Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2

Mereka berada di sedan mewah miliknya yang dikendarai Arsyad. Jalanan ibu kota siang itu tidak terlalu padat. Dia akan menyelesaikan ini cepat lalu kembali ke kantor untuk meeting penting.

"Kamu tahu dimana Evan?" tanya Arsyad.

Dia tertawa kecil. "Aku tidak tahu, tapi aku punya koneksi."

"Jadi kamu tahu segalanya." Kepala Arsyad mengangguk mengerti.

"Aku sudah lihat proposal rencanamu soal Ares Defense Service. Menarik, belum ada pemain kuat di negeri ini," sambungnya.

"Sekalipun ada, saya tidak masalah. Bersaing sehat lebih menarik," ujar Arsyad.

"Kenapa mesti bersaing. Aku bisa dengan mudah memastikan bahwa ADS adalah satu-satunya yang terkuat. Seperti Sanggara Buana."

"Cara-caramu terkadang terlalu sadis, Sis. Saya punya cara sendiri."

"Apapun itu, aku akan tetap mendukung di balik layar. Koneksimu sudah kuat?"

Arsyad terkekeh menatapnya. "Kamu meremehkan saya, Sis. Kalau saya hanya jago berkelahi, saya tidak akan mendirikan usaha."

"Good." Kepalanya mengangguk. "Mareno dan Mahendra akan kamu panggil pulang?"

"Ya, ketika sudah saatnya. Ayah masih bertugas di sana. Hanif juga akan meneruskan master degree di sana. Mungkin setelah semua selesai. Sementara ini kami atur dari jauh."

"Jadi kamu pulang hanya karena aku panggil?"

"Ya."

"Bohong, setelah ini kamu akan lari ke tempat Hanif. Ya kan?"

"Bertemu dengan adik sendiri apa salahnya?"

"Adik yang mana? Adik Hanif? Atau adik Sabiya?" dia meledek Arsyad yang setelah itu wajahnya kaku.

Jika dia tidak bisa berbohong pada Arsyad, maka Arsyad juga tidak bisa membohonginya. Arsyad memiliki perasaan khusus pada Sabiya. Dia melihat itu semua saat dia menghabiskan waktu bersama si empat saudara.

"Sepertinya kamu sudah kembali dan nggak perlu aku temani, Sis. Kamu bisa bantai Evan sendiri," sungut Arsyad kesal.

Dia tertawa lagi. "Ya, bisa. Tapi apa menariknya. Aku suka jika ada banyak penonton."

"Ingat, Od. Evan bagaimanapun adalah ayah dari Ayyara. Keluarganya baik. Jangan terlalu kejam."

"Dia harusnya berpikir sebelum naik ke atas tempat tidur perempuan lain, Syad. Aku hanya menuai apa yang dia tanam," ujarnya dingin.

Mereka sudah tiba di salah satu apartemen mewah di Jakarta. Arsyad dan dia turun di lobby dengan valley service yang sudah menunggu. Kemudian Arsyad tertawa.

"Kenapa?" tanyanya.

"Apartemen ini milik El Rafi. Ini bukan koneksi. Darusman sudah seperti keluarga." Mereka terus melangkah beriringan menuju lift ke lantai atas. Evan berada di penthouse dengan akses lift khusus yang dia sudah dapat.

Dia tertawa juga. "Evanku yang tersayang terkadang sangat naif. Dia lupa siapa istrinya, Syad. Dia belikan pelacurnya apartemen di tempat milik El Rafi, dia juga bekerja di salah satu maskapai milik keluarga Hadijaya. CEO nya adalah Admaja. I only need to pick up my phone and ruin his world as easy as he ruined mine."

"Ya, dia benar-benar bodoh. Atau naif. Carilah yang lebih pintar lain kali, Sis."

Tangannya memukul pundak Arsyad berkali-kali karena kesal digoda. Mereka sudah berada di dalam lift dengan akses khusus.

"Sorry-sorry. Iya, saya bercanda." Arsyad berusaha menahan pukulannya sambil tertawa. "Dia nggak curiga kalau kamu dan Ayyara pergi lama?" tanya Arsyad padanya.

"Dia sedang tergila-gila dengan Anya. Sepanjang mereka bisa mengabiskan banyak waktu di tempat tidur, sepanjang itu juga dia tidak akan tahu aku kemana. Atau semalam aku sama siapa."

"What? Kamu udah tidur lagi dengan lain? Ayolah, Sis. Kamu lebih baik dari itu."

"Ya, dengan Ayyara semalam," dia menyahut lalu melangkah keluar dari lift ketika pintu lift terbuka. Mereka langsung berada di dalam area apartemen Evan.

Pemandangan yang dia harapkan ada di sana. Ya, Evan sedang berpelukan mesra dengan Anya di ruang tengah dengan pakaian minim sekali. Sakit di dadanya menghantam cepat, sekalipun kali ini dia lebih siap. Karena dia sudah menjadi dirinya sendiri. Kepala dia angkat, dua tangannya bertepuk tangan, kemudian dia tersenyum lebar. Arsyad berdiri beberapa langkah di belakangnya.

"Room service?" ujarnya sinis.

Tubuh Evan yang terkejut berbalik sementara Anya berlindung di balik tubuh Evan.

"Audra?" wajah Evan pucat pasi.

Dia akan minta rekamannya pada El Rafi nanti.

"Halo, Sayang. Sedang sibuk?"

"Aud, aku bisa jelaskan..." Evan ingin melangkah maju.

"Maju satu langkah lagi, saya akan minta Arsyad melemparmu dan gundikmu ke luar jendela."

Langkah Evan berhenti. Ekspresi takut Evan tutupi dengan kemarahan. "Apa-apaan kamu, Sayang. Kamu pergi berlibur dan aku hanya merindukanmu. Jadi aku menyewa..."

"Evan? Aku bukan pelacur!!" jerit Anya.

Dia tertawa. "Drama, drama, drama...kalian bisa bertengkar lagi nanti. Saya tidak perduli."

"Sis, selesaikan cepat," bisik Arsyad padanya.

Dokumen yang dia genggam dia lempar ke tubuh Evan. "Tanda tangan."

"Tidak akan," Evan menatapnya marah.

"Oke. Jangan tanda tangan. Saya akan pastikan hidupmu seperti neraka, selama-lamanya."

"Kamu tidak akan tega!!" teriak Evan.

"Kita lihat saja, Sayang. Kita lihat saja."

Tubuhnya berbalik lalu melangkah pergi. "Dasar parasit," desisnya.

"Audra, aku tidak bermaksud begini. Sungguh. Pikirkan Ayyara. Atau mamaku yang kondisinya...."

Arsyad menahan Evan yang ingin menyusulnya. Kemudian Evan yang panik dan tidak terima langsung mendorong tubuh Arsyad. Lagi-lagi Evan bodoh karena tidak tahu siapa Arsyad. Dengan mudah Arsyad menggeser tubuhnya ringan ke samping hingga Evan mendorong angin dan tubuh Evan jatuh sendiri ke lantai. Sementara dia dan Arsyad sudah masuk ke dalam lift berdiri sambil menatap Evan yang terpuruk di lantai. Pintu lift sudah tertutup dengan dia yang tersenyum puas.

Ini baru permulaan saja.

***

Berita perceraiannya sudah menjadi headline utama. Dengan fakta yang ditambah-tambahkan, juga cerita yang dibesar-besarkan. Dia meminta Lisa membocorkan informasi tentang Anya pada media. Social punishment adalah hukuman terbaik bagi keduanya.

Evan dan Anya mengurung diri entah dimana, dia tidak perduli. Bukan itu yang membuat dia sakit hati, tapi pertanyaan Ayyara padanya setiap malam.

"Papa mana, Ma?"

Usia Ayyara baru tiga tahun. Gadis kecilnya itu pintar sekali dan benar-benar ceriwis dan lucu. Setiap kali Ayyara bertanya, hatinya seperti dihujam sembilu. Saat ini dia hanya bisa berkata bahwa Evan sedang bekerja. Menerbangkan pesawat di atas sana. Nanti jika Ayyara sudah besar, dia akan bercerita apa adanya.

"Bu, telpon dari Bapak Admaja," Lisa sudah berdiri di pintu.

Kepalanya mengangguk. "Saya akan terima dari sini."

"Halo, Maja."

"Audra, ya Tuhan. Apa berita itu benar?" tanya Maja tanpa basa-basi.

"Ya."

Hening sejenak.

"Lalu?" tanya Admaja lagi. "Kamu ingin saya melakukan sesuatu?"

Dia tertawa kecil. "Apa yang kamu butuhkan, Maja? Sebagai gantinya."

Maja juga tertawa. "Saya akan mulai merambah ke ekspor-import. Demand sedang tinggi, pasar menjanjikan. Kontrak dengan Sanggara Buana akan sangat membantu menarik klien yang lain."

"Kenapa? Bisnismu sedang sepi?"

"Bosan, Aud. Saya ingin lebih besar lagi. Straussman akan mendukung saya."

"Dasar keponakan manja. Bagus kamu punya paman kaya raya. Straussman dan Hadijaya. Perpaduan yang meyakinkan," dia terkekeh kecil. Paham benar Robert Straussman yang menikah dengan bibi dari Admaja, Winda Hadijaya adalah bukan orang sembarangan.

"Hey, kesempatan ada untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kita pebisnis, Aud."

"Setuju. Kirim proposalmu hari ini. Kami akan pelajari."

"Saya pikir saya dapat jalur cepat."

"Saya hanya ingin memastikan bahwa Sanggara Buana mendapatkan yang terbaik. Ini bisnis, Maja. Bukan charity."

"Saya selalu suka padamu perihal ini." Nafas Admaja hirup dalam. "Oke. Saya kirimkan siang ini. Jadi, apa yang kamu mau Aud?"

"Blacklist. Jangan biarkan dia bekerja. Hingga dia menjual seluruh asset yang dia punya. Satu tahun mungkin? Tergantung sudah sebangkrut apa dia. Setelah itu, kembalikan dia ke maskapai kecil saja."

"Mudah."

"Saya akan mengabarimu kapan Evan boleh bekerja lagi. Ketika sudah boleh, saya yang akan mengatur posisi dan berapa gaji yang akan ditawarkan ke Evan. Hanya atas persetujuan saya, Maja. Ingat itu."

"Oke. Bagaimana dengan si perempuan?"

"Jangan biarkan dia bekerja, dimanapun. Selamanya," desisnya cepat.

"Kenapa Evan masih boleh bekerja kalau perempuannya tidak? Saya hanya penasaran."

"Saya hanya bilang boleh bekerja, Maja. Dia bisa saya tempatkan untuk mengelap sepatumu sampai bersih seumur hidupnya, kalau kamu mau. Apa kamu mau?" Dia tertawa. "Lagian, untuk hidup di neraka dunia dia butuh sedikit uang. Sedikit saja."

Admaja tertawa. "The Great Audra Daud mengamuk. Ini terdengar sangat Audra."

"Biar yang lain tahu, dengan siapa mereka berurusan."

"Oke. Consider it done. Saya tunggu kabar soal proposal saya." Maja memberi jeda. "It's a pleasure to have a business with you, Audra."

"Always."

Hubungan dia sudahi. Kemudian dia mengangkat ponsel lagi.

"Siang, Abi."

"Audra Daud, ada apa sampai-sampai aku mendapat telpon darimu." Abimana meledek di sana.

"Hanya urusan kecil."

"Yaa, aku sudah dengar. Oke. Katakan apapun aku akan bantu."

"Syaratnya?"

"Makan malam denganku. Itu saja," jawab Abi.

Dia tertawa. "Di rumahku. Bukan di tempat lain."

Abimana tertawa lagi. "Pintar. Jam berapa anakmu sudah tidur?"

"Abiii..."

"Aku bercanda, Aud. Serius. Oke oke. Tapi jangan di rumahmu ya. Aku dengar restaurant keluarga Daud baru dibuka. Kita makan di sana."

"Ah, aku tahu kamu mau mulai mencuri ilmu tentang permainan saham? Iya kan?" tebaknya.

"Ayolah, Aud. Beri aku sedikit informasi. Aku selalu kalah dengan Jodi. Dia lihai."

"Jodi itu beruntung, bukan lihai. Kamu ingin kalahkan Jodi?" tanyanya tertarik.

"Satu satunya manusia yang bisa mengalahkan Jodi adalah kamu. Jadi beri sedikit tips dan triknya, oke."

"Oke. Hanya sedikit."

Abimana tertawa kecil. "Jadi, apa yang kamu butuhkan, Aud?"

"Seluruh laporan asset dan perbankan mantan suamiku."

"Kamu ingin pindahkan uangnya juga? Itu bisa diatur."

Dia terkekeh geli. "Aku tidak butuh uangnya, Abi."

"Ya, siapa tahu untuk beli sendal jepit baru," Abi tertawa lagi. "Oke, laporannya akan rutin dikirim setiap bulan melalui email, mulai hari ini."

"Good."

"I'll pick you up at 6, oke?"

"Okey. See you."

Tubuhnya berdiri menatap ke arah jendela di luar sana. Dua tangannya bersedekap sambil masih menggenggam ponsel. Dia akan memulai lembaran baru dengan Ayyara. Dia juga bersumpah tidak akan ada satu manusia pun lagi yang bisa menipunya begitu saja. Tidak akan lagi.

***

Niko Pratama menatap perempuan itu dari kejauhan. Arsyad memintanya untuk menjaga dan mengawasi sepupunya yang sedang memiliki masalah. Pemberitaan tentang perceraian Audra Daud yang benar benar membuat heboh dunia media. Tugasnya hanya untuk mengawasi saja, jika mantan suami Audra akan berbuat nekat atau mengancam Audra, dia akan segera menghubungi Arsyad atau turun tangan sendiri tergantung situasi. Sementara Arsyad sedang memeriksa Sabiya di sini.

Kesan pertama yang ditampilkan Audra adalah angkuh, dingin, dan kaku. Aura dominasi yang kuat juga sangat terasa. Persis seperti Arsyad tapi kali ini wanita. Dia sendiri tidak pernah percaya pada kesan pertama. Ya, bagaimana bisa kita menilai dengan baik seseorang hanya dengan satu kali pertemuan. Itu bullsh*t. Mungkin Audra juga berbeda. Tidak sedingin dan sekaku yang dia perlihatkan pada media. Mungkin wanita itu bisa tertawa, dan bercanda. Karena Arsyad pun bisa tertawa lepas ketika mereka sudah lama bekerja bersama.

Dahinya mengernyit heran, ketika Audra keluar dari kantor Sanggara Buana sore ini dengan tudung yang menutupi kepala dan kacamata hitam melalui jalan belakang. Wanita itu bahkan menyetir sendiri sedan hitam mewahnya. Dia mengikuti dengan motor dari belakang, menjaga jarak aman. Sudah siap untuk menghubungi Arsyad jika saja sepupu Arsyad ini ingin melakukan sesuatu yang bodoh. Tapi, mobil itu terus melaju menuju arah jalur luar kota. Audra berhenti sejenak untuk membeli makanan cepat saji, lalu kembali berkendara lagi. Dia makin penasaran saat mobil Audra mulai masuk ke jalanan yang lebih sepi dan menanjak ke atas.

Lampu dan mesin motor dia matikan saat mobil itu berhenti di sebuah bukit. Tebakannya, Audra ingin sendiri, dan ini adalah tempat untuk menyendirinya. Bukit sepi dengan pemandangan kota yang indah. Wanita itu keluar dari mobil, membuka syal pada rambutnya yang langsung tergerai indah. Dia bahkan bisa mencium wangi tubuh Audra lamat-lamat. Duduk di atas kap mobil memandang ke arah langit di luar sana. Kemudian menangis dalam diamnya. Audra terlihat rapuh tapi cantik sekali. Sangat berbeda dengan kesan kuat yang mendominasi sebelumnya.

Masih duduk di atas motor, dia melepas helm. Lalu diam menatap indahnya ciptaan sang Pencipta. Menikmati wangi samar dari tubuh Audra, juga lekuk wajah wanita itu yang membingkai sempurna, atau kilauan air mata yang jatuh satu-satu dari pipinya. Dia terus di sana, terpenjara dengan pesona Audra.

***

Cast? Seperti biasa kalau nggak cocok, bayangin sendiri ya.

Halo Bung Niko

Tokoh yang ini nggak usah dijelasin siapa ya. Pokoknya dia itu cameo paling terkenal seantero Daud. Muncul dari cerita El Rafi, dan setia nemenin terus sampai cerita Abang besar selesai.

Audra Anayla Daud

Kakak sepupu dari semua Daud bersaudara. Karena memang dia anak dari Ardiyanto Daud. Angkuh, dingin, atau katanya begitu. Salah satu pebisnis handal yang bahkan kemampuannya diakui sejagad Daud. Penggerak Sanggara Buana dan ahli waris tunggal dari Ardiyanto Daud.

Naah...Aryo dan Janice belakangan yaa. Pas mereka udah muncul nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro