6. Rindu
Andai saja Fujiko F. Fujio masih hidup, aku ingin memaksanya untuk membocorkan konsep robot kucing sepintar Doraemon. Sehingga seseorang bisa mewujudkannya jadi nyata. Dunia kan sudah maju. Pasti banyak ilmuwan yang bisa. Lalu, kalau Doraemon sudah benar-benar ada, aku berharap dia buka olshop, supaya aku bisa Pre Order mesin waktu dan traveling ke masa lalu untuk menghapus segala kebodohan yang pernah kulakukan.
Tunggu, kenapa aku tidak langsung PO mesin waktu ke ilmuwan-ilmuwan itu??
Dari sekian banyak skenario, aku tak pernah menduga Naja akan bilang "kalau lo lupa, gue bisa ceritain detilnya". Gila apa?! Aku saja berusaha mati-matian membuang bayangan sampah itu, dan dia dengan polosnya muncul mengingatkan semuanya. Lalu aku dengan kebodohanku bertanya:
"Kok lo bisa ingat?? Harusnya lo nggak ingat karena mabuk!"
Naja tersenyum. "Ya gue nggak semabuk itu juga kali." jawabnya santai. "Menurut lo siapa yang megangin lo dan gendong lo ke kamar waktu lo ketiduran?"
Ketiduran?? Kenapa dia menyebutnya begitu?? Kenapa dia tidak menyebutnya pingsan saja supaya terdengar lebih manusiawi??
"Jadi lo pegang-pegang gue??" tanyaku mulai panik.
Naja tidak segera menjawab. Nampaknya dia sedikit bingung dengan kalimatku. Dan dia lebih bingung lagi bagaimana menjawabnya.
"Kalau nggak gue pegang, lo pasti bagal jatuh guling-guling sampai dasar bukit." jawabnya lirih. "Tulang lo bakal patah. Atau kulit lo tergores ranting-ranting. Lagipula, thats so funny how you said 'pegang-pegang', karena apa yang kita lakukan sebelumnya kayaknya lebih dari..."
"WAIT!" sontak aku berdiri dengan cepat. Membuat, Naja nyaris terjengkang saking kagetnya, dan abang bakso cuanki menjatuhkan sendok yang dipegangnya. "Wait. Wait. Tunggu." tambahku dengan nada rendah. Tak cukup dengan itu, aku mengangkat tangan, melarangnya bicara lebih lanjut karena aku tak sanggup menduga apa kelanjutan kalimatnya.
Naja menuruti perintahku. Dia diam saja, dengan kaki saling bertumpu dan tangan memainkan sendok di mangkuk sambal. Matanya mengikuti setiap gerakanku dengan ingin tahu. Perlahan aku duduk lagi.
"Malam itu gue mabuk." kataku dengan nada sangat rendah karena aku khawatir abang bakso cuanki kini mencuri dengar pembicaraan kami. "Lo juga mabuk. Apa pun yang kita lakukan, itu alkohol yang ngelakuin, right? We shouldn't do that! Jadi, apa pun itu, lupain aja! Anggap aja kita sama-sama gila dan bego...atau kalau perlu anggap aja kita nggak pernah ngapa-ngapain, oke??!"
Di titik ini, Naja mendengus geli sekaligus kesal. "Nggak ngapa-ngapain..." gumamnya, meski sangat lirih, tapi aku bisa mendengarnya. "Lo ini kadang lucu. Oke. Terserah lo aja, Laire." tambahnya dengan nada datar yang jauh dari kesan ramahnya selama ini. "Ayo balik,"
Tanpa menunggu jawabanku, Naja mengeluarkan dompet dan membayar pesanan cuanki kami. Aku ingin menolak dibayari namun tak punya kesempatan melakukannya. Tanpa menungguku, Naja sudah menyeberang jalan menuju bengkel, vespanya nampak sudah bisa dipakai kembali. Sementara aku masih tertegun di samping abang-abang cuanki.
Sisa perjalanan kami malam itu berlangsung hening. Aku yang canggung karena pijakan kaki di depan membuatku terasa terlalu rapat ke Naja, bingung harus membuat percakapan apa supaya awkward momen ini sirna. Sementara Naja terlihat menikmati keheningan. Untung saja hari sudah malam, jadi tak perlulah drama macet-macetan. Dengan kecepatan standar sebuah motor tua yang gemuk, aku tiba di rumah sekitar 40 menit kemudian. Aku mengucapkan terima kasih, Naja tersenyum dan mengangguk, lalu pergi, menyisakan suara vespanya yang masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Aku masuk ke rumah dan menyalakan lampu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa yang mengganjal yang tak hilang bahkan sejak Naja berlalu. Marahkah dia padaku? Karena aku menyuruhnya melupakan malam itu? Tapi...apa salahnya? Bukankah hal semacam itu memang tidak perlu diingat-ingat lagi? Bukankah hal-hal semacam itu harusnya jadi rahasia dan tak perlu dibahas apalagi diceritakan detilnya seperti kata Naja tadi? Bukankah ini juga demi kebaikannya sendiri bila ingin lanjut pedekate dengan Bianca? Kurasa Bianca tidak tahu soal peristiwa malam itu, dan Naja kurasa tidak sebodoh itu menceritakan hal-hal semacam itu kepada orang lain.
Lamunanku terputus saat ponselku kembali berbunyi. Nama Wesi terpampang di layar, seketika aku merasa tertampar. Rasa bersalah mulai menggunung di dada. Dulu aku tak begini. Benar. Aku tak pernah begini sebelumnya.
Apa yang sudah kulakukan? Untuk apa pikiran-pikiran tak penting tentang Naja itu sampai terlintas di otakku? Aku bahkan mengabaikan panggilan Wesi sebelumnya hanya karena aku sedang bersama Naja. Padahal Wesi meneleponku dua kali!
Bukankah itu berarti dia begitu ingin bicara denganku? Bukankah itu berarti ada sesuatu yang penting? Lalu aku malah mengabaikannya dan memilih ngobrol dengan pria lain. Bahkan, dalam beberapa momen bersama Naja tadi, aku sama sekali tidak memikirkan Wesi. Seolah-olah aku jomlo dan bisa jalan sana-sini dengan cowok lain. Pacar macam apa aku ini??
Dengan dada sedikit sesak, kutekan tombol hijau.
"Hai," suara Wesi yang menyapa terdengar sangat jauh. "lagi apa? Kenapa tadi nggak angkat?"
Suaranya terasa sureal. Apakah jaringan sedang buruk, atau aku yang terlalu sibuk dengan kemarahan terhadap diri sendiri? Karena rasa berasalah itu berdetum-detum di pikiranku. Apakah baru saja tadi, aku berkhianat kepada kekasihku?
"Kangen..."
Entah aku atau Wesi yang mengucapkan kata itu. Namun perasaanku tak terbendung. Pacarku telepon, tapi aku malah menangis sejadi-jadinya.
***
Rasa bersalah selalu menderaku jika sudah berkaitan dengan Wesi. Bukan hanya soal aku yang pernah berusaha menahannya mengejar mimpi, tapi rasanya apa yang kuberikan tak pernah sepadan dengan apa yang Wesi lakukan untukku.
Kami bertemu saat aku kuliah semester tiga. Wesi satu tahun di atasku. Aku sudah pernah bilang kan bahwa aku dulu mahasiswa cupu yang tak punya teman? Ya memang sih, kalau aku mau, aku bisa saja punya teman dekat. Ada beberapa yang cukup akrab, namun aku tidak pernah benar-benar terbuka kepada mereka. Dan seringnya, pertemananku selesai setelah urusan selesai. Teman SMA aku sudah lupa. Teman kuliah sudah tak pernah kontak-kontakan lagi. Dari semua masa lalu, hanya Wesi dan Bianca yang konsisten ada.
Kami bertemu di Obor Filsafat. Sebuah kelompok diskusi buatan anak-anak dari jurusan Filsafat. Aku bukan anak filsafat. Aku anak komunikasi. Tapi aku khawatir CVku yang kosong melompong akan membuat masa depanku suram. Jadi aku memilih satu organisasi yang kurasa paling selow dan tidak banyak kegiatan. Obor Filsafat adalah pilihan yang tepat. Di organisasi itu pula aku berkenalan dengan Bianca.
Sampai hari ini aku masih ingat kalimat pertama yang Wesi ucapkan padaku.
"Hei, kita belum pernah ngobrol. Anggota baru ya?"
Setelah itu, Wesi seolah menjadi gaya gravitasi. Bukan gaya gravitasi yang membuatku jatuh, namun justru gaya gravitasi eksternal yang mampu menarikku dari lubang hitam yang kuciptakan sendiri. Wesi selalu menyapa terlebih dahulu. Mungkin dia tahu bahwa aku selalu canggung dan bingung dengan segala bentuk interaksi langsung. Wesi selalu mengajakku ini dan itu, sehingga lama kelamaan aku punya skill berbaur yang kukira aku tak punya. Wesi pula yang pertama kali menyadari potensiku mengelola media sosial dan menyemangatiku untuk menekuni bidang itu.
Bersama Wesi, aku belajar banyak hal. Tentang hal-hal seru di luar kamarku yang ternyata menyenangkan. Bersamanya aku tahu rasanya mengejar passion. Bersamanya aku mencicip momen dewasa yang sedikit terlalu berani, namun sensasinya membuatku sejenak tak ingin kembali, walaupun setelahnya mati-matian kusesali.
"Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Aku nggak akan ke mana-mana." kata Wesi setiap kali aku mulai ketakutan dengan pikiran-pikiran liar yang bermunculan di kepala.
Kalimat itu juga yang kupegang sampai sekarang. Seburuk apa pun realita yang kuhadapi, aku selalu berusaha untuk tetap berdiri tegak, tidak menghindar. Karena aku tahu Wesi akan ada di sana, tak pergi ke mana-mana. Aku hanya perlu bertahan sendiri sedikit lagi.
Malam itu Wesi hanya menelepon sebentar. Saat aku menjawabnya dengan tangisan, dia hanya bertanya "Kenapa nangis?". Namun aku tak sanggup mengucapkan satu katapun. Wesi mengerti. Selalu mengerti. Jadi dia hanya berkata "Kalau capek, istirahat Atra. Istirahat dulu, nanti lanjut lagi. Aku tutup ya teleponnya?". Lalu dia menutup telepon, sengaja memberiku momen untuk sendiri.
Puas menangis, aku membongkar memori laptopku. File-file rahasia berisi kenanganku dengan Wesi, yang kurasa tak pernah Ibu temukan. Berusaha memberi makan rindu supaya tidak layu, kering, kemudian mati.
***
Aku terbangun dengan gedoran di pintu depan. Juga teriakan Ibu yang memanggil-manggil namaku. Kuregangkan tubuh, dan kurasakan tulang-tulangku sakit semua. Ternyata aku tertidur dengan posisi meringkuk, memeluk laptop yang masih menyala. Entah dua atau tiga jam yang lalu.
Matahari menyorot tajam melalui genteng kaca. Kutatap jam dinding, ternyata sudah pukul 10 pagi. Tapi ini kan hari Sabtu? Kenapa Ibu membangunkanku jam segini?
Sedikit oleng karena masih ngantuk, aku membuka pintu.
"Astaga! Ini anak jam segini belum bangun!" decak Ibu sambil berkacak pinggang di depan pintu. "Ayo buruan mandi! Udah jam sepuluh!"
Aku mengucek-ucek mata. "Emang kenapa sih, Bu? Ini kan weekend. Ngapain mandi pagi-pagi?"
"Eaalaaah...gimana sih? Kan Ibu udah bilang. Hari ini ada teman Ibu yang mau datang. Yang anaknya baru pulang dari luar negeri. Ayo cepet, mereka udah otw."
"Males ah, Bu. Ngapain sih? Ibu sama Bapak aja yang nemuin. Atra ngapain ikutan?"
"Aduh, kamu ini kalau dibilangin ngeyel terus! Udah sana mandi! Habis itu bantuin Ibu di dapur!"
Ibu benar-benar mendorongku masuk ke kamar mandi. Mungkin Ibu juga akan menungguiku sampai benar-benar mandi kalau saja Bapak tidak memanggil dari rumah utama.
Namun, aku mandi juga seperti perintah Ibu. Sesungguhnya, aku tahu pasti maksud dari pertemuan ini. Sudah pasti ini salah satu dari acara perjodohan-perjodohan aneh yang dirancang Ibu belakangan.
Dan hal itu terbukti dari jalannya acara bertamu itu. Sepanjang obrolan, dikit-dikit topiknya melipir soal aku atau Gegas, si cowok yang baru pulang dari luar negeri itu. Ibu dan temannya seolah berusaha keras menarik kami untuk ngobrol berdua. Tapi untungnya, cowok itu terlihat sama tak tertariknya denganku. Dia ramah dan sopan, serta menjawab dengan antusias. Namun di momen-momen dia tertentu, dia sibuk dengan ponselnya. Aku menduga dia sebenarnya sudah punya pacar, tapi ibunya tak tahu hal itu dan menjebaknya dalam perjodohan ini. Kenapa sih para orangtua selalu merasa lebih tahu dari anaknya??
"Kamu tuh yang ramahan sedikit kenapa sih, Tra?" tanya Ibu saat tamunya sudah pulang. "Yang humble gitu lho!"
Sambil menggulir smartphone aku mengerutkan dahi.
"Ibu kok nanya gitu? Harusnya kan Ibu tahu kalau karakterku emang begitu. Tadi itu udah paling ramah."
"Ya yang lebih ramah lagi."
"Lagian Ibu nggak perlu ngerencanain perjodohan-perjodohan norak kayak gini. Atra nggak tertarik."
Aku tahu, kata-kataku sedikt kelewatan. Tapi jika itu bisa membuat Ibu berhenti, aku perlu melakukannya.
"Ibu nggak akan begini kalau kamu realistis dan mau dengerin kata-kata Ibu." jawab Ibu dengan nada dingin.
Sebuah kalimat sederhana yang membuat hatiku teriris. Kenapa Ibu begitu menentang hubunganku dengan Wesi?
"Untuk masa depan, harusnya Atra kan yang mutusin sendiri? Yang jalanin nanti Atra atau Ibu? Orangtua harus berhenti merasa paling tahu soal anaknya."
"Atra..."
Aku mendengar suara Bapak berusaha menengahi. Mungkin Bapak tahu bahwa ini akan panjang jika aku ikut-ikutan pakai emosi. Tapi aku memang sudah telanjur emosi.
"Lagian aku masih nggal ngerti kenapa Ibu keukeuh banget nentang hubunganku dengan Wesi. Wesi nggak seburuk yang Ibu pikir..."
"Kamu tahu alasannya, Atra!"
Aku menoleh. Ibu menatapku dengan ekspresi marah dan sedih di saat yang sama.
"Kamu tahu kenapa Ibu begini. Kamu tahu alasannya! Kenapa kamu jadi buta begini?? Kamu ada di sana juga! Kamu..."
Kalimat Ibu terhenti, saat Bapak menghampiri dan merangkul pundaknya, memintanya berhenti. Ibu seolah baru sadar dari mantra. Ada penyesalan, namun ada juga kemarahan. Aku benci kemampuanku memilah-milah ekspresi manusia. Karena aku jadi penasaran apa maknanya.
Namun aku mengerti maksud Ibu. Sangat mengerti.
"Ibu akan terus begini sampai kamu bisa lupain laki-laki itu." kata Ibu dengan nada lebih datar.
Kuhela napas panjang-panjang. "Kalaupun Atra harus lepasin Wesi, Atra bisa cari penggantinya sendiri. Ibu nggak perlu repot-repot nyariin." jawabku, sambil bangkit meninggalkan rumah utama.
***
Multimedia: Rindu - Agnes Monica
Team Naja?
Team Wesi?
Team SamaSapaAjaAsalKauBahagia?
Anyway buat yang nanyain, Laire itu dibacanya la-i-re. Dengan 'e' seperti pada kata 'ena'. No logat bule-bule yaaa ;p
Jangan lupa juga untuk ngikutin terus konser tulisan kakak-kakak kece lainnya di project #SongSeries ini dengan jadwal sebagai berikut:
inag2711 - If I Die Young - setiap Senin dan Kamis
IndahHanaco - Despacito - setiap Selasa dan Jumat
Diriku sendiri - The Girl from Yesterday - setiap Rabu dan Sabtu
mooseboo - Midnight Tea - setiap Kamis dan Minggu
Luv!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro