Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13

Dua minggu kemudian. Kediaman Arsyad Daud.

Nafas mereka tersengal serta peluh berjatuhan ke atas matras yang mereka injak. Wanita di hadapannya ini memiliki stamina yang luar biasa. Juga banyak emosi yang mungkin ditahan selama ini. Sudah dua minggu lebih beberapa hari sejak latihan fisiknya dan Arsyad dimulai. Dan Edward selalu memasangkannya dengan Janice ketika mereka melakukan fighting combat. Paham benar dia dan Arsyad benar-benar bisa saling melukai dan kelewat batas.

Kuda-kuda Janice sempurna, kokoh dan tidak mudah dijatuhkan. Wanita ini punya banyak gerakan tipuan. Karena sambil menghindar, kaki atau tangan Janice bisa berbalik menyerang. Atau saat menyerang, tubuh Janice bisa tiba-tiba berputar meloloskan diri sambil bertahan. Janice seperti belut yang licin sekali sulit ditangkap. Belum lagi dengan kenyataan dadanya yang bergerak-gerak aneh setiap kali berdekatan dengan Janice. Itu membuat semuanya tambah sulit.

Wanita itu bergerak lagi untuk menyerang. Fokusnya sedang sangat sempurna. Jadi dia menahan satu pukulan Janice dengan lengan lalu dengan cepat dia mendekati tubuh Janice untuk menghentikan satu serangan dadakan. Tapi alih-alih menghantam, tubuh Janice menunduk cepat meloloskan diri lalu berdiri tegak lagi dengan posisi di belakang tubuhnya sendiri. Kaki Janice menggeser untuk mengunci kakinya sendiri.

Sial. She got me again.

Dengan mudah Janice melilitkan tangan sambil mengungkit kakinya hingga tubuh besarnya sedikit terangkat dan yak...dia yang jatuh. Lengan mereka masih terkait dengan Janice yang menahan tubuh seksinya di atas tubuhnya sendiri. Senyum kecil Janice mengembang dengan wajah penuh peluh dan rambut diikat tinggi. Lalu sakit jantungnya kumat lagi. Janice berdiri cepat dan kali ini dia bergerak jauh lebih cepat. Dua kakinya melilit dan memutar sedemikian rupa hingga tubuh Janice limbung dan jatuh lagi di atasnya. Tubuh mereka menempel sempurna. Kemudian senyumnya mengembang lebar melihat wajah kesal Janice.

"Gue nggak pernah sesenang ini berada di bawah dan kalah," ujarnya.

"Curang. Lepas!!" mata Janice melotot galak.

Tubuh Janice yang ingin bergerak dia kunci. Arsyad sudah selesai dan kembali ke kamarnya sejak lima belas menit lalu. Edward belum pulang, entah kemana. Jadi di sasana hanya ada mereka berdua.

"Nope."

Satu tangan Janice menahan tubuh agar tidak menempel sempurna, sementara tangan Janice yang lain sudah bergerak ingin menyerang. Dia terkekeh lalu membiarkan Janice memukul wajahnya satu kali lalu tangan Janice dia tangkap.

"I swear I'll kill you after this," desis Janice.

"Lo bisa bunuh gue berkali-kali dari kemarin, Jen. Tapi gue masih hidup. Jadi gue mulai berpikir kalau itu cara lo bilang kalau lo lagi kesal dan marah."

Wajah Janice mengeras dan rahangnya bergerak indah. Membingkai sempurna hingga membuat wajah Janice terlihat lebih lonjong. Kenapa saat Janice marah wanita itu malah tambah terlihat seksi? Ditambah dengan seluruh tubuh mereka yang melekat sempurna. Ah, dia sudah gila.

Dia masih menikmati kedekatan mereka saat Janice berhenti bergerak. Tanpa dia duga satu tangan Janice yang dia tahan melonggar, kemudian satu lagi dilingkarkan pada lehernya perlahan. Mata hijau kecoklatan Janice menatapnya dalam, ekspresi Janice juga berubah, kesal itu hilang. Yang lebih gila lagi wajah wanita itu perlahan mendekat pada wajahnya. Dia benar-benar terkejut dan jantungnya bertalu lebih keras lagi. Membiarkan Janice mendekatkan wajahnya perlahan untuk...

'BUK!!' ...meloloskan diri dengan cara mengalihkan pikirannya hingga dia melonggarkan kuncian pada kaki jadi Janice bisa menendang paha bagian dalam meleset sedikit dari pusat tubuhnya.

Janice cepat-cepat bangkit berdiri sambil menatapnya yang masih berbaring di matras menahan sakit.

"Cewek gila, untung aja nggak kena," sungutnya kesal tapi dia tersenyum juga.

"Menurut kamu, tadi saya meleset? Salah, saya tepat sasaran. Lain kali, tendangan saya akan pas di tengah."

Dia tertawa sambil menggelengkan kepala. Tubuhnya sudah dalam posisi duduk karena dia ingin menenangkan diri dari adegan tadi. Dia pikir Janice akan menciumnya. Wanita ini bisa melakukan aja saja untuk meloloskan diri.

"Salah gue, harusnya kaki gue yang mengunci nggak gue longgarkan." Matanya melihat Janice berjalan mengambil handuk di pinggir matras dan mengusap peluh.

Janice terkekeh kecil. "Laki-laki dan nafsu mereka. Cara itu selalu berhasil." Air dalam botol Janice teguk.

Senyumnya tiba-tiba hilang. "Gimana? Lo sering melakukan itu ke cowok lain?"

Tubuh Janice sudah berbalik ingin keluar area. Dia berdiri menyusul Janice. Lalu merasakan kakinya sedikit berdenyut nyeri.

"Jen, gimana kalau musuh lo nggak ketipu? Lo terusin gitu?"

"Why not?" sahut Janice ringan sambil terus berjalan ke kamar.

"Sampai sejauh apa?" dia mulai kesal karena bayangan Janice berciuman dengan laki-laki lain tiba-tiba melintas di kepala.

"Sampai sejauh yang dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian spesies kalian."

"Jen, lo nggak bisa main sembarangan...hrrrghh. Nggak semua cowok bisa tertipu mudah."

"Siapa bilang?"

"Gue yang bilang. Gimana kalau mereka benar-benar nggak lepasin lo?"

"I do what I need to do to survive."

"Lo nggak bisa begitu!!"

"Nggak perlu teriak, berisik."

Mereka sudah tiba di depan kamar Janice. Pintu sudah dibuka dan dia menahan lengan Janice masih kesal.

"Jen, jadi lo udah pernah...maksud gue, apa ada laki-laki yang pernah..." karena terlalu gusar dia kehabisan kata-kata.

Janice menatapnya datar lalu melepaskan tangannya mudah dan masuk ke dalam kamar.

"Hrrgghhh...."

Dia melangkah menuju ke kamar Arsyad untuk bertanya. Mengabaikan kakinya yang seperti terkilir. Pintu kamar dia ketuk dua kali lalu Arsyad membuka pintu sambil masih bertelanjang dada dan mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Kenapa?"

Pintu dia dorong lalu dia masuk saja.

"Apa Janice pernah menyamar? Maksudnya lo kirim dia dalam misi penyamaran atau sejenisnya?" tanyanya cepat.

"Ada apa?" tanya Arsyad lagi.

"Lo bisa jawab gue aja nggak? Jangan tanya balik?"

"Gue punya tim gue di ADS untuk tugas penyamaran. Bukan Janice."

Dia menghembuskan nafas lega.

"Tapi..."

Tubuhnya tegak lagi. Bayangan bagaimana dia tidak bisa mengabaikan Faya saat dia menculik Faya dulu melintas. Janice bahkan lebih seksi dari Fayadisa. Dia yakin tidak ada laki-laki yang bisa mengabaikan Janice begitu saja. Wanita itu tidak akan mudah tertangkap, tapi akan sangat berbeda jika Janice berada dalam misi penyamaran. Seperti Faya dulu yang diam saja ketika dia sentuh. Ya Tuhan, ini karmanya.

"Kenapa ekspresi lo aneh banget?"

"Tapi apa?" dia tidak sabar.

"Jelasin dulu ke gue ada apa? Lo bikin ulah lagi sama Janice?"

"Syad, tapi apa?"

"Janice selalu kerja sendiri, Yo. Dia dan Edward berdiri sendiri dari dulu. Jadi Janice bisa melakukan apa saja, terlibat pada apa saja, tanpa seijin dan sepengetahuan gue," jawab Arsyad,

"Kenapa itu cewek aneh banget pekerjaannya? Lo nggak bisa pecat Janice aja, Syad? Lo beneran nggak khawatir kalau Janice pukul-pukulan begitu."

"Gue khawatir, tapi bukan gue yang mengendalikan Janice, Yo. Janice dan Edward melakukan apa yang mereka lakukan karena hutang budi. Bukan karena uang atau apapun. Kesetiaan mereka sudah bergenerasi. Doktrin keras Edward juga sudah Janice terima dari kecil. Jadi jangan nyusahin Janice, Yo."

"Gue nggak mau nyusahin dia, tapi Bapaknya sendiri yang gila. Edward itu makan apa sih?"

Arsyad tertawa kecil. "Sikap lo aneh, Yo. Ada apa?"

"Edward lebih aneh lagi, Syad. Janice anak perempuannya. Apa nggak bisa Janice hidup normal aja?"

"Normal itu kayak apa? Hidup lo sendiri normal?" tanya Arsyad tepat pada sasaran.

"Ya maksud gue hidup normal kayak wanita pada umumnya. Faya aja nggak segitunya."

"Bapak Besar memang perduli dengan cara menjauhi Faya dari bahaya. Tapi gue yakin Edward juga sangat perduli dengan cara mempersiapkan Janice untuk menghadapi bahaya. Dua-duanya nggak ada yang salah."

"Susah ngomong sama lo, Syad." Matanya menatap komputer Arsyad yang menyala. Dia tahu Arsyad sedang menyusun rencana entah apa. "Apapun rencana lo itu, Syad..." kepalanya menggendik ke arah area kerja Arsyad. "...jangan libatkan Janice."

Arsyad terkekeh menyebalkan lagi. "Menurut lo, kalau gue nggak melibatkan Janice, perempuan itu nggak akan turun tangan sendiri? Tugas Janice cuma satu, Yo. Menjaga kelangsungan hidup seluruh keluarga Daud, dan bukan gue yang kasih dia tugas itu."

"Kalau gitu, lo ikutkan gue dalam apapun rencana berbahaya lo."

"Darimana gue tahu lo nggak berubah pikiran di tengah jalan, dan malah berbalik membahayakan kita semua di sini?"

"Lo hanya bisa percaya gue, Syad. Atau bertaruh. Cuma dua itu caranya karena gue benci janji-janji palsu."

Dahi Arsyad mengernyit dan mata Arsyad menatapnya seolah memperingati. "Kalau lo rusak segalanya, yang jadi korban bukan hanya gue. Tapi juga Janice di sini."

"Gue paham."

"If you play with me, you play with my rules and my rules only."

"Gue suka improvisasi. Tenang aja, tujuan kita akan tetap sama. Deal?" senyumnya mengembang.

Nafas Arsyad hirup panjang. "Gue timbang-timbang dulu."

"Sh*t, Syad. Lo nggak asik banget," ujarnya kesal.

"Gue banyak kerjaan." Arsyad membuka pintunya.

"Lo bakalan butuh gue, Syad. Lo liat aja nanti," ujarnya sambil berlalu keluar ruangan.

Arsyad tidak menyahut dan menutup pintu. Dia akan melakukan apa saja, untuk menjauhkan Janice dari bahaya.

***

Menurut salah satu riset, jika kita melakukan suatu hal berulang-ulang selama 21 hari maka hal tersebut akan menjadi kebiasaan kita nanti. Itu menandakan kemampuan manusia beradaptasi memang luar biasa. Karena itu Janice selalu menjaga rutinitasnya dan itu sudah menjadi kebiasaan hidupnya selama ini. Tapi semenjak Aryo Kusuma tiba, hidupnya tidak pernah sama lagi.

Rutinitasnya berantakan, jadwalnya bisa berubah-ubah, belum lagi emosinya bisa mendadak naik turun karena tingkah polah kekanakkan laki-laki itu. Dan seluruh riset tadi terbukti benar. Karena sekalipun dia benci rutinitasnya yang berantakan, dia mulai terbiasa dengan hal itu juga. Dengan semua kejutan jadwal dari ayahnya, atau kemunculan Aryo yang tiba-tiba, atau ulah laki-laki itu yang absurd dan menimbulkan akibat yang lebih absurd lagi.

Contohnya, saat ini. Dia berjongkok menatap kucing kecil yang dulu Aryo selamatkan. Aryo tidak membuangnya, tapi menempatkan kucing itu di karton dan membiarkan kucing itu memilih sendiri. Apa ingin keluar, atau tinggal di sini. Dia yang membelikan kandang dan meletakkan kandang itu di area yang jarang diperiksa ayah. Ayah tidak akan mengijinkan karena itu ayah tidak boleh tahu.

Kucing kecil itu tidak pergi hingga hari hujan dan karton menjadi rusak. Dia yang memiliki akses bebas untuk keluar masuk tergerak untuk membelikan kandang dan perlengkapannya. Lalu seperti tahu dia datang, si kucing kecil sudah menyambutnya dengan cara mengeong dan berlari ke arahnya. Selama ini dia tidak pernah punya binatang peliharaan, jadi ini sesuatu yang baru dan entah kenapa dia suka. Menatap binatang yang tidak berdosa itu, sambil membayangkan sungguh enak menjadi kucing saja. Hanya butuh bertahan hidup dan mencari makan. Tidak ada jadwal yang menyesakkan, atau ketakutan akan bahaya dan kematian.

Mangkuk makanan sudah dia isi, juga tempat air yang dia isi dengan susu. Dia menyodorkan tempat makan pada si kucing yang langsung makan. Kemudian dia tersenyum senang.

"Laper ya? Maaf saya baru selesai latihan. Kenapa kamu nggak keluar aja? Apa karena lubang di pagar kurang besar?" ujarnya sambil berjongkok dan membelai lembut si kucing yang masih makan.

"Mungkin bertahan hidup di luar sendiri itu lebih susah, dibandingkan berada di pagar tinggi seperti di sini." Tubuh Aryo berjongkok di dekatnya juga membelai kucing itu lembut.

Dia terkejut lalu beringsut menjauh.

"Hey Hello Kitty, liat nanti cewek galak ini mulai marah-marah, atau mendengkus kesal, atau pasang tampang galak dan mogok bicara. Dia menyebalkan sekali." Aryo terus membelai kucing kecil itu tanpa menoleh ke arahnya.

Tubuhnya sudah berdiri namun masih berada dekat Aryo yang berjongkok.

"Ternyata lo masih di sini. Wow, rumah baru. Pantes aja betah. Pelan-pelan makannya, nanti keselek. Di sini nggak dokter buat kucing. Kalau lo keselek gue nggak tahu cara ngobatinnya."

Tanpa dia duga Aryo mengangkat kucing itu dan menggendongnya dengan satu tangan. Tangan Aryo lainnya mengambil mangkuk susu dan memberikannya pada kucing itu.

"Minum dulu. Udah berapa hari nggak dikasih makan sih? Atau lo mogok makan biar disamperin?" Aryo terkekeh. "Sama kayak gue dong. Jangan pakai cara itu, nanti si cewek galak harus tanggung jawab atas sesuatu yang bukan salah dia."

Aryo mengganti mangkuk susu dengan mangkuk makanan lagi. Sama sekali tidak menatapnya. Asyik dengan si kucing kecil aja. Entah kenapa dia masih ingin berdiri di sini melihat itu semua. Aneh sekali.

"Sekalipun galak, gue nggak mau dia kenapa-kenapa. Apalagi karena gue." Nafas Aryo hirup panjang. "Gue tahu kenapa lo nggak mau pergi. Karena di sini nyaman rasanya, sekalipun lo nggak diterima. Tapi tetap terasa nyaman dan benar. Di luar sana itu hutan belantara. Situasi dan kondisi bisa mengubah lo jadi seseorang yang lo benci. Melakukan banyak hal buruk dan pasti akan lo sesali nanti. Karena itu semua lo nggak mau pergi. Iya kan?"

Kalimat Aryo terasa berbeda. Ada banyak pahit getir yang tersirat di sana. Hidup di jalanan kota besar tidak pernah mudah. Dia mungkin tidak ditempatkan pada posisi itu, tapi dia tahu. Hidupnya sendiri tidak seindah yang orang lain lihat. Doktrin keras, latihan dengan disiplin tinggi yang menuntut semua kesabaran dan kepatuhan mutlak, dan yang paling sulit adalah meredam semua cita-cita atau keinginan pribadi. Dulu dia bahkan hampir kehilangan dirinya sendiri. Jika Aryo memberikan kesetiaan mutlaknya pada Herman, terkurung dengan manusia jahanam itu. Dia juga terpenjara dengan hutang budi keluarganya. Ya, hidup mereka sama.

Si kucing mengeong lagi kemudian Aryo terkekeh lalu menurunkannya ke tanah. "Gue sebenernya mau ngajak lo ke dalam. Tapi gue nggak mau si cewek galak dihukum lagi. Jadi sorry, lo di luar aja ya. Sekarang gue tahu lo dimana. Gue bakalan mampir sering-sering. Sampai kita bisa putuskan, dimana kita akan tinggal. Oke, Hello Kitty?"

Tubuhnya sudah berbalik dan berjalan menuju ke arah pintu masuk basement lagi saat sudut matanya melihat Aryo berjalan sedikit pincang.

Apa kakinya terluka? Pura-pura lagikah dia?

Aryo mengenakan sendal jepit hingga dia bisa melihat memar kemerahan pada pergelangan kaki laki-laki itu.

Ada yang salah dari posisi pergelangan kaki laki-laki ini. Memarnya akan menghitam besok dan bisa membengkak. Apa karena dia menjatuhkan Aryo pada saat latihan tadi?

Si kucing berjalan mengkuti kemana Aryo melangkah, lalu laki-laki itu tertawa. Langkahnya sudah berhenti dan dia menoleh ke belakang. Aryo menggendong kucing kecil itu lagi sambil jalan sedikit pincang melewatinya.

"Sampai pintu lo gue turunin. Main dulu sama penjaga yang lain di depan ya. Atau lari-lari di lapangan sini. Olahraga biar sehat," ujar Aryo sambil terus melangkah.

Dia mengikuti di belakang perlahan dalam diam. Kepalanya menenggadah ke atas langit. Merasakan perasaan yang berbeda entah apa. Sore akan berubah senja. Sikap abai Aryo justru mengusiknya. Membuat dia tinggal juga. Lihat, betapa seluruh distraksi dan kebiasaan baru sudah menggerogoti rutinitasnya. Juga perlahan mengikis pertahanan dirinya sendiri terhadap keberadaan dua mahluk yang tiba-tiba datang di hidupnya. Si kucing kecil dan si Tuan gadungan.

Setelah mereka dekat pintu, Aryo menurunkan kucing itu perlahan lalu berpamitan konyol dengan cara mengajak si kucing ber-high five. Kucing kecil itu hanya duduk dan mengeong tidak mengerti ketika Aryo berdiri dan berjalan mundur masih menatap kucing tadi. Tubuh Aryo sudah masuk dan dia menoleh sesaat ke kucing tadi sebelum dia menyusul masuk.

Tubuh Aryo yang berjalan di depannya perlahan dia lewati. Tapi kemudian dia sadar bahwa Aryo tidak mengejarnya lagi.

Jalan terus, Jen. Abaikan dia.

Langkahnya yang sempat melambat dia percepat lagi. Bahkan ketika dia sudah tiba di depan pintu kamarnya Aryo sudah tidak ada. Berbelok ke arah dapur entah untuk apa. Dia berdiri terpaku. Heran sendiri dengan reaksi dirinya. Biasanya dia akan senang sekali mengetahui Aryo tidak mengganggunya. Atau abai ketika Aryo terluka. Tapi entah kenapa keinginannya berubah.

Sial. Ini pasti karena teori adaptasi tadi. Dia merutuki teori itu sambil membalik tubuhnya dan berjalan cepat ke arah dapur.

***

Kulkas Aryo buka karena tahu di sana ada beberapa kantung es yang disiapkan untuk meredam memar. Kakinya benar-benar terkilir dan terasa sakit. Mungkin karena bantingan Janice saat latihan. Dia tersenyum kecil mengingat betapa dekat mereka tadi. Semua sakit nyeri ini tidak sia-sia. Jika perlu dia akan mengulanginya. Dia benar-benar sudah gila.

Tubuhnya sudah duduk di salah satu kursi untuk mulai mengompres kaki saat Janice masuk ke area dapur. Oke, dia mengejar wanita seksi ini membabi buta, dan akibatnya Janice selalu marah dan menjauhinya. Kali ini dia akan mencoba metode yang berbeda. Dia akan abai. Menganggap Janice tidak ada kecuali saat latihan bersama pastinya. Dia ingin tahu tingkat keberhasilannya yang baru. Jadi dia diam saja, sibuk dengan memar di kaki.

Senyum dia tahan saat Janice menggeser kursi mendekatinya dengan koper P3K yang aneh di tangan. Janice duduk di hadapannya kemudian dia menatap Janice datar. Salah, dia berusaha untuk berekspresi datar. Karena sesungguhnya yang ingin dia lakukan adalah tersenyum lebar sambil menatap wajah cantik itu yang selalu kesal.

Janice membungkuk dan mengambil kakinya yang sedang dia kompres dengan kantung es. Dia berusaha diam padahal dadanya mulai bertalu-talu nyaring. Ini norak sekali, tapi dalam konteks yang dia suka.

"Mau ngapain?" tanyanya dengan nada ditekan. Dia tidak ingin terdengar terlalu senang.

Jari-jari Janice menggenggam pergelangan kakinya yang terkilir, seperti sedang mencari atau merasakan sesuatu. Sungguh ini terasa intens sekali. Melihat jari dan tangan ramping itu menyentuhnya sedemikian rupa.

Stop, Yo. Kendaliin diri lo sendiri, bego. Jangan kacaukan semua.

Nafas dia hirup panjang berusaha mengkontrol reaksi tubuhnya sendiri. Kemudian jari-jari itu berhenti.

"Ada apa?"

Wajah Janice yang sebelumnya menunduk kemudian menatapnya sambil tersenyum.

"Mau melihat betapa tersiksanya kamu," jawab Janice.

Dia tidak bisa menahan senyum kecilnya sendiri. "Boleh, silahkan diliha..."

'KRETEK!' tanpa aba-aba Janice menarik kakinya kuat dan cepat.

Rasa sakit menghantam hebat hingga dia mengepalkan dan menggigit tangan yang sama berusaha untuk tidak berteriak seperti cowok lemah. Dia terkejut, oke. Dia benar-benar kaget. Bukan karena sakitnya.

Ngeles aja lo, Yo. Malu ya?

"Kenapa? Sakit?" Senyum Janice tambah lebar melihat ekspresi kesakitannya.

"Nggak, nggak apa-apa," dia berdehem sambil menahan rasa nyeri pada kakinya.

Apa begitu? Hey, kakinya terasa lebih baik. Tebakannya engsel kaki itu bergeser sedikit dan Janice membetulkan letaknya. Kemudian Janice meletakkan kakinya di pangkuan Janice dan dengan cekatan Janice membuka koper P3K canggih yang sudah ada di atas meja makan di dekat mereka. Ada beberapa botol aerosol kecil, salep entah apa, perban biasa, perban elastis berwarna coklat jika terkilir, dan beberapa peralatan lain yang dia tidak mengerti. Janice seperti menimbang-nimbang apa yang akan dia ambil dari dalam koper.

"Mikir apa?" tanyanya singkat.

"Ini aerosol semprot untuk meredakan nyeri."

"Terus kenapa nggak dipakein?"

Janice meletakkan botol itu lagi lalu mengambil perban elastis. "Katanya tadi nggak sakit."

"Jen, kalau mau nolong orang jangan setengah-setengah."

"Jadi sakit?" tangan Janice sedang membuka bungkusan dan klip bebat.

"Nggak sakit, cuma penasaran rasanya gimana," sahutnya kesal.

"Oke," Janice tersenyum usil dan entah kenapa kesalnya langsung hilang. Kemudian Janice menghembuskan nafas pendek dan menyemprotkan obat pada botol aerosol tadi.

Kakinya terasa dingin dan nyeri yang tersisa langsung hilang seketika. Mungkin karena obat itu, atau karena matanya yang egois berhasil memuaskan diri untuk memandang wanita di hadapannya ini yang tiba-tiba berekspresi berbeda. Dengan telaten Janice membebat kakinya. Sumpah mati dia rela dibanting dan terkilir berkali-kali jika memang ini akibatnya.

"Saya benci ditatap begitu," ujar Janice sambil terus membebat.

"Maaf." Kepala dia tolehkan ke samping.

Janice terkekeh. "Tumben."

"Tumben apa?"

"Tiba-tiba kamu menghentikan apa yang saya nggak suka. Biasanya kamu terus mengganggu, meledek, membuat kesal dan onar. Seperti remaja labil. Kenapa begitu?"

Dia berdehem grogi. Ini pertama kali mereka berbicara dengan benar. Jangan kacaukan segalanya, Yo. Kontrol mulut lo.

"Gue emang begitu."

"Kayak anak kecil?"

"Salah. Gue nggak ngerti kenapa gue begitu. Jangan tanya sesuatu yang gue nggak bisa jawab."

"Mana saya tahu kalau kamu nggak bisa jawab."

"Iya juga."

"Tapi tingkat kedewasaan memang tidak ditandai dengan banyaknya usia."

"Sial, gue masih muda. Enak aja lo."

"Ya, kedewasaan kamu masih sangat muda. Bukan usia."

"Lo mengacaukan segalanya. Biasanya gue nggak begini," protesnya.

"Saya? Mengacaukan segalanya?" nada Janice datar sekali. Sebentar lagi proses membebat itu selesai. Dia harus terus mengajak Janice bicara.

"Iya. Lo terlalu galak, kayak robot, terlalu misterius, terlalu..." jangan memuji Yo. Nanti Janice marah lagi. "...terlalu menyebalkan."

"Lihat? Itu salah satu tanda ketidak-dewasaan lainnya. Menyalahkan orang lain, atau menyalahkan keadaan."

"Hey, itu fakta."

"Yang mana?"

"Yang bagian lo galak, irit ngomong dan misterius."

"Hmmm..." Janice memasang pengait agar bebat tidak berantakan. Pekerjaan Janice rapih sekali.

"Apa lo sering luka? Lo jago banget pasang bebat begini. Lo sering luka. Iya kan?"

Janice diam saja lalu meletakkan kakinya.

"Gue heran lo punya banyak banget stok emosi atau seluruh makian. Tapi lo irit banget ngomong. Jangan salah, gue paham benar emosi itu energi untuk bertahan hidup. Paling enggak buat gue."

Dua tangan Janice bersedekap. Wanita itu duduk tenang menatapnya.

"Aryo Kusuma. Tinggi 180 cm, berat 71 kg. Warna mata hitam kelam. Menguasai judo, jiujitsu, kick boxing, juga karate dengan sangat baik. Penguasaan senjata sempurna sekalipun kemampuan bertarung tangan kosong lebih hebat. Aryo juga perenang handal. Kepribadian Aryo Kusuma harusnya serius, introvert dan seharusnya pendiam. Tapi ternyata data terakhir salah."

"Gue nggak heran lo tahu soal gue. Itu informasi yang sangat umum..."

"Aryo menjual dirinya pada Herman Daud karena Lia yang sakit. Sahabat baik, Dony dan Maxel Rudo. Tumbuh di jalan, tanpa orangtua."

Dia mendengkus lagi. "Terus?"

"Jatuh cinta pada Fayadisa Sidharta, istri dari Hanif Daud."

"Sh*t jangan bahas yang itu."

"Aluna Sabiya, tertembak di dada. Erlangga atau Elang, tertembak di perut. Fayadisa Sidharta..."

"Stop."

Janice terus menyebutkan satu demi satu tim ADS atau keluarga Daud yang pernah dia sakiti. Entah kenapa seluruh sikap tenang dan kata-kata Janice membuatnya tidak nyaman. Dia pendosa, dia tahu itu. Tapi ketika wanita yang dia suka memaparkan segalanya, terasa lebih sakit daripada kenyataan itu sendiri.

"Stop!! Oke. Stop." Nadanya mulai tinggi.

Nafas Janice hela. "Kamu yang bertanya kenapa saya punya banyak emosi. Terutama soal kamu." Janice mulai berdiri dengan sikap yang masih tenang saja. "Saya bisa menyebutkan semua korban yang kamu lukai atau bunuh sejak kamu bersama Herman." Kursi Janice letakkan kembali.

Dia juga sudah berdiri berhadapan dengan wanita ini.

"Emosi saya, sebanyak semua korban yang sudah kamu bunuh dan sakiti. Ditambah dengan kesedihan keluarganya. Paham?"

Kalimat Janice menikam tepat pada sasaran. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Emosi sudah naik hingga ke kepala.

"Kenapa kalian menyelamatkan saya? Apa alasannya?" Dia tidak bisa menahan getar pada suaranya sendiri. "Untuk kalian kurung dan hina? Begitu?"

"Ayah saya, selalu memberikan kesempatan kedua."

"Sayang, itu sepertinya tidak berlaku untuk kamu. Selamanya kamu akan membenci saya. Bukan begitu, Janice?"

Janice diam saja.

Saliva dia loloskan perlahan. "Terimakasih. Selamat malam."

Dia berlalu dari tempat yang tiba-tiba menyesakkan itu. Seluruh kalimat Janice berputar di kepala. Mendekam di sana, menggerogotinya. Siapa dirinya? Apa yang dia lakukan di sini? Apa maunya? Pergi? Tinggal? Untuk apa? Untuk siapa?

Dengan cepat dia mengganti pakaian di dalam kamar. Ini terasa sedikit sesak. Mengetahui wanita yang dia suka membencinya sedemikian rupa. Membenci karena dirinya yang lama dengan kesalahan-kesalahan yang dia bawa. Ini percuma saja. Dia tidak bisa memutar waktu untuk menghapus segala yang sudah dia lakukan dulu. Ide itu tidak pernah terbersit sebelumnya. Tapi ketika Janice menatap dingin sambil memaparkan segala dosa lama, dia sungguh putus asa. Tiba-tiba dia ingin memperbaiki segalanya.

Untuk siapa? Untuk dirinya? Atau hanya karena dia benar-benar menginginkan Janice saja? Kenapa pendapat wanita itu tiba-tiba terasa penting sekali?

Pintu-pintu terbuka saat dia keluar dengan motor hitam Arsyad yang ada di garasi. Dia ingin pergi. Melupakan segalanya di sini.

***

Aryo kena mental ceritanya. Lagu yang pas banget buat Aryo yang lagi seek redemption, but all the sin and demons haunted him.

Gue copy beberapa bagian lirik yang pas banget menurut gue.

At the curtain's call
It's the last of all
When the lights fade out
All the sinners crawl
So they dug your grave
And the masquerade
Will come calling out
At the mess you've made

They say it's what you make
I say it's up to fate
It's woven in my soul
I need to let you go
Your eyes, they shine so bright
I wanna save that light
I can't escape this now
Unless you show me how

https://youtu.be/6yddpxl50bI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro