Part 15
Warning: Mengandung bawang.
***
Niko bangun lebih pagi. Salah, dia tidak bisa tidur karena kejadian di bioskop kemarin. Matanya hanya terpejam selama dua jam, tidurnya pendek dan tidak tenang. Genggaman tangan itu bukan pertama kali mereka bersentuhan. Dia pernah menggendong Audra dan melemparnya ke kolam renang. Dia juga pernah memeluk Audra untuk menangkan wanita itu ketika ancaman dari mantan suaminya datang. Tapi semua kontak fisik mereka sebelumnya berbeda dengan apa yang terjadi di bioskop semalam.
Bedanya adalah dia sadar benar bahwa dia tidak perlu menawarkan sebuah genggaman tangan. Tidak ada bahaya nyata di depan mereka, atau ancaman, atau pertengkaran. Mereka berada pada suasana yang normal saja. Ketakutan Audra bukan alasan atas tindakannya. Dia paham benar itu.
Yang lebih mengejutkan adalah reaksi Audra sendiri. Wanita itu membalas genggaman tangannya. Itu gila kan? Semua hal membuat dia mulai bertanya-tanya. Apa Audra memiliki perasaan padanya? Apa dia jatuh cinta? Jika semua jawaban iya, lalu bagaimana? Apa kelanjutannya?
Satu hal yang pasti adalah hubungan mereka tidak akan direstui keluarga Audra. Apalagi setelah perceraian Audra dulu. Belum lagi resiko rusaknya hubungan antara dia dan adik-adik Arsyad. Mereka juga belum tentu setuju.
Tidak akan ada yang setuju, Nik. Karena kalian berbeda. Benar-benar berbeda.
Kesal karena seluruh pikirannya yang tidak menentu, dia mulai berlari sejak pukul empat pagi. Bukan hanya di pekarangan luas kediaman Audra saja, tapi dia berlari jauh ke luar sana. Mencoba menyingkirkan bibit-bibit harapan yang sia-sia. Saat wajah Audra muncul di kepala, kakinya akan memacu lebih cepat lagi. Dia membuat tubuhnya berada pada titik lelah tertinggi hingga tidak bisa berpikir kecuali untuk memulihkan diri.
Tepat pukul delapan pagi dia kembali ke rumah Audra. Masuk melalui pintu depan dan berencana langsung menuju kamarnya di lantai atas. Audra muncul dari arah dapur. Masih dengan jubah tidur satin karena memang hari ini hari libur. Dia selalu suka melihat Audra apa adanya. Tanpa make up, tanpa pakaian mahal yang mewah, tanpa tas dan sepatu heels-nya, juga tanpa sikap dingin dan pura-pura.
"Nik, kopi?" Audra menatapnya.
"Terimakasih, saya mau bersih-bersih dulu. Kalian sarapan duluan aja. Jangan tunggu saya," jawabnya.
Sungguh dia bisa melihat ekspresi Audra yang kecewa. Tapi dia memilih untuk abai, kemudian pamit sopan dan langsung naik ke kamarnya. Di dalam kamar mandi dia menyalakan pancuran pada suhu paling dingin. Paham benar dia butuh mendinginkan kepalanya sendiri. Baru dua menit berlalu, kemudian bayangan Audra datang lagi.
"Aku mau makan aja bisa nggak? Biar Yara aja yang nonton."
"Kamu mau ketawain saya?"
"Saya takut beneran."
Kepala dia gelengkan kuat berkali-kali. Stop it, Nik. STOP!! Dia lebih siap ketika Audra marah dan memaki atau bahkan menghinanya, daripada sikap Audra yang seperti kemarin di bioskop. Hah, dia bahkan tidak bisa menjelaskan sikap jenis apa itu. Apalagi pada genggaman tangan mereka. Dia membasuh wajah untuk menenangkan diri lagi.
Setelah selesai mandi, dia membuka laptop dan mulai memeriksa seluruh jadwal Audra dua hari ini. Apa Audra berencana pergi ke luar karena memang akhir minggu. Dia harus mempersiapkan segalanya. Juga membersihkan rumah dari seluruh penyadap yang bukan berasal dari ADS. Karena ancaman mantan suami Audra yang lalu, dia curiga seseorang yang bekerja di sini adalah orang yang mengganti isi dari box scarf dengan bangkai ular. Lalu ingatannya terbang pada pelukan mereka.
Lagi, Nik? Ya Tuhan.
Dia menggeram kesal dan marah pada dirinya sendiri kemudian pintu kamar diketuk. Kepala Ayyara menyembul dari balik pintu.
"Om nggak sarapan?"
"Yara sarapan duluan. Om masih ada pekerjaan."
Ayyara sudah masuk dan berjalan mendekatinya. Siap dengan pakaian renang dibalik mantel handuknya. "Om janji mau ajarin Ayyara berenang hari ini. Lagian kan ini hari Sabtu, kenapa kerja sih? Mama yang zuper zibuk aja nggak kerja kalau Sabtu Minggu."
Dia tersenyum kecil. Sungguh keberadaan Ayyara membuat segalanya jadi jauh lebih mudah untuknya. Dia tidak bisa membayangkan berada berdua saja bersama Audra.
"Pokoknya aku mau latihan berenang hari ini. Om udah janji, titik. Kerjanya nanti aja. Nanti otak Om bisa meledak." Yara menarik tangannya agar berdiri dan mengikuti gadis kecil itu ke bawah.
Dia tidak pernah bisa menolak keinginan Ayyara. Gadis kecil ini pintar, periang, lucu, konyol sekali, juga patuh padanya. Terkadang gaya bicara Ayyara yang dewasa membuat dia ingin tertawa. Mereka melewati dapur dan sudah tidak ada Audra di sana. Ayyara masih terus menarik lengannya.
"Nggak usah tarik-tarik, Yara. Iya Om ajarin."
Mereka sudah sampai pinggir kolam renang dan akhirnya dia tahu kenapa Ayyara terus menarik tangannya. Audra sudah berada di dalam kolam dengan rambut diangkat tinggi dan pakaian renang yang...Ayyaraaa. Ya Tuhan.
"Yara, katanya minta Mama yang ajarin berenang? Kok tarik-tarik Om Niko?" ujar Audra heran dari tengah kolam.
Tangan Ayyara lepas dan gadis itu berpindah ke belakang tubuhnya.
"Biar seru aja. Kita kan nggak pernah berenang bareng-bareng."
Dia ingin membalik tubuh untuk protes pada gadis kecil yang usil ini. Lalu Ayyara berbisik padanya. "Mamaku cantik ya, Om?"
Belum sempat dia protes tubuhnya didorong Ayyara ke arah kolam dan sudah jatuh ke dalam kolam dengan pakaian lengkap. Lalu Ayyara melompat menyusulnya. Dia yang terkejut berdiri dan menggeleng kesal pada Ayyara. Sementara itu Audra tertawa lebar.
"Terimakasih Ayyara, sudah bales dendam buat Mama. Hey, Nik. Karma is real," Audra masih tertawa menatapnya. "Itu bukan aku yang suruh lho."
"Bales dendam apa?" tanya Ayyara polos.
"Dulu Om Niko pernah ceburin Mama ke kolam renang," sahut Audra.
Mau tidak mau dia tertawa juga. "Dasar menyebalkan. Awas ya kalian berdua. Saya bisa tenggelamkan kalian gampang."
"Not until you get us."
Ayyara meledek dan tertawa lalu berenang mendekati Audra. Dua perempuan itu sudah berenang menjauh. Dia lupa dengan kekhawatirannya tadi. Karena sungguh tawa Audra dan Ayyara benar-benar membuatnya sama bahagia. Jadi kaus dia sudah buka dan lempat ke pinggir kolam renang. Lalu menyusul dua perempuan usil itu di sana.
***
Ayyara baru saja naik dan pergi ke kamar mandi. Mereka benar-benar menikmati sesi berenang pagi. Sungguh Audra tidak tahu jika Ayyara akan menarik Niko dari dalam kamarnya. Sekalipun dia tidak masalah dengan keberadaan Niko.
Masalah? Bukannya kamu senang malahan, Aud?
Dia menyelesaikan seperempat lapnya dan menyusul Niko yang sudah berada di pinggir kolam.
"Saya udah lama nggak berenang. Jadi kamu naik duluan aja," ujarnya pada Niko.
"Jangan terlalu lama. Kamu tadi pemanasan nggak?"
"Nik, udah telat deh nanyanya. Kita udah sejam lebih di kolam renang. Kamu juga nggak pemanasan."
"Saya kan tadi habis olahraga paginya."
"Saya nggak apa-apa kok. Kayaknya saya harus lebih sering berenang."
"Ya daripada dijadiin pajangan kayak kata Ayyara," ledek Niko lalu dia tertawa.
Mereka berada di pinggir kolam dengan kedalaman 2.5 meter. Kakinya terus bergerak agar tubuhnya mengambang. Lalu dia merasakan ada sesuatu melilit kakinya di bawah. Panjang dan menjalar naik ke atas betis. Ular?
Kaki dia hentak-hentakkan panik dan itu membuat tubuhnya tenggelam.
"Nik..." kepalanya menyembul sejenak lalu tenggelam lagi. Masih berusaha melepaskan diri dari belitan pada kakinya.
"Audra..." Niko langsung menyelam dan melihat apa yang terjadi.
Di kedalaman kolam renang, matanya seperti melihat ular hitam itu melilit kakinya. Dia panik dan membuka mulutnya untuk berteriak. Dua tangan Niko sudah mengangkat tubuhnya naik ke atas. Dadanya terasa sesak karena air yang tidak sengaja masuk. Dia terbatuk hebat. Niko terus membawanya ke pinggir dan mengangkat tubuhnya ke lantai pinggir kolam. Laki-laki itu mengangkupkan dua tangan pada wajahnya perlahan lalu memiringkan ke samping agar air tidak kembali masuk ke mulutnya.
"Ular, Nik..." kakinya terus bergerak untuk menyingkirkan apapun yang melilit di bawah.
Niko sudah melepaskan benda itu dari kakinya. Dia menangis ketakutan saat Niko memeluknya perlahan.
"Hanya tanaman rambat. Bukan ular, Aud. Ssshh...tenang dulu. Tenang dulu."
Kaki dia tarik mendekat tubuhnya sambil bergidik ngeri. Sementara kepalanya makin tenggelam pada dada bidang Niko.
"Itu hanya tanaman rambat, Aud. Lihat sebentar."
Dia menoleh sejenak dan memang ada tanaman rambat di dekat kakinya tadi. Kemarin tukang kebun datang untuk membersihkan taman di sekitar kolam renang. Mungkin ada salah satunya yang terjatuh dan tadi mereka tidak melihat. Niko benar, bukan ular.
Nafas dia hirup berkali-kali. Dia masih berada di pelukan Niko yang berjongkok di dekatnya menangis takut dan kesal pada dirinya sendiri. Dia bodoh sekali.
"Everything's ok. I'm here."
Niko sudah melepaskannya perlahan saat Ayyara berlari dari arah dalam. "Mama kenapa?"
"Ambilkan handuk untuk Mama. Kaki Mama kram jadi hampir tenggelam," jawab Niko.
Ayyara sudah berlari masuk mengambil handuk lalu menyerahkan pada Niko satu handuk besar berwarna putih. Dia terbatuk dan memuntahkan air lagi. Niko menyelimuti tubuhnya dengan handuk itu lalu mengangkat tubuhnya dan membaringkan di kursi panjang terdekat.
"Yara, tolong buatkan mama teh hangat. Kalau Yara nggak bisa minta bibi buatkan," pinta Niko sambil duduk di sebelahnya.
Yara mengangguk lalu masuk lagi ke dalam.
"Aku benci kalau lemah begini." Satu tangan menghapus air matanya.
"Trauma itu bukan kelemahan, Aud. Nggak ada orang yang mau mengalami trauma."
Tangan besar Niko menggosok tangannya yang dingin perlahan. Lalu menatapnya lagi penuh perhatian. Dia suka bagaimana cara Niko memperlakukannya, memperhatikannya, menjaganya. Dia merasa selalu aman dan nyaman. Dia bahkan merasa menjadi orang yang berbeda, yang lebih baik. Tertawa bebas, berbuat sedikit konyol, bernyanyi atau menggoyangkan bahunya saat mereka mendengarkan musik dengan Ayyara, menikmati hidupnya, menjadi apa adanya tanpa pura-pura. Semua itu dia rasakan saat dia bersama Niko saja. Bukan yang lain.
"Jangan salahkan dirimu untuk sesuatu yang bukan salahmu," ujar Niko lagi.
"Kamu baik sekali, Nik. Aku nggak tahu bagaimana dengan diriku sendiri, kalau kamu nggak ada nanti." Kesadaran tentang itu membuat air matanya jatuh lagi.
Gerakan Niko melambat, seperti menyadari sesuatu. Mata Niko menggelap, dan ekspresinya berganti sedih sekali. Mungkin seperti dia sendiri.
"Kamu akan baik-baik saja, Aud."
Tangan Niko meletakkan tangannya di pangkuan.
"Kata siapa?" dia tidak bisa menghentikan air matanya.
"Kata dirimu sendiri, yang sudah berhasil bertahan di tahun-tahun yang panjang sebelumnya."
"Bagaimana kalau aku nggak mau lagi."
"Nggak mau apa?"
"Aku nggak mau sendiri." Dua jarinya menyentuh telapak tangan Niko yang berada dekat dengan tangannya.
Dia bisa melihat Niko meloloskan salivanya perlahan. Seperti mengerti apa yang berusaha dia katakan, seperti mengerti tembok besar apa yang ada di hadapan mereka. Niko diam, bungkam. Hanya menatap matanya saja.
"Om, ini teh nya," ujar Ayyara yang sudah berdiri di dekat mereka membawa satu gelas teh hangat.
Cepat-cepat dia menghapus air mata. Ayyara sudah duduk di sebelahnya dan memberikan teh itu.
"Ayyara temani mama dulu oke. Mama harus habiskan teh hangatnya. Setelah itu mama boleh mandi dan istirahat."
"Om mau kemana?" tanya Ayyara.
"Om mau periksa jadwal Mama yang lain dan siapkan segalanya," ujar Niko sudah berdiri.
"Mama nggak apa-apa kan?" tanya Ayyara sambil memeluknya.
Dia hanya mengangguk perlahan. Matanya mengawasi Niko yang berlalu masuk ke dalam. Hangat teh di dalam gelas mulai menjalari. Sekalipun yang dia mau adalah hangat tangan Niko yang menggenggam tangannya.
***
Setelah kejadian aneh di kolam renang serta memastikan bahwa Audra beristirahat, dia keluar untuk mendinginkan kepala. Apa-apa yang terjadi pada mereka berdua beberapa waktu ini benar-benar mengganggunya. Jika sebelumnya dia berusaha keras untuk melupakan Audra, setelah kejadian di kolam renang tadi harapan itu timbul tanpa bisa dia kendalikan. Audra membalas apa yang dia rasa, karena tatapan wanita itu memuja, mendamba, juga seperti memohon untuk dilindungi.
Apa bisa, Nik? Bagaimana agar bisa? Entah kenapa jenis pertanyaan kedua muncul begitu saja. Pertanyaan bodoh yang penuh harapan.
Dia selalu suka keramaian. Bukan jenis keramaian yang hiruk-pikuk tidak menentu, tapi dia suka melihat orang-orang lalu-lalang. Mengobrol santai, beraktifitas, duduk menunggu, atau hanya menikmati kopi sendiri. Jadi ketika pikirannya sedang kalut seperti sekarang, dia datang ke kafe langganannya dan duduk di sana sambil menyesap kopi. Melihat orang-orang di sekelilingnya sambil menebak apa-apa yang ada di pikiran mereka. Itu membuat dia melupakan masalahnya sendiri.
Aku nggak tahu bagaimana dengan diriku sendiri, kalau kamu nggak ada nanti.
Bagaimana kalau aku nggak mau lagi. Aku nggak mau sendiri.
Kali ini rasanya berbeda. Jika sebelumnya dia bisa dengan mudah melupakan apapun masalahnya, saat ini wajah Audra terus membayang di pelupuk mata. Jika sebelumnya dia tidak pernah merasa sepi, saat ini dia merasa tersiksa. Dia kehilangan Arsyad sahabatnya, lalu dia jatuh cinta pada seseorang yang seharusnya dia jaga. Semua itu membuat dia untuk pertama kali merasa kesepian di tengah keramaian kafe langganannya.
Nafas dia hirup panjang, kemudian ponselnya berbunyi. Matanya menatap jam dinding. Pukul 4 sore. Audra akan makan malam di kediaman orangtuanya. Dia menjawab ponsel yang masih berdering.
"Nik..." suara Audra di sana.
"Ya? Saya masih ada urusan di luar."
"Aku diundang makan malam oleh Papa."
"Ya. Saya tahu. Saya sudah minta Martin mengantar kamu."
Ada helaan nafas kecewa di seberang sana.
"Telpon ke pos penjaga di depan, minta Martin menjemput kalau kamu sudah siap."
Diam lagi di sana.
"Aud?"
Audra berdehem. "Oke."
Hubungan disudahi Ponselnya berbunyi lagi. Mahendra Daud menghubunginya menanyakan beberapa data. Mereka berdiskusi sejenak tentang seluruh bukti yang sudah berhasil dikumpulkan. Kasus yang mereka tangani sudah banyak kemajuan, Mahendra yakin sebentar lagi ini semua selesai. Evan, si mantan suami juga masih berada di penjara. Audra sedang memproses tuntutannya. Semua itu pertanda bahwa dia sudah bisa pergi meninggalkan Audra. Tapi apa dia mau?
Dia menutup ponsel dan memutuskan untuk memeriksa Ram dan Sabiya. Untuk mengalihkan pikirannya.
***
Malamnya.
"Abi, kamu nggak perlu antar aku begini." Audra berujar kesal karena Abimana keras kepala sekali. Mereka sedang berkendara dengan mobil Abimana, sementara Martin mengikutinya di belakang.
"Ayolah, Od. Kamu tahu para orangtua memaksa tadi. Lagian aku harus pergi kerumahmu juga pada akhirnya kan?"
"Jangan bilang kalau kamu setuju tentang semua perjodohan sialan itu."
Abimana menggendikkan bahu. "Setuju atau nggak setuju, aku putuskan nanti. Tapi aku tetap harus memulai sesuatu dengan kamu."
"Kenapa?"
"Ya, karena aku ingin."
"Bullshit. Dimana Vivi, si artis terkenal itu? Atau Belinda? Silahkan main dengan mereka."
Abimana tertawa kecil sambil masih berusaha fokus berkendara. "Kamu cemburu, Sayang. Itu awal yang bagus."
Karena kesal dia memukul bahu Abimana. "Jangan bercanda terus, Abi. Dan jangan panggil aku dengan sebutan konyol itu."
"Kali ini kamu punya lebih banyak ekspresi, Od. Biasanya hanya diam dan dingin saja. Apa ada yang terjadi?" Abi menoleh padanya sejenak.
Dia terhenyak diam. Niko. Itu yang terjadi.
"Jangan bertingkah menyebalkan atau aku akan minta Martin menendangmu keluar."
Kemudian dia diam sepanjang sisa perjalanan. Pikirannya mulai kembali memikirkan Niko yang tadi belum pulang.
Dalam lima belas menit mereka sampai. Dia berharap Niko sudah pulang jadi mereka bisa mengobrol di teras belakang seperti biasa. Sungguh malam ini terasa sesak sekali. Dengan seluruh ekspresi berharap mama, dan juga pandangan mata mengancam papa. Belum lagi sikap mami Tantri Tanadi yang bicara seolah-olah dia dan Abimana akan menikah besok saja.
Dia turun dan enggan berbasa-basi pada Abimana, langsung masuk ke dalam rumahnya yang lengang. Sudah pukul sebelas malam, Ayyara pasti sudah tidur. Abimana juga masuk ke dalam rumah sambil membawakan buket bunga besar yang tadi laki-laki itu berikan ketika makan malam. Ada apa dengan laki-laki dan bunga? Hah, menyebalkan.
"Abi, udah malem. Kamu pulang aja. Saya udah di rumah." Mereka berdiri berhadapan di tengah ruangan.
"Od, kamu benar-benar nggak sopan."
"Aku benci basa-basi, Abi. Kamu pulang, oke. Ini sudah malam dan kamu tadi minum terlalu banyak wine."
"Tidak pernah ada kata terlalu banyak untuk wine." Tubuh Abi malah berjalan ke arah dapur. "Dan sedikitnya kita harus merayakan perjodohan kita. Aku dengar kamu punya beberapa koleksi wine yang sangat baik."
"Abi..." dia berbisik kesal lalu menyusul Abimana yang sudah tiba di dapur. "Kamu stress ya?"
"Oh, hai, Nik," Abimana menyapa Niko.
Dia terkejut karena ada sosok Niko yang sedang duduk di kursi tinggi kitchen island, membuka laptop dan bekerja di sana. Dadanya mulai bertalu-talu.
"Wow, kepala penjaga Audra adalah komandan tinggi ADS." Abimana berjalan ke arah lemari wine miliknya.
Dia yang serba salah mengikuti Abimana untuk mengusirnya halus. "Abi, udah malem. Kamu pulang aja," bisiknya.
Abimana mengambil salah satu botol wine mahal dari dalam lemari penyimpanan dan membalik tubuhnya. Kemudian tanpa dia duga Abimana memeluknya kuat.
"Sayang, kita harus merayakan perjodohan kita. Sebentar lagi kita menikah." Dengan cepat Abi mencium pipinya santai.
Mungkin wajahnya langsung pucat pasi dan dia menjauhi tubuh Abimana. Kepalanya menoleh pada Niko yang menatap matanya tajam. Sedangkan Abi sudah berjalan mengambil gelas wine dan duduk di hadapan Niko yang diam kaku.
"Saya lupa ambil gelas satu lagi. But it's oke. Saya udah minum banyak tadi." Abimana menyodorkan botol wine dan gelas ke arah Niko. "Kamu mau merayakan perjodohan kami malam ini?"
"Abi, jangan ngomong yang enggak-enggak. Saya pingin istirahat," ujarnya tidak nyaman.
"Saya akan menikah dengan Audra, Nik. Saya suka dia sekalipun dia nggak ketebak. Tapi ini adalah perjodohan yang bagus. Business in combine with pleasure, nggak ada yang lebih bagus dari itu."
Rahang Niko mengeras. "Selamat. Tapi saya tidak minum." Gelas dan botol wine Niko kembali sodorkan pada Abi.
Dadanya sendiri berdenyut nyeri.
"Kamu tahu? Sebentar lagi Sanggara Buana akan diperiksa. Karena kasus paman Herman yang tersayang. "Saat itu terjadi, Audra membutuhkan saya."
Sudah cukup. Dia menarik tubuh Abimana keluar dari dapur dan keluar dari rumahnya sendiri.
"Od...aku baru mengobrol dengan Niko," protes Abimana.
Mereka sudah berdiri di teras rumahnya. "Pulang. Saya yakin kamu setengah mabuk karena wine-wine tadi." Kepalanya menatap Martin yang masih berdiri menunggu. "Martin, antar Abimana pulang. Dia mabuk."
Martin mengangguk kemudian dia menutup pintu. Kakinya berjalan cepat menuju dapur. Entah kenapa dia ingin menjelaskan semua pada Niko. Bahwa ini bukan hal yang dia mau. Saat dia berada di dapur Niko sedang mematikan laptop dan membereskan benda itu. Niko yang diam saja membuat dia serba salah sendiri. Tubuh Niko melangkah melewatinya menuju ke lantai atas. Dia sendiri mengikuti Niko hingga ke kamar.
"Sudah malam. Istirahat, Aud."
Pintu kamar Niko dia tahan dan dia masuk saja ke dalam. "Nik, aku bisa jelaskan."
"Apa yang harus dijelaskan? Saya nggak minta penjelasan apapun, Aud."
Mata dia pejamkan sesaat. Dia juga bingung sendiri dengan segalanya.
"Aku dijodohkan..."
"Saya sudah dengar." Tubuh Niko mulai bergerak mengambil baju-bajunya yang sedikit sekali di dalam lemari dan memasukkannya ke dalam tas.
"Nik, mau kemana?"
"Ada tugas baru. Tadi saya dapat kabar dari Ram. Besok saya hubungi Mareno. Dado dan Martin akan terus menjagamu. Kamu aman di sini." Niko terus memasukkan barang-barangnya yang tidak banyak dengan dia yang terus mengikuti Niko.
"Itu bukan mauku, Nik. Perjodohan itu."
"Tapi kamu membutuhkan hal itu, Aud."
"Niko, berhenti dulu...please." Hatinya sakit sekali. Matanya sudah berkaca-kaca. Seluruh emosi yang dia tahan sedari tadi saat makan malam membuat dia ingin pulang dan menangis mengadu pada Niko. Bukan bertengkar begini.
"Aku tidak membutuhkan itu," ujarnya lagi karena Niko terus bergerak tidak peduli.
Tubuh Niko berhenti. Mereka berdiri bertatapan dekat sekali. "Belum saat ini. Tapi ketika Sanggara Buana membutuhkan hal itu, kamu juga membutuhkannya nanti."
Air matanya jatuh satu. "Jangan begini, Nik."
"Harus begini. You do what you need to do. Not what you want to do. El Rafi yang mengajarkan saya tentang itu. I understand."
Tubuhnya sedikit limbung karena sedih sekali. "Niko, please dengerin aku dulu." Dia maju ingin berpegangan pada meja. Tanpa sengaja dia menyenggol dompet Niko yang berada di atasnya. Dompet itu jatuh ke lantai.
Kepalanya menunduk melihat dompet yang terbuka lebar. Menunjukkan foto Niko yang dekat sekali dengan seorang perempuan. Mereka tersenyum lebar terlihat sangat bahagia. Matanya mengerjap dua kali saat tubuhnya membungkuk di lantai. Mengambil dompet itu. Jantungnya seperti ditarik pergi.
"Siapa ini?" tanyanya dengan suara yang bergetar hebat.
Niko menatapnya lurus tanpa ekspresi. "Pacar saya. Dia bertugas di tempat lain."
Dia menatap Niko tidak percaya. Seluruh sesak di dada membuat dia meledak juga. Tangannya melayang menampar pipi Niko keras.
'PLAK!'
Semua laki-laki sama saja, Aud. Lihatkan? Semua laki-laki sama.
Tubuhnya berbalik dan berlari menuju kamarnya sendiri. Dia tidak mau menangis di hadapan Niko Pratama lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro