Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10

Setelah mereka tiba di rumah peristirahatan Ardiyanto Daud dan dia yang melempar Audra ke dalam kolam renang, mereka tidak bicara. Benar-benar berhenti bicara. Audra marah sekali padanya dan dia merasakan hal yang sama. Sikap Audra yang ingin menghina keluarganya tidak bisa dia biarkan begitu saja. Sekalipun dua hari setelah itu rasa sesal datang juga.

Mereka langsung kembali ke rumah Audra satu hari setelah mereka tiba. Lebih baik begitu karena dia juga harus melindungi Ayyara. Hubungan mereka yang tidak terlalu buruk sebelumnya menjadi dingin. Bahkan keberadaan Ayyara juga tidak membantu karena Audra terus menghindarinya. Dia tidak perduli selama Audra aman. Ya, misinya hanya itu. Harusnya begitu kan?

Sudah hari ketiga dan dia tidak pernah melihat Audra makan malam. Wanita itu bekerja dari rumah, jarang sekali keluar kamar.

"Yara nggak mau panggil mama turun?" tanyanya pada Yara saat mereka duduk di meja makan.

"Mama kalau lagi sibuk emang begitu Om. Yara jadinya makan di kamar. Abisnya makan sendirian di meja sebesar ini nggak enak rasanya."

"Mama makan di kamar juga?" tanyanya lagi.

"Iya. Kadang makan, kadang enggak. Soalnya Bibi suka ambil makanannya lagi dan masih penuh semua."

"Coba Yara panggil dulu ke atas. Siapa tahu mama lapar malam ini?"

Ayyara mengangguk lalu berjalan ke lantai atas. Dia sendiri sudah melangkah menuju dapur kotor dan bertanya pada salah satu asisten rumah tangga di sana.

"Bi, Audra sudah diantar makanannya ke kamar?"

"Nyonya hari ini belum makan, Tuan."

Dahinya mengernyit. "Kemarin?"

"Makan, tapi sedikit waktu makan siang aja."

"Apa mungkin Audra sakit?"

"Bibi nggak tahu. Nggak berani nanya. Tapi Nyonya kerja terus di dalam. Telpon terus ngomong pakai bahasa macem-macem. Bibi nggak paham."

"Om Nikooo...Oom. Tolongin," suara Ayyara membuat refleksnya berlari menuju lantai atas.

"Mama aku panggil-panggil nggak nyahut. Jadi aku masuk dan mama duduk di kursi sambil telungkup. Aku pikir mama tidur, tapi mama aku bangunin nggak bangun-bangun." Ayyara menangis panik. "Mamaku nggak apa-apa kan?"

Dia melangkah masuk ke kamar besar Audra. Tubuh wanita itu duduk di kursi kerja mengenakan gaun rumahnya sambil menelungkupkan kepala di meja. Seperti sedang tidur. Dia memeriksa denyut nadi Audra, wajah wanita itu pucat. Suhu tubuhnya normal.

"Aud...Audra. Hey, Aud. Bangun..."

Tidak ada respon. Dia mengangkat tubuh Audra sambil meminta Ayyara mengambilkan minyak untuk membangunkan Audra.

"Carol, I need you," ujarnya cepat sambil membaringkan tubuh Audra di tempat tidur.

"Saya di sini, Tuan." System itu menyahut.

"Hubungi dokter Antania Tielman."

Carol berbunyi bip. "Menghubungi."

"Halo, Nik."

"Audra pingsan. Bisa ke sini?"

"Oke. Tunggu aku."

"Thanks, Tan."

Dia menutupi tubuh Audra perlahan dengan selimut lalu menatap Ayyara yang berdiri menangis di sana. "Mamaku nggak apa-apa kan?"

Tubuhnya duduk di pinggir tempat tidur dekat dengan tubuh Audra. Dua tangannya merengkuh tubuh kecil Ayyara. Menenangkannya dengan sebuah pelukan hangat. "Mama itu kuat sekali. Jangan khawatir."

"Apa Nyonya pernah pingsan begini, Bi?" tanyanya sambil masih memeluk Ayyara.

"Pernah, Tuan. Waktu itu Nyonya juga sibuk banget. Terus kecapekan. Tekanan darah Nyonya memang rendah dan suka kurang darah. Gitu kalau nggak salah kata dokternya," jawab si Bibi.

"Kalau mama mati aku sama siapa Om?" Yara makin menangis sedih.

Dia tertawa kecil. "Yara, mama nggak apa-apa. Mama cuma kecapekan dan lupa makan." Kepalanya mengangguk pada si Bibi yang keluar ruangan.

Pelukan dia lepas dan dia menghapus air mata Ayyara dengan tissue dari meja nakas. "Nanti Yara Om ajarkan untuk lakukan pertolongan pertama ya. Biar Yara nggak panik kalau lihat orang pingsan."

Botol minyak dia ambil dari tangan Ayyara, lalu dia buka dan dekatkan ke hidung Audra sambil menepuk pipinya perlahan.

"Aud, bangun Aud."

Sekalipun pucat, wajah Audra yang tanpa make up cantik sekali. Seluruh lekuknya membingkai sempurna. Pas, tidak berlebihan.

Jangan aneh-aneh, Nik.

"Audra...Aud. Sadar dulu..."

Mata Audra membuka perlahan. "Kepalaku sakit dan aku benar-benar mual." Satu tangan Audra memijit dahinya.

"Tania sedang dalam perjalanan ke sini," ujarnya.

"Ambilkan saja obat di dalam laci. Tidak perlu dokter," sahut Audra.

Dia meminta Ayyara mengambilkan air hangat dan gadis kecil itu berlari ke luar kamar. "Kamu keringat dingin. Mungkin mual karena kamu belum makan."

"Apa perdulimu, Nik. Simpan saja pura-puramu itu." Kepala Audra menoleh ke samping.

Sejenak dia diam menatap Audra yang tidak mau menatapnya. "Saya minta maaf, karena emosi jadi saya kelepasan kemarin itu."

Rahang wajah Audra mengeras.

"Saya hanya ingin menjalankan tugas di sini, Aud. Tolong bantu saya dan jangan buat semuanya lebih sulit. Ada hal-hal yang biasa kamu lakukan dan saya akan larang, karena hal itu bisa mengancam keselamatanmu. Ada hal-hal yang kita harus biasakan, karena bagaimanapun kita akan lebih sering bertemu."

Ayyara masuk dan memberikan segelas air hangat. Dia mengambil gelas itu dan meletakkannya di atas meja nakas. Seperti mengerti, gadis pintar itu keluar ruangan lagi.

Dia melanjutkan. "Saya akan makan terpisah kalau itu membuat kamu tidak nyaman. Saya juga akan tidur di paviliun kedua mulai besok. Saya tidak akan masuk ke paviiun utama jika kamu atau Ayyara tidak memanggil. Apa itu cukup baik?"

Mata Audra sudah menatapnya dalam. Seperti ingin bicara, namun berusaha menahan semua kata. Pandangan mata itu berkata seolah Audra terluka, oleh sesuatu yang tidak dia tahu.

"Lebih baik lagi jika kamu pergi dari hidup saya. Apa bisa?" bisik Audra lalu air mata wanita itu jatuh satu.

Sungguh dia tidak mengerti apa salahnya. Kenapa Audra begitu membencinya tiba-tiba. Mereka memang bukan teman sedari dulu, tapi hubungan mereka tidak seburuk ini. Audra seperti membuat benteng tinggi, padahal dia tidak bermaksud untuk mendekati atau memulai hubungan apapun dengan Audra. Dia paham benar dimana posisinya.

Nafas dia hela. "Andai saya bisa, saya pasti sudah meninggalkan kamu sekarang. Jika bukan karena janji saya pada Arsyad, saya tidak akan berada di sini." Tubuhnya sudah berdiri lalu dia mengangguk mengerti. "Tapi tenang saja. Kami sangat mahir bersembunyi. Saya pamit dulu."

Antania sebentar lagi datang. Malam ini dia akan pergi menjauh dulu, menenangkan diri. Tidak ada orang yang suka dengan penolakan. Dia adalah salah satunya. Apalagi kali ini maksudnya baik dan benar. Selama ini Arsyad tidak pernah memandangnya sebelah mata, sama sekali. Sahabatnya itu selalu menghargainya. Tapi Audra, terus mengingatkan dia tentang siapa dirinya. Entah kenapa itu mengganggunya juga.

Jangan cengeng, Nik.

Dia membereskan seluruh baju-bajunya dari dalam kamar sebelah yang sebelumnya dia tempati. Lalu membawa tas dan mengenakan jaket kulit hitamnya.

"Om mau kemana?" tanya Ayyara yang berdiri di depan pintu menatapnya.

Tubuhnya berlutut di hadapan Ayyara. "Om keluar sebentar. Ayyara jaga mama di rumah ya. Sebentar lagi Tante Tania datang."

"Tapi, Om balik lagi ke sini kan?"

Kepalanya mengangguk kecil. Satu tangannya mengacak rambut Ayyara sayang. Kemudian dia berdiri dan menyalakan wireless earphone yang terpasang di telinga.

"Martin..."

"Ya Bos."

"Kamu yang jaga sampai saya kembali."

"Oke, Bos. Mau kemana Bos?"

"Ada urusan. Saya akan pantau dari jauh."

"Oke."

Hubungan dia sudahi. Dia berpapasan dengan Tania dan Mareno di pintu depan.

"Nik, mau kemana?" tanya Mareno seperti langsung mencium gelagat tidak beres.

"Keluar sebentar, ada urusan. Audra di dalam." Dia berjalan ke arah motornya.

"Loh, yang jaga siapa?"

"Ada Martin dan Dado."

Dahi Mareno mengernyit sambil menatapnya. "Nik, lo kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Nik...ayolah."

"Serius gue nggak apa-apa." Tubuhnya sudah berada di atas motor.

"Ck...Audra ngomong apa? Sepupu gue itu emang judesnya kayak mak lampir. Gue ngerti. Tapi dia cuma kesepian, dia nggak jahat."

Dia terkekeh kecil. "Ren, gue bukan anak kecil. Gue beneran ada urusan. Nanti gue balik. Mungkin satu atau dua malam."

Helm dia kenakan lalu dia lajukan motor hitamnya, menembus gelap malam.

***

Setelah pintu kamarnya tertutup Audra menangis sesunggrukkan. Sikapnya buruk sekali, sangat buruk karena dia frustasi sendiri. Tidak pernah ada satu laki-laki pun yang berani bersikap kurang ajar padanya begitu. Jangankan memarahinya, tidak ada yang bisa bilang tidak padanya selama ini. Arsyad bahkan hanya akan mendengkus kesal dan meminta Hanif bicara padanya jika dia sedang keras kepala.

Dia sakit hati karena perlakuan Niko tiga hari lalu. Niko melemparnya ke kolam renang. Tapi, itu semua Niko lakukan karena dia hampir saja menghina keluarga Niko dengan sengaja. Siapa yang tidak marah karena itu. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali dia melemparkan fakta soal strata sosial mereka. Oh, sikapnya buruk sekali. Terburuk.

Tapi bahkan setelah itu, matanya terus mencari. Khawatir dan takut jika Niko membencinya. Kemudian dia berusaha untuk bicara. Sekalipun selalu gagal. Karena dirinya sudah dipenuhi ego dan rasa ketidakpercayaan. Dia selalu benar, semua laki-laki brengsek, apalagi laki-laki dengan strata sosial yang tidak sama. Mereka parasit seperti Evan. Tukang selingkuh yang akan membuang waktu dan menghabiskan uangnya saja. Ya, karena itu semua dia terus diam. Membuat benteng tinggi dengan sikap dinginnya lagi.

Lalu dia terluka karena dia tahu dia mulai memikirkan Niko Pratama. Setiap malam dia akan selalu menatap sambungan CCTV, mengawasi apa-apa yang dilakukan oleh Niko. Kemudian sembunyi karena dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Dia marah pada dirinya sendiri. Kenapa dia lemah begini? Niko hanya laki-laki biasa. Bukan siapa siapa. Tidak layak dia perdulikan. Tapi apa begitu? Karena perhatian Niko terasa tulus, tawa Niko juga bisa membuatnya tertawa, Ayyara bahkan menyayangi Niko. Kenapa jadi begini? Dia tidak mau, dia hanya ingin sendiri. Akhirnya dia mendorong Niko pergi tadi.

Pintu diketuk tiga kali.

"Nyonya, ada dokter Antania dan Tuan Mareno," ujar salah satu asistennya.

Cepat-cepat dia mengusap habis air mata dengan tisu. Lalu berdehem dan menenangkan diri.

"Masuk."

"Malam, Od. Apa yang terjadi? Kata Niko kamu pingsan?" Tania berjalan menghampirinya dan langsung memeriksa.

"Kecapekan aja."

"Kamu pucat," Tania masih memeriksanya seksama.

Mareno berdiri sambil bersedekap dan menatapnya kesal. "Sis, kamu berantem sama Niko? Kamu bikin ulah apa?"

Matanya mendelik marah tiba-tiba. Dia sangat defensive sedari dulu. Karena itu dia bisa bertahan hingga sekarang di tengah rimba bisnis yang keras dan kejam. Menyerang, sebelum diserang. Padahal tadi dia masih merasa menyesal. Tapi ketika Mareno langsung menyudutkannya, dia langsung pasang kuda-kuda.

"Ren, jangan yang berat-berat dulu oke. Audra kecapekan," Tania menengahi.

"Bisa minta suami kamu keluar aja?" Dagu dia angkat tinggi. "Saya nggak perlu diceramahi di rumah saya sendiri."

"Wow, what an attitude. Niko Pratama adalah seperti keluarga buat kami, Sis. Dia bukan orang lain. Manusia itu jarang sekali tersinggung..."

"Reno..." Tania berusaha menenangkan keadaan.

"Diem sayang, aku lagi kasih tahu sepupuku biar nggak semena-mena. Jadi kalau Niko sampai tersinggung, itu berarti kamu sudah keterlaluan."

"Tahu darimana?" sangkalnya.

Mareno menggelengkan kepala tidak percaya. "Kamu adalah The Great Audra Daud. Aku sudah bilang berapa kali bersikaplah yang baik. Apa Niko kurang ajar? Atau nggak sopan? Apa salah Niko?"

"Tan, thank you. Tapi saya mau istirahat dulu. Tolong bawa suami kamu pergi dari sini," kepalanya menoleh tidak mau menatap Mareno.

"Besok, aku datangkan Ram." Mareno mendengkus lalu keluar ruangan.

Tania menghela nafas. "Mood semua orang sedang nggak baik. Aku paham. Mungkin itu semua juga berpengaruh ke kamu."

Tania diam sejenak masih duduk di pinggir tempat tidur dan menatapnya. Satu air matanya sudah meluncur lagi. Dia benci dirinya yang cengeng sekali.

"Kamu nggak sendiri, Od. Ada aku kalau kamu mau cerita," ujar Tania lembut.

"Terimakasih. Tapi tidak perlu."

Nafas dihembus perlahan. "Obat akan diantar malam ini dari MG. Kita bertemu minggu depan, oke. Jaga dirimu, Od."

Saat Tania dan Mareno berlalu dia langsung meraih tablet dan memeriksa sambungan CCTV. Mencari sosok itu. Sosok yang tadi dia lukai. Niko tidak ada dimana-mana. Tangannya terus menggeser tampilan kamera, tapi hasilnya sama. Niko tidak ada di sana.

"Mama cari siapa?" tanpa dia sadar tubuh Ayyara sudah berdiri di dekat pintu.

"Bukan siapa siapa."

"Om Niko udah pergi, tadi bawa semua bajunya."

Saliva dia loloskan tapi kepala tetap dia angkat tinggi.

"Ayyara nggak mau penjaga yang lain. Ayyara mau Om Niko aja. Mama selalu salahin Om Niko, padahal Om Niko nggak salah apa-apa."

"Yara..."

Ayyara sudah berlari keluar kamar, meninggalkan dia sendirian.

***

Pintu apartemen Ram dia ketuk tiga kali. Dia melihat ke jam di tangan. Pukul sebelas tiga puluh. Harusnya Ram belum tidur. Atau sudah? Setelah beberapa saat Ram membukakan pintu.

"Gue pikir siapa," ujar Ram sambil membuka pintu.

Tubuhnya masuk sambil menenteng tas. Dahi Ram mengernyit heran. "Lo bukannya lagi jaga di tempat Nyonya besar?"

"Time-off," jawabnya.

"What? Time off?" Kepala Ram menggeleng tidak percaya.

"Yup."

Tiba-tiba Ram mengguncang bahunya. "Ini Niko kan? Niko Pratama? Sejak kapan time-off ada di dalam kamusnya."

Dia terkekeh kecil. "Ram, gue serius."

"Si Nyonya kenapa? Bikin ulah? Gue denger dari Martin lo ribut hebat."

"Ck, ck, ck. Martin mesti gue sumpal mulutnya besok-besok." Tubuhnya sudah duduk di sofa ruang tengah Ram.

"Jangan salahin Martin, gue yang nanya dan paksa. Karena jadwal pemasangan CCTV jadi dipercepat semua di tempat itu kan. Jadi gue harus tahu alasannya apa." Ram mengambilkan dua kaleng soda.

Dia menatap kaleng-kaleng itu. Dulu, dia suka sekali minum. Biasanya dengan Pablo. Tapi semenjak dia mengenal Arsyad dan Ram, kebiasaannya ikut berubah.

"Gue kangen si scar-face. Kenapa bedebah itu pergi seenaknya aja. Ninggalin keluarganya buat gue jaga. Adik-adiknya gue nggak masalah. Bahkan para istri mereka. Tapi sepupu yang satu ini...ya Tuhan."

Satu kaleng soda dia sambar dan buka. Dia menenggak minuman itu cepat hingga dia merasakan brain freeze. Ram tertawa dan melakukan toast pada kalengnya tadi.

"Welcome to the life of the guardian," ujar Ram sambil menenggak habis minumannya juga. "Lo udah kelamaan nggak jaga orang, Nik. Ilmu sabar lo udah usang."

"Hah, tugas lo sekarang jagain Sabiya. Enak banget lo. Gue tukeran deh."

Ram tertawa lebar. "Ya, itu keberuntungan. Sikap Sabiya sangat baik. Sekalipun gue selalu sedih lihat Sabiya berduka hebat seperti itu."

Ram diam sejenak. "Jadi, lo mau pilih yang mana? Si sepupu yang galaknya luar biasa? Atau Sabiya yang lagi terluka? Mau tukeran? Gue pikir akan sama aja. Melihat Sabiya terluka, bikin lo ingat bahwa Assaad beneran udah nggak ada." Ram menghirup nafasnya. "Mengundang semua mimpi-mimpi untuk datang lagi."

Kepalanya mengangguk mengerti, karena dia dihantui mimpi yang sama. "I miss him. Si manusia jelek yang hidupnya lurus-lurus aja. Seberat apapun masalah, Arsyad selalu punya jalan keluarnya."

Hening sejenak, mereka seperti bernostalgia dengan ingatan mereka. Sampai Ram berdehem dan berujar lagi.

"Gimana cewek lo?" tanya Ram.

Dia tersenyum. "Baik. Sehat dan bahagia. I miss her too. Setelah ini selesai, gue akan susul dia dimanapun dia berada. Mungkin gue akan tinggal di sana beberapa saat. Liburan."

"Liburan kok ke negara konflik. Liburan itu ke Bora-Bora, Hawaii, Jepang, manalah. Mozambik bukan destinasi wisata."

Dahinya mengernyit tiba-tiba. "Darimana lo tahu dia ada di Mozambik?"

Mata Ram berlari. "Ya, teman gue yang satu peace corps info kalau..."

"Ram, lo serius cari tahu cewek gue?"

"Niiik, bukan begitu. Jangan salah paham."

Dia terkekeh tidak percaya. "Stop it, Ram. Gue serius."

"Ck, aaah...pas lah. Lo selalu salah paham."

"Hey, waktu dia baru balik dari Yaman lo tahu. Terus sekarang dia pergi ke Mozambik lo juga tahu. Apa namanya kalau bukan cari tahu."

"Ya hobi cewek lo tuh aneh. Keliling ke negara konflik. Bikin khawatir aja."

"Hey, cewek gue itu orang WHO. Itu emang kerjaannya."

"Passs...passs. Ganti topik. Jadi si sepupu bikin ulah apa?" Ram mengalihkan pembicaraan.

Kali ini dia yang diam. Mengadu adalah bukan gayanya. "Bukan apa-apa. Gue lagi capek aja. Banyak banget PR gue. Belum soal Bu Sarni."

Ram menghela nafas juga. "Iya. Situasi masih nggak menentu. Semoga semua cepat selesai."

"Kalau ini semua selesai, lo mau apa?" tanyanya sambil menoleh menatap Ram.

Bahu Ram gendikkan. "Liburan sebentar. Pulang."

"Kayak punya rumah aja lo." Dia tertawa meledek Ram.

"Mungkin menikah," ujar Ram tiba-tiba.

Dia tersedak tiba-tiba. "Serius? Lo mau nikah? Sama siapa?"

Wajah Ram tiba tiba berubah konyol. "Sama cewek lo. Mau apa?"

"Over my dead body, Ram. Never said that again." Kepalanya menggeleng sambil tersenyum kesal.

Mereka tertawa. Sisa malam mereka nikmati dengan nostalgia. Membuka foto foto lama saat mereka di akademi dulu. Dengan Pablo, Nazmia, juga Arsyad. Teman-teman yang sudah tidak bersama mereka, tapi selalu ada di dalam hati dan pikiran. Tinggal di sana selamanya.

***

Bikin overthingking yaaah Bung Niko ini. Stay tune terus ajaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro