Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

Keesokan harinya di sekolah, kelas 2-1 tampak ramai dari biasanya. Begitu aku memasuki, kelas, kerumunan orang serempak menoleh ke arahku dengan tatapan yang ... err, bermacam-macam.

Aku mengernyit. "Apa?"

Hening sejenak sebelum kerumunan itu seketika bersorak. Mori-san, Akihita-kun, dan beberapa teman sekelas lainnya menghampiriku dengan gembira. 

"Ravel-kun, omedetou!" Yang mengatakan ini adalah Mori-san.

Akihita merangkul pundakku. "Bro! Kau murid baru, tetapi hebat sekali! Selamat, ya!"

Sisanya mengatakan hal yang sama seperti Mori-san dan Akihita. Kebanyakan dari mereka mengucapkan 'omedetou' atau 'selamat, ya!'. Ada juga yang mengucapkan 'terima kasih atas kerja kerasnya!'

Aku yang masih dilanda kebingungan karena tiba-tiba disambut dan diucapkan selamat pun menatap mereka heran.

"Eh? Dari ekspresimu, jangan-jangan ... Ravel-kun belum tahu?" terka Mori-san dengan mata melebar.

Tepat sekali. Aku tidak tahu kalian sedang membicarakan apa.

Aku mengangguk tanpa suara kemudian menggeleng cepat begitu menyadari sesuatu.

Apa jangan-jangan ... lomba kemarin?

"He? Maji de? Kau benar-benar belum tahu kalau kau juara dua di lomba fotografi kemarin?" tanya Akihita menatapku tak percaya. 

"Iya, aku bel—tunggu, kau bilang apa? Juara dua?" 

Ini aku yang salah dengar atau bagaimana? 

Mori-san mengangguk semangat. "Un! Un! Ravel-kun sugoi! SMA Nadokawa beruntung memilikimu!"

"Oh, ya, kudengar katanya hasil potretan tiga pemenang lomba fotografi itu akan dipajang di pameran nasional. Apa benar?" celetuk Miyawaki-san, sang ketua kelas.

Aku mengangguk ragu. "Sebentar, kalian tahu dari mana? Memangnya pengumumannya sudah keluar?" 

"Belum, sih. Tetapi berkat Ogawa-kun, kami bisa mendapatkan informasi ini dengan mudah." Miyawaki mengacungkan jempol sembari mengedipkan sebelah matanya, sedangkan Ogawa membetulkan letak kacamatanya dan membusungkan dada.

"Berterima kasihlah padaku, Zaiku-kun," kata Ogawa dengan nada bangga.

Aku mendengkus pelan. Orang ini memang haus pujian. "Ya, terima kasih, Ogawa," ucapku tak niat.

Pengumuman lomba seharusnya siang ini, tetapi berkat Ogawa yang dapat meretas akun pemerintah, kami jadi mengetahui hasil lomba itu terlebih dahulu. 

Tidak terlalu buruk sebenarnya. Ternyata benar kata Akimura-sensei. Aku tidak mengira hasil jepretanku bisa memenangkan lomba itu.

Saat homeroom, Miyamura-sensei selaku wali kelas 2-1 mengumumkan hasil lomba fotografi dan mengucapkan selamat. Sepulang sekolah pun, ruang klub fotografi terlihat lebih ramai dari biasanya.

Aku tidak berniat memasuki ruang klub dengan orang sebanyak itu. Baru saja membalikkan badan, seseorang memanggil namaku dengan keras, "Zaiku-kun!"

"Itu dia orangnya!" susul suara lain.

Aku menghentikan langkah dan meringis. Ternyata mereka mencariku? Ditambah lagi ... aku mendengar suara Akimura-sensei. Gawat.

Mau tak mau, aku melangkah gontai menuju ruang klub. Di ambang pintu, Kiriya-san melambaikan tangan. Beberapa orang di belakangnya tampak menunggu. Lalu, Akimura-sensei muncul dari belakang Kiriya-san dan membelah kerumunan.

Begitu kami saling berhadapan, Akimura-sensei tahu-tahu merangkul pundakku dengan senyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang kekuningan dan rapi. Aku agak menjauhkan kepala. Sepertinya Akimura-sensei tidak menggosok gigi lagi tadi pagi.

"Selamat ya, Zaiku-san! Sudah saya bilang bukan, kau pasti bisa! Coba kalau kemarin kau tidak mengikuti kata saya, bakatmu tidak tereksplor."

Ucapan selamat dari Akimura-sensei berlanjut hingga ceramah panjang lebar. Untung saja aku sudah terbiasa mendengarnya. Tetapi memang berkat beliaulah aku bisa mengikuti dan ehm, memenangkan kompetisi ini.

Anggota klub lain berlanjut mengucapkan selamat. Selama itu pula aku terpaksa memasang senyum dan membalas ucapan mereka satu per satu. Tetapi, ada satu orang yang tidak mengucapkan selamat, bahkan untuk menatapku saja tidak.

Pemuda berambut bercat cokelat muda yang tengah bersandar sembari bersedekap di pojok belakang ruangan. Kalau tidak salah ingat namanya Saito. Sedari tadi dia menatapku tajam. Lirikan matanya sinis sekali.

Kiriya-san yang menyadari keberadaan Saito di pojok ruangan menegurnya, "Saito-kun, sedang apa kau di sana? Ayo ucapkan selamat pada Zaiku-kun!"

Namun, Saito tak mengacuhkannya dan malah menatap tajam Kiriya-san, membuat gadis itu tersentak. Sebelum Kiriya-san benar-benar membuka mulut lagi, Saito melengos. Dia berjalan cepat melewati kami berdua. Di ambang pintu, dia membalikkan badan. Lagi-lagi menatapku tajam.

"Dengar, sampai kapanpun aku tidak sudi mengucapkan selamat pada kalian, terutama kau! Murid pindahan!" ucapnya dengan nada tinggi kemudian berlalu, meninggalkan ruang klub yang seketika hening setelah mendengar perkataannya.

Suara tepukan tangan memecah keheningan. Asalnya dari Akimura-sensei. Pria seperempat abad itu menghampiriku

"Jangan dimasukkan dalam hati ya, Zaiku-kun," ujar Akimura-sensei sembari menepuk pundakku beberapa kali.

Kiriya-san mengangguk. "Benar! Dia itu, selalu saja begitu!" timpalnya dengan pipi sebelah kiri yang menggembung.

Aku hanya mengangguk saja. Dilihat dari perawakannya, dia juga bukan tipe orang yang akan  akrab denganku. Aku pernah melihatnya dua-tiga kali. Sepertinya dia jarang menghadiri klub.

"Nah, anak-anak, mohon perhatiannya." Akimura-sensei bertepuk tangan sembari berjalan ke meja pembina. Semuanya langsung mencari tempat duduk. Aku dan Kiriya-san duduk bersebelahan.

"Untuk festival musim gugur yang akan datang, klub fotografi akan menampilkan pameran foto." Akimura-sensei mulai menjelaskan.

"Ano, Kiriya-san, kenapa Akimura-sensei yang memberikan arahan, bukannya ketua klub?" bisikku pada Kiriya-san. Aku penasaran kenapa pembina sampai datang ke pertemuan klub.

"Ah, itu. Beliau ingin mengucapkan selamat secara langsung kepadamu," jawab Kiriya-san, "selain itu, ini menyangkut festival."

Aku agak terkejut. "Memangnya kemarin belum dibahas?"

"Sudah, tetapi itu baru diskusi di antara pengurus klub saja."

Aku mengangguk lalu kembali memfokuskan pandangan pada Akimura-sensei.

"Oleh karena itu, persiapkan satu potretan terbaik kalian untuk dipajang di festival musim gugur nanti! Ingat, yang terbaik! Buat para pengunjung terperangah dengan kemampuan memotret kalian!" lanjut Akimura-sensei. Rasanya aku bisa melihat bara api di matanya. "Mengerti?"

"Mengerti, Sensei!"

"Baiklah, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Selanjutnya saya serahkan pada Kiriya Aori-san. Saya permisi." Setelah itu, Akimura-sensei pamit meninggalkan ruangan.

Aku termenung di tempat, masih memikirkan kata-kata Sensei tadi. Hasil potretan terbaik, ya? Ah, ini memusingkan.

"Ne, Zaiku-kun." Tepukan di pundak membuatku tersentak dan menoleh ke kiri.

"Ya?"

"Sudah memikirkan foto apa yang akan kau pamerkan di festival nanti?" tanya Kiriya-san. Kemudian dia berkata lagi, "Ah, Zaiku-kun pasti kebingungan karena hasil jepretanmu banyak yang bagus."

Aku menggeleng. "Ah, tidak begitu kok. Aku belum memutuskan foto apa yang akan kupamerkan nanti. Kau sendiri?"

"Sama, aku perlu menimang-nimang."

"Oh, ya, kemarin aku baru memotret pemandangan yang bagus," ucapku yang baru mengingat kejadian kemarin. Cepat-cepat aku mengambil kamera dari tasku lalu menunjukkannya kepada Kiriya-san yang tampak antusias.

"Astaga, Zaiku-kun! Kau memotret seorang gadis?" Mata Kiriya-san terbelalak.

Ah, bodoh! Aku baru ingat gadis itu ada dalam foto.

"Ti-tidak! Bukan begitu, Kiriya-san!" Aku menyanggah dengan kedua tangan menyilang. "Saat aku hendak memotret pemandangan di sekitar jembatan, aku tidak sadar ada seseorang di sana. Aku juga kaget saat tahu gadis itu ada dalam foto."

"Sou ka." Kiriya-san mengangguk-angguk. Syukurlah dia tidak memekik lagi atau mengatakan yang tidak-tidak.

Kiriya-san masih mengamati foto itu. Dia serius sekali. Dahinya sampai mengerut.

"Ano, Kiriya-san?"

"A-ah iya!" Dia tersentak lalu menatap mataku. "Pemandangannya bagus sekali. Apa itu Jembatan Shimizu?"

"Eh, entahlah. Aku tidak tahu namanya," jawabku sembari menggaruk tengkuk.

"Sepertinya benar," kata Kiriya-san yang kembali menatap kameraku. "Gadis itu ... entah kenapa aku familier."

"Kau mengenalnya?" Aku memasang raut terkejut. "Dia siswi SMA Nadokawa juga."

"E-eh?!" Kiriya-san memekik tertahan. Matanya melotot ke arahku kemudian dia menggeleng cepat. "Bukan, pasti bukan. Aku tidak tahu."

Aku bergumam. Gelagat Kiriya-san mendadak mencurigakan. Terlebih, dia memalingkan wajah.

"Fotomu sangat bagus sampai aku iri melihatnya," katanya sebelum bangkit berdiri dan pamit ke toilet.

***

"Aku tidak yakin apakah itu benar-benar dia. Jika benar ... Ravel, kau tidak boleh mendekatinya!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro