Part 12
Kediaman Audra Daud.
Mereka sudah tiba setelah berkendara dalam diam empat puluh menit lamanya. Setelah sampai teras rumah dia masih duduk diam saja di dalam mobil, menatap Niko yang masih bungkam. Niko yang salah mengerti kemudian turun lalu membukakan pintu untuknya. Dia tidak meminta untuk dibukakan pintu, tapi dia ingin Niko bicara.
Tubuhnya keluar dan mereka berdiri berhadapan dengan jarak tiga langkah. Dia berujar cepat saat Niko menutup pintu dan ingin pergi dari hadapannya.
"Apa kabarmu, Nik?" kacamata hitam dia buka.
Niko menoleh menatapnya. "Saya baik. Terimakasih karena sudah bertanya." Tubuh Niko ingin melangkah lagi.
"Apa kamu akan pergi lagi?"
Niko diam sejenak. "Saya akan pergi ketika pekerjaan saya sudah selesai. Sebentar lagi Lidya dan Deana menjalankan rencana mereka. Ibu Sarni sudah memberikan beberapa informasi. Saya akan pergi dari sini sebentar lagi, Audra."
"Maksudku bukan begitu, Nik."
"Maksudmu jelas begitu." Kaki Niko melangkah lagi ke arah paviliun belakang.
"Nik, mau kemana?" dia mengikuti tubuh Niko yang mengarah ke garasi besar rumahnya.
"Ke tempat saya yang seharusnya," ujar Niko mengacuhkannya.
Pintu garasi terbuka setelah Niko memasukkan kode, laki-laki itu melangkah masuk dengan dia yang masih mengikuti. Kalimat Niko tadi menyesakkan dada. Entah kenapa dia terluka dengan kenyataan itu. Mereka berbeda, dan dia terus menegaskan itu kemarin. Saat dia sungguh merindukan Niko, laki-laki itu kembali dan mengatakan hal yang sama.
Kunci mobil sudah diletakkan di dalam box. Tubuh Niko berbalik kemudian dia menghalangi.
"Kenapa kamu marah padaku?"
"Itu masalahmu, Aud. Kamu selalu buruk sangka." Geleng Niko kesal.
"Terus, mau kemana kamu sekarang?"
"Menyiapkan kamarku di sana." Tangan Niko menunjuk paviliun kedua.
"Kamarmu di sana." Tegasnya menunjuk ke paviliun utama.
"Aud, jangan bersikap kekanakkan. Saya hanya ingin jalankan tugas saya." Niko melangkah pergi dan dia menahan tubuh Niko.
"Aku bilang kamarmu di sana! Aku mau kamu tinggal di paviliun utama," nadanya mulai tinggi.
Dia bingung, kesal, rindu, menyesal, dan entah apalagi.
"Ini nggak akan berhasil kalau kamu nggak bekerja sama, Aud," Niko juga mulai tinggi.
"Aku bekerja sama, aku berusaha juga," dia mulai sedikit berteriak.
"Kerja sama? Dengan apa? Jalan-jalan di mall yang ramai atau makan siang dengan Jodi Hartono tanpa rencana sama sekali? Apa itu kerja sama untukmu?" dengkus Niko kesal.
"Aku hanya ingin keluar rumah sebentar. Apa itu juga tidak boleh? Jodi memaksa dan Evan muncul tiba-tiba. Kenapa jadi aku yang salah?"
"Saya nggak masalah kamu keluar rumah, Aud. Tapi kamu harus informasikan rencanamu satu hari sebelumnya. Kamu sangat hafal prosedurnya, Audra. Jangan pura-pura tidak mengerti."
"Aku tidak tahu akan begini. Kalau kamu begitu menyesal menyelamatkanku tadi? Kenapa kamu lakukan?" Dia berteriak balik.
"Karena itu sudah jadi tugas saya, menjaga kamu!!" Niko benar-benar tinggi.
"Bagus, lakukan yang benar dan jangan pernah menghilang lagi!!" Nafasnya juga tersengal.
Mereka masih bertatapan intens dengan jarak yang lebih dekat. Air matanya bahkan jatuh satu tanpa dia sadar karena perpaduan emosi yang dia rasa. Dia ingin sekali memeluk Niko setelah apa yang terjadi tadi, bukan bertengkar begini. Tapi dia juga benar-benar emosi karena Niko malahan marah padanya. Apa Niko tidak sungguh khawatir? Atau rindu padanya? Kenapa dia bodoh sekali begini?
"Hrrrghhh..." kepala dia gelengkan keras lalu dia melangkah masuk melalui pintu di garasi dan mengambil kunci cadangan pada kotak yang tersimpan di dalam rumah.
Tas dia sudah letakkan di meja ruang tengah lalu dia berjalan menuju paviliun kedua melalui garasi tadi. Niko masih berdiri di sana menatapnya heran sambil berusaha meredakan emosi laki-laki itu sendiri. Dia terus melangkah ke paviliun kedua. Para asistennya menatap terkejut karena dia memang sangat jarang pergi ke bagian rumah itu. Dia tidak perduli dan langsung mengunci seluruh kamar yang masih kosong agar Niko tidak bisa masuki. Niko sudah menyusulnya ke paviliun belakang.
"Jangan ada yang berani buka kamar-kamar kosong ini tanpa persetujuan saya. Kalau kalian melanggar, angkat kaki dari rumah saya dan seluruh tunjangan hari tua kalian saya cabut." Kunci-kunci dia genggam erat. "Siapkan kamar untuk tamu saya di paviliun utama, Bi. Itu saja."
Rahang Niko mengeras tapi laki-laki itu menahan seluruh kalimatnya. Paham benar seluruh asisten menatap mereka. Setelah memastikan semua asisten mengerti dan mengangguk takut, dia melangkah ke paviliun utama.
Dia tidak mau tahu apa yang Niko pikirkan. Karena dia paham sikapnya memang aneh dan absurd sekali. Dia pun benci dengan dirinya sendiri. Nafas dia hirup panjang lalu dia tahan saat dia berjalan cepat-cepat menuju kamarnya sendiri. Pintu kamar sudah tertutup rapat lalu dia duduk di sofa panjang sambil memeluk tubuhnya yang bergetar karena seluruh emosi.
Kejadian di mall tadi, seluruh perasaan kesal dan keinginan yang aneh untuk melihat Niko selama tiga hari saat Niko tidak di sini, atau pertengkaran mereka barusan. Oh, satu lagi. Kenyataan yang menghantamnya telak saat ini, bahwa dia...jatuh cinta lagi.
Apa yang akan kamu lakukan, Audra? Apa? Lupakan Niko Pratama. Kenapa kamu ceroboh sekali?
***
Niko berdiri di ujung taman belakang sambil menatap ke sekeliling area dan merokok. Dia harus menenangkan dirinya sendiri setelah seluruh kejadian tadi. Setelah menginap satu malam di tempat Ram, dia kembali bekerja. Memeriksa segalanya dan sibuk dengan Ibu Sarni. Hampir setiap saat dia akan memeriksa Ayyara dan Audra melalui sambungan CCTV. Juga menghubungi timnya yang berjaga di sini. Memastikan bahwa Ayyara dan Audra aman.
Sikap wanita itu aneh sekali. Selama ini Audra yang dia kenal benar-benar tenang dan pandai mengkontrol dirinya sendiri. Audra tidak pernah lepas kendali. Bahkan dulu saat berita perceraiannya marak, sikap Audra dingin sempurna. Bicara lugas dan tegas pada para wartawan.
Tapi sekarang? Audra seperti hilang kendali. Wanita itu benar-benar terlihat kesepian, bingung, selalu marah dan emosi, juga memiliki kemampuan berpikir dan bersikap buruk sekali. Kenapa begitu? Apa ada yang dia tidak tahu? Apa itu karena keberadaannya di sini? Apa dia pergi saja? Dia bisa bertukar dengan Ram. Tapi bagaimana bisa jika dia selalu mengkhawatirkan Audra. Lihat saja mantan suaminya tadi. Oh, dia benar-benar emosi sekaligus senang karena akhirnya dia bisa memberi bajingan itu pelajaran. Hidup Audra selalu dikeliling bahaya. Evan, Jodi Hartono, atau nanti entah siapa lagi. Manusia-manusia kaya yang punya terlalu banyak waktu dan uang untuk saling mengganggu.
Rokok dia hirup panjang. Matanya menatap balkon kamar Audra dari kejauhan. Apa wanita itu baik-baik saja? Apa Audra sedang menangis sekarang? Apa Audra terluka karena pisau Evan tadi? Dia ingin sekali melihat Audra tersenyum gembira, atau tertawa. Dia yang akan menyingkirkan seluruh bahaya. Jadi setelah itu, dia bisa meninggalkan Audra di sini tanpa rasa khawatir lagi.
"Bos..." Martin yang baru tiba berlari menghampirinya. "Motor lo udah di garasi."
"Si brengsek itu dimana?" asap dia hembuskan.
"Sementara di kantor polisi, tapi Nona Audra harus melakukan proses penuntutan jadi jelas kasusnya dan laki-laki itu bisa dipenjara."
Dia mengangguk mengerti. "Minta Brama tahan dulu di sana. Gue akan tanya ke Audra keputusannya apa. Minta Dado keluar dari tempat Brayuda. Dia bisa jemput Ayyara besok kalau Yara sudah selesai menginap. Tempat Bapak Besar benar-benar aman. Kalian berdua bisa libur hari ini. Gue yang jaga di sini."
Martin tersenyum lebar. "Makasih, Bang. Tapi lo udah denger?"
"Apa?"
"Ada rumor kalau Aryo Kusuma masih hidup."
Tubuhnya tegak berdiri. "What?"
"Jadi Dado info ke gue, Bang. Waktu dia ke tempat Bapak Besar buat jaga Ayyara, dia dengar dari beberapa orang di sana. Lo tahu anak buah Bapak Besar di bawah banyak banget kan. Salah satu dari mereka melihat Aryo naik motor ke tengah kota. Yang lihat tiga orang dan katanya memang benar-benar mirip. Mereka lapor ke Manggala dan Brayuda. Sekarang Bapak Besar turunkan orang buat cari tahu."
Kepalanya menggeleng keras. "Nggak mungkin. Gue lihat sendiri kalau Aryo dan Arsyad ada di dalam bangunan saat semua runtuh, Martin." Rokok makin kuat dia hisap, rasanya sakit sekali mengingat itu semua.
"Mungkin salah lihat, Bang. Rumor."
"Ya, rumor yang buat spekulasi berbahaya. Begitu Doni dengar, kawanan mereka akan berharap serigala besarnya pulang. Jadi mereka akan berkumpul dan bergerak juga. Hah, kayak kita kurang masalah aja Martiiin...Martiiin."
Martin terkekeh juga. "Kita pecandu adrenalin, Bang. Makin berbahaya, makin menarik jadinya."
"Aaaaaaahh!!!"
Teriakan dari dalam membuat refleksnya berlari menuju arah suara. Rokok dia matikan cepat dan buang. Itu suara Audra. Wanita itu berada di kamarnya. Tangannya bergerak cepat mengambil senjata dan naik ke lantai atas. Harusnya tidak ada penyusup, tempat ini aman sekali. Jadi apa yang terjadi?
Mereka sampai di lantai atas. Senjata sudah mereka genggam. Dia memberi tanda agar dia yang masuk lebih dulu. Pintu dia buka perlahan sekali.
"Audra..."
Wanita itu berteriak terkejut kemudian dia melihat apa yang terjadi. Kotak dari salah satu butik mahal tempat Audra membeli scarf tadi sudah terbuka. Tapi isinya adalah ular hitam berukuran sedang yang sudah mati. Martin memeriksa dengan cermat seluruh area. Dia sendiri sudah menyarungkan senjatanya.
Tubuhnya berjalan mendekati kotak yang sudah terbuka dan jatuh di lantai itu. Dengan bangkai ular hitam yang kepalanya sudah terpotong dan berdarah. Matanya memindai cermat. Darius? Wibowo? Atau Evan?
"Martin, hubungi Bung Toto. Minta kesatuannya ke sini. Darurat. Jangan sentuh apapun. Semua hal di ruangan ini adalah barang bukti. Minta seluruh rekaman CCTV di mall tadi. Saya akan hubungi El Rafi."
Martin keluar ruangan kemudian dia berdiri menatap Audra yang berwajah pucat sekali dan menitikkan air mata sekalipun wanita itu diam saja. Rahangnya mengeras, dia akan membunuh siapapun yang melakukan ini. Saliva dia loloskan perlahan lalu dia berjalan mendekati Audra yang masih berdiri gemetar.
"Are you oke?" tanyanya perlahan. Dia benci melihat Audra begini.
Dia ingin sekali mengulurkan tangan. Tapi sedikitnya dia tahu Audra benar. Siapa dia? Audra berada terlalu tinggi di atas sana. Jadi tangannya diam. Tapi kemudian Audra yang melangkah maju dan menubruk tubuhnya. Tangis Audra pecah. Wanita ini benar-benar terlihat rapuh dan ketakutan. Bagaimana tidak, seluruh yang terjadi hari ini menegaskan kenapa hidup Audra begitu sepi dan berbahaya.
Dua tangannya merengkuh Audra hangat. Memeluk tubuh wanita itu yang dingin dan bergetar ketakutan. Sekuat apapun seorang perempuan, semua ini tetap berlebihan. Sangat-sangat berlebihan. Audra menangis di pelukannya, sementara dua tangannya mengusap punggung dan rambut Audra perlahan.
"Saya di sini, nggak akan ada yang bisa sakiti kamu lagi."
Selama beberapa saat mereka berada di posisi yang sama. Sesungguhnya jauh di dalam hatinya dia ingin terus begini. Melindungi Audra, berada di sisinya, membuatnya tertawa lagi.
Jangan mimpi, Nik.
Pintu kamar yang diketuk membuat mereka saling melepaskan perlahan. Audra mengusap air mata.
"Maaf, ini semua terlalu..." ujar Audra dengan suara yang masih bergetar.
"...berlebihan," dia melanjutkan. "Saya mengerti. Masuk." Dia berujar pada orang yang menunggu di luar.
Martin masuk ingin melapor. "Bang, Bung Toto dan timnya akan tiba di sini lima belas menit lagi. Ruangan ini harus dikosongkan."
"Ya, oke."
"Bang, saya nggak keberatan tinggal karena semua ancaman ini," ujar Martin.
"Nggak perlu. Kamu libur dulu. Istirahat. Saya ada di sini."
"Tapi Abang sudah berminggu-minggu belum libur. Apalagi semalam habis benturan dengan anaknya Wibo..."
"Martin, datang aja waktu meeting kordinasi besok pagi via online. Itu udah cukup. Tapi mungkin kamu harus tunggu sampai Bung Toto datang. Dia pasti minta keterangan macam-macam. Setelah itu kamu bisa pulang, istirahat." Dia memotong cepat sambil menatap Martin memperingatinya agar bungkam.
Martin mengangguk. "Oke, Bang. Saya tunggu di gerbang."
"Thanks, Martin."
Martin sudah keluar ruangan lalu dia berbalik menatap Audra lagi. Satu tangannya mengambil pergelangan tangan Audra lalu dia mulai melangkah keluar ruangan menuju dapur di bawah. Paviliun utama selalu sepi, karena para asisten akan masuk dan membersihkan seluruh tempat saat pagi hari atau saat Audra meminta mereka menyiapkan makan. Hari sudah sore. Dia akan menunggu Bung Toto datang sambil menenangkan wanita ini.
"Duduk dulu." Pergelangan tangan Audra dia lepas.
Dengan cekatan dia mengambil bubuk coklat dari dalam lemari, lalu membuatkan Audra minuman itu. Juga mengambil toples berisi biskuit kesukaan Ayyara. Audra duduk kursi dekat kitchen island saat dia menyodorkan secangkir coklat hangat dan toples biskuit ke hadapannya. Audra tersenyum kecil sekalipun matanya masih sedih sekali. Dia sendiri sudah duduk di samping Audra.
"Aku benar-benar cengeng ya?" Kepala Audra sedikit menunduk menatap coklat hangat yang mengepul dari dalam cangkir.
"Kamu benar-benar hebat. Saya nggak tahu sudah berapa lama ancaman itu ada. Apa baru-baru ini aja? Atau hubungan kamu yang nggak baik dengan mantan suami sudah memberi dampak lama."
"Evan nggak pernah senekat ini. Tapi ya, terkadang dia mengancam macam-macam. Atau datang mengamuk masuk ke rumah."
"Karena itu Arsyad selalu khawatir denganmu dan tim ADS selalu berada di sekitar kamu. Saya mengerti sekarang." Kepalanya menoleh untuk menatap Audra dari samping. "Minum dulu, mumpung masih hangat."
Audra membetulkan letak rambutnya ke belakang telinga, lalu tangan Audra yang masih sedikit bergetar mengambil cangkir itu.
"Ini coklat kesukaan Ayyara..." Audra menyeruput minuman itu. "...aku nggak tahu kenapa Ayyara suka banget. Coklat dan biskuit. Tapi, sekarang aku paham. Ini enak sekali." Audra tersenyum. Coklat hangat itu diseruput lagi perlahan.
Wanita ini terlihat lebih gembira daripada ketika berbelanja tadi. Hanya dengan secangkir coklat hangat saja. Mungkin Audra hanya tidak pernah merasakan kehidupan normal yang tenang tanpa ancaman dan bahaya. Itu membuatnya makin bersimpati. Matanya melihat jari-jari Audra yang wanita itu kepalkan untuk menahan gemetar. Audra meletakkan dua kepalan tangannya di pangkuan, berusaha menyembunyikan itu darinya.
"Kamu trauma dengan ular?"
"Dengan semua binatang melata tanpa bulu. Aku benar-benar..." Audra bergidik sendiri.
"Saya sarankan untuk sementara kamu pindah kamar. Setelah seluruh pemeriksaan polisi kamar akan dibersihkan lebih dulu. Saya akan mengurus semua."
"Nggak perlu, Nik. Aku bisa menghubungi Lisa." Kepala Audra menoleh lalu wanita itu menatapnya. "Tugasmu adalah menjagaku, begitu kan? Membereskan rumah dan yang lainnya, aku akan minta orang lain melakukan itu."
Tatapan mata Audra sendu sekali. Seperti perpaduan ketakutan, luka, tapi sudah pasrah dengan kondisi yang ada. Diam-diam tangannya mengepal kuat, karena keinginan untuk menyentuh wajah cantik yang sedih itu mendesak perlahan.
"Maafkan aku, karena sudah menghinamu waktu itu," ujar Audra.
Nafas dia hela. "Saya sama bersalahnya. Soal kolam renang."
"Ya, kamu sangat bersalah soal itu. Aku benar-benar membencimu, Nik. Kamu melemparku ke kolam renang. Aku akan mengadu pada Hanif," ujar Audra sambil tersenyum kesal.
"Oh, kamu benar-benar menyebalkan Nyonya Besar. Emosimu naik turun. Kamu sedang PMS atau apa?" dia membalas dengan senyum konyol.
Audra tertawa kecil. "Ya, anggap aja aku sedang PMS. Lebih mudah dimengerti daripada alasan sebenarnya."
Dahinya mengernyit. "Alasan sebenarnya apa?"
"Aku sedang PMS." Audra membolak-balik kata.
Dia terkekeh kecil. Bertepatan dengan itu Martin masuk dari arah pintu depan bersama tim Bung Toto. Dia berdiri lalu mulai membereskan seluruh urusan dengan polisi.
***
Taman besar itu kosong dan sepi. Hari sudah menjelang malam. Mata Audra mencari-cari Ayyara yang harusnya sedang bermain di sini. Dia ingin menjemput anaknya pulang. Kakinya terus melangkah perlahan. Angin dingin yang meniup membuat dia memeluk tubuhnya sendiri.
"Yara...Yara, sudah malam. Ayo pulang."
Kemudian tiba-tiba dia tidak bisa melangkahkan kaki. Anggota tubuhnya itu terlilit sesuatu. Dia berusaha menarik kakinya tapi gagal. Lalu matanya menatap ke bawah dan ular hitam itu melilit di sana.
"Aaaahhhh...."
Tubuhnya bangun cepat lalu dia melihat ke arah bawah sambil terus menendang kakinya panik. Selimut yang menggulung membuat tubuhnya segera berdiri sambil masih menjerit takut. Matanya menatap tempat tidur besar berusaha mencari ular tadi.
"Audra...kamu nggak apa-apa?" suara Niko dari belakang yang tiba-tiba masuk membuat tubuhnya berjengit terkejut lagi.
"Ular...di situ ada ular." Tubuhnya bergidik ngeri membayangkan mimpi tadi.
Niko memeriksa tempat tidurnya dan tidak menemukan apa-apa. Laki-laki itu kemudian berdiri dan mengambil jubah tidurnya yang tersampir dekat dengan TV. Niko menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian tidur dengan jubah tadi.
"Kamu mimpi buruk. Tidak ada ular di kamar ini."
Satu tangan Niko menyentuh punggungnya lembut dengan dia yang memeluk dirinya sendiri.
"Ada ular membelit kakiku tadi." Kepalanya menatap kaki lagi. Untuk memastikan bahwa tidak ada apapun di sana. Lalu menggeleng keras untuk menghilangkan bayangan ular tadi di kakinya.
Niko menghirup nafas panjang lalu memeluk tubuhnya perlahan. Rasanya hangat, menenangkan. Dia suka harum tubuh Niko yang menguar melalui dadanya yang bidang.
Jangan menangis, Audra. Jangan mulai cengeng.
"Saya bisa membantu mengatasi traumamu. Kalau kamu ijinkan. So you can live fear-free," ujar Niko perlahan.
"Jauhkan Evan dari saya aja. Itu sudah cukup."
"Kamu harus tegas dengan Evan kali ini, Aud." Niko melepaskan pelukan lalu sedikit menunduk menatapnya.. "Dia bertanggung jawab atas kejadian di mall kemarin. Mungkin juga soal ancaman itu."
"Sekalipun aku benci, tapi Evan tetap ayah Ayyara, Nik. Aku nggak bisa penjarakan dia begitu saja."
"Itu alasan yang sangat salah Nona. Kamu membiarkan dirimu diancam bertahun-tahun lamanya agar Ayyara bisa bertemu ayahnya? Evan sudah tidak tertolong lagi, Aud. Dia benar-benar rusak dan bisa menjadi pengaruh buruk untuk Ayyara. Ayyara bahkan tidak suka berdekatan dengan ayahnya sendiri jika mereka bertemu kan?"
"Darimana kamu tahu?"
"Aud, tugas saya sejak dulu adalah menjaga Damar dan Ayyara aman. Ayyara selalu bercerita pada saya saat saya menjemput mereka pulang sekolah."
"Aku yang merusak Evan, Nik. Aku yang menghancurkan hidupnya."
"Evan menghancurkan hidupnya sendiri saat dia berselingkuh darimu, Aud."
Sudah tidak ada derak sakit hati di dadanya saat kalimat itu meluncur dari mulut Niko. Apa yang Niko paparkan benar. Dia pun percaya itu bertahun lamanya. Tapi seiring Ayyara dewasa, dia tidak sanggup lagi berkelit jika Ayyara bertanya tentang dimana ayah? Saat seluruh perselingkuhan Evan terbongkar, usia Ayyara sudah empat tahun. Anak itu sudah bisa mengingat wajah Evan, dan dia tidak sampai hati melihat Ayyara sedih karena ayahnya dipenjara.
"Ayyara sudah mulai besar. Jelaskan pada Ayyara apa adanya. Niatmu baik, Aud. Melindungi Ayyara bertahun-tahun lamanya. Coba bicara dulu dengan Ayyara. Saya sangat yakin Ayyara akan mengerti jika ayahnya bersalah dan harus dihukum karena kesalahannya."
"Apa menurutmu begitu?"
"Ayyara tidak selemah yang kamu duga, Audra. Kamu membesarkan dia baik sekali. Dia setangguh kamu. Coba aja," Niko menatapnya dalam.
Nafas dia hirup panjang. Niko menunjukkannya jalan keluar dari seluruh kebingungannya selama ini. Dia melihat sendiri bagaimana Niko dekat dengan Ayyara, dan laki-laki ini bukan tipe orang yang akan sembarangan bicara.
"Oke, aku akan bicara dengan Ayyara."
Niko tersenyum dan dia suka melihat wajah teduh laki-laki itu.
"Sudah terang di luar. Semalam kamu tidur terlalu larut. Kita sarapan?" ajak Niko.
Kepalanya mengangguk cepat lalu tubuhnya mulai bergerak untuk menghindari tatapan Niko tadi. Mereka keluar dari kamar sementara yang dia tempati di atas. Karena kamarnya sendiri masih harus dibersihkan. Pemeriksaan polisi memang berlangsung hingga malam. Jadi pagi ini dia baru meminta Lisa untuk membersihkan segalanya.
Sudah pukul 8 pagi saat matanya melihat jam dinding di area dapur. Laptop Niko terbuka dan menyala di atas kitchen island. Laki-laki itu seperti sedang bekerja saat dia terbangun tadi.
"Duduk, Aud. Saya bisa buatkan kamu sarapan kalau kamu mau, Nyonya Besar."
Dia tahu Niko meledeknya lalu dia terkekeh kesal. "Saya sangat mahir memasak, Tuan Niko, dan ini dapur saya. Tolong minggir dulu. Saya tidak mau telur saya tidak sempurna karena dipegang oleh amatiran."
Niko tertawa. "Amatiran...hmmm. Oke. Kamu memasak di sebelah sana saya di sebelah sini, Miss Kompetitif dan Sensitif," ledek Niko lagi.
"Kamu bilang aku apa?" dia memukul pundak Niko kesal. "Dasar tukang atur-atur! Minggir. Aku buatkan kamu sarapan hanya karena aku nggak mau kamu menelan kekalahan total. Aku sedang menyelamatkan harga dirimu di hadapan seorang wanita, Nik. Terima niat baikku ini." Dia tersenyum sambil membalas Niko.
"Oke. Saya nyerah. Silahkan, Nyonya." Niko mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar.
"Duduk di sana dan perhatikan bagaimana cara memasak telur dengan sempurna."
Lagi-lagi Niko tertawa. "Saya suka telur..."
"...rebus tiga perempat matang." Dia melanjutkan.
"Kamu tahu?" Niko sudah duduk di bangku kitchen island dan menutup laptopnya.
"Semua anak ADS masaknya itu. Kalian itu sudah di brain-wash sama Arsyad." Dia mulai bergerak mulai memasak. "Kalian bangun terlalu pagi, latihan terlalu sering, makan makanan sehat dan telur pagi-pagi. Gaya hidup yang aneh."
Dia berhenti sejenak. "Aku merindukan Arsyad, Nik."
Niko diam juga. Tapi kemudian laki-laki itu tersenyum. "Arsyad nggak pernah pergi, Aud. Dia hidup di seluruh kenangan dan sudah istirahat tenang. Kenang yang baik-baik soal dia. Jadi kita bisa terus maju."
Nafas dia tarik dalam. Dia menghindari topik Sabiya karena tahu mereka akan mulai sedih lagi nanti. "Setuju."
"Kamu mau tahu perkembangan terbaru?" ujar Niko.
"Nooo...don't talk about work. My work or your work. Senin sampai Jumat aku akan bekerja membabi buta, Nik. Minggu begini, ya terkadang aku terpaksa bekerja karena Ayyara yang nggak mau diajak main. Tapi sekarang, aku lagi nggak pingin memikirkan pekerjaan."
"Good strategy."
"Aku percaya kalian bisa menjaga Lidya, atau Ibu Sarni, dan siapapun yang beraksi di lapangan kemarin itu. Bu Sarni berhasil mendapatkan data-data, itu yang aku dengar. Tapi...sudah cukup. Aku ingin fokus pada telurku."
Niko tertawa kecil. "Sikapmu selalu mengejutkanku, Aud."
Dia masih sibuk membuat sarapan. Merasa lebih santai dan nyaman.
"Ah, tanpa Ayyara rumah ini sepi banget," keluh Niko. "Carol..." Niko berujar.
System berbunyi bip. "Ya, Tuan?"
"Putarkan musik yang Ayyara suka."
"Baik, Tuan. Mencari playlist Nona Ayyara..."
"Kamu tahu Ayyara suka musik apa?" tanyanya sambil menatap Niko sesaat.
"Saya nggak tahu, mangkanya saya mau cari tahu," jawab Niko.
Lalu salah satu lagu Taylor Swift diputar.
"Aaah...aku kesal dengan penyanyi ini." Ya, itu mengingatkannya pada perhatian pertamanya pada Niko yang sia-sia.
"Hey ini bahkan bukan lagu yang sama," kelak Niko.
"Ganti, Carol," ujarnya cepat.
Playlist berganti. Lalu salah satu lagu rap yang berisik dan membingungkan berputar.
"Lewat, Carol, katanya ringan.
"Itu lagu Kendrick Lamar. Dia rapper yang keren. Tapi selera Ayyara benar-benar random," Niko terkekeh.
"Kenapa kamu tahu semua lagu sih?"
Kemudian salah satu lagu Justin Bieber berputar. Musik awalnya unik sekali.
"This is your song..." sahut Niko cepat.
"My song?" dahinya mengerut tidak mengerti.
What do you mean? Oh, oh
When you nod your head yes
But you wanna say no
What do you mean? Hey-ey
"Hear the lyric. You are a very confusing lady just like in this song, Aud." Niko tertawa kecil.
Dia berhenti sejenak mendengarkan.
When you don't want me to move
But you tell me to go
What do you mean?
Wajahnya memerah malu. Sebelum dia bisa bilang pada Carol untuk mengganti musiknya, Niko sudah bernyanyi dengan wajah konyol yang dia suka sambil menatapnya.
"You're so indecisive, what I'm saying. Tryna catch the beat, make up your heart. Don't know if you're happy or complaining. Don't want for us to end, where do I start?"
Dia mulai tertawa saat Niko mulai menggoyangkan bahunya.
"First you wanna go to the left, then you wanna turn right. Wanna argue all day, making love all night. First you're up, then you're down and then between
Oh, I really wanna know. What do you mean? Oh, oh. When you nod your head yes. But you wanna say no... What do you mean? Oh, oh." Kepala Niko mengangguk-angguk masih sambil bergoyang. "This is a perfect song for you."
Dia masih tertawa geli lalu mengangguk setuju saat sadar telurnya terlalu lama berada di dalam panci.
"Nik...telurku rusak jadinya."
"Who cares, Aud. Who cares?" Niko terus bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya.
Tawanya membahana seperti siang itu di mobil dulu. Melihat tingkat konyol Niko, atau tatapan mata laki-laki itu yang hanya menuju padanya saja. Niko seperti tahu seluruh kegelisahannya, selalu berusaha ada sekalipun dia sendiri terus menyakiti laki-laki ini, kemudian sengaja bersikap konyol atau bernyanyi hanya untuk menghibur hatinya.
Dia ingin begini saja. Selamanya. Apa bisa?
***
Ost. nya mereka lagi.
https://youtu.be/LJjSyVe9LAs
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro