Part 1
Bertahun-tahun yang lalu.
Mata Audra membuka perlahan. Tubuhnya berbaring ke samping membelakangi pintu kamar dan bisa merasakan bahwa suaminya bergerak perlahan sekali di sebelahnya. Tempat tidur mereka seharga ratusan juta, dan seharusnya bisa meredam seluruh gerakan di atasnya. Tapi, sedari tadi dia tidak tidur. Siaga menunggu suaminya pulang yang belakangan ini larut sekali.
Dia melirik jam di atas meja nakas, dua tiga puluh pagi. Rahangnya mengeras karena menahan air mata yang ingin jatuh. Karena apa yang orang bayarannya temukan dan laporkan padanya sungguh menghancurkan hati. Perselingkuhan suaminya dengan wanita lain yang tercium di pernikahan tahun ke empat mereka.
Nama perempuan itu Anya. Gadis manis dan tidak berdaya. Salah satu pramugari junior yang kebetulan pernah bertugas dengan suaminya pada salah satu penerbangan. Wanita itu datang dari keluarga sederhana di kota kecil luar Jakarta. Anya dan suaminya sendiri sudah berhubungan sejak satu tahun lalu, tapi itu semua ditutupi dengan sangat baik. Hingga suatu hari, dia menemukan jepit rambut mutiara palsu yang jatuh di dalam mobil suaminya. Ya, bau busuk tercium juga pada akhirnya.
Nafas dia atur perlahan sekali, agar air matanya masuk lagi. Dia tidak mau suaminya tahu bahwa dia tahu. Sedikitnya dia masih berharap suaminya sadar dan kembali.
Bodoh, dasar. Persis seperti waktu kamu jatuh cinta dengannya dulu, Aud. Makinya dalam hati.
Lalu matanya terus terbuka hingga pagi. Kenangan tentang bagaimana mereka bersama dulu datang. Dipadu dengan duka hebat karena dikhianati.
***
Keesokkan pagi.
Kopi pahit Audra sesap perlahan sambil menatap ke jendela di area dapur bersih. Tubuhnya berdiri tegak, sekalipun sesungguhnya dia ingin ambruk menangis saja. Sisa-sisa harga diri, juga ego yang tinggi seolah menggerakkan seluruh otot dalam tubuhnya hingga dia kembali mengenakan topeng dingin yang biasa dia kenakan sebelum dia bertemu suaminya dulu.
Rumah ini dibeli oleh Evan, suaminya. Tapi dia yang mengisi seluruh perabot di dalamnya. Dia benar-benar menghargai Evan. Suaminya itu datang dari keluarga sederhana. Kedua orangtua Evan bekerja keras agar Evan mendapatkan seluruh pendidikan yang layak dan bisa mewujudkan cita-citanya sebagai pilot. Keinginan Evan terwujud. Pekerjaan Evan adalah salah satu pilot maskapai ternama di negara ini hingga kemudian bertemu dengannya yang sering sekali bepergian. Penghasilan Evan baik, sekalipun itu hanya satu sepersepuluh dari penghasilannya sendiri.
Ketika menikah dia mengerti, bahwa dia harus banyak mengalah. Karena bagaimanapun Evan adalah laki-laki yang memiliki ego-nya sendiri. Dia membiarkan Evan membelikan mereka rumah sesuai dengan dana yang Evan punya, dan Evan membiarkan dirinya membeli semua furniture mereka. Dia merelakan ruang gym pribadi, movie room, personal spa, atau walk in closet besar yang sebelumnya dia miliki karena rumah mereka tidak akan cukup untuk menampung itu semua. Dia bahkan menahan dirinya agar tidak pergi ke luar negeri untuk membeli tas atau perhiasan berlian yang dia suka. Atau terpaksa mengenakan pakaian dan tas yang tidak dibuat di Eropa.
Semua kebutuhan dasarnya dia abaikan karena dia bahagia. Memiliki Evan, juga Ayyara anak mereka setelah satu tahun pernikahan. Dia bahagia dan baik-baik saja, sempai perselingkuhan Evan tercium juga.
"Morning. Kok ngelamun pagi-pagi?" Evan mencium pipinya singkat.
Dadanya berdentum nyeri karena tahu sikap pura-pura Evan sempurna sekali. Jika saja jepit rambut palsu itu tidak terjatuh, dia tidak akan tahu. Kepalanya menoleh dan tersenyum kecil, menyimpan seluruh sakit di dalam hati. Evan sedang menuang kopi ke dalam cangkir. Jadwal Evan hari ini kosong, karena suaminya itu kemarin baru saja menyelesaikan satu putaran tugasnya, setelah bertandangan ke apartemen Anya pastinya.
"Kamu ada jadwal apa hari ini?" tanyanya singkat. Sekalipun dia hafal benar seluruh jadwal Evan luar kepala.
Mereka berdiri sambil memegang cangkir kopi masing-masing.
"Aku mau antar mama ke rumah sakit," Evan menjawab ringan.
Mama? Wow, kamu buat alasan karena mama? Geramnya dalam hati.
Dia sudah tahu password ponsel Evan dan nama samaran Anya di ponselnya. Pesan itu datang pagi tadi ketika Evan tidur.
Anya: Aku udah kangen lagi. Kita makan siang bareng ya. Love you, Sayang.
"Kita ada janji sama Ayyara mau ajak dia ke kebun binatang. Kamu nggak ingat?" ujarnya mengabaikan kenyataan tadi.
"Ah, iya. Aku beneran lupa. Aku telpon mama deh."
Matanya bergerak mengikuti gesture tubuh Evan yang lebih perlahan, seperti sengaja ingin menunggu dia melarang.
"Jangan, kasian mama kamu. Kamu temenin mama, aku ajak Ayyara ke playground hari ini dan besok kita ke kebun binatang. Gimana?" dia memutuskan untuk bungkam, diam. Mengikuti permainan Evan.
Kemudian Evan meletakkan cangkir kopi dan memeluk tubuhnya mesra. Kepala Evan menunduk untuk mencium bibirnya.
"I love you, kamu istri terbaik," bisik Evan sementara dia diam saja. Kaku.
Evan yang tidak mengerti, terus mencium lehernya perlahan. Satu tangan Evan sudah merengkuh pinggangnya dan satu lagi meremas bagian depan tubuhnya lembut. Dia masih berdiri diam dengan cangkir kopi di tangan.
"Sayang, sebentar lagi mama ulang tahun." Evan mulai membuka kancing piyama satinnya. Bibir Evan tiba di telinga. "Aku mau kasih kado mama."
Dia paham benar Evan sedang merayunya. Dulu, dia akan tergila-gila jika Evan bersikap manis seperti ini. Sekarang, dia jijik dan sedikit mual.
"Tumben, biasanya kamu beli sendiri dan aku beli sendiri," timpalnya membiarkan Evan mengambil cangkir yang dia genggam dan meletakkannya di counter dapur.
"Mama lagi pingin yang agak mahal." Evan menjatuhkan piyamanya ke lantai.
"Seberapa mahal?"
"Mercedez baru." Evan menciumi bahunya.
"Jadi?"
Evan berhenti sejenak kemudian menatapnya lalu tersenyum polos. "Jadi aku pikir kenapa kita nggak beliin aja. Itu kalau kamu nggak keberatan."
Ego-nya terusik. Evan harus tahu siapa yang benar-benar berkuasa. Mercedes? Dia bahkan bisa membeli lima Ferrari sekaligus dan itu tidak akan memberikan dampak apa-apa pada cash-flownya.
"Silahkan, nanti aku hubungi Lisa untuk urus semua. Di antar pas mama ultah?"
"Mmm...aku boleh beli juga nggak? Aku ada dananya."
Harusnya Evan tahu bahwa pandangan matanya terluka, atau bagaimana rahangnya mengeras tiba-tiba. Evan tidak pernah meminta apa-apa selama ini. Tapi sekarang tiba-tiba, karena apa? Pamer? Gaya? Pada Anya?
"Jangan, biar aku aja. Kamu selama ini nggak pernah aku kasih kado juga kan."
Senyum Evan yang mengembang lebar membuat hatinya berdenyut nyeri. Apalagi saat Evan berkali-kali berbisik mesra di telinganya. Dua tangan Evan sudah membuka penutup dada yang dia kenakan. Kemudian saat Evan menaikkan tubuhnya di counter dapur, dia berujar dingin.
"Aku lagi datang bulan."
***
Satu bulan kemudian.
Kacamata dia lepas lalu menatap pemandangan di hadapannya dari dalam sedan mewah miliknya. Dia tahu itu Evan, tapi sebagian dirinya yang dua minggu lalu berharap ingin memastikan. Tubuh Evan tinggi dengan dada bidang. Posturnya sempurna dengan raut wajah ramah. Satu kebiasaan Evan yang dia tahu setelah menikah adalah refleks tangan Evan akan menggaruk rambutnya ketika dia tertawa. Itu membuat Evan sedikit kekanakkan dan dulu hal itu membuat dia makin tergila-gila.
Ya, dia wanita yang dominan, sangat dominan. Jadi ketika wajah malaikat Evan datang dengan seluruh sikap Evan yang tidak mendominasi serta sedikit kekanakkan, dia rela memberikan apa saja bahkan menentang keinginan keluarga.
Hahahaha...lihat apa yang Evan lakukan sekarang, Od. Lihat dengan mata kepalamu?
Sikap Anya manja sekali, sering bergelayut mesra di tangan besar Evan. Memuakkan. Karena dia tidak akan pernah bersikap seperti itu. Mungkin karena itu Evan main belakang. Evan akhirnya menemukan wanita manja, tidak berdaya, dan memujanya. Hahahaha...tawanya makin keras sekalipun air mata bergulir jatuh.
Apa itu sebuah pembenaran? Ketidaksetiaan adalah hal yang tidak bisa dimaafkan. Apapun alasannya. Beberapa ahli bahkan bilang satu kali berselingkuh, laki-laki akan punya kecenderungan untuk berselingkuh lagi. Dia yakin Evan bukan pengecualian.
Mereka keluar dari dalam sebuah restoran setelah makan siang. Menunggu mobil mereka di lobby. Anya menggenggam Hermes yang dia pesan sebagai kado mama Evan. Kado itu sampai di tangan yang salah.
Air mata dia hapus dan dia mengangkat ponsel. "Halo, Sayang. Dimana?"
Dia bisa melihat tubuh Evan menjauh sejenak dari Anya yang mencebik kesal.
"Maaf, tadi habis main golf sama teman-teman dan langsung makan siang sama mereka. Kamu mau aku jemput nanti sore?" tanya Evan.
Laki-laki ini bodoh, atau apa. Apa menurut Evan dia tidak mengenal seluruh kawan-kawan Evan yang datang dari strata sosialnya? Orang gila.
"Nggak perlu. Aku lembur dan mungkin menginap di kantor. Sedang ada audit," ujarnya.
"Oh..." dia bersumpah dia bisa melihat senyum lebar di wajah Evan dari kejauhan.
Ya, silahkan bermalam dengan pelacurmu itu.
"Oke, see you tomorrow," timpal Evan sambil mentutup ponsel.
Sudah cukup, Od. Sudah.
Ponsel dia angkat lagi. "Lisa..."
"Ya Bu?"
"Buatkan janji dengan Pak Lukman sore ini."
"Oke."
"Minta seluruh pelayan untuk mengepak beberapa barang saya dan Ayyara dari rumah Evan. Pindahkan ke rumah saya. Bilang pada Evan, saya dan Ayyara akan pergi liburan dengan keluarga besar saya. Evan tidak pernah mau ikut."
"Baik. Bagaimana soal pemberitaan di media, Bu? Soal perempuan itu."
Nafas dia tarik panjang. "Bayar semua stasiun TV agar bungkam. Belum saatnya. BIlang pada mereka saya akan memberikan headline di awal bulan depan. Minta mereka bersiap-siap."
"Baik. Ada lagi Bu?"
Dia diam sejenak kemudian berbisik. "Jangan tertipu pada kesan pertama, Lis. Itu saja."
Hubungan dia sudahi.
***
Dua bulan kemudian.
Pintu ruang kerjanya diketuk dua kali lalu sosok Arsyad masuk dan seorang laki-laki.
"Sissy, kamu nggak apa-apa kan?" langkah Arsyad lebar-lebar dan langsung menghampirinya cemas.
"Ada orang, Syad," dia tidak nyaman karena tahu Arsyad membawa teman.
"Oh, sorry. Ini Niko. Kita langsung dari airport."
Kepalanya hanya mengangguk kecil dan menatap dingin pada laki-laki dengan tinggi hampir sama dengan Arsyad yang tersenyum sopan padanya.
"Saya Niko Pratama."
Dia diam saja lalu menatap Arsyad. "Syad..." harusnya Arsyad mengerti apa maksudnya.
"Nik, sorry. Gue harus bicara berdua dengan Audra."
Niko mengangguk mengerti. "Gue langsung ke apartemen. Hubungi gue kalau lo udah selesai." Laki-laki itu pamit pergi.
Setelah pintu kantornya tertutup, air matanya langsung jatuh satu. Pertahanan dirinya yang kokoh berminggu-minggu runtuh. Dia bisa bersikap dingin atau acuh tak acuh pada siapa saja kecuali Arsyad. Seluruh aura melindungi Arsyad benar-benar terasa, dan itu membuatnya rapuh.
"Oh God..." Arsyad berdiri sambil menatapnya bingung dan bertolak pinggang seperti sudah tahu.
"Mama dan papa belum tahu, seluruh keluarga tidak tahu. Aku bahkan masih menutupi aib Evan dari media. Aku bayar semua agar bungkam. Tapi aku menderita, Syad. Aku tidak bahagia."
Apa yang dia rasa seolah meledak keluar. Air mata yang berhasil dia tahan berbulan-bulan menetes seperti hujan. Dia bahkan terisak seperti bayi.
"Dimana Ayyara?" tanya Arsyad.
"Dengan mama di rumah. Aman," jawabnya disela tangis. "Aku nggak sanggup lagi, Syad. Ini sudah keterlaluan." Tangannya berusaha mengusap air mata yang tidak mau berhenti.
Harga dirinya seperti diinjak-injak karena tahu akhirnya Mercedez itu diberikan pada Anya. Juga apartemen baru, tas dan sepatu pesanannya dari Paris bahkan diminta dengan alasan kado untuk orangtua Evan, kemudian dia melihat semua barang-barang itu digunakan oleh Anya bulan lalu. Belum lagi seluruh waktu untuk Ayyara yang terus berkurang dengan banyak alasan. Sementara dia berusaha bertahan dan berpura-pura.
Arsyad sudah merengkuh tubuhnya yang bergetar hebat. Perceraian bisa mencoreng nama keluarga. Belum lagi cibiran dari mama-papanya dan wartawan gossip yang akan merajalela. Karena dulu pernikahannya dengan Evan tidak direstui oleh keluarga. Perbedaan status sosial mereka terlalu jauh, papa takut dia dimanfaatkan saja. Dulu, dia mengiba pada papa. Karena dia mengira Evan akan setia dan terus mencintainya.
Dua tangannya berpegangan erat pada Arsyad. Dia benar-benar ingin tenggelam. Arsyad membiarkannya menangis puas. Hingga matanya merah, wajahnya berantakan dan suaranya serak. Sepupunya ini diam mendengarkan, dan dia hanya ingin didengarkan, ditemani. Setelah beberapa saat dadanya sedikit lega. Tangisnya mulai reda. Kemudian Arsyad melepaskan pelukan mereka.
"What do you want, Od?" tanya Arsyad sambil menatapnya.
"Divorce. Kesetiaan adalah bukan hal yang bisa ditawar-tawar."
"Setuju, kamu mau saya hubungi Pak Lukman?"
"Nggak perlu. Surat gugatan cerai resmi sudah siap." Matanya menatap amplop coklat di meja kerja. "Aku cuma butuh ditemani." Dia berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
"Kemana?"
"Mengantarkan surat cerai langsung ke orangnya," jawabnya dari dalam kamar mandi yang pintunya terbuka.
"Oke. Let's go."
"Wait."
Keluar dari kamar mandi, dia melangkah menuju meja dan mengeluarkan seluruh isi tasnya. Kemudian tas seharga sepuluh juta pemberian Evan itu dia buang ke tempat sampah. Sudah cukup dia menggunakan barang murahan. Itu bukan gayanya. Kemudian dia memijat tombol tersembunyi di meja, lalu lemari buku yang ada pada dinding ruang kerja besarnya terbuka. Dia masuk ke dalam walk in closet tersembunyi di dalam ruang kantornya yang megah, dan lampu langsung menyala. Sepatu jelek yang dia kenakan sudah dia buka dan buang. Baju yang membuat dia kepanasan sudah dia tanggalkan. Matanya memindai cermat memilih apa-apa yang akan dia kenakan agar penampilannya sempurna. Karena dia yakin Evan sedang berada di atas tempat tidur bersama Anya sekarang. Dia akan pergi ke sana dan melemparkan surat cerai itu ke wajah Evan.
Oh oh, dia rindu dengan setelan channel-nya, dia juga selalu suka Manolo Blahnik, apalagi dengan Hermes matte crocodile birkin-nya. Setelah selesai, dia mematut dirinya di cermin.
"Sudah?" tanya Arsyad yang baru saja masuk dan sudah berdiri bersandar di dalam.
"Sebentar. Harry Winston terlalu formil. Hmmm..." matanya memindai koleksi anting-anting yang berderet rapih. "Cartier?" dia menoleh pada Arsyad untuk meminta persetujuan.
"Sis, jangan tanya soal itu. Saya selalu kesal karena tahu kamu bisa memberi makan ratusan keluarga untuk segala yang kamu kenakan sekarang."
"Dasar orang suci." Dia tertawa sambil memasang anting-anting Cartier. Dia sempurna, selalu begitu. Lalu dia melangkah percaya diri sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut Arsyad.
"Let's divorce that bastard."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro