Part 16
Setelah semua drama pertengkaran mereka terakhir dia benar-benar kembali menjadi dirinya yang lama. Seluruh benteng tinggi sudah berdiri lagi, seolah sebelumnya tidak pernah tergoyahkan. Fokus dia alihkan hanya pada pekerjaan, proses persidangan tuntutannya pada Evan, juga Ayyara. Sesekali Jodi akan menganggunya, atau Abimana yang menghubungi karena rencana pertunangan mereka. Sikapnya abai saja, dingin dan menarik diri. Hingga dua laki-laki itu juga menahan diri mereka. Bagus, itu yang dia mau.
Niko Pratama sudah memiliki kekasih. Wanita dengan wajah ramah dan senyum yang lebar. Selama ini sikap Niko yang baik, konyol dan pengertian membuat dia salah mengerti. Terlena dengan khayalannya sendiri. Tentang pasangan hidup, ayah untuk anaknya, dan tentang ide jatuh cinta. Sekarang dia mengerti, ada hal-hal yang dia tidak bisa dapatkan di dunia ini. Ketulusan hati, atau ide jatuh cinta tadi. Mungkin dia dikutuk karena tidak ada satu orang laki-laki pun yang bisa dia cinta, atau sungguh jatuh cinta padanya.
Ah, jangan cengeng Aud. Kamu baik-baik saja. Selalu baik-baik saja.
Tubuhnya lelah setelah hari-hari panjang di kantor. Sungguh dia butuh berendam air hangat yang lama.
"Yara..."
Suara pintu dibuka dan kepala anak gadisnya itu menyembul. "Aku di atas, Ma."
Kakinya melangkah ke atas. "Mama mau makan bareng Yara malam ini. Tapi Mama mau mandi dulu. Yara tungguin Mama, ya," ujarnya. Dia berdiri menatap Yara di depan pintu kamar.
Yara hanya mengangguk sambil menatapnya. Mungkin Yara heran karena belakangan ini dia selalu ingin bersama Yara. Ya, entah kenapa tiba-tiba dia benci sendiri, karena setiap sudut rumah ini ada banyak bayangan Niko Pratama. Apalagi di meja makan dan dapur. Tempat mereka biasa berinteraksi. Makan di sana tanpa Ayyara sungguh menyiksa. Beberapa kali dia akan makan di kamar, tapi dengan begitu dia tidak bisa mengawasi asupan makan Ayyara.
Kakinya sudah tiba di dekat pintu kamar Niko saat Yara memanggilnya.
"Ma, Mama masih berantem sama Om Niko ya?"
Nyeri merayap pasti, menelusup perlahan ke dadanya lagi.
"Mama mandi dulu oke." Dia terus melangkah menuju kamar.
***
Setelah mandi air hangat dan makan malam bersama Ayyara, mereka duduk di ruang tengah menonton TV. Ayyara sudah menggenggam semangkuk penuh popcorn dengan banyak mentega. Mereka duduk di atas sofa berdekatan dengan Ayyara yang menaikkan kaki. Anaknya itu seolah tahu kesepiannya, jadi sikap Ayyara padanya manis sekali.
"Mau nonton di dalam ruang menonton aja? Atau di sini?"
"Di sini aja, biar rame rumah kita," ujar Ayyara sambil asyik memindahkan channel.
"Mau nonton apa hari ini?" Dia memperhatikan Ayyara yang masih memindah-mindahkan channel TV.
"Aku lagi cari Netflixnya. Ada drama keren banget, Ma. Zombieee...."
"Yara, Mama nggak mau nonton yang tegang-tegang ah."
Kemudian kepala Yara menoleh dan tersenyum usil. "Kenapa? Karena nggak ada Om Niko ya, jadi Mama takut?"
Pipi Ayyara dia cubit kesal. "Bukan itu anak bandel. Sini-sini Mama aja yang pilih filmnya." Remote TV sudah dia rebut dari Yara.
Yara mendengkus kesal tapi meneruskan makan popcorn sementara dia sudah sibuk memilih channel TV. Dia sangat jarang menonton TV, jadi dia menelusuri setiap channelnya. Kenapa bisa banyak sekali jumlahnya sih?
"Mama perlu keluar dulu dari channel utama itu terus pergi ke Netflix."
"Mama mau nonton berita internasional," tangannya terus memindahkan channel.
"Maaaa...jangan dooong. Apa asyiknya?"
"Ya dari pada nonton zombie."
"Ck...Maaa. Kalau Mama mau nonton berita, jangan sama Yara. Terus, film drama itu cengeng. Lagian ada cinta-cintaannya. Yara nggak suka yang romantis, Yara suka yang tragis..." Yara masih terus berceloteh ketika tangannya berhenti pada salah satu channel TV.
Matanya terpaku pada layar, melihat dan mendengarkan sesosok wanita berpakaian dokter yang sedang berada di salah satu desa kumuh.
"People in Mozambique have difficulties not only in transportation access, but also access to water which causes many health problems. In certain research..."
Wanita ini, kekasih Niko Pratama. Dadanya mulai berdentum tidak menentu. Dia tidak mungkin salah, karena seluruh bayangan Niko yang tersenyum bahagia bersama wanita ini melekat di kepala. Menghancurkan rasa percaya, melukai harga dirinya, juga meruntuhkan seluruh harapan yang dia punya. Saliva dia loloskan, dia membaca garis nama yang ada di bawah layar. dr. Nayarana, leader of health and wealth project. World Health Organization
Dia tidak sadar Ayyara sudah berhenti dan menatapnya heran. Lalu Ayyara menoleh menatap televisi juga.
"Mama lihat apa sih?" Popcorn Ayyara suap lagi. "Wah canggih, ada Tante Naya."
"Tante Naya?" karena terkejut dia menoleh pada Ayyara. "Yara kenal?"
"Yara nggak kenal, tapi tahu. Waktu itu Yara lihat fotonya di dompet Om Niko nggak sengaja." Yara mengunyah popcorn sementara dia sudah gemas ingin tahu tapi masih menahan diri. "Aku baru lihat Tante Naya di TV, ternyata cantik ya, Ma."
Rahang dia katupkan perlahan. Ya, dokter wanita itu terihat cerdas, lugas dan sungguh menguasai bidangnya. Wajah wanita itu sederhana, tapi tidak membosankan. Yara benar, dokter Nayarana terihat cantik karena pancaran matanya.
"Tapi Mama tenang aja, masih cantik-kan Mama kok. Lagian itu adiknya Om Niko, Ma. Bukan saingan."
Matanya membulat lagi. "Adik?"
"Iya, waktu itu Om Niko bilang kalau Tante Naya itu adiknya yang paling dia sayang. Terus Tante Naya suka keliling dunia sembuhin orang. Mangkanya aku suka banget sama Tante Naya. Aku juga pingin keliling dunia biar bisa..."
Punggungnya yang kaku dia sandarkan perlahan. Ingatannya terbang pada waktu-waktu mereka bersama.
I love this song. Adik saya suka sekali penyanyi ini...
Never insult my family, and I'm not joking.
Harus begini. You do what you need to do. Not what you want to do. El Rafi yang mengajarkan saya tentang itu. I understand.
Pacar saya. Dia bertugas di tempat lain.
Ayyara sudah asyik lagi memindahkan channel TV. Sementara dia dihantam dengan kenyataan. Niko tidak punya pacar. Niko berbohong ketika itu karena Niko tahu dengan begitu dia akan menjauh. Entah kenapa dia juga tahu, bahwa Niko juga berusaha berlari dari perasaannya sendiri. Seperti dirinya saat ini. Anaknya sudah mulai menonton di saluran kesukaannya, saat rindu yang dia tahan merayap perlahan menyesakkan dada.
***
Jam tangan perwira tinggi ADS berkedip saat Niko sedang berada di atas motornya. Helm yang dia kenakan dan tersambung pada jam tangan itu menyala. Memperlihatkan status besar di pojok kanan atas.
RED ALERT. Herman Daud. Status: kritis. Kemudian status berganti lagi. RED ALERT. Toto Winarto. Status: BAHAYA. Perlindungan saksi.
Motor dia pinggirkan karena tahu sebentar lagi Mahendra, atau Mareno akan menghubunginya. Benar saja sambungan itu sudah berkedip di layar helm.
"Hen..."
"Herman menyerahkan diri. Dia ditembak Bowo. Dokumen fisik bukti dibawa lari Bowo, tapi Herman sudah kirimkan ke Bung Toto semua filenya dan data sudah gue amankan. Tapi kita tetap butuh bukti fisik itu," ujar Mahendra di sana.
"Bagi tim. Nif, hubungi Faya agar kawal tim MG ke apartemen Herman. Selamatkan Herman. Hen, kita berdua kejar Wibowo si sialan itu. Nik, lo dan Ram lindungi Bung Toto segera. Bawa Black command. Gue yakin Wibowo sudah menghubungi Darius dan yang lain. Mereka semua akan memburu Bung Toto."
"Clear. I'm out." Dia berujar cepat. Telpon dia putus agar dia bisa menghubungi yang lain. "Angel, calling Black command."
"Connecting." Angel berbunyi bip panjang.
Tim yang dia pimpin berjumlah enam orang, tujuh bersama dirinya. Ram, Martin, Max yang sudah berpulang dan belum dia ganti, Desmon, Felix dan Emir. Satu demi satu sambungan masuk.
"Nik, gimana?"
"Bung Toto memegang softcopy semua bukti dan sedang mengarah ke kantor penyidik. Kita urus perlindungan Bung Toto," ujarnya cepat. "Angel tampilkan semua posisi tim dan lokasi kantor penyidik negara. Apa Toto Winarto sudah menyalakan tracker devicenya, Angel?"
"Sudah. Menampilkan." Angel berbunyi bip lalu titik-titik biru tersebar di layar, juga titik merah yang menandakan keberadaan kantor penyidik. Lalu satu titik kuning milik Bung Toto yang terus bergerak juga terlihat.
"Ram, dan Felix terlalu jauh. Posisi gue paling dekat. Martin susul saya, minta Dodo berjaga di tempat Audra. Emir pantau perimeter area."
"Oke," sahut timnya serempak.
Kemudian hubungan disudahi dan dia langsung memacu motornya.
***
Audra baru saja menyelesaikan salah satu meeting penting di kantor Sanggara Buana saat dia berpapasan dengan Martin yang berjalan terburu-buru. Tadi Martin meminta ijin untuk memeriksa ruangan untuk membersihkan dari alat penyadap yang mungkin terpasang. Entah kenapa dia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi karena gelagat Martin aneh sekali.
Langkah Martin berhenti sejenak. "Niko membutuhkan saya. Anda aman bersama Dodo. Ayyara sedang berada di rumah Brayuda. Jadi Yara aman."
Jantungnya berdebar lebih keras. "Ada apa?"
"Maaf, saya tidak bisa bicara dan terburu-buru, Nona."
Martin lalu berlari menuju lift dan hilang di sana. Sementara dia cepat-cepat masuk ke dalam ruang kerja.
"Lexy, hubungi Hanif Daud."
"Menghubungkan."
Kemudian sambungan diangkat oleh Hanif. "Sis?"
"Nif, ada apa?" nadanya sudah panik.
"Herman ditembak oleh Wibowo. Stay di Sanggara Buana. Di sana aman. Cek Ayyara dan jangan keluar sebelum ini selesai. Aku hubungi lagi nanti," ujar Hanif dengan nada terburu-buru.
"Dimana Niko?"
"I got to go, Sis." Hubungan terputus.
Tubuhnya berjalan mondar-mandir resah. Sangat-sangat resah. Setelah dia tahu bahwa Niko dan wanita di dalam dompet adalah kakak beradik, dia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri yang mulai memikirkan Niko lagi. Hah, dia murahan sekali. Ego kamu nggak penting, Od. Niko harus selamat.
Nafas dia hirup dalam-dalam, mata dia pejamkan. Tubuhnya bahkan sudah berhenti sejenak. Dia berusaha menenangkan pikirannya.
Niko akan selamat. Dia komandan tertinggi. Tapi bagaimana jika keadaannya bahaya sekali? Bagaimana jika Niko terluka? Atau mati? Ya Tuhan. Pikir, Od. Jangan panik. Kamu harus mendapatkan informasi. Kemana orang-orang ADS pergi jika terluka?
Matanya terbuka. "Lexy, hubungi dokter Antania di MG."
Tanda sambung sudah terdengar lalu Tania mengangkat ponselnya.
"Tan, apa kamu tahu soal Herman?"
"Nggak, ada apa?"
Dengan cepat dia menjelaskan apa yang dia dengar dari Hanif tadi. Tania menyimak, jelas sekali wanita ini belum tahu. Mungkin karena segalanya berlangsung tiba-tiba.
"Oke, aku cemas. Tapi biasanya Mareno dan yang lain akan sangat hati-hati," ujar Tania jujur.
Bibir dia gigit gugup. "Tan..."
"Mereka akan baik-baik saja, Aud. Ikuti saran Hanif."
Bukan itu, Aud.
"Apa kamu bisa memberiku kabar, kalau ada tim ADS yang terluka dan di bawa ke sana?"
"Ah, Aud. Kamu membuatku panik lagi." Tania memberi jeda. "Semoga saja aku tidak perlu mengabarimu apapun, Aud."
"Aku harap begitu."
Hubungan dia sudahi dengan nada bip panjang. Lisa sudah masuk untuk mengingatkan jadwal meetingnya yang lain. Dia tahu dia harus menyibukkan diri, agar tidak tersiksa menunggu begini. Ponsel dia raih dan benda itu dia genggam sepanjang meeting sambil berharap Tania tidak menghubunginya.
***
Pukul enam, kantor Sanggara Buana.
Matanya terus menatap ponsel di atas meja. Meeting terakhir baru saja selesai tiga puluh menit lalu. Antania tidak menghubunginya. Harusnya Niko baik-baik saja, kan? Apa dia yang menghubungi Tania saja?
Ponsel yang tiba-tiba bersuara membuat dia terkejut. Ayyara.
"Mama, kata Om Dodo Mama tunggu di sana. Om Dodo lagi jemput Mama dari tiga puluh menit yang lalu."
"Yara sudah di rumah?"
"Udah. Aku capek, tadi sudah makan di rumah Nanda. Aku mau mandi dulu ya."
"iya, Mama sebentar lagi pulang."
Hubungan di sudahi. Tubuhnya sudah berdiri dan berjalan mondar-mandir lagi saat ponselnya berbunyi kedua kali. Nafas dia tahan saat dia melihat nama Antania di sana. Ya Tuhan, Niko.
"Tan?"
"Timnya Niko bentur dengan orang-orang Wibowo dan Darius." Dia bisa mendengar Tania yang sibuk di sana. "Cek keseluruhan, Niko selalu keras kepala." Perintah Tania pada siapapun di sana.
Saliva dia loloskan perlahan. Apa ada Niko? Apa Niko terluka?
"Aud, saya harus mengurus beberapa yang terluka," lanjut Tania terburu-buru.
"Apa Niko terluka?"
"Ck...Nik. Kamu berdarah, duduk di situ. Kita bicara nanti, Aud." Hubungan disudahi.
Kemudian dia menyambar tas di meja lalu berjalan cepat ke luar ruangan. Dodo dia hubungi agar menunggunya di lobby. Niko terluka. Separah apa? Bagaimana ini? Kakinya sudah setengah berlari ke lobby.
"Ke MG, Do."
Dodo mengangguk lalu menjalankan mobilnya.
Dua tangannya terkepal dan dia remas cemas. Seluruh bayangan Niko datang lagi, bercampur dengan sesak di dada. Lagi-lagi ponselnya berbunyi.
"Ya, Pa?"
"Herman menyerahkan seluruh dokumen bukti, Aud. Pamanmu juga tertembak."
"Ya, aku sudah tahu." Suaranya yang bergetar dia tekan.
"Dalam salah satu dokumen itu ada tanda-tangan Papa dan cap perusahaan kita. Proyek lama."
"Pa, ya Tuhan. Bagaimana bisa?"
"Sanggara Buana terancam, Aud. Papa tunggu di rumah."
"Tapi, Pa..."
"Ke sini sekarang. Kita harus pikirkan rencana matang-matang." Nada suara papa mulai tinggi karena panik.
Satu air matanya jatuh ketika dia menutup ponsel. Seluruh pikirannya terbang ke MG, sementara segala kewajiban yang mendesak menghalangi. Kemudian dia berujar pada Dodo di depan dengan sedih.
"Do, putar balik. Antarkan saya ke rumah Papa."
Kacamata hitam dia kenakan, wajahnya menoleh menatap keluar sambil menyembunyikan tangisnya. Dia hanya bisa melihat Niko dari jauh, akan selalu begitu. Mereka tidak akan bisa bersama selamanya.
***
OST.nya mereka banget.
https://youtu.be/rcCtiO515Rg
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro