Part 17
"Dimana Aryo Kusuma, Jen?" itu pertanyaan ayahnya setelah dua hari Aryo tidak kembali.
Dia sudah berusaha mencari tahu tapi hasilnya nihil. Dia bahkan memata-matai Dony dan Sharon, karena berpikir Aryo akan pergi ke sana.
"Saya tidak tahu."
Mereka berada di dapur karena dia sedang membuat makan malam.
"Kenapa dia pergi? Kalian bertengkar lagi?"
"Tidak kali ini. Saya bahkan membetulkan posisi engsel kakinya yang terkilir. Lihat aja CCTV," masak dia teruskan sekalipun pikirannya tidak di sana.
"Saya tahu, saya sudah periksa segalanya. Apa yang kamu katakan pada Aryo Kusuma sampai dia pergi?"
"Fakta. Tentang nama-nama korban yang pernah dia bunuh atau lukai."
Ayah diam sejenak. Masih sambil berdiri menggenggam tongkat kebesarannya.
"Saya yang memberi pilihan pada Aryo Kusuma, bahwa dia bisa tinggal atau pergi. Tapi saya lebih suka dia tinggal. Melepas serigala kembali di kawanannya lebih berbahaya daripada memeliharanya sendiri."
"Serigala bukan binatang peliharaan," masakan dia letakkan di piring. "Ayah hanya bernostalgia, karena akhirnya mendapatkan murid baru. Tuan Besar sudah lama selesai pendidikan dari Ayah kan?" piring dia angkat dan dia duduk di kursi meja makan.
"Ya, saya tidak akan mengelak itu. Tapi saya serius soal keberadaan Aryo di luar. Seluruh spekulasi tidak perlu akan muncul. Itu akan membahayakan Tuan Besar."
"Saya akan cari cara untuk menutupi semua sebelum saatnya."
"Kamu harus cari dia, Jen. Ini perintah."
Ayah membalik tubuhnya dan keluar dari ruangan meninggalkan dia yang menatap makanannya tidak bernafsu. Dia khawatir Aryo akan membocorkan tempat persembunyian mereka. Harusnya hanya itu saja alasannya. Tapi dia mulai merasakan sepi yang aneh. Setelah berminggu-minggu berada di satu tempat yang sama, keabsenan perilaku menyebalkan Aryo entah bagaimana mengusiknya juga. Ah, dia sudah ketularan gila.
***
Hari kelima. Seluruh tempat yang Aryo mungkin kunjungi sudah dia periksa dan hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda Aryo di sana. Tersisa dua tempat lagi.
Dia berusaha berpakaian tidak mencolok, hanya jaket hoodie hitam polos dan jins serta sepatu kets. Paham benar daerah yang akan dia datangi benar-benar berbahaya. Motor juga dia parkir jauh dari tempat ini. Tempat apa? Tempat tinggal Aryo ketika kecil dulu. Tidak jauh dari tempat itu juga ada tempat singgah Aryo saat sudah hidup di jalan. Jadi dia memeriksa kedua tempat itu. Sekalipun kecil kemungkinan Aryo pergi ke sana.
Rumah kontrakan lama orangtua Aryo sudah ditempati orang lain. Kondisi di sekitarnya makin buruk karena seluruh kontrakan seperti berdempet tidak menyisakan tempat sama sekali. Belum lagi banyaknya preman yang lalu lalang. Dia berjalan perlahan saat melewati rumah Aryo kemudian memeriksa ke sekelilingnya. Tanpa tahu dia diikuti dengan empat orang preman bertubuh besar.
Kakinya terus melangkah ke tempat singgah Aryo. Rumah...hhh tempat itu bahkan tidak bisa disebut rumah. Karena hanya terdiri dari seng-seng dan kayu triplek saja. Apa benar Aryo pernah tinggal di sini? Dahinya mengernyit nyeri seolah turut merasakan pahit getir hidup Aryo dulu, saat pundaknya di tepuk dari belakang.
"Manis, cari siapa?"
Nafas dia hela kesal lalu tubuhnya berbalik menatap empat preman bertubuh besar di hadapannya. Dua orang terlihat bodoh sekali. Dua lagi tersenyum menyeringai.
"Lo masih keren sekalipun baju lo biasa aja. Tapi, gue tahu lo orang punya dan bukan orang sini."
Matanya memincing diam saja.
"Buka dong hoodie-nya. Pasti cantik deh." Satu lagi maju dan dengan kurang ajar mencoba menarik hoodienya.
Refleksnya adalah memukul pangkal leher preman itu lalu menendang tubuhnya. Si preman terbatuk dan menatapnya marah. Dia mundur dua langkah siap dengan kuda-kuda. Yang dia tidak duga, beberapa laki-laki juga keluar dari dalam tempat singgah membawa tongkat. Matanya memindai, menghitung cermat strateginya. Sepuluh orang, empat dengan benda tumpul di tangan mereka. Kemungkinannya untuk menang kecil sebaik apapun kemampuan bertarungnya.
Para preman tidak pernah punya aturan dalam berkelahi. Dia harus memojokkan mereka ke suatu tempat hingga bisa menghadapi satu per satu. Dengan begitu kemungkinannya untuk menang lebih tinggi.
Mundur perlahan, Jen. Jangan biarkan mereka mengepungmu dari belakang.
Mereka berbisik pada satu sama lainnya. Kemudian salah satu dari mereka tertawa kecil. "Lo bukan anaknya Bapak Besar."
Dia diam saja sambil masih waspada. Tidak pernah mau mencatut nama Bapak Besar karena dia selalu membereskan urusannya sendiri.
"Bisa jadi lo orang kiriman dari preman utara. Bagus juga mereka kasih perempuan. Jadi bisa kita kerjain sekalian," satu lain tertawa aneh.
"Jadi, mau ikut kita baik-baik dan senang-senang. Atau mau kita paksa?"
Hhhh, banyak bicara. Matanya masih mengawasi para preman di hadapannya ini. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada gang kecil yang bisa dia manfaatkan. Tidak ada orang yang berani ikut campur sepertinya, karena para preman ini berkuasa.
Lalu dua orang sudah maju dan hanya ingin mendorongnya saja. Dia yang tidak sabar lalu mulai menyerang lebih dulu. Satu jatuh dengan tiga pukulan, lalu dia sibuk meladeni dua lagi. Saat yang lainnya ingin maju serempak, dia tahu dia akan berada dalam masalah. Tangannya menghantam, tubuhnya menunduk, menghindar dengan kaki yang balas menyerang. Sambil sedikit demi sedikit mengarahkan para preman ke gang kecil tadi agar dia bisa menghadapi mereka satu per satu.
Perutnya ditendang sehingga dia mundur beberapa langkah. Lalu satu orang lainnya melayangkan tendangan yang berhasil dia hindari. Sayangnya satu orang lain lagi berhasil menangkap tubuhnya dari belakang. Kepala dia hantamkan ke belakang hingga orang itu mengaduh menjauh. Lalu tongkat itu mengayun saat motor hitam yang menderu sudah menerabas ke arah mereka.
Laki-laki tinggi itu turun sambil masih menggunakan helm hitam dan langsung menghantam tanpa melepaskan helm itu. Orang yang dia cari muncul, Aryo Kusuma. Hanya dengan satu pukulan salah satu preman bertubuh besar langsung jatuh. Dia sendiri mengatur nafasnya lalu kembali menyerang. Dia melumpuhkan tiga, dua lari menyelamatkan diri. Lima lainnya pingsan karena hantaman Aryo tadi.
Kaca penutup helm sudah dibuka dan mata hitam itu menatapnya dari atas motor. Dia mendengkus kesal tapi sadar dia harus naik ke motor itu. Dengan sedikit terpincang dia berjalan mendekati motor Aryo lalu naik. Aryo membawa mereka pulang. Harusnya begitu kan?
Satu tangannya mengetuk helm Aryo dari belakang. Laki-laki itu menoleh.
"Kita pulang kan?"
Kepala Aryo mengangguk singkat.
***
Tiga puluh menit kemudian. Mereka tiba, ditempatnya dan dia langsung memasukkan motor ke dalam garasi. Janice turun sambil mendengkus.
"Kamu bilang kita pulang," protes Janice.
"Ini rumah gue, jadi gue pulang," sahutnya cuek sambil melangkah masuk ke dalam dari garasi.
Dia memiliki dua property. Satu dan yang terbesar, sudah diledakkan saat dulu dia diserang oleh Wibowo. Tempat itu saat ini sedang dalam pembangunan ulang, belum selesai. Dan satu lagi adalah tempat ini. Lebih sederhana di lahan yang tidak sebesar pertama. Tapi tetap berada di pinggiran kota. Rumahnya yang ini terlihat normal saja. Berada pada kompleks perumahan mewah tanpa pagar, tapi berjarak dari rumah kanan-kirinya. Dulu, Hanif Daud pernah mengikutinya ke sini saat insiden penahanan Fayadisa.
Tangan Janice menahan tubuhnya. "Saya minta kunci motor kamu."
Dia menatap mata coklat kehijauan milik wanita yang seolah tidak punya rasa takut sama sekali ini. Bertanya-tanya, apa Janice tahu kalau pelipisnya terluka, juga ada lebam pada sudut bibirnya. Juga kaki Janice yang terpincang tadi, mungkin terkilir. Dia benci melihat Janice begini.
Emosi saya, sebanyak semua korban yang sudah kamu bunuh dan sakiti. Ditambah dengan kesedihan keluarganya.
Kata-kata Janice datang lagi, membuatnya mengernyit nyeri.
"Kuncinya?" tangan Janice terjulur.
Dengan cepat dia mengangkat tubuh Janice dan membawanya ke dalam. Pincang pada kaki Janice membuat dia menduga bahwa wanita ini benar-benar kesakitan sekalipun ekspresi wajahnya datar. Lagi-lagi Janice mendengkus kesal.
"Kamu pikir saya nggak bisa melepaskan diri?" ujar Janice datar.
"Gue nggak pernah bilang begitu,"
"Saya cuma penasaran, maksud kamu apa sih gendong-gendong segala? Dasar spesies super aneh."
Langkah kakinya panjang-panjang menuju dapur dan menurunkan tubuh Janice untuk duduk di atas meja peninsula dapur miliknya.
"Auw, pelan-pelan dong." Janice mengaduh saat dia tidak sengaja menyenggol perutnya.
Bukan cuma kaki. Perut Janice juga terluka.
Dia melangkah mengambil kantung es di lemari pendingin, lalu mengambil kotak P3K dari dalam lemari. Janice diam memperhatikan dengan tatapan penasaran tinggi. Hoodie Janice dia ingin buka saat tangan Janice menampiknya.
"Saya bisa sendiri, minggir."
Jaket hoodie hitam sudah Janice buka dengan dia yang berdiri memperhatikan. Mengejutkannya, Janice membuka kaus putih yang dia kenakan juga. Saliva dia loloskan melihat Janice mengenakan pakaian dalam dan jins saja, duduk di atas meja peninsula area dapur sambil mulai mengobati lukanya sendiri. Memar biru pada perut Janice, juga goresan luka-luka pada tangan, dan lebam pada wajahnya.
"Kenapa? Nggak pernah lihat cewek luka?"
Kepalanya menggeleng berusaha mengembalikan fokusnya sendiri. Dia melepas jaket dan mencuci tangan, kemudian memeriksa luka Janice dengan seksama.
"Kenapa lo ke sana? Lo paham nggak itu tempat apa?"
"Paham."
"Terus kenapa ke sana?" ujarnya kesal.
"Bekerja. Mencari Tuan Gadungan yang marah dan kabur dari tempatnya."
"Tempat gue di sini," jawabnya sambil memeriksa punggung Janice yang juga biru. Hrrgh...harusnya dia menguliti bajingan itu.
"Oke. Paling enggak saya sudah tahu. Jadi saya bisa lapor ke ayah saya. Tugas saya selesai." Salep sudah selesai Janice oleskan pada lebam di perutnya.
Dia mengambil salep dari tangan Janice dan mulai mengoleskan pada punggungnya. Saat itu, dia bisa melihat beberapa bekas luka memanjang. Rahangnya mengeras. Apa yang terjadi pada Janice? Bekas luka apa ini?
"Ini, kenapa?" salah satu bekas luka dia sentuh.
"Nggak usah urusin urusan saya."
"Dipukul Edward? Waktu kecil? Karena Edward sangat disiplin," tebaknya.
Tangan Janice meraih kaus putih tadi dengan dia sudah kembali berada di hadapan wanita ini. "Diem dulu."
Jangan lihat ke bawah, Yo. Jangan.
Wajah Janice dia tahan, satu tangannya mengoleskan salep lebam tadi di pelipis Janice. Kemudian dia mengelap tangannya dan membersihkan jejak darah kering pada sudut bibir Janice untuk kemudian dia obati.
"Kamu tahu darimana saya di sana?" ujar Janice sambil menatap matanya.
"Gue nggak punya teknologi canggih, tapi gue punya orang-orang di bawah."
"Saya udah bilang kamu nggak bisa kasih tahu kalau kamu masih hidup. Berbahaya," nada Janice mulai tinggi.
"Dia cuma anak kecil yang gue percaya. Lagian anak itu nggak tahu kalau gue udah mati di ADS. Dia nggak punya TV dan nggak pernah nonton berita."
"Hrrghhh..." geram Janice marah.
"Kalau dia nggak kasih tahu gue, lo tahu sekarang lo dimana?"
"Sedang mengubur mereka hidup-hidup. Kamu pikir saya nggak bawa MCE?"
"Kenapa lo nggak langsung lempar dari tadi?" dia heran sekali.
"Apa serunya?"
"Jen, nggak usah sok jagoan. Lo itu perempuan."
"Terus kenapa kalau perempuan?"
Dua tangannya dia letakkan di sisi kiri-kanan tubuh Janice. Nafas dia hirup panjang, masih menatap wajah Janice yang datar saja.
"Lo harus tahu batasannya."
"Tadi itu belum batasan saya. Saya masih bisa."
"Jangan bantah gue, bisa?" teriaknya kesal.
"Kamu kayak perempuan, sukanya teriak-teriak. Berisik." Janice menatapnya berani.
Mata dia pejamkan sejenak. Seluruh emosi tercampur di dada. Cemas, gemas, kesal, heran, juga...nafsu. Bagaimana tidak, tubuh sempurna wanita ini hanya mengenakan pakaian dalam dan jins saja. Ditambah mereka berdua berdiri dekat sekali. Ketika matanya membuka, dia mengambil kaus Janice yang kotor dan membuangnya ke tong sampah terdekat. Jaket Janice dia ambil lalu dia menuju ke kamarnya sendiri untuk mengambil pakaian untuk Janice.
Sabar, Yo. Sabar. Jangan turutin setan. Tapi dadanya...f*ck. Stop, dasar setan gila.
Saat dia kembali Janice sudah berdiri dengan satu kaki. Nafas berkali-kali dia hirup panjang. Hanya ada wanita ini saja berhari-hari. Sekarang mereka berada di rumahnya dengan wanita ini yang terluka dan jangan lupa, setengah telanjang. Harus bagaimana dia?
Tempat tidur, Yo. Sofa juga boleh. Setan brengsek!!
Dengan cepat dia memasukkan kaus pada kepala Janice dan memakaikan kausnya itu sebelum setan lainnya membisikkan banyak hal pada telinga kiri. Kemudian Janice mengambil ponsel dari saku celana.
"Mau ngapain?"
"Pulang ke tempat saya. Pesan taksi, kaki saya terkilir. Kalau saya hubungi Angel di sini, lokasi kamu bisa terdeteksi."
Ponsel Janice sudah dia ambil cepat dan lempar ke meja peninsula. Tubuh Janice dia angkat lagi agar duduk di atas meja. Entah kenapa Janice juga sedari tadi diam saja, membiarkan dia melakukan apa-apa yang dia suka. Cewek ini kerasukan apa sih? Kemudian dia duduk di salah satu kursi tinggi berhadapan dengan Janice.
"Gue nggak perduli. Bilang aja sana sama Arsyad, atau Angel, atau siapalah."
Kaki Janice dia ambil dan letakkan di pangkuannya. Celana jins Janice sudah dia singkap sedikit ke atas lalu dia memeriksa.
"Kenapa lo bersikap aneh begini?" lanjutnya.
"Saya? Aneh?"
"Iya, biasanya lo marah-marah nggak jelas." Engsel kaki Janice kondisinya baik. Hanya sedikit biru tapi tidak ada yang berpindah tempat.
"Saya mau mencontohkan apa arti timbal balik. Kalau sikap kamu nggak menyebalkan, saya juga bisa bersikap sedikit tidak biasa. Auw, yang itu sakit."
Mau tidak mau dia tersenyum, karena untuk pertama kali Janice berkelakuan sangat normal. Berbicara biasa saja, mengaduh jika terluka, sekalipun selalu menatapnya seperti penasaran akan sesuatu.
"Kayaknya uratnya. Karena engsel lo nggak apa-apa." Kemudian dia meraih salep lain berwarna hijau tua dengan tulisan merah. Khusus untuk kaki terkilir.
Salep itu dia oleskan perlahan, tiba-tiba dia teringat saat Janice mengobati dia dulu.
"Sampai kapan kamu mau tinggal di sini?"
"Pertanyaannya salah. Yang benar begini. Hey Aryo, kapan kamu balik ke tempat Arsyad?" Dia mengusap kaki Janice agar salep terserap sempurna.
"Oh, jangan salah. Kamu bisa tinggal di sini selamanya. Jadi nggak ngerepotin saya."
Dia terkekeh kecil. "Udah normal lagi ketusnya. Dasar cewek galak." Kaki Janice masih ada di pangkuannya tapi tangannya sudah berhenti. Kepalanya mendongak menatap Janice. "Gue nggak akan ngerepotin lo lagi. Di sini atau di sana."
"Bagus," Janice menghela nafas singkat dan mulai turun dari meja.
"Kaki lo belum bisa dipakai jalan. Itu urat bagian dalam. Lo harus membiarkan obatnya bekerja dulu." Dengan mudah dia menahan tubuh Janice di atas meja. Mata mereka bertatapan lagi. "Di sini aja...sebentar. Sampai kaki lo sembuh."
Kepala Janice menoleh ke samping menatap ponsel yang tergeletak di meja. "Saya harus kembali. Arsyad membutuhkan saya."
"Arsyad nggak butuh siapa-siapa kecuali Sabiya." Tubuhnya bergeser dan dua tangan sudah mengelilingi tubuh Janice lagi.
Wanita itu masih menatap ponsel, berpikir. Duduk di hadapannya dengan kaus hitam sedikit kebesaran miliknya. Dia ingin begini saja, dia suka. Lalu wanita itu mengambil ponsel cepat untuk memesan taksi.
"Gue antar, Jen. Gue antar. Matikan ponselnya," pintanya baik-baik.
Lalu Janice mematikan ponsel sambil menatapnya. "Oke."
Tanpa dia duga Janice memindahkan satu tangannya cepat agar Janice bisa menggeser tubuh dan melepaskan diri darinya. Kemudian melompat turun dari meja dengan satu kaki yang terpincang menuju sofa besar terdekat. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak lepas kendali. Sungguh yang dia inginkan adalah menggendong wanita aneh ini lalu membawanya ke kamar, menguncinya di sana selamanya. Agar Janice tidak terluka, agar tidak ada satupun yang bisa menyakitinya, Agar Janice bisa istirahat sejenak dari tugas-tugas berat. Karena dia bisa melihat seluruh sepi dan emosi yang sama tercetak jelas pada mata indah itu. Pancarannya persis seperti miliknya sendiri.
"Cepetan, atau saya pesan taksi nih," ujar Janice sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
Kepala dia gelengkan sambil tersenyum lebar. "Gue anter lo nanti, tahun depan."
Lalu bantal sofa melayang ke kepalanya. "Auw."
***
Beberapa minggu kemudian.
Mungkin dia sudah gila, karena memaparkan rencana pada musuh utamanya sendiri, Aryo Kusuma. Ini semua dia lakukan karena entah bagaimana sikap Aryo berbeda. Setelah menghilang beberapa hari, Aryo kembali dengan sikap yang sedikit lebih normal. Sedikit, karena di banyak kesempatan sikap konyol dan serampangannya kumat lagi. Tapi Aryo mulai lebih serius berlatih, dan intensitas Aryo menggoda Janice atau berulah menurun drastis.
Dia tahu dia kekurangan orang untuk menjalankan rencana. Adik-adiknya sudah berhasil menjatuhkan Herman dan menangkap Wibowo. Darius dan Roy Hartono adalah urusannya.
"Gue yang antar Darius ke sini," ujar Aryo sambil berdiri menatap layar di hadapan mereka.
"Janice bisa lakukan itu mudah," ujarnya.
"Jangan kasih tugas cowok ke cewek."
"Gimana kalau lo malah bawa Darius pergi karena gue yakin Darius bisa bayar lo banyak."
Aryo terkekeh. "Menurut lo gue segitunya butuh duit? Bukan cuma lo yang punya duit, Syad. Pokoknya gue yang jalan." Aryo sudah berdiri ingin keluar ruangan.
"Yo, ini langkah terakhir untuk bereskan semua. Kalau lo bikin berantakan, gue akan kejar lo ke ujung dunia."
"Capek dong, kalo sampe ujung dunia?" ujar Aryo konyol. Laki-laki ini kumat lagi. "Syad, lo pernah tanya ke gue dimana posisi gue. " Aryo memberi jeda. "Posisi gue...di hati lo Syad." Tawa Aryo yang menyebalkan terdengar. "Lo serius banget, Syad. Nggak asik."
Nafas dia hirup banyak-banyak. Ya, dia benar-benar sudah gila karena mengikutsertakan manusia gila ini pada rencananya.
"Gue serius sekarang." Ekspresi Aryo berubah total. Tidak ada senyum konyol di wajahnya.
"Gue mau membetulkan kesalahan gue dulu. Gue nggak tahu gue telat atau nggak. Tapi gue mau. Gue nggak bilang kalau gue akan selalu ada di pihak lo. Misal, soal Janice. Gue nggak setuju lo mempekerjakan dia di area berbahaya. Gimanapun dia cewek, Syad." Aryo menarik nafas panjang. "Lepasin Janice, Syad. Setelah itu gue akan berada di pihak lo. Karena gue yakin lo ambil jalan yang benar. Tapi lepasin Janice dulu dari hutang budi keluarga lo."
Kemudian Aryo Kusuma melangkah pergi. Dahinya mengernyit berpikir. Kenapa Aryo benar-benar penasaran tentang Janice? Dari mulai menggoda, membuat kesal, lalu permintaannya sekarang. Aryo cemas sekali, terlihat dari sorot matanya. Apa ini aksi-reaksi biasa karena mereka tinggal satu atap dalam waktu lumayan panjang? Atau...Aryo jatuh cinta? Dia terkekeh sendiri mendengar isi pikirannya.
***
Setelah ini alurnya akan kembali saat di kapal pesiar yah. Masih inget kan? Kalau lupa, silahkan baca ulang part terakhir MoTG.
Jugaa siap-siap ketemu lagi si empat saudara. Ada yang kangen mereka?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro