Part 14
Beberapa waktu kemudian. Kantor Sanggara Buana.
Mata Audra mencermati seluruh angka sell-in dan sell out. Juga analisa stock pada seluruh cabang perusahaannya di negara ini. Angka-angka ini yang akan menjadi fondasi pertumbuhan perusahaannya yang sejak dia pegang lima tahun belakangan pesat sekali. Bangunnya papa dari tidur panjang sungguh membuatnya senang. Kondisi papa juga semakin baik sekalipun masih menggunakan kursi roda karena kakinya masih harus dilatih. Papa juga sudah mulai aktif memeriksa segalanya, seolah berusaha mengejar ketinggalannya selama ini.
Dalam hal pekerjaan, papa adalah sosok yang sangat ambisius dan perfeksionis. Kemampuan bisnis dan negosiasi papa di atas rata-rata. Intuisinya jangan ditanya. Ketika satu proyek didapat, proyek lain sudah ada dalam incarannya. Karena itu ekspektasi papa padanya sangat tinggi. Papa tidak akan menerima alasan bahwa dia adalah wanita, yang punya pilihan untuk tidak bekerja. Ya, dia tidak pernah bisa memilih.
Bangunnya papa juga membuat segala situasi tentang Herman bertambah pelik. Pamannya itu sama handalnya dalam kemampuan bisnis. Tapi Herman memiliki kecenderuangan untuk bermain kotor, licik. Herman juga pintar sekali membujuk, bermain sebagai korban karena kasus Herman dan paman Ibrahim dulu. Hingga papa dan paman Ibrahim menuruti keinginannya. Termasuk, menyetujui beberapa proposal Herman yang kotor.
Dia tidak habis pikir ketika memeriksa dokumen-dokumen itu. Bagaimana bisa papa menandatangani pengalihan dana salah satu proyek pemerintah ke Sanggara Buana tanpa realisasi proyek itu sendiri. Dia yakin papanya tidak bodoh, tapi apa alasannya. Ini sangat berbahaya bagi posisi Sanggara Buana saat ini. Apalagi dia tahu saat ini para sepupunya sedang menjalankan rencana mereka untuk menjatuhkan Herman. Saat Herman jatuh, Sanggara Buana terancam.
Ponselnya berbunyi. Pesan masuk.
Niko: Saya dan Ayyara di bawah. Kamu sudah selesai?
Senyumnya langsung terkembang lebar. Hubungannya dengan Niko membaik. Laki-laki itu juga masih bertugas menjaganya.
Audra: Sebentar lagi. Atau kamu mau naik ke sini?
Niko: Ayyara ngajakin saya minum kopi. Anak ini terlalu cepat dewasa. <emoticon tertawa>. Saya tunggu di coffee shop bawah. Selesaikan dulu pekerjaanmu. Saya dan Ayyara bisa menunggu.
Audra: Thanks, Nik.
Pintunya diketuk ketika dia masih memandangi layar ponsel.
"Bu, jangan lupa Ibu ada janji besok pagi dengan Pak Lukman. Soal tuntutan Ibu pada Pak Evan yang akan segera diproses. Surat tuntutan sudah di email oleh Pak Lukman sore ini. Beliau tadi menghubungi saya untuk mengingatkan ibu agar membaca surat itu."
Dia mengangguk. "Terimakasih, Lisa. Saya akan baca malam ini."
"Baik, Bu."
Tubuh Lisa berbalik menuju pintu lalu dia berujar lagi.
"Lis, kamu bisa pulang. Sebentar lagi jam 5."
"Oh, saya masih ada yang belum selesai."
"Suamimu sedang dinas. Anakmu tidak ada yang menemani. Tugas apapun kamu teruskan besok. Sekarang pulang saja, Lis."
Senyum lebar Lisa terkembang lebar. "Terimakasih, Bu. Hubungi saya jika Ibu membutuhkan sesuatu."
"Saya usahakan tidak menghubungi kamu," dia tersenyum juga sambil mengangguk melihat Lisa keluar dari ruangan.
Semenjak dia bertemu Niko perspektifnya dalam menilai karyawan atau seluruh staff yang berja padanya berubah. Dia berusaha lebih menghargai orang-orang di sekelilingnya. Akibatnya, orang-orang itu bahkan menunjukkan kinerja jauh lebih baik daripada sebelumnya. Ya, sikap Niko mengingatkan dirinya bahwa semua orang butuh penghargaan. Ucapan terimakasih, kata-kata maaf, atau meminta tolong dengan sopan. Niko mengajarkannya sesuatu yang sebelumnya dia abaikan.
Cepat selesaikan pekerjaanmu, Od. Niko menunggu di bawah.
Dia membalas beberapa email dan mengatur beberapa meeting. Tubuhnya sudah berdiri dan membereskan berkas-berkas saat ponselnya berbunyi lagi.
"Ya, Pa," dia mengangkat ponsel sambil kembali duduk.
"Datang besok. Papa mengundang Mami Tantri datang, bersama Abimana."
Dia terhenyak sesaat. "Abimana?"
"Ya, atau kamu ingin dengan adiknya? Abimana usianya lebih matang, adiknya satu tahun di bawahmu. Mami Tantri lebih suka jika Abimana yang maju."
"Maju?"
"Sayang, Papa yakin kamu mengerti. Sudah cukup waktu sendirimu."
Saliva sulit sekali dia loloskan. "Papa ingin menjodohkan aku? Begitu? Dengan Abimana?"
"Audra, keluarga Hartono adalah dalang dari segalanya. Kamu pasti sudah tahu kan. Para sepupumu sedang sibuk menjatuhkan Hartono. Para tetua sedang menyelidiki segalanya. Kamu juga sangat mengerti jika cepat atau lambat kamu harus menikah lagi. Ayyara butuh ayah."
"Dan menurut Papa Abimana adalah ayah yang tepat untuk Ayyara? Sejak kapan keputusan itu berada di tangan Papa?"
"Sejak kegagalan rumah tanggamu dengan laki-laki brengsek itu!!" Suara papa mulai tinggi.
"Sayang..." kali ini suara mama. "Dengarkan Mama. Datang dulu besok, kita bicarakan di rumah. Kondisi Papa belum stabil. Beliau selalu khawatir denganmu dan Ayyara. Apalagi situasi saat ini tidak menentu. Tujuan kami baik, Sayang. Datang dulu, oke?"
Dadanya berdetak tidak beraturan. Kemarin dia lupa, bahwa dia Audra Daud. Seluruh aturan keluarga, kekayaan dan kekuasaan yang harus dijaga dan dipertahankan, nama baik, kredibilitas dan segalanya. Dia benar-benar lupa. Semua kenyataan itu membuat dadanya sedikit sesak karena sakit. Ini akan jauh lebih mudah jika dia tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki yang tidak mungkin disetujui oleh keluarganya. Ponselnya berdering lagi.
"Maa...lama banget siiih. Hazelnut Latte ku udah mau habis niiih. Om Niko bisa sabar, tapi aku enggak. Ayo dong, Ma. Nanti filmnya keburu mulai. Nanti kita terlambat dan nggak dapet kursi di tengah."
Tas dia ambil lalu dia keluar dari ruangan. "Ya, Mama turun sekarang."
***
Di bioskop.
"Akhirnyaa aku bisa nonton di mall lagi. Nggak di rumah mulu." Ayyara tersenyum lebar sambil membawa satu bucket besar popcorn.
Mereka berdiri menunggu sementara Niko dan dua tim ADS lain sedang masuk memeriksa bagian dalam bioskop dengan akses dan ijin langsung dari El Rafi si pemilik mall ini. Dua penjaga lain juga sedang duduk mengawasi tidak jauh dari mereka.
"Mama kenapa sih? Tegang banget? Filmnya aja belom dimulai udah tegang banget. Apalagi nanti di dalem. Aku sengaja pilih thriller biar Mama takut..." Ayyara masih berceloteh sambil terkikik geli sementara dia sibuk dengan pikirannya tadi.
Abimana Tanadi. Keluarga Tanadi kuat sekali di industry perbankan. Memiliki saham besar pada salah satu bank swasta nomor 1 di negeri ini. Juga beberapa perusahaan finance dan dua kantor audit yang besar namanya, Posisi keluarga Tanadi adalah nomor tiga setelah keluarganya sendiri. Darusman di posisi empat, selanjutnya keluarga Arya Dirga Wiratmaja, lalu Admaja Hadijaya. Ya, Admaja terlalu jauh di bawah. Sementara El Rafu dan Arya Dirga sudah menikah. Abimana adalah calon sempurna dari papa. Sial!
"Yara, Om harus pilihkan bangku yang paling belakang ya. Nggak bisa di tengah, karena ada pengunjung umum lainnya." Niko sudah berjongkok di depan Ayyara.
"Oh, jadi kalau ada orang jahat Om Niko langsung bisa lihat ya. Bukan datang dari arah belakang, begitu nggak?"
Niko mengangguk sambil tersenyum. "Pintar."
"Oke. Aku nggak masalah. Lagian aku punya misi yang lain."
"Misi apa?"
"Misi bikin Mama tegang. Tuh lihat, udah tegang kan? Mama dari tadi bengong aja. Yara jadi KZL."
Niko tertawa kemudian berdiri menatapnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Mata dia pejamkan sejenak. Dia tidak boleh begini di depan Niko. Nafas dia hirup sebelum dia membuka mata.
"Ma, kita itu mau nonton bioskop. Iya sih filmnya thriller. Tapi Mama jangan nge-thrill duluan dong padahal filmnya belum mulai."
Dia tersenyum kecil. "Maaf, Yara. Mama sedang banyak pikiran."
Pengumuman bahwa pintu bioskop sudah dibuka menggema. Kemudian Ayyara berjalan di depan mereka.
"Are you oke?" tanya Niko lagi.
"I'm fine." Dia membetulkan letak rambutnya.
Niko menatapnya dari samping tapi bungkam.
"Aku nggak apa-apa, Nik."
"Kamu nggak pandai bohong. But it's oke. Saya menghargai privasimu. Apapun itu, saya harap kamu nggak pikirkan lama-lama. Ayyara menunggu-nunggu saat ini. Nikmati dulu filmnya, setelah itu pikirkan lagi masalahmu kalau kamu masih ingin pikirkan. Saya yakin semua masalah pasti ada jalan keluarnya, Aud."
Langkahnya berhenti sebelum masuk pintu. "Nik..."
"Ya?"
"Terimakasih karena sudah mengatur ini semua untuk Ayyara."
Niko tersenyum. "Saya suka sekali nonton, dan sudah lama nggak nonton film bagus. Jadi jangan khawatir. Senyum, Aud. Kamu tegang banget."
Dadanya sedikit sesak tapi dia tersenyum juga. Menutupi kegelisahannya.
Niko membeli seluruh tiket pada baris paling atas untuk memastikan bahwa hanya mereka bertiga yang duduk di baris itu. Beberapa pengawal masuk dan duduk dua baris di depan mereka. Sisa kursi diisi dengan penonton lain. Ayyara duduk di tengah antara dia dan Niko. Tapi kemudian anaknya itu pergi ke toilet ditemani oleh salah satu pengawal. Hanya menyisakan dia dan Niko dengan jarak satu kursi yang kosong tempat Ayyara tadi. Film sudah dimulai dan lampu sudah dimatikan saat Ayyara kembali.
"Ma, geser dong. Gelap nih," ujar Ayyara.
Dia yang tidak punya prasangka apapun refleks berdiri dan menggeser duduknya persis di sebelah Niko. Teater yang tempat mereka bukan teater premier yang memiliki kursi besar sendiri-sendiri setiap penonton. Teater ini adalah jenis teater biasa yang pada kursinya hanya ada satu sandaran tangan saja. Ini semua permintaan Ayyara. Anaknya itu bilang dia ingin merasakan menonton di bioskop seperti orang normal lainnya. Bukan di rumah, di tempat premier, dan tidak boleh di booking keseluruhan tempatnya.
Nonton yang benar-benar normal, Ma. Mama belum pernah coba, kan? Rayu Ayyara minggu lalu.
Lalu setelah berdiskusi dengan Niko, mereka setuju dengan permintaan Ayyara. Dia tahu betapa merepotkan semua pengaturannya. Belum lagi ijin pada El Rafi agar Niko bisa melakukan pemeriksaan, pembelian tiket lebih awal, juga ijin membawa senjata hanya untuk Niko saja. Repot sekali. Sebagai ganti, dia bahagia melihat senyum lebar Ayyara.
Dia baru menyadari bahwa tubuhnya dan Niko dekat sekali lima belas menit setelah film thriller itu dimulai. Pertama, dia tidak tahu jika jarak kursi sedekat ini. Kedua, dia tidak suka film thriller atau horror. Dia suka comedy. Ayyara yang memilih film ini. Jadi ketika seluruh ketegangan mulai berlangsung dia menoleh ke samping pada Ayyara yang ternyata sudah pindah duduk dua kursi dari kursinya sendiri.
"Yara, kok jauh-jauh sih?" bisiknya.
Yara duduk bersila sambil menyedot minumannya. Mata Yara serius sekali menonton. "Ma, jangan berisik. Bagus nih filmnya."
Niko terkekeh di sebelahnya. "Kamu takut?"
"Enggak. Enak aja."
Tiba-tiba si pembunuh yang membawa pisau besar keluar untuk menangkap seorang tokoh wanita. Beberapa orang terkejut termasuk dia yang refleks menolehkan kepala ke Niko. Matanya terpejam takut.
"Itu cuma film, Aud. Ada banyak sutradara di belakang aktornya," bisik Niko menenangkan.
Jarak wajah mereka dekat sekali ketika dia membuka mata. Pilihannya adalah menatap ke depan dan meresikokan jantungnya, atau menatap ke samping meresikokan hatinya. Bagaimana ini?
Yara kenapa pilih film begini sih. Pilih resiko jantung aja, Aud.
Dia kembali menatap ke depan. Berusaha menabahkan dirinya atas seluruh ketegangan di depan mata. Yang dia tidak tahan ketika adegan si penjahat yang sedang memburu tokoh utama. Efek kejutan film membuat refleksnya menoleh ke arah Niko lagi. Saat satu penonton di depannya menjerit, wajahnya sudah dia sembunyikan di bahu Niko dengan tubuhnya yang miring sempurna.
"Aku mau makan aja bisa nggak? Biar Yara aja yang nonton," bisiknya pada Niko.
Niko menahan tawa. "Saya nggak bisa ninggalin Yara di sini, atau membiarkan kamu keluar dengan pengawal lain."
"Kamu mau ketawain saya?" tanyanya kesal tapi masih bersembunyi di bahu Niko. Adegan bunuh-bunuhan sedang berlangsung.
"Enggak. Bukan begitu."
"Saya takut beneran."
"Sssst..." seseorang di depan mereka memperingatkan.
Nafas Niko hirup panjang lalu laki-laki itu melepaskan bomber jaket yang Niko kenakan, kemudian menutupi wajahnya yang berada di bahu Niko dengan jaket itu. Dia yang terkejut sudah dilingkupi dengan harum tubuh Niko yang dia suka. Matanya bisa melihat lengan Niko yang kuat menempel pada lengannya sendiri. Saliva dia loloskan perlahan karena kali ini hatinya yang berderak tidak beraturan. Dia mengintip dan menatap wajah Niko dari samping yang masih menonton. Dia jatuh cinta pada laki-laki ini. Tapi keinginan papanya tadi, sungguh mengganggu pikirannya sendiri.
Suara jeritan dari dalam film membuat dia terkejut lagi. Dia bisa mendengar helaan nafas Niko perlahan saat lengan kuat dan kokoh itu bergerak untuk dililitkan pada lengannya sendiri. Niko menggenggam tangannya yang dingin sekali dari balik jaket. Dia tertegun menatap pemandangan itu. Dadanya seperti mengalunkan lagu merdu. Jantungnya melompat-lompat tidak tahu diri.
Dia membalas genggaman tangan Niko, lalu meletakkan dahinya di bahu kuat Niko. Membiarkan dirinya tenggelam, malam ini saja. Pada harum yang dia suka, pada hangat genggaman tangan mereka, juga pada segala rasa di dada.
***
Ekspresi Audra saat wanita itu turun dari kantornya sudah salah. Ada yang Audra pikirkan dan sembunyikan entah apa. Audra banyak melamun, pikiran Audra sedang tidak berada bersama tubuhnya. Mungkin urusan kantor, dia sangat berharap hanya urusan pekerjaan saja.
Hubungan mereka benar-benar lebih baik dari sebelum insiden di mall dan ancaman Evan beberapa minggu lalu. Sikap Audra lebih baik. Wanita itu juga lebih sering tersenyum daripada sebelumnya. Dia akan mengantar Audra ke kantor, setelah itu dia akan menuju kantor ID Tech atau safe house memeriksa seluruh perkembangan kasus dengan Mareno dan Mahendra. Sore hari dia akan menjemput Audra lalu malamnya mereka bertiga akan makan malam bersama. Audra juga sudah mulai mau mengajarkan Ayyara membuat PR, sementara dia memeriksa kondisi para penjaga. Lalu ketika malam, Audra akan menghampirinya di teras belakang dengan dua gelas teh untuk kemudian mengobrol sejenak sebelum Audra tidur.
Ayyara yang mengusulkan semua ini. Menonton di bioskop umum, dengan film pilihan Ayyara, kemudian...sebentar. Dia menoleh ke arah Ayyara yang sudah duduk menjauh. Lalu dia menatap Audra yang duduk dekat di sebelahnya.
Ayyaraaaa....ini akal-akalan anak itu. Ya Tuhan.
Saat film mulai intens Audra mulai bereaksi. Wanita itu takut, jelas sekali film thriller adalah bukan film kesukaannya. Ayyara harusnya tahu, dan dengan sengaja memilih untuk menonton film ini.
Refleks terkejut Audra adalah menoleh ke arahnya. Wajah mereka dekat sekali. Setiap kali dia gugup tubuhnya akan menghangat. Selalu begitu. Saat ini, dia sangat-sangat-sangat gugup. Kepala Audra menoleh cepat ke depan sekalipun dia tahu Audra berpura-pura berani. Saat seluruh suasana tegang kembali, Audra akan berjengit kaget dan mengernyitkan dahi. Dia tidak tega sebenarnya, tapi sedikit merasa lucu juga. Wajah Audra yang selalu terlihat kaku dan dewasa, berubah menjadi tidak berdaya.
Puncaknya adalah ketika beberapa penonton berteriak pendek. Kepala Audra bukan hanya menoleh, tapi berusaha bersembunyi di balik bahunya. Dia mengulum senyum saat Audra berkata bahwa wanita ini ingin makan saja. Sungguh dia baru melihat ekspresi Audra yang ini.
"Kamu mau ketawain saya?" bisik Audra kesal tapi masih bersembunyi di bahunya. Adegan bunuh-bunuhan sedang berlangsung dengan jeritan dan seluruh musik yang menegangkan.
"Enggak. Bukan begitu," balasnya perlahan.
"Saya takut beneran."
Tangan Audra yang bersentuhan dengan tangannya terasa dingin.
"Sssst..." seseorang di depan mereka memperingatkan.
Dia melihat jam di tangan. Masih satu jam lagi film akan berlangsung. Wajah Audra sudah pucat dan dugaannya suhu tubuh Audra dingin. Jaket hitam yang dia kenakan dia lepas, tubuhnya bersandar lagi dan kepala Audra masih berusaha bersembunyi. Kemudian dia menyampirkan jaketnya menutupi kepala Audra yang berada di bahunya. Itu membuat setengah tubuhnya tertutup juga.
Jantungnya yang berisik sekali dia berusaha tenangkan. Paham benar telinga Audra berada dekat dengan dadanya. Dia mengatur nafas perlahan.
Easy, Nik. Easy.
Lengan mereka yang berada di balik jaket bersentuhan. Ya, suhu tubuh Audra dingin. Keinginan untuk menggenggam tangan itu kuat sekali. Apa boleh? Akan marahkah Audra nanti? Dia tidak tega. Ya, hanya itu alasannya. Bukan begitu, Nik? Kenapa juga dia mulai bertanya-tanya. Suara musik dan jeritan dari dalam film berlangsung lagi. Sekalipun tidak melihat, Audra masih bisa mendengar dan masih saja terkejut. Nafas dia hirup dua kali. Kemudian perlahan lengannya bergerak, melilit lengan Audra, menggenggam tangannya yang dingin di balik jaket. Audra pasti akan beringsut menjauh, menolaknya. Jadi dia diam menunggu saat-saat itu terjadi.
Lima detik sudah berlalu, fokusnya benar-benar terganggu. Genggaman tangan dia longgarkan, dia memberi Audra pilihan dan akan mengerti apapun yang Audra lakukan. Ketika dia merasakan tangan Audra diam kaku sedikit demi sedikit dia melepas jari-jari itu perlahan.
Siapa elo, Nik? Jangan lupa kalau Audra itu Daud. Pewaris tunggal dari Ardiyanto Daud.
Tapi kemudian...saliva dia loloskan. Jari-jemari itu balas menggenggamnya perlahan. Audra bahkan makin melilitkan lengannya lalu wanita itu meletakkan dahi pada bahunya. Oke, dia tidak mempersiapkan diri untuk ini. Matanya terpejam sesaat karena dadanya berderak tidak tahu diri.
What are you doing, Nik? What? Ini Audra Daud. Wanita yang tinggal di ujung langit. Jauhi dia. Kalian nggak akan berhasil seberapapun kalian berusaha.
Tangannya bergerak sendiri, mengabaikan logika. Saat bagian tubuhnya itu malah balas menggenggam tangan Audra. Suhu tubuhnya sendiri sudah benar-benar naik. Dia bukan hanya gugup, tapi logika dan hatinya seperti sedang berperang terhadap satu sama lainnya.
Audra sudah menarik hatinya sejak lama, sekalipun perasaan itu tidak berkembang kemana-mana karena memang mereka tidak berdekatan. Kebersamaan mereka beberapa waktu ini membuat segalanya berubah. Bibit perasaan yang memang sudah ada berkembang dengan cepat dan dia tidak bisa hentikan begitu saja.
Lo hanya khawatir dengan dia, Nik. Cuma itu. Bukan karena lo jatuh cinta atau apapun. Audra butuh perlindungan, dan mental lo ditempa untuk selalu melindungi orang yang sedang dalam pengawasan lo. Hanya itu aja, Nik. Bukan alasan lainnya.
Setelah beberapa saat matanya membuka lagi, dia bisa merasakan kepala Audra yang terkulai di bahunya. Juga genggaman jari Audra yang melonggar. Dia menggeser jaket yang menutupi kepala Audra perlahan. Mata cantik itu terpejam dengan nafas yang berhembus teratur. Audra tertidur.
Dia membetulkan posisi jaket dengan satu tangan, menutupi setengah tubuh Audra dan juga tangan mereka yang masih terjalin. Film masih terus berputar. Tiga puluh menit lagi selesai. Menit-menit yang pasti tidak akan dia lupa. Untuk pertama kalinya dia ingin menghentikan waktu. Apa bisa dia menikmati semua ini dulu?
***
"Aud. Hey, bangun."
"Hmm?" matanya mengerjap perlahan.
"Sepuluh menit lagi filmnya selesai," bisik Niko padanya.
Masih ada jaket Niko tersampir menyelimuti tubuhnya.
Apa dia tertidur? Di bahu Niko? Dengan tangan mereka yang....
Dia bisa merasakan tangan Niko sudah terlepas dari balik jaket, diam dan berada di sebelah lengannya. Kemudian dia membetulkan posisi duduknya sambil menoleh menatap Ayyara yang posisinya masih sama. Dia berdehem untuk menghilangkan kecanggungan. Lalu berusaha mengembalikan fokusnya pada film yang dia tidak suka. Sekalipun bayangan mereka yang dekat sekali tadi menari-nari di kepala.
Sepuluh menit kemudian film selesai. Dia mengembalikan jaket Niko sambil mengucapkan terimakasih. Niko hanya mengangguk kecil. Ayyara menghampirinya sambil tersenyum konyol. Mereka sudah melangkah ke luar bioskop.
"Ma, kok nonton film thriller tidur sih? Itu film tegang Ma. Kok bisa-bisanya Mama tidur?" tanya Ayyara.
"Yara, Mama nggak mau ah nonton film begini lagi. Mama pusing dengar orang teriak-teriak."
Niko berjalan di belakang mereka dengan satu penjaga yang sudah menyusul.
Yara berjinjit lalu berbisik di telinganya. "Apaan pusing, orang Mama tidur di dadanya Om Niko." Ayyara terkikik geli.
Langkahnya langsung berhenti karena wajahnya memerah malu dan kesal. "Yara..." bisiknya sambil mengejar anak bandel itu. "Yara..."
Ayyara sudah melangkah cepat-cepat dengan dia yang mengejar di belakang. Saat dia sudah berhasil mensejajari Ayyara, dia membungkuk dan berbisik pada Ayyara.
"Ini kerjaan kamu ya? Sengaja nonton film thriller biar mama takut?"
"Ih, GR amat. Ma, aku yang naksir Om Niko dari awal. Bukan Mama," bisik Ayyara lagi.
"Terus kenapa kamu duduk jauh-jauh?"
Ayyara berhenti lalu berjinjit dan berbisik di telinganya. "Aku naksir Om Niko buat jadi papa aku. Bukan buat jadi pacar. Jadi, Mama aja yang pacaran sama Om Niko."
Wajahnya memerah lagi. Ayyara sudah berlari menjauh sambil tertawa meledeknya.
"Yara, sini nggak kamu." Mata melotot kesal tapi dia hanya bisa berbisik saja.
Ayyara masih terus tertawa sambil melompat-lompat ringan. Bahagia.
Dasar anak bandel. Hrrgghh... Ayyaraaa.
***
Manisnyaaa part ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro