Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 18

Beberapa waktu kemudian. Barak sementara. ADS.

Niko memandang hamparan tenda-tenda di halaman luas ADS. Tempat sementara seluruh anggota ADS bekerja sementara ADS sedang mulai dibangun lagi. Arsyad tidak meninggalkan mereka. Sahabatnya itu selamat. Itu gila, tapi itu fakta. Saat pertama dia berjumpa lagi dengan manusia ajaib itu, dia tidak bisa membendung air mata. Mereka berpelukan kuat, seolah mengerti bahwa mereka sangat membutuhkan satu sama lainnya. Kemudian Arsyad berterimakasih karena dia menepati janji untuk menjaga keluarganya.

ADS mulai dibangun dari awal. Satu sayap yang tidak rusak parah akan dipertahankan dengan beberapa perubahan. Mahendra si jenius gila itu benar-benar bersemangat karena sudah sejak lama Mahendra memiliki ide-ide baru untuk perbaikan bangunan ADS, namun belum bisa melaksanakannya. Seluruh tim ADS yang sebelumnya terpecah-pecah dipanggil pulang. Barak-barak sementara didirikan agar mereka lebih mudah berkordinasi. Klien-klien lama mereka mulai menghubungi setelah berita Arsyad yang hidup lagi sudah tersebar. Semua kembali seperti sedia kala, termasuk hubungannya dengan Audra yang kembali ke titik nol.

Hubungan? Mimpi lo, Nik. Kalian nggak punya hubungan apa-apa.

Seluruh kasus yang bergulir tentang dokumen bukti dari Herman, ditangkapnya Darius dan Wibowo dan meninggalnya Roy Hartono, membuat Sanggara Buana sedang dalam pemeriksaan ketat. Auditor yang jumlahnya banyak berdatangan, masuk ke dalam kantor Audra, mengambil seluruh data, membongkar seluruh dokumen fisik. Nilai saham Sanggara Buana turun beberapa poin, dan wanita itu terlihat tegar sekali. Kepalanya diangkat tinggi dengan mata yang tidak menyiratkan rasa takut sama sekali. Padahal dia tahu saat Audra tiba di rumah, ekspresinya akan berganti menjadi sedih dan terluka. Sanggara Buana sudah mendarah daging untuk Audra. Wanita itu mencintai perusahaan yang sudah dia urus sejak dia berusia dua puluh dua.

Belum lagi persidangan Evan yang belum selesai, juga...perjodohan Audra dengan Abimana Tanadi. Berita belum tersiar luas, tapi beberapa kali Audra dan Abimana terlihat bersama. Karena seluruh sorotan kasus Sanggara Buana membuat Audra selalu diikuti pencari berita. Beberapa media bahkan juga memprediksi bahwa dalam beberapa minggu keluarga Tanadi akan segera melamar resmi.

Saya akan menikah dengan Audra, Nik. Saya suka dia sekalipun dia nggak ketebak. Tapi ini adalah perjodohan yang bagus. Business in combine with pleasure, nggak ada yang lebih bagus dari itu.

Kamu tahu? Sebentar lagi Sanggara Buana akan diperiksa. Karena kasus paman Herman yang tersayang. Saat itu terjadi, Audra membutuhkan saya.

Dia benci untuk mengetahui bahwa Abimana Tanadi benar. Audra membutuhkan Abimana untuk menyelamatkan Sanggara Buana. Wanita itu akan melakukan apa saja. Nafas dia hela berkali-kali karena dia belum bisa menghilangkan seluruh kenangan kebersamaan mereka yang singkat. Bagaimana Audra memaki, menghinanya, namun kemudian menyesal dan meminta maaf. Atau wajah Audra yang tersenyum lebar, tertawa, bernyanyi dan menggoyangkan tubuhnya bersama Ayyara. Juga, malam itu di bioskop.

Stop, Nik. Stop.

Ponselnya berbunyi. Arsyad.

"Yes?"

"Assalamualaikkum, Nik. Bukan yes," protes Arsyad.

Dia tertawa kecil. "Wa'alaikum salam. Kenapa?"

"Lo datang malam ini kan? Acara pertunangan Mahendra dan Alexa di kapal pesiar milik..."

"Hadijaya. Iya udah tahu. Hah, Syad. Gue sudah bukan cowok pesta. Gue pass aja."

"Lo datang, ajak anak-anak ADS yang lagi nggak tugas. Ini perintah."

"Hey, sejak kapan lo jadi tukang perintah."

"Gue serius, Nik. Ada yang aneh dengan Jodi Hartono. Firasat gue bilang begitu. Jadi kita harus ketemu malam ini."

"Loh, jadi kerja di sana? Masih inget mantan hobi lo itu?" ledeknya.

"Sial, Nik. Gue cuma off empat hari kalian ribut banget."

"Empat ditambah tiga puluh nantinya. Bulan madu sana. Kan dulu belum sempat."

Arsyad terkekeh kecil. "Tolong pastikan kedatangan Ayah dan Mama, Nik. Juga keluarga Audra. Ada helipad di bagian atas pesiar. Jadi gunakan heli saja."

Nafas dia hirup lagi. "Gue akan pastikan kalian semua berpesta, setelah itu gue balik lagi ke ADS. Ada urusan sama Ram."

"Nik, ayolah. Istirahat dulu. Martin bilang lo nggak ambil libur sama sekali setelah insiden di ADS. Naya masih di luar?"

"Masih." Dia diam sejenak. "Mungkin gue akan ambil cuti. Gue kangen Naya."

"Silahkan, Nik. Tapi jangan barengan sama Ram." Arsyad memberi jeda. "Ram dan Naya..."

"Stop, oke. Jangan bikin gue kesal."

Kali ini Arsyad tertawa kecil. "Nik, gue tanya sama lo. Kalau ada manusia yang lo percaya selain gue, itu siapa?"

"Gue nggak percaya sama lo. Dasar tukang boong. Mana boongnya pura-pura mati lagi. Bikin susah aja," candanya mengalihkan pembicaraan.

"Hey, itu situasi dan kondisinya, Nik. Tapi Ram..."

"Syad, gue tanya sama lo. Kalau lo punya adik perempuan, apa lo mau adik lo pacaran sama gue?"

"Hmmm...gue nggak punya adik perempuan. Oh, misal Audra. Audra yang pacaran sama lo. Sekalipun itu akan aneh banget, tapi mungkin aja...mungkin aja, gue akan setuju. You're a good guy, and it will be easy for me to kill you later if you hurt her," balas Arsyad sambil terkekeh kecil.

Kalimat Arsyad tepat sekali pada sasaran. Jadi alih-alih tertawa, dia diam. Bungkam seribu bahasa.

"Pokoknya lo dateng, Nik. Gue nggak akan kasih cuti kalau lo nggak dateng."

Dia mendengkus kecil. "Gue nggak butuh approval lo. Bilangin sama Mahendra cepetan nikah. Keburu Alexa hamil duluan."

"See you tonight, Nik," tutup Arsyad sambil tertawa kecil.

***

Sore hari.

Mobil-mobil keluarga Daud baru saja tiba. Dia berdiri menyambut empat sedan mewah itu. Satu berisi Ibrahim Daud dan Trisa. Satu Ardiyanto Daud dan Sofia. Kemudian Audra Daud dan Ayyara. Lalu Arsyad, Sabiya dan Damar. Adik-adik Arsyad sudah berangkat lebih dulu.

Arsyad turun dan membukakan pintu untuk Sabiya. Dia dan tim sudah bersiap dan selesai melakukan seluruh pemeriksaan. Segalanya aman terkendali, kecuali jantungnya yang saat ini terasa tidak menentu melihat Audra yang turun dari sedan hitam bersama Ayyara.

"Om Nikooo..." Ayyara berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.

Dia berlutut agar mata mereka sejajar. "Halo, wonder woman." Dua tangannya sudah melingkar dan memeluk punggung Ayyara perlahan.

"Aku nggak suka wonder woman karena dia sendirian kalau beraksi. Kita itu Fantastic Four. Apa Om lupa?" pelukan Ayyara makin kuat.

Ardiyanto sedang dibantu oleh Martin untuk duduk di kursi roda. Sofia dan Trisa menatap dia yang berpelukan dengan Ayyara sambil tersenyum. Sementara Audra bersikap datar dan dingin seperti biasa, dengan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya.

"Aku kangen Om. Kenapa Om nggak pernah jemput aku lagi di sekolah?"

"Maaf, Om benar-benar sibuk," jawabnya sambil melepaskan pelukan Ayyara perlahan. "Lihat...rumah Om sedang dibangun. Jadi Om harus awasi." Tangannya menunjuk ke area konstruksi ADS sambil berdiri.

"Ayyara akan tunggu, Om. Sampai Om nggak sibuk lagi." Kemudian gadis kecil itu sudah berjinjit untuk berbisik di telinganya. "Jadi kita bisa masak Indomie, dan nonton bioskop lagi. Mama sedih banget setiap hari." Tangan Ayyara makin menangkup di telinganya. "Kayaknya Mama kangen Om."

"Yara..." Audra sudah memanggil Ayyara yang kemudian melangkah menjauhinya sambil menatap penuh arti.

"Halo, Niko. Saya belum sempat beterimakasih karena selama ini sudah menjaga Audra dan Ayyara," Sofia sudah berdiri berhadapan dengannya.

"Oh, itu tugas saya. Jangan dilebih-lebihkan, Tante."

Wajah Ardiyanto sama datar dan dinginnya seperti Audra. Memindainya dengan teliti. Nafas dia hirup panjang. "Apa kabar, Om?"

"Baik," sahut Ardiyanto singkat.

Kemudian Trisa Daud melangkah mendekat dan memberinya pelukan singkat. "Niko, kenapa sekarang kamu nggak pernah menemani Mama belanja? Apa Arsyad membuatmu sibuk sekali?"

Dia membalas pelukan Trisa. Trisa Daud adalah sosok yang sangat hangat dan ramah. Dulu dia sering sekali menjaga wanita hebat ini dengan senang hati.

"Jangan terus bekerja, Nik. Lihat, Arsyad sudah punya Sabiya. Anak-anak Mama sudah punya pasangan masing-masing..."

"Sisa anak kita yang ini, Sayang," ujar Ibrahim sambil menjabat tangannya kuat lalu merangkul Trisa. Sejak dulu Ibrahim dan Trisa memang sudah menganggapnya seperti keluarga mereka. Karena kedekatannya dengan Arsyad. "Ayo, Nik. Kapan menyusul?" lanjut Ibrahim.

"Mama dan Ayah, jangan ganggu Niko." Arsyad merangkul tubuhnya. "Dia spesies langka. Satu-satunya yang womanproof sampai sekarang."

"Womanproof?" Trisa tertawa sambil menggelengkan kepala.

Mereka mulai berjalan ke landasan heli. Sudah ada dua heli yang siap mengantarkan mereka.

***

Kapal Pesiar. Malam.

Dia berada di ruang keamanan dalam kapal pesiar bersama tiga orang penjaga saat Janice melangkah masuk.

"Hai, Nik."

"Jen. Apa kabar?"

"Baik." Janice berdiri menatap layar-layar CCTV yang sedari tadi dia cermati.

"Saya masih kesal soal kamu yang menutupi keberadaan Arsyad dan Aryo. Oke, Arsyad saya gembira, tapi Aryo Kusuma? Apa Edward punya pertimbangan sesuatu yang saya nggak tahu?" pertanyaan yang sudah menggantung berhari-hari ke luar juga.

Janice menghirup nafas panjang. "Metode ayah saya selalu berbeda. Itu penjelasan singkatnya. Tapi Aryo juga sudah pergi..."

"Kembali ke kawanannya. Ya, itu juga yang saya dengar." Dia memberi jeda. "Saya harap tidak ada kekacauan lagi."

"Hey, kalau tidak ada kekacauan, ADS tidak akan ada pemasukkan," sahut Janice dengan mata yang masih memindai seluruh layar CCTV.

Dia terkekeh, merasa sedikit heran karena menurutnya jumlah kalimat Janice bertambah. Kepalanya menoleh menatap wanita unik ini yang sedang mengerutkan dahi.

"Nik, apa kamu sudah periksa jadwal pelayaran kapal lain di area ini?"

Refleks tubuhnya mendekat ke monitor yang menunjukkan titik-titik kapal yang lain di sekitar kapal mereka.

"Sudah. Nggak ada kapal besar lain. Mungkin ini kapal kecil yang mendadak melaut. Saya akan minta tim ADS untuk siapkan drone pengintai."

"I hate surprise. Biar saya yang cek. Hanya ada dua lagian."

"Saya akan minta Martin dan Emir ikut denganmu."

Janice menatapnya kesal. "Terimakasih, tapi tidak perlu. Kamu jaga di sini, Nik. Saya akan menghubungi kamu jika ada yang aneh."

"Jen, bahaya kalau ternyata isi kapal itu musuh semua."

"Malam, Nik," ujar Janice berlalu dari situ.

"Paling enggak nyalakan sinyalmu, Jen," sahutnya cepat sebelum pintu tertutup.

Nafas dia hela. Janice adalah wanita yang paling keras kepala diantara semua wanita yang dia kenal. Bahkan jika dibandingkan dengan Antania, atau Naya adiknya. Matanya kembali menatap CCTV. Bertepatan dengan sosok Audra yang mellintas menuju dek kapal. Frekuensi detak pada jantungnya meningkat tajam. Tatapannya terpaku pada sosok itu yang malam ini terlihat cantik sekali. Dengan gaun navy blue selutut yang membalut tubuh, perhiasan yang simple namun elegan, juga heels dan sikap sempurna. Kepala dia alihkan lalu dia berjalan keluar ruangan setelah berpesan pada para penjaga agar tetap waspada.

Ponselnya berbunyi saat dia berjalan di lorong.

"Nik, dimana?" suara Arsyad di sana.

"Hey, Tuan Besar. Pesta belum selesai, dilarang diskusi pekerjaan."

"Gue nggak lihat Janice. Kemana dia?"

"Syad, Janice udah gede. Cewek itu bisa jaga dirinya sendiri."

"Firasat gue nggak bagus, Nik. Dan ide perayaan di kapal pesiar begini benar-benar memiliki resiko tinggi. Seluruh keluarga Daud di sini. Juga sebagian tim ADS. Siapapun yang mau mengacau akan menang banyak karena kita semua berada di tempat yang sama."

Nafas dia hirup perlahan. Arsyad benar. "Gue cek Janice oke?"

"Tolong periksa Janice dan cepat ke sini, Nik. Kita semua ada di geladak utama."

"Oke."

Dia enggan menuju pusat pesta. Karena tahu siapa yang akan ada di sana. Audra, dan Abimana. Sial. Kemudian dia menghubungi Janice.

"Gimana?"

"Satu kapal boat milik anak-anak remaja kaya yang ingin pamer pada pacarnya. Satu lagi saya periksa setelah ini."

"Jangan jalan sendiri..."

Hubungan sudah diputus. Dia menggeram kesal lalu menghubungi Martin dan Emir untuk menyusul Janice. Langkahnya melambat saat mulai mendekati geladak. Hal ini tidak akan sulit jika dia dan Audra saling tidak mengenal seperti dulu. Hanya tinggal melangkah ke sana dan menyapa semua orang yang dia kenal. Sekarang, tidak akan pernah sama lagi. Karena dadanya sudah berdentum nyeri. Paham benar apa yang akan dia lihat akan menyakiti dirinya nanti.

Kenapa lo jadi cengeng, Nik.

Arsyad, Mareno dan Hanif sudah menyambutnya. Sementara Mahendra dan Alexa masih sibuk dengan tamu lain, dan para istri sedang berbincang dengan Trisa Daud.

"Nikoooo, my maaan." Mareno tertawa melihatnya. "Lo kemana aja sih, Nik? Berduaan mulu sama Janice."

"Ck, Janice bukan tipe gue. Kaku, nggak keibuan sama sekali," candanya.

"Janice cantik untuk laki-laki yang lain," ujar Arsyad singkat dan itu membuat semua menoleh.

"Bang?" Hanif menatap Arsyad heran.

"Hey, hey. I'm just saying. Mungkin ada orang lain yang menganggap dia cantik," jelas Arsyad.

"Tapi galak, terlalu galak dan kaku Bang. Sama kayak sepupu kita yang baru ketemu jodoh," sahut Mareno sambil menoleh kepada Audra yang sedang berdiri dekat dengan Abimana.

Dua tangan yang terkepal dia masukkan ke saku celana.

"Ren, kita harus cari cara untuk melindungi Sanggara Buana," tatapan Arsyad berubah serius.

"Ya ampun, kerjaan lagi. Bang, lo harus tenang sedikit. Menurut lo, gue dan Mahendra dari minggu lalu ngapain? Sanggara Buana itu bisnis utama yang menyokong keluarga kita. Kalau perusahaan itu kenapa-napa, bisa-bisa gue nggak punya duit buat ganti mobil."

Hanif langsung menjitak kepala Mareno kuat.

"Auww!! Apaan sih, Nif."

"Gue pikir lo mau komentar benar," kepala Hanif menggeleng tidak percaya.

"Hey, gue kalau kerja dan di ranjang itu serius. Tapi di tengah pesta, gue akan berpesta dengan sama seriusnya. Jadi santai dulu, Bang. Sabiya dihamilin dulu, kan Faya dan bini gue udah."

"Kenapa lo bawa-bawa hamil segala?" sahut Arsyad heran.

"Ya masa gue bilang ke Mahendra suruh hamilin Alexandra. Nanti lo tambah kesal." Mareno menggeser tubuhnya menghindar saat Hanif ingin menjitaknya lagi. "Fayaa...Faaa. Hanif nih, Faa."

Mau tidak mau dia tersenyum juga melihat tingkah Mareno dan Hanif. Sudah lama mereka tidak berada di situasi normal dan rileks saja. Jadi sekalipun dia gusar, senyumnya tetap mengembang. Hanif dan Mareno berjalan menyusul istri mereka saat Arsyad menepuk pundaknya.

"Nik, ada apa?" tanya Arsyad.

"Nggak ada."

"Nggak mungkin. Biasanya kalau Mareno sudah bertingkah, lo dan dia akan sahut-sahutan. Malam ini sikap lo terlalu diam. Naya baik kan di sana?"

"Syad, gue nggak apa-apa serius." Dia menepuk pundak Arsyad. "Sabiya sehat kan?" Mata mereka menatap Sabiya yang sedang mengobrol dengan Bayu Tielman.

"Sabiya luar biasa. Maksudnya...setelah gue nggak ada, menghilang, ninggalin dia yang hampir gila, dia bisa berdiri lagi."

"Dia cinta banget sama lo, Syad."

"Nik, gue masih ngerasa bersalah soal itu."

"Syad, sumpah gue nggak mau ngomong sama lo lagi kalau lo terus ungkit itu. Yes I had a crush, tapi itu udah berabad lalu. Jangan mulai menyebalkan, Syad."

Arsyad terkekeh kecil. "Oke, oke." Mata Arsyad menatap ke sekeliling lagi. "Ada banyak wanita di sini, Nik. Kebanyakan saudara gue. Tapi ada beberapa teman Alexandra juga. Beneran nggak ada yang lo suka?"

Dengan cepat dia mendorong tubuh Arsyad sambil tersenyum kesal sekali. Kemudian dia pasang kuda-kuda. "Bercanda lo kebangetan, Syad. Baru tadi lo bilang sama mama dan ayah biar nggak gangguin gue soal jodoh. Sekarang elo malahan yang ngomong."

Arsyad juga memasang kuda-kuda sambil tertawa. "Kita udah lama nggak fighting combat, Nik. Mau di sini?"

"Oh, you will lose in 3 moves, Brother."

"Why three? I will knock you down in one move."

Hanif, Mareno dan Mahendra sudah berada di seputar mereka. Juga beberapa tim ADS. Tertawa seru dan menyemangati. Kemudian belum sempat melakukan apapun, Sabiya dan Alexa datang.

"Arsyad, Niko. Please behave," Sabiya menatap mereka bergantian.

"Aku nggak suka perkelahian. Kalian nggak bisa berdansa aja apa? Ini pesta pertunanganku," Alexa mencebik kesal.

Tubuh mereka sudah berdiri normal sambil tertawa kecil. "Ini bercanda, Lexa."

"Lexa, biarin aja. Niko dan Arsyad malah aneh kalau berdansa. Mendingan lihat mereka berantem," timpal Mareno.

"Mahen..." ekspresi memelas Alexa sudah di sana.

"Udah-udah-udah bubar-bubar. Bikin pesta gue berantakan aja."

Setelah itu Mareno dan Mahendra mulai sahut-sahutan sementara Arsyad sudah berdiri merangkul Sabiya sambil tersenyum lebar. Mendengarkan para adiknya meledek dan bertengkar.

Dia memisahkan diri karena memang pikirannya tidak di sana. Mengobrol dengan beberapa tim ADS namun sudut matanya terus mengawasi Audra. Kemudian dia melihat Abimana menggandeng Audra pergi dari situ. Apa yang dia akan lakukan? Menyusul? Atas dasar apa? Audra bahkan sudah tidak mau bicara padanya. Ya, karena terakhir dulu dia menyakiti Audra.

Tidak cukup itu semua, bayangan Abimana yang memeluk dan mencium Audra saat di dapur dulu mengirimkan seluruh sinyal nyeri. Dadanya sakit sekali. Sayang, saat hati dan pikiran sudah penuh dengan satu hal, maka logika sulit sekali digunakan. Itu yang terjadi padanya sekarang karena dia sudah melangkah mengikuti Audra dan Abimana.

Mereka berjalan di lorong sambil mengobrol. Intonasi suara Audra dingin sekali, terus berusaha menolak Abi. Abimana adalah tipe laki-laki yang tidak kuat minum alkohol, hingga mudah sekali mabuk. Ketika hal itu terjadi, sikap Abimana bisa sangat memaksa dan berubah buruk. Tubuh dia sembunyikan dengan baik ketika mereka berbelok menuju kamar Audra.

Kemudian pemandangan yang dia benci ada di sana. Abimana yang mencium bibir Audra perlahan. Rahangnya mengeras seketika. Tangan di dalam saku celana mengepal lebih kuat, tapi pandangannya terpaku. Menatap wanita yang dia suka berciuman dengan calon tunangannya. Mungkin setelah itu mereka akan tidur bersama. Abimana akan menyentuh Audra sedemikan rupa.

Pergi, Nik. Atau lo bisa gila.

Tubuhnya sudah berbalik untuk meninggalkan pemandangan itu. Baru empat langkah dia mendengar suara Audra yang menampar Abimana keras juga suara seperti punggung seseorang yang membentur pintu.

Audra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro