01 - The Charm Hollow
Kabut kelabu menyelimuti langit. Angin malam bertiup membiarkan dingin menusuk tulang. Gonggongan anjing bersahutan, menjadikan malam kian mencekam. Meski pertumpahan darah telah usai, ketakutan tak lantas hilang dari wajah. Bukankah seharusnya semua orang bersorak?
Beberapa dengan pakaian prajurit justru lari ke gunung. Berharap akan ada pertolongan atau secercah harapan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Namun, tak banyak kata terucap dari pria berjenggot panjang—yang menjadi tempat bertanya.
"Kalian hanya perlu bertahan. Akan ada masa di mana tembok pembatas dimusnahkan dan semua kembali hidup berdampingan."
***
Tek tek tek.
Suara pena menyusup di tengah keheningan ruang. Sesekali berganti oleh gesekan lembaran kertas putih tulang dengan pena tersebut. Menuliskan angka dan huruf menjadi beberapa persamaan—yang tak bisa dibilang sederhana. Mengabaikan entah berapa tumpukan kertas yang berisikan hal serupa.
"Miss Pevensie, are you that busy?"
Pertanyaan tersebut menjadikan bunyi-bunyian tadi tak lagi konstan.
Wanita berkulit pucat, yang sejak tadi terduduk, berkutat dengan lembaran kertas dan pena peraknya, mendongak. Ia pun bersuara, "Oh, Adeline. Aku masih menyelesaikan pertanyaan Doktor Benjamin di diskusi kemarin. Apa kau sudah selesai menurunkan teori konduktivitas itu?"
Sosok yang disebut sebagai Adeline mendengus, "Jangan katakan itu adalah alasanmu melewatkan sidang terbuka hari ini di St. Benet's Hall."
"Hmmm. Sepertinya aku lupa," kilah wanita itu sembari memutar bola matanya.
"Alasan. Bagi Susan Pevensie, diskusi —ilmiah— adalah nomor satu. Mau Perang Dunia Ketiga nanti, tidak akan ada perubahan."
Kelakar Adeline membuat Susan perlahan tertawa. Setelah tragedi di kota kelahirannya beberapa tahun silam, Susan merasa perlu peralihan dari penderitaan yang dialami. Sayangnya, hingar bingar kehidupan New York tak lantas membuatnya lupa. Justru, dari rekomendasi salah seorang fisikawan condensed matter untuk mengajar di London, memaksanya menghadapi kenyataan dan belajar berdamai.
"Kalau kau masih mau kusebut normal. Seharusnya kau tertarik dengan kata-kataku. Ada mahasiswa doktoral baru dari Lancaster. He's damnly hot!"
Satu ujung alis Susan meninggi, isyarat menuntut penjelasan lebih dari kolega sekaligus teman akrabnya selama 3 tahun ini. Adeline berjalan mendekat, menekankan kedua tangannya di sudut meja kayu Susan. Matanya menyipit.
"Pria cerdas berahang tegas, alis tebal, dan senyum seksi."
Teman dekat Susan memang selalu memenuhi kriteria —yang tak pernah ditetapkan— tersebut. Semua terjadi dengan kebetulan. Namun, mengapa Adeline harus menggaris-bawahi detail tersebut?
***
"Dunia paralel mungkin masih dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak masuk akal di mata sains, terutama fisika, tapi tidak setelah kita mengenal teori mekanika kuantum. Selalu ada kemungkinan dari setiap ketidakpastian di dunia ini, bukan?" jelas seorang pria bertubuh tegap diakhiri sebuah pertanyaan retoris di hadapan puluhan peserta pekan ilmiah di salah satu universitas terkemuka.
Sebagai kandidat doktor dan fisikawan yang mempelajari ilmu fisika atomik, John—nama pria tersebut— mewakili sang Profesor mengemukakan gagasan mereka akan dunia paralel yang secara umum dianggap ganjil. Ia pun sempat mengelaknya, tapi tidak setelah mempelajari ilmu yang digeluti beberapa tahun ke belakang, ia merasa tertantang untuk menyelami.
"Pertanyaannya, bagaimana cara kita menjangkau dunia paralel tersebut?"
Tawa lolos dari bibir peserta pertemuan ilmiah tersebut. Sebagian besar dari mereka mengedikkan bahu. Beberapa saling menoleh untuk berbisik—mencemooh—dengan teman sebelahnya.
Pria dengan tatanan rambut quiff di depan ruangan hanya tersenyum simpul.
"Mungkin Anda beranggapan saya dan Profesor Irving sedang membual. Saya pastikan, Anda semua yang belum mendapat pemahaman komprehensif akan ilmu yang kita banggakan selama ini. Anda semua percaya keberadaan atom?"
Tak hanya John, seluruh peserta dalam ruangan memiliki pemahaman serupa akan partikel yang tak dapat terbagi. Namun, pertanyaan tersebut cukup mengusik harga diri mereka sebagai ilmuwan.
"Tidak terlihat bukan berarti tidak ada."
Terlebih, setelah kalimat ini dilontarkan oleh John tanpa beban.
Kemudian, John melanjutkan paparannya, "Berdasarkan hipotesis Profesor Irving dan tim kami, ada beberapa frekuensi gelombang yang kami tangkap sebagai dunia paralel. Tentunya, diperlukan transportasi khusus untuk mencapai dunia tersebut dan mengamati langsung. Beberapa tunnel sudah kami kembangkan, tapi belum ada satupun—"
"Apa Anda sedang bercanda Tuan Douglass?" sela salah seorang peserta yang dikenali sebagai seorang astro fisikawan, tanpa dipersilakan.
John menjeda, beberapa teori pria itu sampaikan untuk mendukung gagasannya. Namun, hasilnya nihil.
"Mohon maaf, saya tidak bisa membuang lebih banyak waktu untuk tinggal di ruangan ini. Saya izin meninggalkan acara," pamit pria berambut putih sembari berbalik, "sepertinya beberapa peserta lain juga tidak sependapat dengan Anda. Bagaimana kalau saya minta izin untuk mereka juga?"
John melihat sekilas wajah kecewa Profesornya. Ini bukan kali pertama, orang yang menjadi teladannya mendapat penolakan pada publikasi ilmiah tentang dunia paralel. Namun, tetap saja beliau dengan berat hati membiarkan salah seorang peserta undur diri.
John menatap dingin ilmuwan yang sebaya dengan Profesornya. Lantas, ia tersenyum miris dan bicara, "Silakan. Ruangan ini hanya untuk mereka yang percaya."
Sontak puluhan orang beranjak mengikuti langkah Profesor Dean menuju pintu kayu besar.
Salah satunya adalah wanita dengan buku catatan bersampul elipsis dengan tulisan 'S. Pevensie' di pojok bawah.
"Kau yakin tidak ingin mendengarkan sampai selesai?" sergah Adeline. Tangannya menahan pergelangan teman baiknya. Ia sudah bertaruh kalau temannya tak akan bisa menahan pesona pria yang sudah bicara panjang lebar di panggung.
Harapannya pupus saat mendapati bola mata Susan berotasi malas. Wanita itu melempar pandang pada pria yang masih percaya diri berdiri dengan tegap.
"Aku masih waras."
***
Akhir pekan adalah waktu favorit Susan untuk bersenang-senang. Menjadi tenaga edukasi tidak berarti sepenuhnya meninggalkan dunia gemerlap. Sesekali ia berkunjung ke beberapa kelab malam dengan teman prianya. Walaupun, lebih banyak waktu yang dihabiskan di pesisir pantai Inggris timur ataupun pegunungan.
Hanya saja, hal itu tak berlaku hari ini. Seperti perkataan Adeline, bahwa prioritas utama Susan adalah hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan.
"Nona Pevensie, tidak biasanya Anda datang —ke kampus— akhir pekan," sapa penjaga gerbang utara.
Samar-samar Susan menggeleng. Wanita itu mengeratkan mantel bulu yang dikenakan dengan satu tangan sembari melambai pada sang Penjaga.
"Ada buku yang harus kubaca. Aku lupa membawanya kemarin."
Penjaga tersebut pun bergegas menghampiri Susan, membawa rentengan kunci yang terpasang pada sebuah gelang besi. Sudah menjadi kebijakan universitas untuk memberikan hanya akses ruang pribadi para pengajar, tapi tidak dengan pintu utama gedung St. Mary.
"Astaga, maaf, Nona. Aku baru ingat, Tuan Douglass dan timnya sudah ada di dalam. Anda bisa langsung masuk."
Susan bergeming. Mendengar nama Douglass sedikit banyak membuat perasaannya tak nyaman. Meskipun, ia dan Profesornya tak menolak terang-terangan seperti Profesor Dean, ilmuwan dari kelompok keilmuannya pun masih sulit mengakui keberadaan teori mekanika kuantum. Apalagi dunia paralel. Tidak masuk akal.
"Sepertinya Anda semua sedang bekerja keras sebelum malam natal, sampai mengabaikan udara musim dingin. Hati-hati."
"Terima kasih, Tuan Bush," ucap Susan mengakhiri. Ia harus bergegas masuk sebelumnya tubuhnya menggigil.
***
Semua orang boleh beranggapan bahwa dunia paralel adalah takhayul. Namun, John akan tetap pada pendiriannya bahwa dunia paralel benar-benar ada. Sama halnya dengan Profesor Irving. Hal itu pula yang dicamkan oleh kedua orang tersebut pada tim penelitian. Pertentangan oleh pakar lain justru memacu untuk membuktikan kebenaran hipotesis mereka.
"Apa kau yakin sudah menaruh sebuah meja di tengah-tengah arch? Kau menekan tombol ON untuk mengaktivasi sistemnya?" tanya Profesor Irving pada salah satu anggota timnya.
Gadis berjas biru langit itu mengangguk, "Benar, Prof. Beberapa pekan lalu, kita memang baru bisa mengirim pena, tapi hari ini, sebuah meja berhasil kita kirimkan.
"Hmmm... Mungkin partikel Charm yang kita tambahkan memang lebih kompatibel dibanding partikel Tux. Dari catatan Mary, mereka bisa menarik benda tersebut tak sampai dalam hitungan detik. Sementara itu, partikel Tux perlu waktu sampai 5 detik untuk mengirim sebuah pena," pungkas John.
Jemari Profesor Irving mengetuk meja dengan irama konstan, "Sepertinya idemu akan membuahkan hasil Tuan Douglass, tapi kita harus mengakhiri kegiatan kita sekarang. Kudengar akan ada badai salju mulai malam ini. Meskipun, aku ingin melanjutkan penelitian ini besok— hmm ... tidak— malam ini bahkan, keselamatan kalian lebih penting."
Tak ada sanggahan karena sebagian dari mereka cukup kelelahan melakukan penelitian sampai larut selama beberapa hari terakhir. Terkecuali dari pria berkacamata yang masih mengenakan jas labnya.
"Biarkan saya tetap di sini, Prof. Saya masih ingin memeriksa lagi sistem tunnel kita," pinta John dengan sopan.
"Sudah seminggu kau bermalam di sini. Kau benar-benar jatuh cinta pada penelitian kita rupanya, tapi badai salju di London lebih buruk dari Lancaster. Aku tak yakin kau bisa mengatasinya tanpa perapian yang besar."
John menggeleng, ia bersikeras untuk tetap tinggal. Ya, ia akan melakukan apapun demi penelitian ini.
"Baiklah kalau itu maumu. Kuharap persediaan makanan kaleng di kulkas pantry masih cukup."
***
Seharusnya, Susan hanya memerlukan waktu beberapa menit jika ia ingin mengambil buku-buku tebal yang akan dijadikannya pendukung materi pengajaran minggu depan. Namun, ia memilih membaca buku-buku tersebut di ruangan sampai selesai. Mengabaikan apapun yang terjadi di luar sana.
Dari kaca jendelanya, jelas terlihat langit yang mulai gelap. Angin malam musim dingin bertiup kencang, Membawa butiran salju yang mulai menyelimuti kayu bingkai jendela.
"Ya, Tuhan," lirih Susan ketika menyadari kelalaiannya. Ia merutuki dirinya sendiri. Tak mungkin nekat melintasi badai salju malam ini jika ia masih menyayangi nyawanya.
Memikirkan bagaimana ia akan bertahan di sana setidaknya hingga badai reda, segera ia menghubungi Tuan Bush dengan segera. Sayangnya, tak ada jawaban. Bisa jadi badai salju menyebabkan gangguan pada kabel telepon. Ia memutuskan untuk memastikan stok makanan di lemarinya, "Satu, tiga—"
"Aa!"
Kegiatannya terhenti akibat teriakan yang menggema sampai ke gendang telinga, menyisakan tanda tanya dalam benaknya.
Sekalipun yakin adanya kejanggalan, Susan tak perlu waktu lama untuk mendatangi tempat yang diyakini sebagai asal suara. Mengabaikan bulu kuduknya yang merinding, wanita itu menekan handle pintu ruang bertuliskan 'Laboratorium Fisika Atomik.'
Dengungan mesin yang menusuk telinga tak menyurutkan rasa penasarannya pada secercah sinar emerald — menyusup celah-celah rak besi yang memenuhi ruang. Ia justru mencari sumber cahaya tersebut.
Matanya membulat sempurna tatkala mengetahui sinar itu berasal dari sebuah arch dengan material logam yang tak bisa dianalisisnya dari jauh. Meskipun terlambat, ia tetap bersuara, "Permisi."
Beberapa detik wanita itu terdiam, memberikan kesempatan siapa pun yang ada di sana untuk menjawab.
Dug.
Ekor matanya menangkap seekor cicak menyenggol sebuah pensil di dekat arch. Refleks, ia menggigit bibir dalam dan matanya memejam. Menahan kesal.
Belum selesai berdamai dengan ketakutan rasa jengkel, terdengar cicitan cicak yang sangat khas di telinganya. Cepat dan hilang.
Memang ia tak mengekori pergerakan cicak tersebut, tapi Susan yakin, semua ada kaitannya dengan arch tersebut. Berpikir rasional tak menghalanginya menduga-duga. Tentu ia waspada akibat dua kejanggalan malam ini. Kakinya melangkah mendekati bingkai logam tersebut pada jarak aman.
Kini, penglihatannya menangkap cahaya kehijauan tadi lebih jelas, membentuk pola spiral di tengah-tengah arch. Mirip dengan lorong waktu dalam film yang dulu ditontonnya di bioskop.
Masih belum menjawab rasa penasarannya, Susan maju selangkah, beranggapan radius 9 meter masih aman untuknya. Dalam hitungan sepersekian detik, ia merasa ada energi besar yang menarik tubuhnya. Tanpa membiarkannya meminta tolong atau bahkan sempat berteriak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro