Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02 - The Dormant World

Daun maple kemerahan dengan semburat kuning berguguran dari langit. Angin sepoi bertiup membelai satu sisi wajahnya, menyisakan sensasi unik pada bulu-bulu halus yang tumbuh di rahang.

Sesekali matanya mengerjap, meyakinkan diri, tak sedang bermimpi. Rindu saja tak cukup untuk menggambarkan perasaannya kini. Terlebih beberapa minggu terakhir—agenda rutin setiap musim dingin.

Tangannya menengadah, bergerak ke atas-bawah bak kupu-kupu yang terbang di awal musim panas.

"Uhuy! Ini Narnia!" teriaknya seraya melonjak dan memindai sekitar. Sudah ratusan atau mungkin ribuan tahun berlalu semenjak terakhir kali ia melangkahkan kaki di negeri ini. Tempat di mana manusia, hewan, dan tumbuhan hidup berdampingan tanpa barier.

"Ya, benar, ini Narnia, manusia raksasa. Sayangnya, kau lupa sudah melampaui batas."

Sontak pria tadi terkesiap. Terlebih saat mendapati kurcaci bertopi hitam menatapnya tak suka. Bukan pertama kali, tapi rasanya tetap tak nyaman.

Pria itu menyunggingkan senyum simpul, "Batas mana? Seingatku, tak ada perbatasan untukku di Narnia."

Kurcaci bertopi berjalan mendekat, memperhatikan dari ujung kepala sampai kaki. Mengamati name tag bertuliskan J. A. Douglass di dada kiri pria tadi.

Masih dengan wajah tak bersahabat. Gerakan refleksnya menodongkan sebilah pisau bermata tajam.

Wush.

"Apa yang kau lakukan? Tuan ... Tuan ...."

Ucapan John terjeda, ia tidak tahu harus bagaimana memanggil manusia kerdil itu. Hingga ia putuskan untuk tak lagi banyak berpikir, "Tuan Kurcaci."

"Tuan Breen. Pilih nyawamu atau serahkan benda berharga?" todong kurcaci tadi setelah mengoreksi panggilannya.

John menggeleng kesal. Butuh riset berbulan-bulan untuk sampai ke negeri ini dan mati tak pernah jadi pilihan.

Sebuah kantong cokelat dari saku celananya dikeluarkan. Menawarkan sesuatu berharga untuknya dan mungkin akan dianggap sama oleh kurcaci itu, "Aku cuma punya ini. Lebih baik kau ambil dan biarkan aku pergi."

Dengan kasar, tangan berjari enam si Kurcaci menarik kasar kantong cokelat tersebut. Memperhatikan seksama lencana perak bertahta berlian yang selama ini tersembunyi di balik kantong.

Matanya berkedip semakin intens. Otaknya mencoba mencerna. Meskipun, tak pergi sekolah, terkadang kitab-kitab kuno menjadi makanan rutinnya. Tak sekalipun ia absen dari berbagai ritual di desanya.

Tangannya mendadak bergetar dan getaran itu menjalar ke seluruh tubuh. Kakinya pun lunglai hingga terjatuh menembus tumpukan daun maple.

Manik matanya menatap lagi wajah sang Pemilik. Masih dengan tubuh bergetar ia mencoba bicara, "Maafkan hamba, Tuanku."

***

"Lepaskan aku, Bodoh!"

Teriakan seorang wanita menyeruak dari dalam karung goni berukuran besar. Diikuti oleh gerakan di beberapa sisi karung goni.

"Wanita ini berisik sekali. Sudah kubilang 'kan kalau kita seharusnya menyumpal mulutnya," pungkas seorang pria bertubuh mungil, yang tengah menarik gerobak berisi kayu bakar dan karung goni tersebut.

"Ma-na te-ga," jawab pria lain di sampingnya. Terputus-putus.

"Sok baik, kau, Lynn. Padahal, siapa yang sudah membayangkannya dimasak menjadi sup hangat saat cuaca mulai dingin?"

"Ja-rang-ja-rang a-da ma-nu-si-a. Pan-tas a-ku se-ma-ngat."

Ya, hampir tak mungkin bagi penghuni Narnia untuk melihat ras lain di wilayahnya. Sudah ada batasan yang jelas antara setiap makhluk di negeri ini semenjak ratusan tahun lalu. Faun bersama faun. Satyr bersama Satyr. Berlaku untuk makhluk lain. Tidak akan ada yang berani melampaui batas atau mereka akan menjadi santapan hangat. Samar-samar wanita tadi mencuri dengar walaupun tanda tanya besar muncul di benaknya.

***

Berulang kali Susan memejam, berusaha meloloskan diri dari alam bawah sadar. Dunia ini begitu familier. Di saat bersamaan, batinnya tersayat oleh memori yang tertinggal.

Samar-samar, tergambar wajah ketiga saudaranya ketika mereka bertualang. Mengenal arti ketulusan dan harapan. Hal yang perlahan dilupakan di bawah gemerlap lampu New York.

Dalam hitungan menit di kegelapan, berita kecelakaan kereta yang menewaskan ratusan orang di ibu kota New England ikut berputar di ingatannya. Genggaman tangannya yang terikat menegang, meremas kuat jari-jari lentiknya.

Upayanya berdamai selama ini seakan tak membuahkan hasil.

"Turunkan dia!"

Perintah tersebut menyadarkan Susan dari lamunan. Ia berusaha menyeka air mata dengan apapun yang ada di dekat wajah—tanpa melibatkan tangan yang terikat.

"Ka-u sa-ja!"

"Aku sudah mengangkatnya dan menarik gerobak."

"Ka-u pi-kir a-ku ti-dak?"

Kurcaci yang menangkapnya justru berdebat. Tak mengusik Susan, bukan berarti tak mengusik yang lain. Buktinya, seseorang muncul dari dalam gubuk dengan wajah kusut. Tak bersahabat.

Dug.

"Kalau kalian mau bertengkar, sebaiknya tidak usah pulang," tegur manusia bertubuh serupa dengan kedua manusia tadi.

"Jangan ikut campur! Hmm ... tapi ... kau akan senang, kami punya makan malam spesial. Daging manusia untuk makan malam nanti!" ujar kurcaci berhidung panjang percaya diri.

Mata kurcaci di ambang pintu mendelik. Setelah percakapannya tadi dengan seorang manusia, mana mungkin ia bisa ikut berpesta dengan kedua temannya. Mungkin, setelah ini, temannya juga tak akan sanggup merealisasikan niat mulia mereka.

"Di-di-ma-na manusianya?" tanya kurcaci bernama Thomas Breen terbata.

"Tumben kau gelagapan, Thoms. Sejak kapan kau tertular penyakit Lynn?"

"Siapapun di sana! Selamatkan aku!" teriak Susan mencari kesempatan.

Keringat dingin Thomas mendadak bercucuran. Ia tidak tahu harus bicara apa pada sosok di dalam gubuk kalau sampai mereka ketahuan membunuh atau bahkan memakan manusia. Secepat kilat, matanya menelusuri sepanjang karung, mencari tali pengikat.

"Tuan Breen, ada ribut-ribut apa di luar?"

Sosok yang ditakutinya muncul dari balik pintu. Membungkuk akibat pintu yang tak lebih dari tinggi tubuhnya. Tentu saja, kedua manusia kerdil yang baru tiba terkejut. Saking merasa terancamnya, mereka melakukan tindakan impulsif yang sama dengan Thomas sebelumnya.

"Hentikan!" tegur Thomas yang tak diacuhkan. Mau tak mau, pria itu mengabaikan karung goni di atas gerobak sementara waktu. Nama baik rasnya bisa semakin tercoreng.

"Turunkan senjata kalian! Ramalan Bean Feasa sebentar lagi akan terwujud."

"Aku bisa menjamin kalau ia salah satunya," imbuh Thomas meyakinkan. Singkat cerita, ia sudah bicara banyak dengan John dan memastikan bahwa pria itu akan membawa petunjuk.

Mata kedua kurcaci tadi saling melirik. Masih tak menurunkan benda tajam yang diacungkannya.

"Dia? The Majesty? atau ... The Grey Archer?"

Thomas mendengus, memperhatikan wajah pria bermata biru yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu. Senyum tersemat di bibir pria itu. Namun, Thomas tak lantas jujur.

"Siapapun aku, kalian tidak berhak menyantap makhluk lain, entah manusia ataupun faun," sela pria itu seraya menurunkan senjata yang ditodongkan. Satu pisau lain diambilnya dengan tenang untuk mencari tahu asal keributan di dalam gerobak.

"Astaga!"

Teriakan itu menusuk gendang telinganya. Belum lagi kepala Susan yang menyembul dengan rambut tak beraturan di luar dugaannya.

"Tuan Douglass ...."

Wajah Susan tentu lebih mengejutkannya lagi sampai bisa berkata, "Seingat saya, saya tak pernah mengajak Anda ke negeri ini lagi."

***

"Tampar atau tendang aku. Terserah kau pilih yang mana. Aku harus bangun dari mimpi aneh ini."

Pria yang diajak bicara menggeleng dalam tudung besar yang dikenakannya. Sepanjang perjalanan menuju pusat Kota Beruna, wanita itu tak henti meracau kalau mereka sedang mimpi buruk. Sementara itu, dirinya sendiri yakin, The Charm Hollow-nya sudah mencapai target dengan mengantarkannya ke negeri ini.

"Yang terhormat Nona Pevensie, sekarang Anda di Narnia dan tidak sedang dalam mimpi apapun."

Susan mencebik. Teori dan pemahaman akan mekanika kuantum masih belum diterima akal sehatnya, tetapi mendengar nama Narnia mencuat dari bibir pria itu semakin membuatnya merinding. Mimpi dibangun dari berbagai imajinasi dan pikiran alam bawah sadarnya. Namun, keberadaannya sekarang tak bisa serta merta disebut mimpi.

Suasana pinggiran salah satu kota di Narnia tak lagi sama dengan saat ia memimpin atau terakhir kali berkunjung. Orang-orang berpakaian usang dan banyak anak peminta-minta dipinggir jalan. Lanjut usia pun masih banting tulang mengangkat berkarung-karung komoditas jual beli.

Brug.

Tubuh Susan tersungkur akibat kawanan pemuda tak sengaja menabraknya. Diikuti oleh suara sorak-sorai tak jauh darinya. Matanya bersirobrok manik mata berwarna hazel, milik seorang anak berkepang dua.

"Bisa bangkit?" tanya anak itu dengan suara kecilnya.

Susan hanya meringis—tanpa menyambut bantuan si Kecil— bangkit seraya menepuk kedua tangan serta pakaiannya yang berdebu.

"Lain kali, hati-hati!"

"Terima kasih," jawab Susan. Ia mengangguk sembari memerhatikan sekumpulan anak panah dan busur berwarna oker di punggung gadis kecil itu. Berada di Narnia seakan belum sempurna tanpa beradu dengan benda tersebut. Entah di mana miliknya sekarang berada. Sudah hancur oleh tanah atau menjadi benda bersejarah yang diamankan.

Menyadari arah pandangan Susan, gadis kecil itu melangkah mundur.

"Ini busur dari ayahku. Maaf, aku tidak menjualnya," ujar anak itu defensif. Seolah sudah menjadi hal biasa benda itu mengundang pertanyaan.

Ada banyak pertanyaan yang seketika muncul dalam benak Susan hingga ingin menahan gadis tersebut. Nahasnya, John lebih dulu mengangkat tubuhnya. Ia sudah kebingungan akibat Susan tak ada di sampingnya.

"Aku harap kau bisa lebih fokus pada misi kita karena ada beberapa hal yang harus kita selesaikan, Nona," ujar John menanggalkan panggilan formalnya.

"Siapa yang mau mengikuti misimu? Aku hanya ingin melihat Beruna. Asal kau tahu, mau di dunia manusia ataupun Narnia, semua yang kau katakan itu selalu nonsense. Bisa-bisanya kau mau menyabet gelar doktor dengan penelitian sampah," cerocos Susan tanpa memedulikan sekitar. Ia sudah cukup malu dengan tindakan John yang membopongnya layaknya karung beras.

"Setelah apa yang kau lihat ini kau tidak akan setuju," jawab John mengabaikan tangan Susan yang memukul punggungnya minta diturunkan.

Tak peduli jika Susan masih tak acuh, John menceritakan apa yang dilihatnya dari keseharian penduduk pinggiran Kota Beruna. Meyakinkannya kalau ucapan Tuan Breen dan kawanannya bukan omong kosong belaka.

Negeri ini sudah tak layak disebut Narnia. Setelah pertempuran berdarah ratusan tahun silam, Narnia terpecah-pecah. Ras manusia dipimpin oleh tirani kejam, Raja Damien, dengan hukum yang semena-mena.

Ya, Susan menyadari hal yang sama.

Pria itu menurunkan Susan dekat keramaian, berdiri di dekat arena yang lebih mirip ring tinju. Sekitarnya cukup ramai. Ekor matanya bahkan bisa menangkap sekelompok pemuda yang tak sengaja menabraknya tadi.

"Kita akan menyaksikan pertandingan langka. Semoga kau bersedia bergabung denganku setelah ini," bisik John percaya diri.

Dalam arena, dimasukkan lima orang dengan kondisi fisik beragam. Remaja sampai tua renta. Pria dan wanita. Kurus dan gempal. Tak berselang lama, senjata dengan jumlah yang sama dilemparkan ke tengah ring untuk diperebutkan.

Sontak mata Susan mendelik kala kelima orang tersebut bergerak agresif. Mengambil senjata dan mulai menyerang.

Dash.

"Mereka akan bertarung tanpa pandang bulu setiap minggu. Menyisakan satu orang terkuat untuk dilibatkan menjadi serdadu. Setidaknya itu yang dijelaskan Tuan Breen padaku," papar John seolah mengerti pertanyaan dalam benak Susan.

Bibir Susan kelu, tapi tak lantas menyurutkan niatnya bertanya, "Yang lain?"

"Dibiarkan tewas di arena. Hanya satu orang yang berhak hidup."

Bulu kuduk Susan merinding. Narnianya sudah berubah menjadi sangat menyeramkan.

Lantas, tanpa ditanya lagi, pria itu bercerita soal Red Match, sebuah pertandingan rutin setiap minggunya untuk mengeliminasi para pelaku kriminal, mulai dari penipu sampai pembunuh. Lima sampai tujuh orang akan diadu dalam satu arena di berbagai distrik, tempat mereka berasal.

"Hukum macam apa itu?" protes Susan sengit.

"Aku juga tidak paham. Yang jelas, ada masalah besar di sini. Mereka sudah tidak bisa menyuplai semua kebutuhan hidup, apalagi pangan yang semakin melonjak dari tahun ke tahun akibat pertumbuhan penduduk."

Kening Susan berkerut, ia tampak berpikir sebelum bertanya, "Bukankah ada Great River di dekat sini."

"Sesubur apapun suatu wilayah jika sumber dayanya dieksploitasi tanpa batas, kebutuhan penduduknya tak akan pernah terjamin. Meskipun lahan para kurcaci dulunya tandus, mereka melakukan konservasi yang baik. Lagi pula, perkembangbiakan ras lain tak ada yang secepat manusia."

Padahal, setahu Susan, di dunianya, hewan jauh lebih cepat berkembang-biak dan siklus hidupnya relatif lebih cepat.

"Khusus di Narnia," pungkas John seolah membaca pikirannya sekali lagi.

"Apa tidak bi-"

Telunjuk John menahan pergerakan bibir Susan. Ada percakapan penting yang menarik perhatiannya.

"Selama ini kau hibernasi atau tinggal di tengah hutan. Bisa-bisanya seperti orang bodoh tidak tahu apa-apa," ujar pria bertubuh sintal.

"Aku sibuk bertani."

"Hmmm. Kau tangani saja urusan perut. Biar kami yang ikut menjadi pasukan perang."

"Bukankah kita punya Piagam Perdamaian?"

Itu hal sama yang ingin John ataupun Susan utarakan pada pria tadi. Berdasarkan perjanjian itu, tidak akan ada makhluk yang masuk ke wilayah lain. Jika hal itu terjadi, apalagi dalam jumlah besar, perang besar akan terjadi.

"Kecuali dengan ancaman kelaparan. Mau berapa lama lagi kau makan daging bangsa sendiri yang mati di arena ini?"

Tirani yang memimpin sudah menjadikan negeri ini tidak beradab. Beralasan kekurangan bahan pangan di wilayah yang subur. Pertempuran yang dilakukan setiap minggunya menjadi sumber pangan lain.

Medadak perut Susan mual, membayangkan empat orang di bawah akan menjadi santapan sesamanya. Tanpa kata-kata, tangan John menggenggam pergelangan tangan Susan. Menarik wanita itu keluar dari kerumunan.

"Kita harus sampaikan pada Tuan Breen."

***

Setelah kedatangan John dan Susan, rumah Tuan Breen tak pernah sepi dari warga yang datang berkunjung. Mereka punya alasan untuk melihat kedua orang penting yang disebut dari ramalan Bean Feasa. Terlebih, hari ini ada kabar akan kelangsungan hidup bangsa mereka.

"Perang sudah tak terelakkan. Lagi pula, kita sudah menemukan sosok yang disebut dalam ramalan itu," ujar Thomas dengan wajah kusut.

Sekalipun tak menolak pertempuran, siapa yang akan senang maju ke medan perang.

"Sosok apa?" sela Susan ingin tahu.

John menyentuh pundaknya dan menahan, "Nanti aku jelaskan."

Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan, ia merasa sudah tak tahu apa-apa tentang negeri ini. Sementara John—pria yang dibencinya dan tidak jelas hubungannya dengan Narnia— seolah mengetahui segalanya. Kalau saja suasana tidak menegang, mungkin Susan akan menuntut penjelasan.

Sejak dulu, ia tak pernah menyukai pertempuran dan itu menjadi alasan mengajukan banding.

"Apa tidak sebaiknya kita bernegosiasi dengan mereka?"

"Sudah tidak lagi, Yang Mulia. Kami mohon, izinkan kami untuk menyiapkan pasukan. Setidaknya untuk bertahan."

Entah bagaimana Susan harus memutuskan. Ia perlu waktu merenung.

***

"Kau hutang penjelasan padaku Tuan Douglass."

Pria bertubuh bidang yang disapa menghentikan kegiatannya—memoles pedang. Beralih menatap sesosok wanita anggun bergaun sederhana untuk seorang bergelar agung.

"Yang mana?"

Wanita itu mendengkus lalu duduk di hadapan John.

"Tak seorang pun mau menceritakan padaku soal ramalan Bean Fasa dan dua sosok itu. Apa ada kaitannya dengan kita?"

John melirik pedangnya sekilas sebelum mengembalikan perhatiannya pada Susan. Ramalan itu bukan sebuah rahasia, tapi tidak bisa dijelaskan dengan sederhana.

"Mereka yang tidak bercerita atau kau yang tidak bertanya?"

Bibir Susan terkatup. Ia sadar, dirinya belum mampu berbaur dengan bangsa kurcaci beberapa waktu ini. Rasanya sulit membuka diri dengan pria dan wanita bertubuh mungil di sana.

"Ratusan tahun lalu, ada seorang kera licik yang mengaku sebagai Aslan. Menjadikan bangsa kurcaci pekerja tambang di Calormen, menebangi pohon-pohon yang bisa bicara, dan memperbudak hewan-hewan. Raja Tirian, raja terakhir Narnia tidak mau tinggal diam. Perang besar pun terjadi dalam waktu lama, menewaskan banyak nyawa dari berbagai ras sehingga mereka memutuskan sebuah Piagam Perdamaian yang kita kenal sekarang," jelas John panjang lebar.

"Aslan?"

Pria itu tersenyum tipis, "Ada kalanya Aslan membiarkan bangsanya untuk memutuskan."

"Ia menghendaki ini semua?"

Bukan hal aneh seharusnya. Sedari awal Susan tahu, kalau Aslan selalu memberikan pilihan untuk bangsanya. Termasuk malapetaka ini, sosok Aslan mungkin tidak turut campur tangan. Namun, ada rencana disiapkan yang di balik itu.

"Tapi tenang, menurut seorang peramal terpercaya, semua akan sirna setelah kedatangan dua tokoh penting. The Majesty. The Grey Archer. Sudah menjadi rahasia umum, kau adalah The Majesty."

"Lalu, siapa kau sebenarnya? Apa kau sosok lain yang dimaksud?" tembak Susan ingin tahu. John Arthur Douglass adalah seorang ilmuwan yang ditemuinya beberapa bulan lalu. Pria berwajah tampan mempesonanya dengan manik mata sebiru samudra dan fisik bak dewa Yunani. Orang yang sama yang membuatnya mengernyit akibat pemaparan sebuah penelitian aneh. Tak ada satupun alasan pria ini terkait dengan Narnia.

John membuang pandangannya asal, "Aku? Hanya pengantar pesan. Mungkin, kita akan tahu di akhir cerita."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro