1 - Putting on A Mask
"Sam, sebelah sini!"
Dalam hitungan detik, mataku disilaukan oleh cahaya flash dari beberapa fotografer yang memintaku berpose dengan Mama. Senyumku terpasang tanpa cela sementara Mama mengapit lengan. Aku bisa membayangkan berita seperti apa yang akan beredar esok hari.
Sejujurnya tubuhku sudah sangat lelah. Yang aku inginkan hanyalah pulang ke apartemen dan berendam sembari ditemani satu gelas Nebbiolo hingga kantuk menyerang. Namun tentu saja aku harus berada di acara ini hingga Mama memutuskan kami harus pergi. Aku nggak pernah punya suara memutuskan apa pun.
Mama dengan antusias mengenalkanku kepada anak-anak dari kenalannya, perempuan-perempuan cantik yang berburu suami dari sesama kalangan borjuis. Meski tanpa disertai kalimat apa pun, aku hafal tujuan Mama: mencarikanku jodoh.
Homoseksualitasku bukan merupakan rahasia bagi Mama, Papa, serta keluarga inti, tetapi mereka tetap saja menginginkanku menikah. Alasannya cuma satu, meneruskan warisan keluarga.
"Kamu lagi sibuk ngapain sekarang?"
Aku sedang berdiri di depan salah satu perempuan bergaun merah dengan sampanye di tangan dan dandanan yang nggak berlebihan. Mataku justru tertuju pada kalung yang melingkar di lehernya, terutama karena tatahan rubi berwarna senada dengan gaunnya terlihat begitu menyilaukan mata.
Aku bahkan nggak ingat siapa nama perempuan ini.
"Sedang dalam proses restorasi satu film Indonesia yang udah cukup lama dipercaya nggak ada kopinya," jawabku singkat tanpa lupa memamerkan senyum ramah yang sayangnya nggak keluar dari hati.
Pertanyaan senada selalu aku balas dengan penjelasan singkat dan umum. Nggak pernah ada perempuan yang menunjukkan ketertarikan serius dengan apa yang aku lakukan. Mereka hanya mengincar nama belakang keluargaku.
"I heard you were never interested in taking over the family business. I find that's quite surprising."
"Words travel fast, don't they?" balasku sebelum menyesap white wine yang rasanya sudah berubah karena terekspos udara dalam waktu yang cukup lama. Ingin rasanya memuntahkan kembali wine yang baru aku sesap ini.
"You're one of the most eligible bachelors in town," ucapnya. "Semua tentang kamu pasti jadi berita, cepat atau lambat."
Perempuan tersebut menyelipkan rambut sebahunya ke belakang telinga sembari memandangku penuh arti. Sekalipun nggak punya niat membawa percakapan kami ke sebuah kencan, aku cukup tahu arti dari beberapa body language perempuan yang ingin menarik lawan jenisnya.
"I don't recall getting an award for that," candaku berbalut sarkasme yang tentu saja nggak ditangkap oleh lawan bicaraku.
Perempuan di depanku tertawa dengan sangat anggun, seperti layaknya mereka yang lahir dari keluarga berkelas. "Aku nggak tahu kamu bisa juga bercanda."
"Masih banyak yang nggak diketahui orang tentangku."
Setelah bertahun-tahun, kemampuan berbasa-basiku dengan natural tanpa terlihat dipaksakan sudah terlatih dengan baik. It has become my second nature.
Belum sempat perempuan itu menjawab, Mama sudah berdiri di sampingku. "Jennifer, maafin Tante, ya? Tante harus nyulik Sam ketika kalian lagi asik ngobrol. Tapi Tante udah simpen nomor kamu. Nanti biar Sam yang hubungin kamu."
"Nggak apa-apa, Tante."
Dengan senyum lebar, aku mencondongkan wajah untuk mengecup kedua pipi Jennifer. "It's been nice talking to you, Jennifer. I'll see you around."
"Senang juga akhirnya bisa ketemu kamu."
Aku menunggu dengan sabar sampai Mama selesai basa-basi sebelum kami berdua akhirnya meninggalkan Jennifer. Perlu waktu lima belas menit sebelum kami bisa keluar dari ruangan karena setiap beberapa langkah, orang-orang mencegat Mama untuk sekadar bersalaman atau mengobrol sebentar. Mama menahanku halus ketika berusaha melepaskan diri.
Saat akhirnya masuk ke mobil, aku mengembuskan napas lega. Dari sudut mata, Mama masih tampak sumringah sementara aku menimbun sebal. Aku memang nggak pernah suka hadir di acara-acara gala dinner dan semacamnya. Sayangnya, keberatanku selalu diabaikan dan dianggap sebagai keluhan. Sudah lama aku berdamai dengan fakta bahwa fungsiku sebagai anak bungsu nggak lain sebagai pendamping Mama ke acara-acara seperti tadi. Nggak ada bedanya seperti lukisan yang bergantian dipajang di galeri seni.
"Bener kan apa yang Mama bilang? Banyak banget yang tertarik sama kamu, Sam."
Aku cuma menanggapinya dengan gumaman pelan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depan. Aku menghitung mundur dalam hati sampai tiba waktunya Mama menyinggung soal perempuan mana di acara tadi yang pantas dijadikan pasangan.
"Kamu beneran nggak ada yang naksir, Sam? Jennifer sepertinya cocok buat kamu. Kalian juga sepertinya langsung klik." Di sebelahku, Mama tampak mengetikkan sesuatu di ponselnya. Aku enggan bertanya apa yang sedang dilakukan Mama. "Mereka cantik dan yang pasti, dari keluarga yang latar belakangnya bisa dipertanggungjawabkan dan nggak akan malu-maluin. Mama kirim nomor Jennifer ke kamu sekarang, tapi jangan didiemin aja. Sebagai pria itu harus aktif ngejar. Mereka itu jadi inceran banyak cowok, lho."
Karena nggak ada pelampiasan yang layak ditumpahkan, aku mencengkeram setir mobil dengan lebih kencang. Menyanggah ucapan Mama sama saja dengan bicara di depan tembok, hanya akan terpantul kembali. Aku hanya akan menghabiskan tenaga berdebat. Anehnya, Mama nggak cukup peka untuk tahu bahwa diamku bukan berarti setuju, tapi sebaliknya.
"Nggak ada yang bikin aku tertarik, Ma," ucapku akhirnya.
"Kamu itu nyari yang seperti gimana sih, Sam? Dibanding cowok lain, kamu ini punya leverage, lho. Bisa pilih yang mana aja. Mama percaya nggak akan ada nolak kamu. Gila kalau mereka sampai ada yang berani."
Aku menggeleng pelan, nggak habis pikir alasan Mama menyamakan perempuan-perempuan itu seperti barang yang bebas aku pilih. Seolah hanya dengan nama besar keluarga kami, semuanya bisa didapatkan. Mama seperti nggak sadar bahwa ucapannya itu merendahkan perempuan.
"Nyari yang cowok, Ma."
Aku berusaha mengucapkan kalimat pendek itu sesantai mungkin supaya Mama nggak mendengar kekesalan dalam balasanku. Terbukti Mama langsung diam, mungkin nggak menyangka kali ini aku berani membalas setegas itu.
"Sampai kapan sih kamu mau jadi gay?"
Spontan, tawa kecilku menggema di dalam mobil. Aku nggak tahu mana yang lebih lucu di telingaku: Mama menganggap homoseksualitasku bersifat sementara atau keengganan Mama mengakui bahwa selamanya, aku nggak akan pernah bisa tertarik dengan lawan jenis.
"Nggak lucu, Sam."
"Aku memang nggak berniat melucu sih, Ma," jawabku enteng. "Aku nggak akan mengulangi hal yang sama setiap saat Mama, Papa, atau Mas Bathara nganggep seksualitasku seperti tombol yang bisa dimatikan dengan gampang. Aku cuma ingin kalian ngerti, sesederhana itu."
Mama berdecak cukup keras, sesuatu yang jelas nggak mungkin dilakukan di tempat umum. "Nggak ada yang harus Mama pahami karena homoseksualitas itu cuma fase. Pergaulan kamu waktu di Australia pasti nggak bener sampai bisa terjerumus ke hal-hal memalukan begini. Kalau tahu begini, mending kamu dulu langsung terjun ke SON atau Galaksi selepas kuliah, jadi nggak kelamaan di Melbourne."
SON adalah kependekan dari Synthesis of Nature, sebuah jaringan supermarket yang ditujukan bagi kalangan kelas atas yang didirikan Kakek tiga puluh tahun lalu. Sedangkan Galaksi adalah perusahaan transportasi yang masuk lima besar di Indonesia yang didirikan Papa dua puluh tahun lalu. Sejak dulu, aku memang enggan terjun ke SON atau Galaksi, tetapi Mama dan Papa masih berusaha memaksaku jadi bagian salah satunya.
"Nggak ke Australia juga aku akan tetep jadi gay, Ma."
"Mama nggak percaya. Pasti ada yang mempengaruhi kamu sampai jadi begini. Orang nggak mungkin jadi gay dengan tiba-tiba."
Mama, Papa, dan Mas Bathara nggak akan paham bahwa aku sudah tertarik dengan sesama jenis sejak SMP. Diam di rumah pun nggak akan mengubah seksualitasku karena memang nggak ada kaitannya aku tetap dalam pengawasan mereka atau ada di Australia. Namun menjelaskannya selalu berujung kekecewaan.
Kami mengisi sepuluh menit perjalanan yang tersisa dalam diam hingga sampai di rumah. Mama memang nggak pernah mau datang dengan sopir setiap kali ada acara yang punya potensi besar jadi ajang pencarian jodoh. Meski nggak pernah tersurat, aku cukup sadar bahwa itu adalah cara Mama menunjukkan kepada banyak orang bahwa aku adalah anak yang berbakti karena mau mengantar orang tuanya. Another image to sustain more than anything else. Aku nggak pernah diberikan pilihan selain mengiyakannya.
"Jangan lupa brunch besok sama Papa dan Bathara. Udah lama kamu nggak pernah mau dateng."
Mama mengucapkan itu begitu mobil kami memasuki gerbang. Aku menanggapinya dengan diam. Brunch dengan Papa dan Mas Bathara adalah mimpi buruk, dan sebisa mungkin, aku menghindarinya sekalipun mendapatkan ceramah sebagai konsekuensi.
"Good night, Ma."
Kami saling bertukar pandang sebelum Mama dengan desahan berat membuka pintu mobil. Aku menyaksikan hingga Mama masuk ke dalam rumah sebelum memacu mobilku secepat mungkin melintasi halaman yang luasnya cukup untuk digunakan bermain bola.
Aku berhenti sejenak demi melepaskan dasi kupu-kupu serta jas yang semalaman membuatku gerah dan melemparnya asal ke jok belakang. Aku menarik napas panjang seraya menggulung lengan kemeja hingga ke siku, melepas dua kancing kemeja, dan membuka aplikasi music streaming. Tanpa berpikir panjang, aku menekan tombol acak pada satu playlist hingga permainan trompet Miles Davis terdengar.
Kembali menjalankan mobil, aku melewati pos penjaga yang memberiku salam sebelum pintu gerbang secara otomatis terbuka dan keempat roda mobil mencium jalan umum penuh nafsu.
Nggak lama kemudian, mataku menangkap nama Gaia di layar dan tanpa menunggu lama, aku menekan tombol accept.
"Udah balik?"
"Masih di jalan, Ya. Kenapa?"
"Pick me up, please."
Mendengar permohonan Gaia, aku tergelak. "Seburuk apa?"
"Cakrawala Sampurna, nggak ada waktu buat jelasin, ya? Tell me your ETA."
"Lagi di mana emangnya?"
"Sandstone. Cepetan!"
Aku melirik arloji, memperhitungkan jarak dari posisiku sekarang ke Sandstone, sebuah restoran fine dining yang ada di daerah Angsabay. Jumat malam seperti ini, lalu lintas ke arah sana harusnya nggak terlalu macet.
"Give me ten," jawbaku. "Level berapa gawatnya?"
"Red!" Terdengar Gaia begitu frustrasi.
Aku kembali tertawa mendengar Gaia yang benar-benar nggak sabar menunggu kedatanganku. "You owe me one McFlurry."
"Nanti aku beliin mesinnya sekalian."
"Be careful, Gaia."
"Buruan!"
Begitu sambungan terputus, aku menggeleng dengan senyum lebar.
Saatnya aku menunjukkan kemampuang akting kaliber aktor kelas B demi menyelamatkan Gaia dari kencan yang buruk. Red berarti aku harus berpura-pura menjadi pasangan Gaia agar pria mana pun yang sedang ditemuinya sekarang nggak lagi menganggunya.
Aku selalu senang melakukannya karena Gaia adalah satu-satunya perempuan yang bisa aku cintai sepenuh hati.
***
Dear all,
Another chapter of The Greatest Kiss is here!
Oh ya, saya kayaknya belum sempet ngasih tahu kalau di cerita ini, saya akan pakai fictional city ketika Sam ada di Indonesia. Kenapa? Karena saya pengen banget ngegabungin Bali dan Jakarta, sementara di Indonesia kayaknya nggak ada kan kota yang jadi perpaduan dua tempat ini. So I decided to set this in a fictional city. Jadi kalau ada nama-nama yang aneh, nggak lazim, dan nggak pernah kalian denger, ya itu karena memang tempatnya nggak ada di peta. But of course, misalkan nanti ada setting di Jakarta/Bali, saya pasti akan pakai tempat yang memang ada. Semoga bisa dipahami, ya.
Anyway, enjoy this chapter and let me know what you think!
Baci,
Abi
Music: Générique by Miles Davis, from the OST of Ascenseur pour l'échafaud
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro