Chapter 2
"Hidoii. Kau benar-benar melupakanku. Aku sakit hati, lho! Apa kau tidak merasa bersalah setelah membuat seorang gadis sakit hati?"
***
Gadis itu tiba-tiba saja menoleh ke arahku, tampak kaget.
Aku tersenyum canggung. "Ano ... sumimasen. Aku benar-benar tidak sengaja mengambil gambarmu. Aku sungguh tidak tahu kau ada di sana," tuturku agak gugup.
Lagi, gadis itu kembali menatapku kaget. Aduh, apa dia marah?
Aku buru-buru melanjutkan perkataanku, "Aku benar-benar tidak sengaja, sungguh! Kau marah, ya? Maafkan aku karena tidak sopan." Aku membungkukkan badan sekilas.
Gadis itu menggeleng lalu tersenyum simpul. "Tidak apa-apa. Salahku juga karena muncul tiba-tiba," katanya sembari memainkan payungnya.
Aku mengangguk dengan sendirinya. "Benar. Tadi tidak ada siapa pun di sini sebelum akhirnya kau muncul secara tiba-tiba."
Dia tertawa masam. "Maafkan aku jika mengagetkanmu. Aku hanya ingin melihat dedaunan berguguran dari sini saja. Habisnya, panorama di atas jembatan ini sangat indah."
Aku langsung berbinar. Gadis ini sepemikiran denganku. Akhirnya ada orang mengerti keindahan pemandangan ini!
"Kau juga suka? Sungguh?" tanyaku, menatapnya tak percaya. Dia mengangguk antusias. "Wah, senangnya! Soalnya, orang yang melalui jembatan ini sangat jarang. Padahal, panoramanya sangat bagus, apalagi saat musim gugur begini."
"Benar, benar." Gadis itu mengangguk mengiakan.
Aku melangkah mendekatinya kemudian menyandarkan tubuhku di pembatas jembatan. Aku mengamati gadis berambut cokelat panjang di sampingku. Satu hal yang baru kusadari, dia mengenakan seragam siswi SMA Nadokawa.
"Dari SMA Nadokawa juga?" Dia mengangguk. "Tetapi, aku belum pernah melihatmu sebelumnya."
Raut gadis itu seketika berubah menjadi ... sedih? Mulutnya seperti berbisik, tetapi tidak dapat kudengar.
"Kau mengatakan apa?"
Dia menggeleng dengan senyuman yang terlihat dipaksakan. "Tidak, bukan apa-apa."
Tentu saja aku merasa curiga. Namun, aku tidak bisa menunjukkannya karena kami baru saja bertemu. Aku harus lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. Apalagi pada orang asing dan seorang gadis.
"Oh, omong-omong, apa kau pernah ke sini sebelumnya?" tanyaku lagi.
Gadis itu mengangguk kecil. "Ya, terutama saat musim gugur."
Matanya tidak menatapku, melainkan ke bawah jembatan. Aku membalikkan badan dan ikut menatap ke bawah.
"Benarkah? Setiap pulang sekolah aku selalu melewati jembatan ini, tetapi aku tidak pernah sekalipun melihatmu."
Aku mengalihkan pandangan dengan mendongak menatap pepohonan begitu melihat air sungai yang mengalir lebih deras dari dugaanku.
Suara air sungai membuatku merinding. Apalagi jika melihat derasnya arus. Padahal aku merasa tidak punya trauma apa pun terhadap air, tetapi kenapa aku merasa sangat takut?
"Kenapa? Kau takut dengan sungai, ya?" tanya gadis itu lalu terkekeh kecil.
Dia ini cukup blak-blakan juga, ya.
Aku menggeleng cepat. "Ti-tidak! Aku bukannya takut dengan sungai, tetapi bukankah melihat pepohonan jauh lebih baik dari pada hanya melihat sungai? Hahaha," jawabku diakhiri tawa hambar.
Astaga! Alasan macam apa itu? Aku jadi terlihat seperti pria yang sedang mencari-cari alasan agar tidak ketahuan selingkuh oleh wanitanya.
Tak sesuai dugaanku, dia malah tergelak kecil. "Ya, ya, aku mengerti alasanmu kok. Tidak heran jika kau jadi takut dengan sungai," pungkasnya, membuatku mengernyit.
"Apa maksudmu?"
Gadis itu tak menanggapiku. Dia melanjutkan ucapannya dengan lirih, "Sama sekali ... belum pernah bertemu?"
Tunggu, apa? Kenapa dia tiba-tiba jadi bicara melantur? Dan apa maksudnya 'sama sekali belum pernah bertemu'?
Lagi, aku mengernyit untuk kesekian kalinya.
"Ah! Jangan mengernyit terus seperti itu. Nanti kau akan cepat tua."
"Huh? Aku baru tahu mengernyit bisa membuat orang cepat tua," gumamku. "Tidak, dari pada itu, aku merasa belum pernah bertemu dengan—"
Ucapanku terputus dengan sendirinya. Benar. Aku baru menyadari suatu hal. Dilihat-lihat lagi, aku familier dengan gadis ini, tetapi aku tidak tahu apakah pernah bertemu dengannya atau tidak.
Ingatanku tiba-tiba saja terasa samar. Aku spontan memegangi kening. Kepalaku tiba-tiba terasa berat. Ada sesuatu yang menurutku penting, tetapi sayangnya tak dapat kuingat.
"Benar juga. Aku tidak ingat apakah kita pernah bertemu atau tidak."
"Begitu, ya."
Dia menunduk. Wajahnya tampak sedih. Apa aku salah mengatakan sesuatu?
Tiba-tiba, angin berembus sangat kencang. Dedaunan berterbangan mengikuti arah angin, menyapu bersih tanah yang tadinya tertutup oleh daun.
Petir menyambar dengan menggelegar, mengagetkan kami berdua yang sempat dilanda keheninganm Kami mendongak berbarengan. Langit sudah mulai gelap, disertai awan mendung dan petir yang menyambar. Sebentar lagi pasti akan hujan. Sepertinya aku harus pulang.
"Aku harus pulang."
"Kalau begitu, aku juga."
Aku mengambil sepeda kemudian menaikinya dan mengayuh sebentar, berhenti tepat di tempat gadis itu berdiri.
"Ada apa?"
"Tidak, hanya saja ... apa aku boleh tahu namamu?" tanyaku sembari menggaruk tengkuk.
Dia sempat mengerjap kemudian tersenyum manis. "Tentu saja."
Sekilas, aku sempat terlena dengan senyumannya. Ah, tidak-tidak. Aku ini kenapa?
"Shimizu Akina."
"Eh?"
"Namaku Shimizu Akina."
Aku mengangguk mengerti. Shimizu Akina, ya? Nama itu benar-benar familier. Di mana aku pernah mendengarnya?
"Namaku Ravel Zayc. Teman-teman biasa memanggilku Zaiku atau Ravel," balasku memperkenalkan diri. "Salam kenal dan mohon bantuannya." Aku membungkuk sekilas.
Gadis itu juga balas membungkuk. "Mohon bantuannya."
"Shimizu-san, kalau begitu, aku pulang duluan. Jaa ne," pamitku seraya melambaikan tangan.
"Jaa ne," sahutnya membalas lambaianku.
Aku mulai mengayuh sepeda. Namun, baru sampai di ujung jembatan, aku menyetop kembali sepedaku dan membalikkan badan.
"Shimizu-san—eh?"
Di atas jembatan sudah tidak ada orang. Sepertinya Shimizu-san sudah pergi. Cepat sekali dia perginya.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu benar-benar aneh. Muncul tiba-tiba dan pergi tiba-tiba.
Sudahlah, lebih baik aku cepat pulang ke rumah sebelum Ibu memarahiku.
***
"Hei, Ravel, kau tahu? Obrolan tadi agak menyakitkan bagiku, tetapi sepertinya kau tidak menyadarinya, ya? Ya sudahlah. Aku tidak akan mengusik ingatanmu yang sudah gugur itu. Pada akhirnya, aku hanya bisa menatap punggungmu yang kian menjauh dari pandanganku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro