Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 23

Hadeeh,part ini bikin pusing kepala. Jadi sudah pasti nggak akan tayang lama.

***

Sudah pukul dua ketika mereka tiba dengan perut kosong. Mereka makan di salah satu kedai seafood sederhana milik penduduk setempat. Janice terlihat sangat bahagia saat mereka menunggu makanan dan Janice berkeliling menonton anak-anak kecil yang sedang bermain permainan kampung. Bukan menggenggam gadget atau komputer seperti anak kota. Janice bahkan ikut bermain bersama mereka.

"Makanannya enak. Sederhana dan sedikit kelebihan bumbu. Tapi tetap enak. Suasanya seperti...apa ya. Berbeda," ujar Janice sambil menyesap jarinya dari bumbu yang tersisa. "Terimakasih sudah ajarkan saya makan pakai tangan. Ini berbeda. Tapi saya suka."

"Banyak hal yang bisa saya tunjukkan ke kamu. Kita bisa keliling Indonesia."

"Wow, itu pasti seru." Ekspresi Janice berganti murung. "Tapi mungkin suatu hari nanti. Nggak dalam waktu dekat ini. Ada pernikahan Mahendra yang pasti sekarang Mama Trisa marah pada saya. Karena saya nggak ada untuk bantu semua persiapannya. Juga urusan Hartono."

"Setahu gue ibunya Arsyad itu baik banget orangnya. Dulu Tommy suka cerita ke gue. Bagaimana ibunya Arsyad yang banyak membela Tommy kecil dari Herman yang gila. Jadi harusnya Mama Trisa mengerti."

"Ya, beliau baik banget. Seperti Hanif Daud. Hangat, mudah tersenyum."

"Oke, kita lagi bahas Mama Trisa. Bukan Hanif," timpalnya kesal.

Janice terkekeh. "Masih cemburu? Kamu tahu Faya hamil?"

"Ya, dan gue ikut senang. Cuma apa ya. Faya itu singa liar. Hanif kurung Faya seenaknya."

"Karena Hanif mau jaga Faya. Wajar kan? Lagian Hanif Abraham Daud adalah laki-laki paling gentleman, rendah hati, dan pintar sekali main piano. Hanif jarang banget marah dan jadi orang pertama yang bela saya dulu kalau saya lagi dihukum ayah."

"Nggak sekalian pintar menabung? Biar sempurna kan." Emosinya dengan cepat naik. Janice menganggumi Hanif Daud. Bayangkan itu. "Kamu suka dia?"

Entah kenapa dia bertanya begitu dan langsung menyesali di detik ke dua.

"Ya. Saya suka Hanif. Sangat..."

"Stop oke. Serius nggak lucu."

"Loh, kamu tanya saya jawab. Salah saya dimana? Dan saya nggak ber..."

"Hanif itu udah punya istri."

"Ya, dan kamu suka istrinya."

"Saya nggak suka istrinya sekarang," bisiknya marah.

"Nggak usah marah dong. Kamu kenapa sih? Mangkanya kalau capek, biarin saya yang nyetir."

"Jadi kamu masih suka Hanif?"

"Apa salahnya?"

"Ya salah, itu suami orang."

"Kamu pikir saya nggak punya harga diri apa? Saya suka Hanif dan bukan jenis suka yang menjijikkan itu. Hrrrghhh...kamu selalu merusak mood saya di saat-saat terbaik. Terimakasih."

Janice berdiri meninggalkannya untuk mencuci tangan lalu wanita itu melangkah kesal ke pinggir pantai. Oke, paling tidak Janice tidak jatuh cinta pada the brengsek Hanif. Atau dia bisa benar-benar membunuh laki-laki itu.

Ya, dan lo membahayakan kebahagiaan Faya. Bagus, Yo. Emosi aja terus. Hrrrghhh... Nggak usah insecure, Yo. Lo lebih keren dari Hanif.

Setelah membayar makanan dan menghirup nafas banyak-banyak, dia menyusul Janice yang masih marah.

"Apa bisa kita nggak berantem sehari aja?" tanyanya saat mereka berjalan di pinggiran pantai.

"Loh, saya nggak ajak kamu berantem kok. Kamu tanya, saya jawab, terus kamu emosi dan mulai berprasangka tanpa dasar sama sekali." Langkah Janice berhenti lalu tubuhnya berputar hingga mereka berdiri berhadapan. "Sikap kamu yang selalu memicu pertengkaran. Kamu berisik dan meledak-ledak."

"Oke oke. Saya minta maaf."

"Kamu juga bikin saya bingung. Bahasa kamu ganti-ganti..."

"Loh, yang bisa tujuh bahasa itu kamu. Bukan saya."

"...kadang saya-kamu, terus ganti lagi. Sikap kamu aneh banget. Kadang kamu tertawa, kadang kamu konyol dan usil, terus kamu diam. Diam yang aneh. Saya nggak ngerti apa yang ada di pikiran kamu."

"Kamu pikir saya nggak ngerasa begitu juga sama kamu? Kamu cewek paling ajaib yang pernah saya kenal. Galaknya minta ampun lagi, nggak mau kalah..."

"Kamu bilang kamu sendiri yang akan pastikan saya selalu menang. Kenapa sekarang jadi itu diungkit?"

"Hrrrghhh..."

"Dan kita berantem lagi kan."

"Dasar bawel. Saya beneran kaget ternyata kamu bawel begini."

"What?"

Mereka tidak sadar bahwa mereka sudah berpindah posisi masuk ke dalam air. Ombak yang berukuran sedang menggulung hingga mencapai bibir pantai. Itu membuat seluruh baju mereka basah di tengah adu mulut mereka sendiri. Kemudian mereka diam karena sadar mereka konyol sekali.

Dia yang mulai tertawa sambil mendorong tubuh Janice agar tercebur di air. Wanita itu juga tertawa kesal lalu menarik tubuhnya tidak mau kalah. Baju mereka basah semua dan pertengkaran dengan tawa itu berlanjut. HIngga mereka lelah sendiri dan duduk di pinggir pantai sambil menatap langit di ujung sana.

Janice membaringkan tubuhnya di atas pasir sambil tersenyum lebar. "Pantai ini benar-benar indah. Terimakasih sudah ajak saya ke sini.

Dia mengangguk lalu berbaring di sebelah Janice.

"Saya bahagia. Jangan rusak kebahagiaan saya," Janice tersenyum lebar.

"Saya bahagia lihat kamu bahagia," balasnya juga sambil tersenyum.

"Oh nooo...saya nggak mau dengar Aryo Kusuma yang bermulut manis. Saya bisa muntah di sini." Mata Janice berputar konyol dan itu membuatnya tertawa.

Kemudian mereka diam. Merasakan hembusan angin, menatap langit yang mulai mendung, menghirup wangi pantai yang mereka suka.

"I will not forget this trip," bisik Janice.

"Saya akan selalu mengingatkan kamu kalau ini nyata."

***

Mereka tiba di salah satu hotel bintang lima setelah kembali ke kota besar. Hujan menderu deras dan baju mereka masih setengah basah. Aryo memesan dua kamar yang letaknya berdekatan untuk mereka, entah kenapa.

"Saya heran kenapa kamu alergi sama peluru Mahendra tapi sama seafood kamu baik-baik aja." Mereka sedang berjalan ke kamar mereka.

"Kamu nggak merhatiin. Saya nggak makan kerang tadi."

"Jadi udang nggak apa-apa?"

"Harusnya nggak apa-apa."

"Kalau nasi padang?" tanya Aryo konyol. "Jangan-jangan kamu nggak tahu rasanya nasi padang." Aryo menepuk dahi konyol. "Ya ampuun, Jeen...."

Dia tertawa. "Dasar menyebalkan. Perbendaharaan makanan asli Indonesia kamu lebih banyak. Oke. So what?"

"Akhirnya ada satu hal yang saya lebih tahu dari kamu. Hah..mengalahkan kamu itu sangat sulit, Jen."

Senyumnya mengembang lebar saat mereka tiba di depan kamar dan berdiri berhadapan. Dia mulai merasa sikap mereka sedikit canggung sejak di dalam mobil tadi. Tapi baik dia dan Aryo berusaha menutupi dengan baik.

"Di luar hujan deras. Semua kamar di hotel ini punya balkon. Jangan lupa tutup pintu balkonnya karena anginnya lumayan kencang tadi," ujar Aryo.

Ekspresi konyol Aryo hilang. Digantikan dengan tatapan penuh rasa kemarin malam. Saliva dia loloskan perlahan lalu kepalanya mengangguk. Dia mulai gugup.

"Selamat malam, Jen." Aryo membukakan pintu untuknya.

Pandangan mereka terjalin sempurna. Selama beberapa saat mereka disergap hening yang aneh. Raga mereka seperti tidak mau pergi, ingin tinggal dan saling menemani.

"Terimakasih, untuk hari ini. Saya senang sekali,"ucapnya.

Aryo mengangguk singkat.

"Sampai ketemu besok pa..."

Kali ini Aryo yang merengkuh tubuhnya cepat dan memeluk sambil menciumnya dalam. Terburu-buru dengan penuh hasrat. Aryo mendorongnya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu sambil tidak melepaskan ciuman dalam mereka. Dia pun tidak ingin berhenti, ingin terus merasakan laki-laki ini.

Seluruh rasa penasaran akan apa yang baru pertama dia rasakan membuncah mengisi dada. Hasrat yang tinggi, juga keinginan yang tidak terbendung untuk merasakan segalanya. Dulu saat dia bersekolah di luar negeri, dia pernah mengalami ini dengan laki-laki asing yang dia tidak kenal. Hanya karena benar-benar penasaran. Tapi tidak ada apapun. Hambar, basi. Setelah itu dia tidak pernah melakukannya lagi. Tapi saat ini, seluruh tubuhnya seperti sedikit melayang, dengan reseptor rasa yang bekerja membabi buta. Mengirimkan sensasi baru yang dia suka. Sensasi yang bisa menjadi adiksi baginya.

Terburu-buru mereka menanggalkan pakaian mereka yang setengah basah. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Tubuhnya seperti bergerak begitu saja. Mencari, dan menemukan ketika mereka berdekapan lagi. SIkap Aryo lebih tenang ketika mereka sudah berada di atas tempat tidur. Hujan masih terus mengguyur seru. Seseru apa yang terjadi pada jantungnya kali ini.

Tangannya menggapai leher Aryo dan tubuh panas laki-laki itu seolah menyatu bersamanya. Bibir Aryo sedikit bergetar saat terus turun di lehernya.

"Kamu begitu nyata, sampai rasanya saya sulit percaya," bisik Aryo.

Matanya terpejam, menikmati seluruh hal yang baru pertama kali dia rasakan. Aryo membuka seluruh sisa kain di tubuhnya. Memandangi dengan penuh rasa dan mendamba. Dia membuka mata, melihat sosok menyebalkan yang entah kenapa dia suka. Mata hitam Aryo seolah mencair. Memperlihatkan besarnya perasaan Aryo untuknya.

"Saya...nggak bisa berhenti sekarang, Jen. Maaf," nada Aryo berbeda. Seperti menyerah kalah padanya.

Belakang leher Aryo dia dekatkan lagi. Bibirnya membungkam bibir sang serigala. Dia tidak pernah ragu atas apapun. Termasuk saat ini. Sekalipun dia belum mengerti apa artinya. Tapi dia hanya ingin Aryo Kusuma saja. Sekarang.

Laki-laki itu yang memanjakan seluruh tubuhnya. Sementara dia bergerak berdasarkan insting saja. Kebutuhan Aryo mendesak kuat, dan dia mengijinkan Aryo untuk masuk. Mengetuk pintu hatinya. Mereka bergerak bersama, seirama. Diantara dinginnya malam dan hujan di luar sana.

"Saya cinta kamu, Jen. Sampai mati," bisik Aryo lagi.

***

Dia tidak pernah merasa lengkap, sempurna. Paham benar dia adalah pendosa. Bukan pendosa ringan, tapi pendosa berat yang bahkan dia malu sendiri dengan dirinya yang lama. Malam ini, dia disempurnakan oleh seorang wanita. Wanita yang dia cinta. Bukan Lia, bukan Fayadisa. Oh, sungguh takdir sudah mempermainkannya. Karena baru kali ini dia merasakan bahwa perasaannya berbalas. Wanita ini juga mencintai dia sekalipun dia yakin Janice tidak akan bicara.

Apa yang Janice berikan untuknya sungguh berharga. Dia sanggup memberikan apa saja sebagai ganti dari itu semua. Kenangan indah, pandangan hidup dan tujuan yang baru, dan sekarang Janice memberikan seluruh rasa percaya wanita itu padanya. Hal-hal itu lebih berharga bahkan dari banyaknya harta di seluruh dunia.

Tubuh Janice dia peluk dari belakang saat mereka selesai. Wanita itu diam saja dan dia sedikit takut Janice menyesali semua. Satu tangannya dijadikan bantalan kepala Janice.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya hati-hati.

"Apa ini cinta? Atau hanya nafsu saja?" Janice membalas dengan pertanyaan lain.

"Kedua-duanya."

"Bagaimana saya tahu kalau ini cinta?"

"Mau saya kasih tahu?" tangannya merengkuh Janice makin mendekat. Tubuh mereka berdua masih berada di dalam satu selimut.

"Banyak perempuan bilang, kalau sedang jatuh cinta kamu merasa aneh."

"Aneh?"

"Misal, kamu nggak suka lihat orang itu dekat dengan orang lain," jawabnya.

"Itu cemburu dan cemburu adalah bentuk pembenaran sikap egois yang lain. Bukan cinta."

"Saya tanya sekarang, apa yang kamu rasa?" dia mencium pundak Janice perlahan.

Janice membalik tubuhnya hingga mereka berhadapan.

"Saya...mmm. Senang, bahagia. Tapi mungkin karena banyak hal baru yang saya lihat dalam perjalanan."

Dia diam memberi kesempatan Janice bicara.

"Terus...saya merasa...ah. Saya kesal karena nanti kamu jadi besar kepala dan menyebalkan lagi."

Dia tertawa kecil. "Saya janji nggak akan berulah, sumpah."

Ada jeda sejenak. Mata coklat kehijauan itu berpendar lagi, indah sekali.

"Saya merasa nyaman. Padahal kita berantem terus."

"Selain itu?"

"Ada hangat yang aneh, di sini." Janice menyentuh dadanya. "Juga geli..."

"Geli?"

Kepala Janice mengangguk kecil. "Iya geli, di sini." Janice menyentuh perutnya sendiri.

Senyumnya mengembang lebar. "Seperti ada kupu-kupu. Katanya begitu."

"Jadi?"

"Jadi apa?"

"Ya jadi itu tandanya apa? Kamu merhatiin nggak sih?" timpal Janice kesal.

"Selamat, itu tandanya kamu jatuh cinta sama si keren Aryo Kusuma."

"Tuh kan, mulai. Katanya nggak mau narsis." Tubuh Janice balik lagi lalu dengan cepat dia merengkuh wanita itu agar tidak pergi kemana-mana.

"Ya tapi emang begitu. Coba nanti kamu tanya ke...siapa ya? Jangan tanya ke cewek-ceweknya Daud. Bisa dibunuh saya kalau ketahuan." Dia berpikir lagi. "Ke Mama Trisa. Coba tanya sama dia."

"Terus, kenapa kamu langsung tahu kalau kamu cinta saya? Kamu ngerasa begitu juga? Apa kamu yakin kalau itu cinta?"

"Yakin 1000 persen atau lebih."

"Kok bisa?"

"Karena saya suka lihat kamu tertawa, karena saya akan berikan apa saja biar saya bisa sama kamu begini terus, karena saya rela ngomong kayak Pak RT begini dan nggak pakai bahasa slank saya..."

Janice tertawa.

"...karena saya nggak akan biarin kamu terluka. Karena saya..."

"Stop stop. Saya bisa tersedak kalau kamu ngomong manis terus gitu."

"Saya cuma jawab pertanyaan kamu," bisiknya sambil mencium cuping telinga Janice.

"Ada apapun di depan sana. Jangan berani-berani tinggalin saya, Jen," bisiknya.

"Sekarang kamu mengancam, Tuan yang sangat menyebalkan, dan narsis terkadang, dan konyol, dan kekanakkan, dan keras kepala, dan..."

Kepala Janice dia tolehkan ke arahnya dan dia membungkam bibir Janice dengan ciuman panjang. Dengan cepat tubuh mereka menghangat lagi. Kemudian mereka kembali saling mengisi.

***

"Ini kenapa? Kamu belum cerita," Aryo menyentuh bekas luka di punggungnya saat dia sedang memilih menu sarapan dari atas tempat tidur.

"Nanti aja ceritanya. Saya laper. Kamu mau apa?"

"Apa aja. Kamu yang pilihin," Aryo mencium puncak kepalanya cepat lalu bangkit berdiri dan masuk ke kamar mandi.

Dia menghubungi dapur dan memesan dua menu. Porsi sarapan Aryo tidak banyak. Selimut sudah dia lilitkan di tubuh kemudian dia bangkit dari tempat tidur.

Aryo keluar dari sana dengan tubuh dililit handuk tebal. "Kamu mau mandi? Saya udah siapin airnya. Tunggu sebentar belum penuh."

"Saya bisa siapin sendiri."

"Jen, bisa bilang terimakasih aja nggak?"

"Iya terimakasih."

Ciuman ringan sudah mendarat di pipinya.

"Nggak perlu cium-cium saya terus," protesnya sambil masuk ke dalam kamar mandi sementara Aryo tertawa.

Air di dalam bathtub berada pada kehangatan yang pas. Dia menemukan sebotol kecil bubble bath di wastafel dan menuangkannya perlahan. Busa-busa kecil terbentuk. Selimut dia letakkan di atas area wastafel. Satu kakinya sudah masuk ke dalam bathtub saat Aryo masuk.

"Yo, keluar dulu. Saya mau mandi."

Bukan Aryo namanya kalau menurut begitu saja. Dengan cepat tubuhnya diangkat dan diletakkan di dalam bathtub, lalu Aryo menyusul duduk di belakangnya. Dia mendengkus keras tanda protes.

"Setelah ini semua, kamu bisa menikmati waktu sendiri kamu lagi. Sekalipun kamu nggak sendiri karena saya ada. Jadi sekarang, saya nggak mau kemana-mana kecuali ada di sebelah kamu."

"Aneh dasar," dia menyandarkan tubuhnya pada Aryo santai.

Laki-laki itu memijit pundaknya perlahan. "Kita di sini seminggu lagi ya?"

"Nggak ada. Hari ini kita..."

"Tiga hari."

"Aryo nggak lucu ah."

"Ya udah besok. Besok setelah makan siang di sini." Dua tangan Aryo merengkuhnya mendekat dari belakang.

Rambut hitam panjangnya dijalin oleh Aryo. Kemudian dia mulai bertanya. "Saya kaget ternyata kamu bisa mengurus orang sakit."

"Dulu, Lia sakit. Parah. Sering muntah-muntah, demam, persis kayak kamu kemarin itu. Saya yang urus Lia, bareng Max dan Dony. Gantian."

"Dimana makam Lia?"

"Di Jakarta. Kami anak jalanan, nggak punya orangtua dan nggak tahu asal kami darimana."

"Kamu nggak ke sana?" Kepalanya mendongak untuk menatap Aryo.

"Satu atau dua minggu sekali saya ke sana. Saya dan Dony juga selalu nengokin Max." Kepala Aryo menunduk menatapnya.

"Kamu juga sering ke makam ibu kamu begini?" Tatapannya kembali lurus ke depan.

"Jarang. Ini ketiga kali setelah sekian lama. Dulu saya marah banget sama Ibu. Saya pikir Ibu tinggalin saya. Ya, kami berantem mulut dan saya kabur dari rumah. Begitu saya balik, ibu udah nggak di sana. Saya baru tahu dari Edward kalau ibu pindah karena dikejar rentenir. Saya jadi ngerasa bodoh banget karena emosi bertahun-tahun lamanya. Saya menyesal, Jen. Semoga ibu mau memaafkan saya." Aryo meletakkan dagu persis di puncak kepala. "Ibu kamu sendiri, kapan meninggalnya?"

"Waktu melahirkan saya. Ayah selalu bilang kalau itu semua karena ibu sakit. Bukan karena saya. Saya nggak percaya, sampai sekarang. Terkadang saya merasa ayah melatih saya keras sekali, karena dia menyalahkan saya tentang kematian satu-satunya wanita yang pernah dia cinta. Saya nggak nyalahin dia..."

"Tapi kamu nyalahin diri kamu sendiri."

"Saya menerima hukuman itu bertahun-tahun sampai sekarang."

"Jadi itu alasan kamu tinggal?"

"Pertama, karena saya yang membunuh ibu saya. Kedua, karena saya sayang ayah saya bagaimanapun perilaku dia. Dan ayah saya nggak akan mau meninggalkan keluarga Daud sampai mati. Ketiga..." Dia memberi jeda. "Sekalipun saya kelihatan mandiri sekali, sebenarnya saya nggak suka sendiri. Bagaimanapun keluarga Daud adalah keluarga besar yang ramai. Mereka menerima saya, menghargai saya, menyayangi saya seperti saya adalah adik perempuan mereka. Waktu saya sekolah di luar negeri. Rasanya jauh, asing dan sepi."

Aryo mendekapnya kuat.

"Kamu hebat. Kamu bisa bertahan di luar sendirian begitu. Tanpa keluarga sama sekali." Posisi tubuh dia miringkan hingga dia bisa meletakkan telinga di dada Aryo.

"Saya punya keluarga, Jen. Lia, Dony, Max, sekarang ditambah Sharon si cewek cantik dan sering merengek itu. Mereka keluarga saya."

"Salah, Aryo." Kepalanya mendongak hingga mereka bertatapan. "Bukan cuma mereka keluarga kamu. Arsyad, Hanif sekalipun kamu benci dia, Mareno dan Mahendra. Mereka semua juga keluarga kamu."

Nafas Aryo hirup dan hela. "Mungkin...nggak tahu. Karena sudah terlalu lama saya membenci mereka. Rasanya benar-benar aneh sekalipun saya sudah mulai biasa sama si Arsyad manusia kaku itu."

Kemudian dia tersenyum mengingat betapa konyolnya interaksi Aryo dan Arsyad saat mereka latihan bersama.

"Saya nggak perduli, siapa keluarga saya sekarang. Asal kita berdua sama-sama," bisik Aryo padanya.

Satu tangan Aryo menyentuh dagunya lembut. Wajah Aryo mendekat untuk menciumnya dalam. Dia menyambut ciuman itu. Karena semua terasa benar dan nyaman. Karena hangat di dadanya seolah membuatnya tenang. Karena laki-laki ini memujanya sedemikian rupa. Karena segala hal di depan sana yang dia tidak tahu dan dia ingin lupakan. Mereka sedang menghentikan waktu, dan tidak ada satu hal-pun di dunia yang lebih penting dari itu.

***

Mereka hampir tidak keluar dari kamar jika Janice tidak mengancamnya. Akhirnya dia mengalah karena tahu benar Janice tidak bisa dipaksa. Mereka berjalan keliling kompleks hotel yang besar dengan fasilitas yang lengkap. Janice tersenyum dan tertawa, atau menggelengkan kepalanya saat dia bercerita lucu. Sikap kaku Janice hilang sama sekali. Walaupun bahasa yang Janice gunakan masih baku. Mereka makan siang di restoran hotel dan mencoba makanan tradisional yang tersedia di sana.

"Ini enak. Aneh tapi enak."

"Saya punya langganan di kota ini yang lebih enak lagi."

"Kita bisa ke sana habis ini?"

"Lain kali. Kita atur waktu lagi."

"Lain kali yang nggak akan pernah kejadian." Janice menghabiskan minumnya lalu berdiri. "Saya udah selesai, dan pingin jalan-jalan. Kalau kamu nggak mau nemenin saya, silahkan tunggu di kamar."

"Jen..." terburu-buru dia menyusul Janice. "Iya saya temenin. Kita ambil kunci mobil saya di atas."

"Kamu aja yang ke atas, saya tunggu di sini. Kalau enggak kamu bisa kunci saya di sana nanti dan batal semua."

"Emang begitu rencananya," sahutnya sambil tersenyum konyol.

"Aryo, kamu paham nggak sih kalau mungkin ini kesempatan saya satu-satunya untuk pergi? Dan saya bukan alat pemuas..."

Tangannya sudah membungkam mulut Janice cepat karena panik ada yang mendengar kalimat Janice tadi.

"Iya iya. Saya temenin. Jangan ngomong yang aneh-aneh. Ini tempat umum," bisiknya panik.

Tanpa dia duga jari tangannya yang menutup mulut Janice digigit oleh wanita itu. "Auw...Jen. Apa-apaan sih?"

"Cepetan bawa mobil kamu ke sini. Atau nanti malam kita pisah kamar?"

"Iya, saya bilang iya." Kakinya melangkah cepat-cepat ke lantai atas.

***

Sudah hampir pukul sembilan ketika mereka tiba di hotel. Janice marah padanya karena dia berkelahi dengan salah satu laki-laki yang menggoda Janice tidak sopan.

"Jen, jangan diem aja dong. Laki-laki tadi itu kurang ajar sama kamu." Mereka sudah berjalan menyusuri lobby hotel.

"Di bagian mana nya? Dia hanya senyum dan menyapa saya."

"Oh ya? Kamu tahu gimana cara dia ngeliatin kamu tadi?"

"Saya sedang menikmati waktu saya, bukan ngeliatin ekspresinya orang lain. Lagian kenapa sih kamu itu?"

"Saya? Kenapa? Loh saya jagain kamu."

"Saya nggak perlu dijaga. Kamu pikir saya anak kecil? Saya sangat mampu jaga diri saya sendiri. Kontrol ego laki-laki kamu dong. Saya belum selesai makan dan makanan itu tadi enak banget. Kamu malah berantem dan kacaukan semua."

Mereka sudah tiba di depan kamar mereka.

"Apa? Kamu lebih mentingin makanan itu? Daripada sikap melecehkan laki-laki tadi? Kemana Janice yang saya tahu?"

"Heh, saya bilang saya nggak peduli. Selama dia nggak pegang-pegang saya. Silahkan aja dia mau ngapain. Laki-laki yang model begitu banyak. Apa kamu pikir saya mau buang-buang energi buat ngurusin sampah kayak mereka? Saya efisien." Janice membuka pintu kamar dan dia sudah mengikuti Janice masuk.

"Efisien? Oh..." kepalanya menggeleng kuat sambil bertolak pinggang kesal. "Selama saya di dekat kamu, saya akan rontokkan semua gigi orang yang bicara nggak sopan."

"Nggak usah pamer testosterone sama saya. Kamu pikir saya nggak bisa melumpuhkan laki-laki tadi? Penghinaan." Tubuh mereka berhadapan masih di dekat pintu kamar. "Kamar kamu di sana. Silahkan keluar atau saya lempar."

"Kamu marah itu karena apa sih? Serius karena makan kamu keganggu?"

"Karena sikap kamu mulai berlebihan. Saya tahu kita sudah tidur bareng. Tapi itu nggak membuat kamu memiliki saya. Saya bukan milik siapa-siapa!!" teriak Janice kesal. "Jadi hentikan sikap berlebihan kamu itu."

"Saya nggak berlebihan. Saya berusaha menjaga kamu di luar sana!!"

"Saya nggak minta kamu jaga!!" Nafas mereka tersengal. "I can kill that bastard by myself. Saya hanya memilih untuk tidak peduli karena saya sedang menikmati waktu saya dengan kamu. Terimakasih, karena lagi-lagi kamu merusak mood saya." Janice berlalu dan membanting pintu kamar mandi.

Dua tangannya yang terkepal kuat dia gigit kesal. "Hrrrghhhh..."

Sabar, Yo. Sabar. Janice itu alpha lady yang nggak perlu dijaga-jaga begitu. Jangan genggam terlalu kuat, Yo. Lo bikin dia takut.

***

Yak, sebentar lagi dihapus yah. Jangan lama-lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro