7. Magnolia, White Carnation, and Heliotrope
Munich, Germany
Summer 2014
Sabine Amari memiliki ritualnya sendiri yakni melihat perhiasannya dan mengenakannya sendiri. Tidak hanya itu, ia berusaha untuk mengeluarkan kotak-kotak perhiasan dari lemari besi dan menaruh perhiasannya pada kotak beludru biru tanpa tutup. Matanya mengabsen beberapa koleksi perhiasannya yang akan ia bersihkan dari debu dengan kain khusus.
Putra tunggalnya, Fabian, mencari Sabine di kamarnya dan melihatnya sedang membersihkan perhiasannya. Sabine menyadari putranya mendekat malah memintanya untuk mengambil kursi ottoman dekat sofa tunggal. Ia ingin berbicara dengan putranya sembari melakukan ritualnya ini.
"Dari mana saja perhiasanmu berasal, Bunda?"
"Banyak. Ayahmu membelikan Bunda bros berlian ini setelah melahirkanmu, ibuku membelikan Bunda giwang berlian saat aku menikah. Mayoritas perhiasan ini juga koleksi antik yang diwariskan dari orang tua dan mertuaku—lihat desain dan ukurannya. Sebenarnya, ini koleksi yang banyak untuk satu orang, ya?"
Fabian mengangguk. Ia hanya tahu bahwa keluarganya memiliki koleksi perhiasan yang bagus. Bahkan beberapa diantaranya ada yang sebelumnya dimiliki oleh beberapa bangsawan Jerman—yang terpaksa harus menjual banyak perhiasan karena mengalami perubahan kehidupan yang sulit setelah Perang Dunia Pertama. Ia hanya tahu bagian itu saja.
"Bunda juga tidak mengenakan semuanya setiap hari. Bunda hanya selalu ingat untuk mengenakan cincin nikah dan cincin tunangan dari ayahmu." Sabine mengatakannya sembari menyentuh jemari dan memperlihatkan kedua cincin yang ditumpuk. Fabian menyadari bahwa salah satu cincinnya mirip dengan cincin yang dimiliki oleh Duchess of Cambridge. "Tentu saja Bunda selalu melepaskannya saat mandi atau operasi. Namun cincin dari ayahmu sangatlah sentimental untuk Bunda."
"Cincin bunda mirip seperti cincin safirnya Duchess of Cambridge...atau perasaanku saja?"
Sabine tertawa saat menyadari putranya menyadari cincin pertunangannya dengan ayahnya—1735 Sapphire Ring dari Garrard dengan berlian dan platinum. Perhiasan kesukaannya. "Bi, sebenarnya cincin yang dimiliki oleh Duchess of Cambridge itu pernah menjadi milik Princess of Wales—yang memilih dari katalognya Garrard. Kebanyakan keluarga kerajaan selalu membuat pesanan khusus atau mewariskan perhiasan, bahkan untuk cincin pertunangan mereka. Namun Princess of Wales memilih cincin pertunangannya melalui Garrard dan kemudian cincin tersebut populer—baik secara desain, maupun memang itu cincin Putri Diana."
Anak remaja itu mendengar Bundanya dan kedua matanya kembali melihat cincin tersebut. "Can I have it for my future wife?"
"Nicht, Bitte. Aku hanya ingin mengingat cincin ini sebagai pemberian ayahmu saat melamarku. Kusarankan kamu untuk membeli sendiri cincin pertunangan dan cincin nikah untuk istrimu agar kamu bisa mengingat usahamu untuk bisa bersamanya."
Fabian menganggukan kepalanya dengan lembut. Ia berpikir bahwa mantra bundanya memang ada benarnya.
.
.
.
London, UK
Mid-year 2026
Benedikt Schäffer benar-benar terkesima mendengar Fabian benar-benar menabung untuk membelikan Sura cincin pertunangan yang indah dari Cartier dan membelinya secara mendadak. Karena personal branding Fabian sebagai pewaris kekayaan keluarga yang tidak suka mengelola perusahana dan banting stir menjadi dokter, Benedikt memiliki prasangka bahwa Fabian sangat kaya dan diperbolehkan untuk banting stir begitu saja. Tidak seperti pewaris-pewaris yang diketahuinya. Apalagi Fabian anak tunggal.
Ia akan menyumpal mulut Benedikt dengan beberapa kaleng teh dan kue kering yang akan ia berikan sepulangnya dari London agar tidak banyak bercerita soal itu.
Sebelum pergi meninggalkan kediaman kakek neneknya Sura, Omi hanya menahan bahu Fabian lalu memberikan kunci mobilnya. "Tolong kalian pergi dengan mobilku. Omi parkir persis di depan pintu. Warna silver."
"Terima kasih, Omi."
Wanita tersebut memeluk Fabian sebentar dan berbisik sedikit. Break a leg, Fabian. Kudoakan semoga lancar.
Akhirnya mereka berdua berada di kursi depan Mercedes Benz tipe A-Class Saloon berwarna silver dan Fabian menyetir sembari mendengarkan Sura bercerita bagaimana ia tumbuh di London—sebelum ikut dengan ayahnya ke Brasilia dan dikirim ke Jakarta; tinggal di rumah kakek nenek yang masih dalam kondisi prima sembari mengunjungi paman bibinya, dirawat oleh asisten rumah tangga yang berbahasa Inggris, Arab dan Ibrani (berasal dari Ramallah), hingga menjalin pertemanan dengan Sibylla Giske dan kakak beradik Kushner yang sempat sekolah di Inggris.
Sementara Fabian mendengarkan dan merasakan ada kesamaan karena dia juga dibesarkan bersama kakek nenek di Munich—meskipun lebih banyak dihabiskan bersama pamannya yang masih muda dan tidak menikah, diasuh oleh pengasuh dari Inggris dan aupair dari Indonesia, dan memiliki kecocokan sifat dengan Benedikt Schäffer karena sudah berteman sejak kecil. Perlu diingat, Fabian mengecilkan lingkar inner circle-nya, meskipun ia juga welcome dengan orang-orang lain. Fabian hanya dekat dengan Benedikt, Sura, dan satu orang lainnya yakni Rufus Eufrat (yang juga sudah ditemui oleh Sura karena mereka berasal dari universitas yang sama).
Sura bertanya apa yang Fabian lakukan apabila tidak bersama Benedikt dan Rufus. Fabian menceritakan bahwa ia juga membangun pertemanan dengan rekan sesama tenaga kesehatan yang lain. Ia selalu menyapa dokter jaga dan perawat, makan siang dengan atasannya, ditemani satpam saat menunggu hujan, hingga membelikan jajanan untuk dokter magang. Untuk hal ini, Fabian terinspirasi dengan apa yang dilakukan oleh Sura dalam membangun hubungan dengan orang-orang di kantornya dan tetap memiliki batasan.
Meskipun mereka menjalin hubungan jarak jauh dan bertemu saat cuti, cara mereka berkomunikasi yang melewati perbedaan waktu, berusaha membuat kejutan-kejutan menyenangkan, hingga menceritakan bagaimana mereka hidup, mereka berusaha untuk selalu memahami dan tidak banyak menuntut dalam hubungan mereka. Keluarga mereka mendukung, teman mereka mendukung, dan mereka baik-baik saja.
Terima kasih juga karena mereka berdua tidak memiliki teman yang berbakat menjadi provokator (biasanya untuk memberikan motivasi gila kalau berselingkuh itu tidak apa-apa selagi tidak ketahuan) untuk pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh.
Sekarang pun pikiran Fabian bersama dengan rangkaian bunga yang akan dia beli untuk Sura. Ia besar dengan bunda yang juga penyuka bunga —benar-benar penyuka bunga yang memperhatikan bunga segar yang ditampilkan pada setiap hotelnya, dan ayah yang menyatakan perasaannya lewat bunga. Pengetahuan itu juga membuatnya paham arti dari bunga (dan warnanya) seperti warna pada bunga anyelir bisa berarti pujian dan juga penghinaan. Bunga putih seperti krisantemum dan lili bisa dipergunakan pada pemakaman —tergantung kebiasaan setiap negara.
Tidak biasanya Fabian menjadi orang yang kreatif, namun hanya ini yang bisa ia lakukan. Bahkan Fabian dapat membayangkan sebuah kalimat, 'Hi Sura, you are sweet and lovely. I hope our love never end' dan eureka! Fabian akan membeli magnolia, anyelir putih, dan heliotropium untuk malam ini!
"Kamu tahu tempat untuk membeli buket bunga di sekitar sini?" tanya Fabian di tengah-tengah pikirannya.
"Aku tahu toko bunga di rumah pamanku di Victoria Road. Bunganya sangat lengkap."
"Tolong arahkan aku ke sana."
"Baiklaaaah."
Sembari berharap bunga yang dimaksud tersedia di toko yang dimaksud, Fabian turun dari mobil dan, tidak butuh waktu lama, Fabian berhasil mendapatkan buket yang berisi bunga magnolia, anyelir putih, dan heliotropium —Fabian beruntung karena ini sesuai dengan apa yang ia inginkan. Meskipun Sura sudah mulai curiga dengan pilihan bunga Fabian, terutama dengan magnolia, namun gadis tersebut masih tidak menyadari apa yang akan terjadi setelah ini.
"Pilihan yang bagus. Aku bingung kenapa aku tidak menemukan laki-laki yang tahu bunga, baik selera bunga atau tahu bahasa bunga, seperti kamu. Kebanyakan dari mereka selalu membeli mawar, mawar, dan mawaaaaaar untuk pasangannya."
"Jelas. Mawar, terutama yang merah, adalah pilihan paling aman atau memang tidak kreatif. Tolong bantu aku untuk pegang buket bunganya."
"Sure."
"Terima kasih."
"Tumben kamu tidak menaruh kartu ucapan."
"Benarkah?"
"Iyaaa, lihatlah."
Fabian yang ingin menyalakan mesin mobilnya pun memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Ia mulai melirik gadis yang di sebelahnya. Lupakan tempat romantis, Fabian sudah siap sekarang. Sekarang atau tidak sama sekali. "Lupakan kartu ucapannya. Ada yang ingin aku katakan padamu."
TBC
nas's notes: terima kasih banyak untuk kalian yang sudah menemukan dan membaca cerita ini. <33 aku akan update lebih sering, jadi kalau ada dari kalian yang mau ikut tag list aku di twitter, let me know, ya! Jika ada apa-apa boleh kabari aku di tellonym, ya. Terimakasihhh <33
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro