Part 20
Satu hari kemudian
Pesan Janice tiba larut malam saat Arsyad sibuk menenangkan Audra yang seperti terluka dalam. Sedikitnya Arsyad bertanya-tanya, apakah ada alasan lain hingga wanita sekuat Audra Daud berduka sedemikian rupa? Apakah hanya karena Sanggara Buana diperiksa? Juga karena persidangan Evan yang masih berlangsung? Atau perjodohan Audra dengan Abimana? Apa benar itu saja? Kenapa pancaran mata Audra sama persis seperti matanya sendiri saat dia harus berpisah dengan Sabiya dulu. Atau saat Mareno ditinggal oleh Tania. Jenis pandangan saat seseorang berduka hebat dan patah hati dalam. Jika benar begitu, pertanyaan lain adalah siapa?
Karena seluruh kondisi Audra yang menyita perhatiannya, pesan Janice baru dia buka pagi ini.
Janice: Jodi Hartono mengirim orang untuk menembakkan rudal. Perkara itu sudah dibereskan oleh si Tuan Gadungan. Besok saya periksa bagaimana senjata berat itu bisa masuk....
Terpotong. Pesan Janice terpotong.
Oke, Janice adalah jenis manusia yang perfeksionis. Tidak pernah ada cacat pada pesannya. Pesan Janice bisa singkat sekali, tapi tidak pernah terpotong. Kepalanya menoleh pada Sabiya yang masih tidur lelap di sebelahnya. Pukul tiga lebih tiga puluh pagi. Tubuhnya beringsut sejenak mendekat pada istrinya. Kemudian mencium kening Sabiya lembut. Tangan Sabiya berusaha menggapai tubuhnya, dia suka sekali ketika Sabiya melakukan itu.
"Syad..." bisik Sabiya masih memejamkan mata.
Saat seperti ini dia tidak bisa membedakan apakah Sabiya masih tidur dan sedang bermimpi, atau Sabiya sudah terjaga. Biasanya dia tidak akan menjawab, tapi merengkuh tubuh polos Sabiya di balik selimut. Lalu mereka akan lelap berpelukan lagi hingga saatnya dia bangun untuk memulai segala aktifitasnya. Ya, jam biologisnya bergeser, karena sungguh sulit untuk meninggalkan Sabiya begitu saja di tempat tidur.
Tapi kali ini dia merasa ada sesuatu yang salah, dan dia harus bertanya pada Niko tentang Janice, Jodi Hartono dan juga Audra. Mungkin Niko tahu sesuatu karena terakhir Mareno berkata Niko yang bertugas menjaga Audra dan Ayyara.
Tubuhnya dia geser hingga tangan Sabiya tidak bisa menggapainya. Oke, ini pertama kali dia lakukan hal itu. Jadi dia penasaran apa reaksi Sabiya. Dia diam sejenak memperhatikan. Setelah beberapa saat mata Sabiya membuka perlahan.
"Syad?"
Senyumnya mengembang lebar saat mata indah itu menatapnya masih mengantuk. "Aku ada perlu sebentar, kamu di sini dulu. Nanti aku bangunin lagi."
"Mau apa?"
"Cuma mau ke tempat Niko, ada yang harus aku cek."
"Kamu harus bilang ke aku kalau kamu mau 'kerja." Yang Sabiya maksud dengan 'kerja' adalah pergi ke misi berbahaya.
Kepalanya mengangguk. "Iya. Aku nggak kerja. Hanya periksa aja."
"Jangan lama-lama atau aku susulin ke tempat Niko."
"Boleh, asal pakai pakaian yang benar," sahutnya sambil beringsut mendekat dan mencium pipi dan bahu Sabiya perlahan.
Dia bangkit lalu berjalan dan meraih pakaiannya dari dalam tas bepergian. Seluruh isi dalam tas itu disiapkan oleh Sabiya, rapih sekali. Senyum mengembang lagi hanya karena melihat hal kecil begini. Setelah selesai mengenakan pakaian dia mencium kening Sabiya lagi lalu beranjak pergi.
"Syad, tiga puluh menit ya. Kita masih di atas laut dan rasanya aneh."
Rambut Sabiya yang bergelombang tergerai, tubuh istrinya itu yang hanya tertutup selimut saja, serta tatapan Sabiya yang kekanakkan seperti dulu, membuat dia hampir saja kembali naik ke atas tempat tidur.
"Iya. Tiga puluh menit."
Lalu dia menutup pintu dan melangkah menuju kamar Niko di lantai bawah. Pintu dia ketuk tiga kali dan tidak ada sahutan. Ponsel dia keluarkan dari saku lalu dia mulai menghubungi Niko.
"Nik, dimana?"
"Ruang keamanan," jawab Niko.
Kakinya melangkah lagi ke ruang yang disebutkan Niko tadi. Ada Emir dan Martin saat dia masuk. Niko sedang memeriksa sesuatu di layar laptopnya. Dia meminta Emir dan Martin keluar hingga hanya dia dan Niko saja di ruangan.
"Bang, Niko belum tidur semalaman. Dia kayak orang gila kerja. Tolong bilangin, Bang," bisik Martin sebelum keluar ruangan.
Mata Niko mendelik karena mendengar bisikan itu. "Martin, nggak usah ngadu-ngadu. Cepetan keluar."
Matanya memindai kondisi Niko. Martin benar, Niko gusar sekali. Wajah Niko juga terlihat sangat kelelahan.
"Nik, ada apa?" Dia duduk di salah satu bangku.
"Gue kehilangan jejak Janice. Emir dan Martin sudah lapor, kalau ada kapal lain yang berusaha meluncurkan senjata berat ke kapal ini. Tapi seluruh isi kapal sudah dihabisi. Dugaan gue itu ulah Janice."
Rahangnya mengeras. "Jodi Hartono dalangnya, dan bukan Janice yang membersihkan itu semua. Tapi Aryo Kusuma."
"Dan lo tahu dari?"
"Janice kirim pesan." Pesan Janice dia tunjukkan pada Niko.
"Syad, Janice nggak pernah memotong pesan. Ada yang nggak beres. Ponsel Janice nggak aktif."
Logikanya berputar cepat, berusaha menyambungkan pesan terpotong tadi dengan situasi yang ada saat ini. Lalu kepalanya menggeleng tidak percaya dengan kemungkinan yang ada.
"Kenapa?" tanya Niko khawatir.
"Janice bareng Aryo Kusuma."
"Gimana?"
"Ya entah bagaimana, sekarang Janice bersama Aryo Kusuma."
"Ngapain?"
"Gue nggak tahu mereka ngapain."
"Mereka nggak mungkin kejar Jodi barengan kan? Ini Aryo Kusuma, Syad. Kita harus beritahu Edward sebelum Edward tahu sendiri."
Dia bersumpah serapah kesal karena wajah usil Aryo sudah membayang di kepala sambil dengan cepat menghubungi manusia ajaib itu. Telponnya diangkat pada sambungan ketiga dering kelima.
"Syad, pagi banget sih jadi orang," sahut Aryo di sana.
"Mana Janice?"
"Aman. Katanya dia mau cuti sebentar," jawab Aryo ringan.
"Gue mau ngomong, kasih ponsel lo ke Janice."
"Dia nggak mau ngomong, Syad. Tapi mau cuti. Lo nggak bisa kasih dia cuti? Sadis banget jadi orang."
"Yo, gue nggak bercanda. Mana Janice?"
"Syad, gue akan pastikan Janice kembali utuh dan selamat. Sumpah gue nggak akan pernah jahatin Janice. Mending mati gue."
Tubuhnya sudah berdiri dengan satu tangan memijit dahi. "Jadi lo...." Hhrghhhhhh. "Apa lo culik Janice, Yo?"
Niko terkejut dan sudah berdiri, siaga. Tangannya sudah membuat gestur agar Niko tenang.
"Oke, oke. Gue kasih tahu, dan tolong bilangin juga ke Edward. Jangan panik, gue tanggung jawab. Kalau lo nggak percaya keamanan Janice, lo boleh tahan Dony. Jangan disiksa kasihan." Aryo berdehem sebelum melanjutkan. "Jadi gini, gue mau ke makam nyokap gue di luar kota. Lo boleh tanya sama Edward dimana itu makam posisinya. Kalian boleh panggil polisi tungguin gue di sana. Tangkap gue setelah perjalanan gue ini. Tapi gue akan tetap minta Janice pergi sama gue kalau Janice udah bangun...ups."
"What? Jadi Janice lo apain?"
Ekspresi Niko sudah benar-benar kesal.
"Gue nggak apa-apain, Syad. Tapi kalau nggak dibuat tidur, Janice nggak akan mau jalan bareng gue, dan gue nggak bisa jatuhin dia karena gue nggak mau pukul dia."
"Dasar gila, sakit jiwa. Lo balikin Janice sekarang!"
"Nggak mau, enak aja. Susah-susah gue beresin si kampret-kampretnya Jodi."
"You touch her..."
"Gue nggak akan ngapa-ngapain dia, lo nggak budek kan?" teriak Aryo di sana.
"Yo, Edward bakalan ngamuk berat."
"Syad, lo harus bantuin gue kali ini. Setelah itu gue akan bantu lo untuk satu misi bunuh diri. Nggak masalah. Atau Edward boleh kurung gue nanti."
"Lo suka Janice? Lo punya perasaan buat dia mangkanya lo berubah gila begini?"
Aryo diam terpaku sementara Niko terlihat terkejut sekali.
"Bukan urusan lo," jawab Aryo singkat.
"Bocah gilaaaaa..." Nafas dia hirup panjang. "Berapa hari?"
"Sepuluh..."
"Tiga," potongnya cepat.
"Delapan," timpal Aryo sama cepatnya.
"Dua."
"Kenapa lo turun terus?"
"Dua, oke?" tegasnya.
"Sepuluh dikurang dua itu delapan, Syad. Setelah itu gue antar Janice ke ADS dan gue siap dihukum."
Sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya.
"Gue minta Janice telpon lo besok kalau udah bangun. Thanks, Syad."
Hubungan disudahi. Dia menatap Niko yang bersedekap dan memijit dahi.
"Bagusnya, bukan Fayadisa lagi atau bisa perang beneran kita. Jeleknya, ini Janice. Apa yang terjadi saat kalian latihan bareng sih, Syad?" ujar Niko.
"Banyak. Edward yang coba kasih kesempatan kedua, dan Aryo seperti krisis identitas. Sikap Aryo berbeda di sana. Laki-laki itu memperlihatkan sisi dirinya yang lain dan gue nggak pernah lihat itu sebelumnya."
"Baik atau buruk?"
"Konyol, gila, cenderung ke arah yang lebih baik. Sekalipun Aryo adalah Aryo. Sikap serampangannya akan terus ada."
"Jadi lo sekarang temenan sama dia?"
"Bukan, saudaraan. Itu fakta yang nggak terbantahkan sayangnya. Menurut lo, apa gue juga nggak merasa aneh? Sama, Nik. Ini Aryo yang sudah tembak Sabiya dan bunuh banyak orang kita. Tapi melihat sisi lain Aryo, gue mulai percaya Edward ambil keputusan benar untuk kasih Aryo kesempatan kedua."
"Oke, gue nggak masalah lo dan Aryo saudaraan. Lagian itu udah jadi fakta juga. Tapi, berpikir bahwa Aryo adalah sekutu itu proses panjang, Syad."
"Ya, Nik. Setuju. Trust is to be gain, not given. I know. Tapi bahkan untuk mendapatkan kepercayaan, kita harus mulai kasih kesempatan kan? Atau tahu-nya darimana?"
"Ck...ah. Gue kesal karena lo benar." Niko diam sejenak. "Resikonya tinggi, Syad."
"Sepanjang gue hidup, Edward jarang banget salah perhitungan. Jadi gue yakin Edward sudah siapkan antisipasinya kalau Aryo tiba-tiba membelot."
Niko menghirup nafas lagi seperti terpaksa setuju. "Oke lah. Gue yakin Janice sangat mampu menjaga diri. Jadi kita tahan dulu soal Janice."
Dia mengangguk setuju.
"Soal Jodi Hartono..."
"Stop, Nik. Gue tahu Jodi akan datang pada akhirnya. Rencana sudah gue susun untuk antisipasi hal ini. Sekarang, gue pingin tahu lo kenapa? Apa benar lo belum tidur dari semalam?"
Ekspresi Niko berubah. Sahabatnya itu kembali duduk menekuri laptopnya. "Nggak perlu dibahas."
Dia duduk pada kursi lain.
"Nik, gue temen lo kan?"
"Basi lo. Menurut lo itu jurus ampuh untuk korek-korek gue?"
Sekalipun terlihat supel dan mudah bergaul, jarang sekali Niko mengumbar kehidupan pribadinya pada siapapun. Bahkan dia baru tahu tentang adik Niko, Nayarana belakangan ini saja. Sebelumnya dia tidak tahu dan percaya saja saat Niko menyebut Naya sebagai 'cewek'nya. Jadi kali ini dia juga tahu bahwa dia tidak akan bisa memaksa Niko bicara.
"Oke, jadi lo istirahat kalau begitu," timpalnya menyerah.
"I will. After this."
"Gue serius, Nik."
"Samaan, gue juga serius. Gue cuma nunggu ngantuk. Setelah itu gue tidur."
"Satu lagi, Nik. Apa lo tahu apa yang terjadi dengan Audra?"
"Maksudnya?"
"Apa Audra sedang dekat dengan seseorang selain Abimana?"
"Kenapa lo tanya gue, Syad?"
"Kemarin setelah lo tolong Audra dari Abi yang mabuk, Audra bareng lo. Mareno juga minta lo jaga Audra dan Ayyara waktu gue nggak ada. Jadi apa lo tahu sesuatu?"
"Gue nggak tahu," jawab Niko singkat.
Dia diam sejenak, berpikir. "Audra stress berat, Nik. Cewek itu nggak pernah mau menunjukkan perasaan dia sebenarnya."
"Sanggara Buana lagi diperiksa, wajar kan kalau Audra stress." Niko berhenti dan memperhatikannya.
"Ada yang lain yang dia pikirkan. Sanggara Buana sudah kayak anaknya sendiri, jadi Audra pasti bisa menemukan cara untuk menghindari hal buruk yang bisa terjadi. Kemampuan bisnis Audra bahkan di atas Arya Dirga, atau El Rafi. Mangkanya Sanggara Buana terus naik ke posisi puncak bahkan melebihi beberapa perusahaan punya Hartono. Sepupu gue itu luar biasa soal bisnis."
Dia diam lagi. "Tapi ada yang lain. Sorot mata Audra persis seperti dulu waktu dia terluka karena Evan. Bagaimanapun Audra cinta sama laki-laki bejat itu. Gue lihat Audra patah hati dulu...dan sekarang. Audra nggak pernah patah hati setelah Evan, Nik. Jadi ada sesuatu yang gue nggak tahu."
Tubuh Niko berdiri lalu sahabatnya itu mengeluarkan bungkus rokok. Niko jarang sekali merokok, kecuali jika sedang gusar.
"Mau kemana?" tanyanya sambil berdiri.
"Keluar. Cari angin."
"Istirahat, Nik." Tangannya ingin mengambil rokok Niko yang langsung mengelak.
"Sebentar aja. Lo balik duluan ke kamar, kasihan Sabiya."
"Nik, Naya beneran nggak apa-apa kan?" jika ada satu orang di dunia yang menjadi pusat perhatian Niko, hanya ada Nayara adiknya. Dia menduga Niko sedang gusar karena Nayara.
"Nggak apa-apa. Happy malah, baru dapat banyak bantuan di sana." Niko mulai berjalan ke luar ruangan dengan dia yang mengikuti.
Sudah berbelas tahun mereka bersahabat dan hampir tidak pernah berpisah. Jadi dia juga bisa merasakan seluruh aura Niko yang salah.
Pundak Niko dia tepuk. "Lo mau cuti?"
Niko terkekeh. "Gue nunggu kesibukan Naya reda di sana. Habis itu gue susul dia. Lo dulu sana cuti. Bulan madu sama Sabiya."
Mereka meniti tangga ke lantai atas. "Mungkin nanti setelah Mahendra dan Alexandra menikah. Sementara itu gue mau beresin sisa-sisa di sini."
Langkah mereka terhenti karena Sabiya sudah berada di koridor.
"Bi, kok di luar?" tanyanya heran sambil mendekat pada Sabiya dan merangkul bahu istrinya.
"Hai, Nik." Sabiya tersenyum pada Niko.
"Apa kabar, Bi? Kamu nggak apa-apa kan?"
"Aku baik, Nik. Kamu nggak tidur berapa hari?"
Dia terkekeh kali ini. "Lihat, Sabiya aja bisa tahu kalau lo lagi acak-acakan parah. Istirahat, Nik."
Niko hanya tersenyum konyol lalu mengangguk. Mereka berpisah di koridor dengan Niko yang melanjutkan langkah ke geladak utama. Dia berdiri mengawasi punggung Niko yang terlihat sepi.
***
Mareno menatap istrinya yang tertidur di dada. Satu tangannya memainkan rambut Antania yang panjang. Sikapnya lebih berhati-hati saat tahu Tania hamil. Dia tidak mau menjadi egois dan dengan tidak sengaja menyakiti Tania saat mereka menghabiskan malam bersama. Karena itu dia punya tambahan waktu yang sebelumnya dia pasti gunakan untuk merasakan Tania. Adiknya bilang, sex time change into thinking time. Pake otak lo mangkanya. Dasar jenius menyebalkan.
Bukan hal itu yang paling mengganggu. Tapi tentang Audra dan Niko Pratama, sahabat mereka. Semua dipicu dari apa yang dia lihat malam ini. Insiden Abimana dan Audra, lalu bagaimana Niko dan Audra berada di dalam kamar Niko lama. Lalu Audra keluar dengan tergesa. Dia melihat itu semua dari kejauhan tidak sengaja.
Kemudian dia mengingat lagi bahwa saat dia meminta Niko menjaga Audra di rumahnya, dia sempat beberapa kali mengecek sambungan CCTV. Tidak setiap hari, karena dia yakin Niko adalah penjaga terbaik. Tapi saat dia memeriksa, dia melihat interaksi antara Audra-Niko dan Ayyara yang begitu manis. Seperti saat dia melihat Arsyad-Sabiya dan Damar.
Dugaan lainnya lagi saat Audra sakit dan dia pergi ke rumah Audra untuk mengantar istrinya. Niko terlihat gusar sekali, atau bagaimana Audra terlihat marah. Jika dia pikir-pikir lagi, ekspresi marah Audra adalah seperti ekspresinya dulu saat dia tahu dia jatuh cinta pada Antania. Ya, egonya yang tinggi terusik dan marah saat tahu kenyataan itu. Dan jika ada wanita yang memiliki ego sama tinggi dengan miliknya, wanita itu adalah Audra Daud.
Satu tangan meraih ponsel di nakas lalu dia memeriksa pesan dari Audra beberapa minggu lalu saat mereka berhasil menangkap Wibowo dan Niko terluka karena menjaga Bung Toto.
Audra: Ren, aku sudah dengar soal Wibowo. Kamu baik-baik kan?
Setelah dia baca lagi, pesan pertama hanyalah pembuka saja. Pengalih dari pesan berikutnya.
Mareno: Baik, Aud. Nanti aku hubungi lagi.
Audra: Bagaimana Mahendra dan yang lainnya?
Dia sudah tersenyum saat ini. Sissy-nya pintar sekali menyembunyikan maksudnya. Kamu bukan mau tanya Mahendra kan, Aud?
Audra: Apa tim ADS turun dan ada yang terluka?
Audra menulis pesan lagi karena dia tidak sempat membalas pesan Audra sebelumnya. Kemudian senyumnya sendiri tambah lebar. Sejak kapan kamu peduli dengan anak ADS, Aud? Get to the point.
Audra: Bagaimana kondisi Niko? Apa dia baik-baik saja?
Kalimat ini adalah kalimat sebenarnya. Audra khawatir dengan kondisi Niko Pratama dan berusaha menutupi itu semua.
I got you, Sis. I got you.
Akhirnya otak lo bisa kepake juga, Reen. Sh*t, kenapa jadi ada Mahendra sih?
"Ren... baca pesan siapa? Kok senyum-senyum?" ujar Tania yang kepalanya sudah mendongak menatapnya heran.
Layar ponsel dia tunjukkan pada Tania. "Cewek lain tapi bukan pacar aku, Beiby. Audra, ada yang aneh dan aku hanya memastikan."
"Jangan suka usil sama sepupu sendiri."
"Abis aku nggak bisa usilin kamu. Atau bisa?"
Ponsel sudah dia letakkan di meja nakas lalu dia merengkuh tubuh Antania dalam pelukan hangat. Dia tidur tidak mengenakan apa-apa, sementara Tania mengenakan baju tidur satin yang dia suka. Oh salah, dia lebih suka Tania tidak mengenakan apa-apa sama dengannya.
"Bisa kan?" dia mulai mencium leher Tania. Menghirup harum tubuh istrinya yang selalu menjadi adiksi.
"Bisa apa?"
"Usilin kamu."
Tania terkekeh geli. "Ren, geli. Serius."
"Wangi kamu sedikit berubah dan aku tambah suka. Mungkin hormone karena kamu lagi hamil," bibirnya sudah turun ke dada.
"Mareno..."
"Beiby, dua ronde aja."
Tania menjitak kepalanya masih sambil terkekeh geli.
"Biar punya anak kembar sekalian. Gimana?" dia tidak mau berhenti.
Ada berjuta cara untuk mengubah kekehan Tania atau penolakan istrinya itu menjadi apa yang dia mau. Bahkan dibanyak kesempatan, Tania yang akhirnya memohon padanya agar tidak berhenti. Jadi malam menjelang pagi ini, dia akan mengubah pikiran Tania lagi. Ya, dia itu Mareno Daud, bukan sembarang laki-laki.
Norak lo, Ren.
Heh adek gila, keluar nggak dari pikiran gue.
***
Yang kangen sama Mahen-Lexa sabar dulu yah. Mereka nanti ada kok. Part-part berikutnya adalah perjalanan seru si Tuan Gadungan dan si Nona Galak.
Don't miss it and I'm serious.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro