Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

57. Tarot Reading

Jakarta, Indonesia
End of November 2026

Dengan perasaan frustasinya, Daniel hanya bisa menatap Bimo yang mengendarai mobil dari kursi samping. Sura dan kembaran rangkap adik bungsunya Daniel, Hana, menyadari bahwa mobil berjalan begitu pelan saat melewati Jalan Gatot Subroto. 

"Bim, kita jadi ke Blok M, 'kan? Bukan ke Kowloon, Hong Kong? Kok enggak sampai-sampai?" Hana bertanya secara sarkastik dari bangku belakang.

"Akhirnya Hana buka suara. Bim, bahkan orang yang SIM-nya nembak pun kalau nyetir enggak sepelan ini." Daniel menyahuti kalimat Hana yang ditujukan kepada Bimo. "Sebenarnya kamu enggak ada masalah di perpanjangan SIM-nya, 'kan?"

"Enggak."

"Ini apa? Tampaknya tidak ada peningkatan."

"Sabar," ucap Bimo sembari menyetir dengan tenang.

"Enggak bisa gitu, Bim. Masalahnya kalau kamu masih menyetir sepelan ini, nanti kita bisa kena macet di GBK," gumam Sura yang berusaha menahan perasaan jengkelnya terhadap cara menyetirnya Bimo. Padahal waktu masih menunjukkan pukul tiga sore, "aku tidak mau berargumen, sekarang aku yang menyetir."

"Tidak."

"Aku saja, Bim," tawar Hana dengan pasrah. 

"Tidak."

"Demi Tuhan, cara menyetirmu benar-benar membuatku frustasi, Bimo. Tolong pinggirkan mobilnya dan biarkan aku yang menyetir." Daniel mengutarakan perasaannya yang membuat Bimo mengarahkan mobilnya menuju pinggir jalan. Akhirnya Bimo dan Daniel pun bertukar posisi dibandingkan memperpanjang perdebatan. 

Daniel pun mulai mengendarai mobilnya dengan cepat dan menyesuaikan dengan kepadatan ruas jalan. Hingga beberapa menit kemudian, mereka berhasil sampai di kawasan Blok M. Sebenarnya tujuan mereka pergi ke Blok M bukanlah untuk berkuliner, namun mereka berencana untuk mendatangi seorang pembaca tarot di salah satu sudut yang berada di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Bimo telah mengenal pembaca tarot ini melalui koneksi influencer-nya dan memberikan harga bagus karena Bimo membawa beberapa temannya. 

"Siapa duluan?" tanya Daniel sesaat mereka sudah bertemu dengan pembaca tarot kenalannya Bimo. 

"Sura saja," usul Bimo sesaat melihat Sura yang baru saja membuka ponselnya dengan santai.

"Apa-apaan???"

Hana langsung menarik bahu Sura dan membuatnya duduk di kursi yang berhadapan dengan Si Pembaca Tarot tersebut. Pandangannya kepada Sura tampak seperti mengintrograsi wajahnya yang tampak familiar. 

"Haii, siapa namamu dan kamu lahir tanggal berapa?"

"Hai, aku Nayantara Sura."

"Nama panjang," potong Bimo sembari menyenggol kaki Sura yang mengenakan Repetto berwarna merah dengan sepatu Nike Air Force One berwarna putih yang ia kenakan secara sengaja.

"Nayantara Sura Ramadhanty Wiradikarta, 25 Desember 2000."

"Pantas saja aku familiar saat melihatmu, kamu putri Pak Menlu, kah?"

"Iyaaa, Menlu dari kabinet sebelumnya."

"Aku pernah menjadi moderator saat ayahmu datang ke Universitas Indonesia beberapa tahun yang lalu."

"Masya Allah, pantas aku menyadari intonasi nadamu yang bagus. Tampak seperti seseorang yang terbiasa public speaking."

"Aku tersanjung, Sura. Terima kasih untuk pujiannya," ucapnya sembari mengambil tumpukkan kartu dan mengocok semua kartu dengan tangannya, "baik aku akan membacakan untukmu terlebih dahulu. Sebelumnya aku kasih disclaimer terlebih dahulu, ya, untuk semuanya. Jadi aku hanya membacakan apa yang aku lihat dan tasfir dari kartu dan kemampuanku ini. Aku tidak tahu akankan yang kulihat ini akan terjadi pada kalian atau sebaliknya karena alangkah baiknya jika kalian mempercayai semua rencana Allah yang disertai dengan kerja keras kalian. Sura, tolong ambil tiga kartu."

Pembaca tarot tersebut membuka tumpukkan kartu bagaikan kipas dan mempersilahkan Sura untuk memilih kartunya. Sebenarnya Sura bisa memberikan pertanyaan, namun kali ini ia memilih untuk mengalirkan semuanya dan tidak membatasi terhadap hal-hal yang banyak ditanyakan orang saat membaca tarot.

"Intinya kita enggak boleh percaya sama kamu sebagai pembaca tarot, ya," ucap Bimo sesaat pembaca tarot itu sedang membuka salah satu kartunya Sura.

"Yes, Bimo Mumtaz, dan stop membenturkan kakimu ke lantai. Kamu membuatku nervous depan Sura." Pembaca tarot tersebut menjawab sembari membuka kartu yang tersisa. Pikirannya benar-benar terbuka saat menafsirkan jawaban dari tiga kartu tarotnya Sura. Sura tidak bertanya dan ia juga tidak. "Wooo, Sura. Memang butuh resiko yang besar, ya, untuk mencapai apa yang kamu mau. Ada yang kamu korbankan juga demi usaha-usahamu itu, namun kamu sudah memiliki apa yang kamu bisa kamu gunakan untuk meningkatkan kariermu, tapi ini pure dari skillset kamu, kok. Memang, sih, harus mulai dari awal atau move ke tempat baru, tapi enggak salah, kok, kalau dirasa kamu harus memulai...ya, maka mulai dulu aja. Tetap bergerak untuk hal-hal baik dan menyebarkan hal yang positif agar menjadi manfaat untuk diri sendiri dan sekitar. Semangat, ya, Sura. Kamu harus banyak menunjukkan diri kamu ke publik dengan percaya diri. Jujur saja aku tidak tahu banyak soal kamu, tapi aku percaya kamu bisa melakukannya dengan baik. Done! Apa kamu ada feedback?"

Kedua iris perempuan itu membesar dan ia tampaknya sudah mengerti apa yang dikatakan oleh pembaca tarot itu. Kalimat yang dibacakan untuknya benar-benar mudah dipahami untuk sikonnya saat ini dan pikirannya hanya ingin mengakhiri tanpa ada tanggapan—untuk kebaikannya sendiri. "Wow, rasanya aku seperti mendapatkan saran. Aku akan menganggapnya sebagai saran yang bijak. Tentu saja ada feedback. Terima kasih banyak untuk tasfiranmu."

"Terima kasih kembali, Sura," ucap si pembaca tarot dan melihat ke tiga orang yang tersisa, "siapa selanjutnya?"

Bimo, Daniel, dan Hana dengan kompak mengucapkan: "Aku."

.

.

.

Jakarta, Indonesia
October 2024

Saat Remus Wiradikarta telah menyelesaikan amanah dari Presiden Republik Indonesia yang telah ia jalani selama empat tahun, ia terpikir untuk mencari kegiatan yang bisa ia lakukan selain melahap beberapa buku fiksi kesukaannya sembari menunggu untuk pergi menuju New York bersama istrinya. Untuk saat ini, ia berusaha untuk membunuh waktu dengan menulis drabbles dari notes-nya. Telinganya berhasil menangkap suara ketukan pintu yang disusul oleh putri bungsunya yang masuk ke ruang kerjanya. 

"Hi, Ayah. Aku membawakan bunga dari anak ketigamu, for you."  Sura meletakkan rangkaian bunga anyelir putih dan hortensia hijau—dengan harapan semoga sukses dan memulai awal yang baru, di atas meja kerja ayahnya. Remus menangkap bahwa maksud dari bercandaan 'anak ketiga' dari Sura adalah karena dirinya dan istrinya telah menganggap pacar dari Sura dan anak dari teman dekatnya, Fabian, adalah anak ketiganya. Sementara Sura adalah 'anak keempat' (dilihat dari urutan lahir).

"Hi, Meine Liebste. Thank you. Aku akan menghubungi Fabian setelah ini." Remus melihat rangkaian bunga tersebut dan meraih sebuah kartu ucapan yang berada dalam rangkaian tersebut. "Tulisan tanganmu?"

Sura menyadari bahwa ayahnya dapat mengenali tulisan tangannya. "Iya hahaha. Kata-katanya tetap dari Fabian, kok, aku menyalinnya."

"Beruntung kamu tidak menulis dengan cursive hebrew or cursive arab. Aku tidak bisa membacanya." Remus bergumam pada putrinya. Ia memiliki perasaan bahwa selagi putrinya ada di sini, ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, tampaknya ia memperhatikan kalau suasana hati putrinya sedang baik, jadi ia memilih untuk mengurungkan niatnya.

"Maka bunda yang akan membacakannya untuk Ayah." Sura mengatakannya sembari tertawa sedikit. Lalu mereka berdua terdiam sejenak. Sura mengingat bahwa ia memiliki kenangan bagus saat ayahnya menjabat. Tidak, bahkan sebelum itu. "Sejujurnya, aku akan merindukan Gedung Pancasila. Dahulu ayahmu senang mengajakku ke sana dan Ayah juga mengajakku untuk melihatmu bekerja. Interiornya selalu mewah dan megah. Bahkan aku melihat lukisan ayahmu tergantung bersama Menlu lainnya. Mungkin aku akan melihat lukisan Ayah dari Google Review."

"Jadi kamu senang kuajak ke kantorku itu? Kukira kamu tidak menyukainya...."

"Senang, lah, orang Ayahku Menlu." Sura menjawab pertanyaan ayahnya yang membuat ayahnya tertawa. "Sekarang apa yang Ayah lakukan setelah berakhirnya masa tugas Ayah sebagai Menlu?" 

"Aku akan pergi ke New York untuk menemani Bunda dan menulis buku lagi untuk diterbitkan."

Sura hanya tersenyum saat mendengar rencana pensiun Ayahnya. Ia tahu pasti bahwa Ayahnya tidak tahan menghabiskan waktunya dengan menulis dan akan mencari pekerjaan lain. Bahkan ia tahu persis bahwa ayahnya ingin sekali merilis buku fiksi di luar negeri, meskipun ayahnya mengatakan dengan bercanda saat acara makan malam. "Ugh, jangan menerbitkan buku motivasi dengan wajahmu."

Remus tertawa. Ia tahu putrinya bercanda karena mereka bukanlah tipe orang yang akan memberikan cahaya ke orang lain dengan motivasi hidup dari apa yang sudah ia jalani selama ini. "Tentu saja tidak. Aku tidak bisa memotivasi orang lain dan, juga, aku penganut aliran cover buku sederhana ala barat. Lagipula kamu tidak akan menemukan bukuku, karena aku menerbitkannya dengan nama penaku dan hanya bundamu yang tahu."

"Aku mengapresiasi usaha Ayah dalam merahasiakannya. Aku tetap bisa menemukan Ayah."

"Through?"

"Your words."

"OK, akan aku pastikan untuk menulis dengan baik agar kamu tidak menemukanku."

"OK." 

Remus hanya menganggukan kepala dan melirik sedikit ke arah jam tangan Patek yang ia kenakan. Tampaknya sekarang adalah waktunya untuk mengobrol dengan Nicky. "Sura, tolong panggilkan Nicky ke sini. Ayah ingin mengobrol dengannya." 

TBC

nas's notes: terima kasih yaa gengs sudah berkenan untuk membaca updatean ini. untuk feedbacks boleh lewat qrt twt atau tellonym atau rep wp ini, yah. terimakasihh. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro