh.

Nafas dia hirup panjang-panjang. Air hangat dari dalam bathtub mulai memberinya sedikit ketenangan. Zeeeen...easy Jen, easy. Everything will be ok.

Selesai mandi dia mengeringkan rambut dan membuat teh. Kamar mereka sudah bersih kembali. Dia menatap tempat tidur tempat mereka semalam...

Geliii...kenapa perutnya begini sih? Hrrrghhh...jangan pikirin dia, Jen.

Dia duduk di sofa dan ingatan itu datang lagi. Pindah ke balkon, dia bisa mendengar suara tawa bahagia Aryo di sana. Kembali ke kamar mandi apalagi. Semua sudut ruangan ini memberikan dia seluruh ingatan indah kemarin malam. Mereka bertengkar, berbaikan, bergurau dan tertawa. Untuk pertama kalinya dia membuka diri seperti itu dengan mahluk lain. Itu sebuah kemajuan...salah. Lompatan besar. Seperti saat umat manusia bisa pergi ke bulan.

Karena kesal dia mematikan sebagian lampu dan berusaha untuk tidur. Besok mereka akan sampai pada tujuan mereka. Lalu kembali ke Jakarta. Besar kemungkinan ayah sudah menunggu mereka dengan wajah murka. Ah, dia resah sekali. Kenapa mereka malah bertengkar begini. Dasar Aryo menyebalkan.

Matanya masih gagal terpejam ketika dia mendengar pintu kamar dibuka. Dia bisa membaui wangi sabun mandi bercampur dengan harum tubuh Aryo Kusuma sekalipun dia sedang membelakangi sosok itu.

"Pergi," ujarnya.

"Ya, besok kita akan pergi. Jadi saya nggak akan pergi malam ini." Tubuh Aryo sudah naik ke atas kasur dan mendekatinya.

"You touch me I'll break your arms. And I'm serious." Padahal apa yang dia katakan berbeda dari apa yang dia inginkan.

"Do it. I dare you." Dua tangan Aryo sudah menarik tubuhnya kuat. Mendekapnya dari belakang. "I'm sorry."

Satu titik air matanya jatuh. Dia kesal dan marah pada dirinya sendiri yang jadi lemah begini. Karena dia diam saja saat Aryo mencium puncak kepalanya lalu menyurukkan wajah pada lehernya. Dia tidak mau menyakiti Aryo lagi.

"Saya nggak mau berantem lama-lama. Kita cuma punya malam ini. Entah kenapa saya yakin Edward sudah menunggu kita di sana, Jen. Please, jangan marah lagi."

Lalu air mata lain meluncur juga. "Kenapa tiba-tiba sakit begini?" Saliva dia loloskan. "Dulu, saya hanya punya kesal dan marah untuk kamu. Tapi nggak sakit begini. Kenapa sekarang rasanya sakit? Harusnya cinta itu sesuatu yang buat kita bahagia kan?"

"Memang begitu rasanya. Di banyak waktu kita akan bahagia, tapi di waktu lain akan jadi sakit rasanya. Jadi bisa kamu bayangkan saat saya tahu Fayadisa mencintai orang lain dan bukan saya. Sakit itu susah pergi dan bikin saya gila."

"Kamu masih cinta Faya?"

Aryo terkekeh. "Saya cinta kamu sekarang. Bukan Faya. Faya adalah masa lalu, wanita baik yang percaya pada saya saat semua orang tidak percaya. Dia orang pertama yang memberikan saya kesempatan kedua. Walaupun Faya tahu itu bisa menghancurkan dunianya."

Ya, Fayadisa bahkan rela dicopot dari jabatannya di ADS. Bertengkar hebat dengan Hanif Daud, meresikokan seluruh hidupnya demi seorang Aryo Kusuma. Ada sesuatu yang Faya lihat pada diri Aryo saat semua orang termasuk dirinya sendiri tidak melihat itu. Oh, dia bahkan terus menyudutkan Aryo saat mereka latihan bersama. Padahal ayah jelas-jelas sudah memberikan kesempatan yang sama.

"Saya benci Faya tiba-tiba," bisiknya.

"Saya senang kamu bilang begitu."

Aryo membalik tubuhnya perlahan hingga mereka berhadapan. Satu tangan Aryo sudah menghapus air matanya.

"Kamu nggak cocok nangis. Lebih cantik kalau lagi marah-marah."

Dia terkekeh kesal sambil melingkarkan dua tangannya di leher Aryo.

"Apa masih sakit sekarang?" bisik Aryo padanya.

"Masih." Mata mereka bicara segalanya. "Tolong hilangkan sakitnya."

Dengan satu tarikan nafas tubuh mereka sudah mendekat, menempel erat seperti tidak ingin saling melepaskan. Seluruh bayang-bayang tentang apa yang akan terjadi nanti sedikit demi sedikit memudar saat Aryo melakukan semua yang dia suka pada tubuhnya. Dia paham bahwa bayang-bayang itu akan datang lagi. Atau kenyataan yang pasti menghampiri. Tapi saat ini, dia benar-benar ingin menikmati waktu mereka berdua. Sepanjang dan selama yang dia bisa.

"I love you, Jen. I love you."

***

Kali ini dia benar-benar bisa gila jika Janice meninggalkannya. Setelah semua yang mereka lakukan bersama. Seluruh jumlah kenangan yang bahkan lebih banyak dan lebih indah dari wanita manapun yang pernah bersamanya. Dia tidak akan melepaskan Janice. Sampai dia mati. Entah Edward akan melakukan apa padanya. Atau Arsyad dan para Daud lain yang kemungkinan besar akan mengamuk marah. Bahkan jika seluruh dunia mencaci hubungan mereka, dia tetap tidak akan melepaskan genggaman tangannya.

Malam ini dia bisa merasakan perasaan Janice untuknya. Seluruh kesal, marah saat ego Janice yang terusik karena dia yang tidak sabar dan terlalu menggenggam Janice kuat. Juga campuran perasaan bingung pada mata Janice yang indah. Satu lagi, mata itu berpendar seolah berkata bahwa Janice memberikan segalanya. Janice mencintai dia sama banyak seperti dia sendiri. Dan tidak ada hal yang lebih penting dari kenyataan itu. Apa itu nyata? Dia bahkan tidak mempercayai apa yang sedang terjadi.

Seluruh ingatan mereka datang. Saat mereka pertama bertemu, saat Janice datang untuk menyelamatkan Arsyad, saat dia berulah untuk membuat Janice kesal dan marah, saat mereka berlatih bersama, tinggal bersama, lalu saat ini. Dia terpesona, dengan bagaimana Janice bergerak sedemikian rupa, dengan bagaimana Janice bercerita, atau wajahnya yang bersemu merah saat mereka sedang tinggi. Terlebih lagi, saat Janice tidak mengucapkan apa-apa tapi mata Janice seolah bicara. Bahwa Janice mencintai dia yang seorang pendosa.

Mereka seolah tahu bahwa kecil kemungkinan setelah ini mereka bisa bersama sebebas ini lagi. Jadi mereka tidak mau saling melepaskan. Menikmati setiap detiknya, merasakan setiap detaknya, merekam setiap detil kenangan mereka.

***

"Kita sampai jam berapa?" tanya Janice saat mereka sudah berkendara.

"Menjelang sore kayaknya. Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

Dia menatap wajah Janice dari samping. Ekspresi wanita itu muram, sedih. Tahu sebentar lagi waktu mereka akan selesai.

"Jen, ada apa?" satu tangannya menggenggam tangan Janice lembut. "Kenapa sedih begitu?"

Mata Janice menatap genggaman tangan mereka. "Saya nggak suka kita berpegangan tangan begini."

"Ya, kamu udah bilang kemarin. Saya dengar. Ini bukan tempat umum, apa kamu masih nggak suka juga?" tanyanya perlahan. Dia bisa merasakan tangan Janice yang kaku, tidak balas menggenggamnya.

"Saya nggak suka karena ayah bisa tahu. Mata ayah dimana-mana."

"Jen, kamu pikir saya akan umpet-umpetan terus sama Edward soal kita? Kamu pikir saya cowok model gimana sih? Pengecut karena takut sama bapak pacarnya sendiri."

Janice terkekeh kecil. "Sejak kapan saya setuju buat jadi pacar kamu."

"Oke, calon istri kalau begitu."

"Nggak usah bahas bisa nggak? Saya belum mau punya hubungan apapun paling enggak lima tahun ke depan." Tangan Janice tarik cepat dari genggamannya. Janice marah.

"Oke, kita nggak nikah dan bukan pacar. Asal kita bareng-bareng terus. Saya nggak masalah. Saya nggak butuh status."

"Kamu nggak tahu apa yang ayah saya bisa lakukan, Yo."

"Saya nggak takut. Yang saya takut cuma satu, kehilangan kamu."

"Bisa nggak kamu nggak ngomong manis terus? Kesal dengernya."

Berulang kali dia menghirup nafas berusaha menahan emosi. Janice gusar sekali dan dia bisa merasakan Janice berencana pergi darinya.

"Apa yang kamu takut?"

Kepala Janice menoleh menatap ke luar jendela. Wanita itu diam lama.

"Jen? Apa yang kamu takut?"

"Sakitnya."

"Sakit karena apa?"

"Karena ayah saya bisa bunuh kamu. Paham nggak? Atau menjauhkan kita selamanya. Kenapa kamu santai banget sih?" nada Janice mulai tinggi.

"Kalau kata Arsyad si manusia suci itu, yang atur hidup mati itu bukan Edward. Sebelum tahu itu semua saya udah nggak takut, apalagi setelah saya yakin apa yang Arsyad bilang benar."

"Kamu bilang kamu takut kehilangan saya. Kalau kamu mati, atau kita terpisah, kamu kehilangan saya. Otak kamu tu dipake nggak sih?"

Nafas dia hela lagi. "Saya nggak gampang mati. Karena tahu dosa saya banyak. Maksud saya kehilangan kamu itu, kalau kamu nggak punya rasa apa-apa sama saya lagi. Itu lebih menakutkan daripada mati. Kasus Fayadisa jelas. Dari awal dia udah nolak saya. Tapi kamu..." kepalanya menggeleng keras mengingat kenangan mereka beberapa hari ini. "...serius Jen. Jangan lepasin tangan saya."

"Bagaimana kalau saya terpaksa, dipaksa?"

"Kalau gitu saya yang akan kejar kamu sampai ujung dunia. Saya nggak akan percaya kalau kamu bilang kamu nggak cinta saya. Setelah semuanya, saya nggak akan percaya. Kamu bukan pembohong ulung, Jen. Bukan. Jadi jangan bohong."

"Tahu nggak, ada banyak setan yang lagi bisikin saya buat bawa kamu lari. Pergi. Tapi saya tahu itu bukan cara yang benar. Kali ini, saya mau tempuh cara yang benar. Lagian, saya bukan pengecut yang lari takut," lanjutnya.

Kepalanya menoleh sejenak lalu dia tersenyum konyol. "We stick together no matter what, ok?" satu tangan mengacak rambut Janice yang masih berekspresi gusar.

***

Tahukah Aryo bahwa dia menahan tangisnya mati-matian. Karena rasa takut kuat mencengkram. Saat mereka bangun pagi tadi, seluruh firasat buruk sudah datang. Dia masih ingat bagaimana wajah Aryo begitu damai. Mendekapnya erat dalam pelukan hangat. Tangan kuat itu melingkarinya semalaman. Seolah berusaha bilang, everything will be ok. I will protect you no matter what. Dan itu semua membuatnya sedih sekali.

Dia tidak ingin Aryo terluka, karena dia tahu ayahnya sangat mampu melukai Aryo bahkan membunuh dan menghilangkan jejaknya. Ya, ayah bahkan lebih berbahaya dari Bapak Besar. Jumlah koneksi yang telah dibangun bergenerasi, dan kemampuan ayah untuk menghilangkan jejak, jauh lebih baik dari siapapun yang dia kenal. Belum lagi jumlah dana yang keluarga mereka punya.

Kesalahan besarnya adalah memberi Aryo harapan dengan seluruh kebersamaan mereka kemarin. Laki-laki ini keras hati, tidak akan mundur begitu saja. Lihat kasus Fayadisa. Aryo sudah ditolak berkali-kali tapi tetap tidak menyerah begitu saja. Apalagi kali ini dengan seluruh perasaannya yang Aryo sudah bisa baca.

Tapi dia tidak mampu menyembunyikan perasaan itu. Dia bahagia, dia merasa nyaman, bisa tertawa, berjalan-jalan bebas tanpa kewajiban yang menunggu. Dia juga bisa bercerita, mengeluarkan isi hatinya pada laki-laki aneh ini. Bertengkar, berdebat semalaman, kemudian berbaikan. Semua yang dia rasa itu nyata, dan dia tidak bisa menyembunyikannya.

Bagaimana ini?

Sungguh menjauh dari Aryo dan memastikan laki-laki ini masih hidup dan bernafas jauh lebih baik daripada membaca kabar Aryo Kusuma yang menghilang. Dia bisa gila. Jadi seluruh rasa cemas dan ketakutan hebat melandanya. Jika ada satu orang yang bisa membantunya saat ayah nekat, orang itu adalah Tuan Besarnya. Dia harus menyusun rencana cepat.

"Saya mau nyetir," ucapnya tiba-tiba.

"Saya nggak mau kamu nyetir."

"Minggir dan biarin saya nyetir, atau saya nekat."

"Nekat apa?"

"Nekat lompat dari mobil ini."

"Jen, apa-apaan kamu."

"Berhenti sekarang. Saya nggak minta baik-baik dua kali."

"Bilang dulu sama saya kenapa?"

"Otak saya bekerja lebih cepat ketika saya mengendarai mobil, atau motor. Saya ingin menyusun rencana."

"Rencana untuk?"

"Mengeluarkan kita berdua dari bencana."

"Jen, kamu berlebihan."

"Aryo, saya yang paling tahu siapa ayah saya. Sekarang berhenti dulu. Saya harus menyetir dan berpikir."

Aryo meminggirkan mobil pada sisi jalan yang tidak ramai. Dengan cepat dua tangan Aryo menahan bahunya. Mereka duduk miring saling berhadapan.

"Tarik nafas Jen, tiga puluh menit lagi kita sampai. Tolong jangan panik." Mata hitam itu menatapnya dalam.

"Aryooo, saya harus gimana biar kamu percaya kalau ayah saya bisa berubah kejam. Kamu pikir darimana datangnya luka-luka di punggung saya? Atau di punggung Arsyad?" dia hampir putus asa berusaha menjelaskan bahwa apa yang akan mereka hadapi tidak main-main resikonya.

"Janice, Edward itu ayah kamu. Dia nggak mungkin sakiti kamu."

"Bukan saya sekarang. Tapi kamu. Ck...kenapa kamu lamban banget sih pahamnya?" makinya tidak sabar.

"Edward tahu saya Daud juga. Keluarga kalian bersumpah untuk jaga..."

"Kamu pikir Arsyad itu bukan kesayangan ayah? Ayah sudah menganggap Arsyad anaknya. Tapi apa yang ayah lakukan padanya? Kamu nggak ngerti, Yo."

"Saya sudah bilang saya nggak takut."

"Percuma ngomong sama kamu. Kamu nggak paham. Hrrrghhh..." geramnya kesal lalu melepaskan diri dan melompat turun dari jeep besar Aryo.

Dia memutari mobil dari depan dan sudah membuka pintu tempat Aryo duduk.

"Kamu panik, Jen. Tenang dulu."

"Saya panik karena resikonya kamu. Keselamatan kamu!" dia hampir menangis.

Tubuh Aryo masih duduk dan dia berdiri dengan pintu setengah terbuka.

"Turun, Yo. Please. Biarin saya mengalihkan pikiran saya dengan menyetir."

Rahang Aryo bergerak perlahan. Laki-laki itu menatapnya dalam. Kemudian Aryo memeluk tubuhnya kuat.

"Saya akan baik-baik aja. Kita akan baik-baik aja. Saya akan bebaskan kamu dari ayah kamu atau hutang budi keluarga Daud. Sumpah mati saya akan lakukan itu."

Kali ini dia membalas pelukan Aryo kuat. Air matanya jatuh satu.

"Saya punya banyak rasa untuk kamu, Aryo. Kamu harus baik-baik saja. Dengan atau tanpa saya."

"Saya nggak dengar kalimat terakhir."

Selama beberapa saat mereka berpelukan kuat. Saling membagi kecemasan, dan ketakutan yang sulit sekali dihindari.

***

Suasana pemakaman itu tenang ketika mereka tiba di sore menjelang senja. Dia bersimpuh di dekat nisan ibu. Memejamkan mata sambil berdoa agar Tuhan memindahkan seluruh dosa ibunya pada dia saja. Rasa sesal melanda hebat. Seluruh kenangan bagaimana didikan ibu yang keras, juga kasih sayangnya membanjiri ingatan. Ibu selalu mencintai dia. Entah kenapa dia tahu itu tapi abai.

Makam ibunya dirawat rapih, sederhana. Persis seperti hidup mereka dulu. Hantaman seluruh kesulitan, dan badai nestapa menggulung hidup mereka. Dia masih muda, labil, mudah sekali terpengaruh pada lingkungan yang tidak sehat. Ibu hanya ingin menjauhinya dari bagian dunia itu. Agar mereka bisa keluar dari kesengsaraan hidup. Tapi yang dia lakukan malah sebaliknya. Berteman dengan para preman, bersahabat dengan pencuri dan penipu. Seluruh pengaruh buruk yang ibu berusaha jauhkan malah dia dekati. Sampai kemudian mereka bertengkar hebat dan dia pergi dari rumah untuk kesekian kali.

Mungkin saat itu ibu sudah lelah berharap padanya. Bukan salah ibunya, itu salah dia. Harusnya sebagai anak laki satu-satunya dia bisa melindungi wanita yang melahirkannya. Ah, dia bodoh sekali.

Janice sudah selesai menaburkan bunga. Dia berjanji akan datang kembali. Bersama Janice lagi, semoga saja. Kemudian tangan Janice menepuk pundaknya perlahan. Memberi tanda untuk menyudahi setelah dua puluh menit mereka berada di sana. Kepalanya mengangguk lalu dia berdiri. Menatap sendu pada nisan itu. Isnaini. Itu nama Ibu.

Saya akan kembali, Bu. Saya janji akan kembali lagi.

Kemudian dia melangkah beriringan dengan Janice menuju mobil mereka yang diparkir tidak terlalu jauh. Langkah Janice berhenti. Dia menatap wajah Janice yang pucat pasi. Edward. Matanya memandang apa yang Janice lihat. Sesuai dugaan mereka. Edward sudah berdiri di sana dengan tongkat kebesarannya. Empat mobil hitam besar berjejer di belakangnya. Ekspresi Edward kali ini, menandakan laki-laki itu tidak main-main. Dia menghirup nafas perlahan lalu menggandeng tangan Janice yang dingin membeku.

"Ini bukan rencana kita, Yo. Lepasin," bisik Janice sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya.

"Saya suka improvisasi. Cepat atau lambat Edward akan tahu hubungan kita." Mereka mulai berjalan mendekati Edward. "Biar saya yang bicara."

"Itu juga bukan rencananya."

"Rencana kamu buruk, Jen. Anggap aja begitu." Tangannya menggenggam kuat tangan Janice.

"Kamu yang pelupa. Dasar menyebalkan."

Janice menarik lepas genggaman tangan mereka saat mereka sudah dekat dengan sosok Edward. Dia tidak bisa membaca raut datar pada wajah Edward.

"Selamat sore, Aryo Kusuma," sapa Edward dingin.

Dia sedikit terkejut karena biasanya Edward memanggilnya dengan sebutan Tuan.

"Selamat sore, Edward."

"Halo, Sayang. Apa kamu baik-baik saja? Kamu terlihat pucat?" ujar Edward sambil menatap Janice sama dinginnya.

Janice diam membeku.

"Edward, saya bisa jelaskan."

"Apa anda tahu kenapa saya tidak memanggil anda Tuan?" tanya Edward.

"Saya nggak masalah Edward. Kamu boleh panggil saya..."

Edward tertawa kecil. "Karena gelar itu hanya pantas disandang oleh seorang Daud sejati. Bukan sembarang orang seperti anda."

Tubuh Janice jatuh bersimpuh di sebelahnya. "Ini saya salah, Ayah." Suara Janice bergetar kuat.

Matanya membelalak terkejut. "Bukan, ini bukan salah Janice. Saya yang memaksa dia pergi. Jen, berdiri."

"Ternyata saya salah menilai anda. Buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya," Edward berujar lagi.

"Apa maksud kamu, Edward?"

"Ibu anda wanita baik-baik. Tapi sayang, anda mirip sekali dengan ayah anda."

"Edward!!" dia berteriak marah.

Satu tangan Edward memberi tanda dan ada delapan laki-laki bertubuh besar keluar dari mobil hitam itu. Saliva dia loloskan, Edward tidak main-main. Dia sudah siap dengan kuda-kuda.

"Apa bisa kita bicara baik-baik, Edward? Bukan begini," ujarnya memindai cepat ancaman di depan mata.

Janice masih bersimpuh dan mulai menangis. "Ayah, saya nggak pernah minta apapun..."

"Diam!! Bawa dia masuk," hardik Edward sambil mengambil senjata dari dalam koper perak.

Tubuh Janice dibawa paksa dan saat itu dia sudah gelap mata. "Lepaskan dia, brengsek."

Dia merangsek maju dan mulai menghantam dua. Fokusnya harus sempurna. Bayangan bagaimana Janice menangis dan meratap begitu melukai hatinya. Dua sudah berhasil dia pukul mundur saat Edward menembakkan senjata. Peluru itu menancap di tulang kering kaki kanannya.

Peluru bius?

Lalu seperti ada aliran listrik tiba-tiba. Melumpuhkan kaki kanannya. Dia berlutut jatuh saat Janice mengamuk melepaskan diri. Wanitanya itu menjatuhkan satu yang menahan Janice. Kemudian berhadapan dengan dua lagi. Dia bangkit dengan satu kaki, menahan peluru tadi yang menancap di tulang yang mungkin retak saat ini. Edward sudah membidiknya lagi.

"Lepaskan dia, Ayah. Saya akan lakukan apa saja!!" teriak Janice panik sambil menangis dan sudah ditahan oleh tiga lagi.

Dia menghindar cepat dari peluru itu. Tapi dengan satu kaki tubuhnya limbung dan jatuh. "Jangan sentuh dia. Brengsek!!"

Edward berjalan mendekatinya. Lalu menembakkan satu peluru pada kaki kiri. Rahangnya bergetar kuat karena dia tidak mau berteriak seperti orang lemah. Tapi rasa sakit yang hebat sudah menghantam cepat. Tulang kering kakinya retak. Dia bisa merasakan itu jelas sekali. Janice sudah menjerit berusaha berlari ke arahnya. Kemudian Edward memutar selongsong untuk mengganti peluru dan membidik ke arah Janice.

Dia merangkak berusaha menggapai Edward. "Tolong, jangan. Saya saja. Jangan lukai Janice. Tolong."

Peluru tetap meluncur ke pundak Janice dua kali. Dia benci dirinya yang lemah sekali begini. Padahal dia sudah berjanji bahwa semua akan baik-baik saja. Matanya menatap tubuh Janice yang terkulai lemas tidak berdaya. Kemudian diangkat dan dibawa masuk ke dalam mobil. Air matanya jatuh satu. Dia terluka melihat pemandangan itu. Pantas saja Janice takut sekali tadi. Sekarang dia mengerti.

Tubuh Edward berjongkok di dekatnya. Tubuhnya bergetar hebat karena sakit yang mendera.

"Ini peluru jenis baru ciptaan Tuan Muda Mahendra. Saya menawarkan diri untuk menguji coba peluru ini. Masih bisa ada kesalahan, seperti yang anda lakukan pada anak perempuan saya. Kesalahan...besar."

"Jangan sakiti Janice. Saya mohon, jangan sakiti dia." Rahangnya yang bergetar hebat dia katupkan kuat. Tubuhnya makin lemah karena rasa sakit yang seperti meledak di kepala.

"Cara mudah menyakiti Janice sekarang, adalah dengan menyiksa anda perlahan-lahan. Saya harap anda sudah mengucapkan selamat tinggal tadi. Karena Janice tidak akan pernah mau menemui anda lagi. Selamanya."

Edward berdiri. "Seret dan bawa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro