153. Reminiscence
München, Germany
March 2027
Fabian mengeluarkan dua buah koper Rimowa berukuran sedang dan kabin dari rumahnya. Ayahnya, Andrian, hanya mengantarkan sampai depan sembari menunggu sarapan paginya disiapkan. Kali ini, Fabian berencana untuk pergi ke luar negeri dalam waktu lama dan Fabian akan sulit dihubungi. Ia memutuskan untuk tidak berangkat dari kediamannya sendiri, namun Fabian sengaja untuk pergi dari kediaman orang tuanya. Rumah tersebut berada di salah satu jalan utama dan berderetan dengan beberapa rumah mewah yang memiliki gaya arsitektur yang kurang lebih sama.
"Ayah, sebelum aku pergi, apakah bisa kita bicara sebentar?" pinta Fabian sembari mengikat tali sepatunya sejenak dan berdiri lagi.
"Boleh. Ada apa Fabian?" tanya Andrian penasaran. Ia memandang raut wajah putranya yang langsung berubah.
"Aku membatalkan rencana pernikahan dan aku sudah memberitahu Sura."
Raut wajah Andrian langsung berubah begitu cepat. Ia tidak menduga bahwa anaknya memilih cara ini. "Fabian, apa kamu sudah memikirkan ini? Apakah kamu tidak merasa keputusanmu terlalu mendadak?"
"Aku hanya tidak ingin membebaninya, Ayah."
"Apa kamu sudah mendiskusikan dengan Sura?" Andrian bertanya, namun ia hanya mendapati Fabian yang terdiam. Lelaki muda tersebut tak dapat merespon pertanyaan ayahnya. "Ya Allah. Kamu bisa mendiskusikannya terlebih dahulu, Fabian. Cari jalan keluarnya sama-sama. Jangan ambil keputusan sendiri yang bahkan Sura saja belum setuju."
"Tidak, Ayah." Fabian menggeleng dan matanya melirik ke arah kendaraan yang telah berhenti tepat di depan rumahnya. "Jemputanku sudah datang. Aku pergi dulu, ya, dan tolong jangan katakan apapun kepada bunda."
"Astaghfirullah Fabian!" Andrian memanggil anak lelakinya, namun tampaknya Fabian sudah menggeret kedua kopernya
Kurasa anak itu juga belum memberitahu bundanya dan juga orang tua Sura. Benar-benar anak itu seenaknya sendiri. Andrian membatin sembari melihat anak lelakinya menaikki kendaraannya.
"Tschüss Ayah!"
Kamu membuat ayah sakit kepala, Fabian. Lagi-lagi Andrian membatin sembari melambaikan tangan kepada anaknya.
Fabian pun tampak menikmati pemandangan dari kota kelahirannya sebelum ia pergi menuju benua lain untuk pekerjaannya. Ia akan pergi dalam waktu yang lama, entah sampai kapan. Kemudian Fabian mulai mengeluarkan salah satu buku dari Julian Ramadhan miliknya. Ia membuka halaman yang terakhir ia baca yakni obrolan salah satu karakter yang bernama Noemie dengan kedua orang tuanya. Fabian selalu terkesima dengan cara orang tuanya Noemie dalam mendengarkan dan membantu anaknya saat mereka memiliki masalah. Bahkan ia selalu membaca bagian tersebut, meskipun orang tuanya tidak seperti orang tua yang ditulis oleh Julian Ramadhan di buku-bukunya. Tak lama setelah membaca beberapa kalimat, pikirannya Fabian mulai berbalik ke dirinya di masa lalu.
"Ada apa ayah? bunda?"
Andrian tampak duduk di sofa yang berada di kamar tidur mereka dan Sabine tampak duduk di meja riasnya sembari membuka kotak perhiasannya saat Fabian datang. Kedua mata wanita tersebut melihat Fabian dari cermin meja riasnya tanpa harus memutar tubuhnya.
"Sabine, tolong kamu saja yang sampaikan," ucap Andrian sembari mengaduk teh bijanggut pedas yang tersaji di atas meja kopinya.
Sabine pun menghela nafasnya dan langsung memutar tubuhnya dari hadapan cermin meja rias. Ia memandang anak lelakinya yang langsung mengambil kursi ottoman untuk duduk dekat bundanya. "Fabian, ayah sama bunda sudah lama ingin menjodohkan kamu dengan anaknya sahabat bunda. Kurasa bunda sudah bisa mengaturnya untukmu. Kamu nikahnya bisa saat kamu masih spesialis atau kapanpun kamu siap juga tidak apa-apa."
"Siapa anak bernasib malang yang akan dijodohkan denganku?"
"The youngest daughter of my dearest friend from the United Kingdom. A girl who born with the prettiest name, personality, and face." Sabine menjawab sembari tersenyum dengan antusias. "Kurasa kamu sudah bisa menebaknya."
Lelaki itu tampak sudah yakin, seratus persen, bahwa ayah dan bunda akan menjodohkan dirinya, anak lelaki satu-satunya, dengan anak perempuan dari sahabat baik mereka. Fabian paham betul jika orang tuanya begitu menginginkan sosok Nayantara Sura Ramadhanty Wiradikarta sebagai perempuan yang akan dinikahkan dengannya.
"Sura, 'kan?" Fabian bertanya untuk mengklarfikasi dan Sabine langsung menganggukkan kepalanya.
"Meskipun Sura anak dari sahabat baik Bunda, 'Kan kamu pernah satu sekolah dan satu universitas juga sama Sura. Ia benar-benar putri yang selalu Bunda inginkan sebagai calon istrimu dan seseorang yang bisa Ayah dan Bunda percaya untuk mengurus perusahaan."
Tampaknya Fabian sudah tahu arah pembicaraan ini mengarah ke mana. Mengingat Fabian tidak tertarik bahkan tidak memiliki bakat untuk mengurus perusahaan keluarga. "Memang, tapi aku sendiri masih bersahabat dengan Sura. Belum pacaran dan sama-sama masih studi juga."
"Langsung tunangan aja, gimana?" Sabine menyarankan, namun Fabian terlihat tidak yakin.
"Jangan, Bun. Aku masih butuh waktu. Kalau ditanya mau atau enggak, tentu saja aku mau. Untuk ini, biarkan aku berusaha dulu, ya, Bun. Meskipun Bunda yang menjodohkan aku, tapi aku juga ingin pergi kencan seperti orang lain."
"Selama ini bukannya sudah?"
"Enggak, lebih sering nugas—bahkan Sura sering menemani aku nugas. Tambahan, kalau ternyata Sura jodohku, aku ingin melamarnya sendiri."
"Alright, lakukan apapun yang kamu mau, gentleman. malah bagus kalau kalian juga mendukung perjodohan ini. Bunda dan Bundanya Sura yang akan mengurus acara pernikahannya—kalian tinggal kirimkan konsep dream wedding kalian, Mudah, bukan? Bunda dan Ayah hanya ingin satu hal demi kita semua, tolong jangan kacaukan rencana perjodohan ini, ya."
Fabian terlihat menghela nafas dan Andrian pun melirik istrinya dengan perasaan ngeri. "Iyaaaa."
Sembari merasakan roda dari mobil yang mengantarkannya berjalan dengan cepat di jalanan yang mulus, Fabian pun menarik dan menghembuskan nafasnya perlahan lalu memenjamkan matanya sejenak. Ia berusaha untuk menahan dirinya agar tidak menangis secara tiba-tiba. Seharusnya Fabian tidak membatalkan rencana pernikahannya secara sepihak tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan Sura, namun Fabian memiliki keyakinan bahwa apabila semuanya tetap berlanjut, maka yang akan mengorbankan dirinya dan mendapatkan beban lebih banyak adalah Sura.
Dirinya bahkan mengaku akan selalu mencintai perempuan kesayangannya itu, namun Fabian ingin sekali melihat Sura mencapai banyak hal luar biasa di hidupnya sembari terbang mencari kebahagiaannya sendiri. Hingga saat ini, pikiran Fabian masih sama. Ia belum pantas untuk memiliki—tidak, ia belum siap memberikan Sura banyak kasih sayang yang sama besarnya seperti kedua orang tuanya.
"Sura tampak baik-baik saja, namun jiwanya butuh pelukan."
Nicholas mengatakannya pada Fabian pada malam itu. Tak hanya itu, Fabian mengingat bagaimana ayahnya Sura mengatakan sesuatu saat Fabian hendak meminta izin untuk melamar Sura.
"Kamu tahu kenapa dari beberapa keluarga yang melamar Sura untuk anak lelakinya, aku dan Ingrid memilihmu untuk dijodohkan dengan Sura? Aku akan memberikan alasannya yang tentu saja bukan hanya karena kamu anak dari sahabat dekat kami. Pertama, aku melihat diriku sendiri padamu—aku anak tunggal sepertimu, namun aku kerap denial saat mengetahui fakta bahwa aku dicintai sebesar itu dan, bahkan, aku tidak mendapatkan sama besarnya dari orang tuaku. Kedua, aku sudah menghalangi keinginannya Sura untuk bekerja sebagai diplomat hanya karena aku takut Sura meninggal. Ketiga, karena itu juga, Sura berkeinginan untuk dijodohkan dengan kamu. Demi Allah, kakak-kakaknya Sura semuanya gagal menikah karena takdir dan aku tidak ingin Sura mengalaminya juga."
TBC
nas's notes: terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah baca part ini dan part sebelum-sebelumnya sembari memberikan aku vote dan juga tanggapan sebagai bentuk dukungan untuk aku. namun, aku boleh minta tanggapannya engga ya untuk part ini? karena...idk part ini lebih dalam??? mohon bantuannya dan terima kasih sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro