4. Foto
Seharusnya ini baik-baik saja.
Maksudku, aku harusnya senang kalau ada calon potensial lain untuk sahabatku selain si playboy cap karung seperti Dion. Naja sepertinya cowok baik-baik, ramah, dan menyenangkan di saat yang sama. Harusnya, tugasku menjadi mak comblang nggak akan berat-berat amat karena sepertinya Bianca juga naksir pada cowok yang sedang pedekate itu.
Ini harusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ya, aku tahu. Mungkin akan begitu kalau saja cowoknya bukan cowok yang pernah menjalin cinta satu malam denganku. What the hell. Cinta satu malan?! Otakku pasti sudah gesrek karena kebanyakan lembur sehingga bisa memikirkan satu hal norak dan menjijikkan semacam itu.
Tapi maksudku, apa Naja tidak ingat sama sekali tentang peristiwa laknat malam itu?? Kalau dia tidak ingat, berarti aku juga harusnya tidak ingat kan?? Tunggu-tunggu. Jangan-jangan dia ingat tapi tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang spesial?? Karena dia sering melakukan itu?? Bercumbu dengan cewek-cewek asing yang dia temui di kelab malam dan melupakan segera setelah satu hari berlalu. Bisa jadi sih.
Itu...sedikit menyedihkan, huh? Menjalani malam yang menyenangkan bersama lalu dilupakan atau dianggap tidak ada. Aku bingung bagaimana orang-orang bisa santai dengan kisah cinta one night stand. Kurasa hal itu tidak cocok dengan orang-orang yang mudah baper sepertiku.
Tapi, tunggu. Bukan itu yang harus kupikirkan sekarang. Kalau Naja memang tipe pria seperti itu, apa aku harus mendukung pedekatenta dengan Bianca? Masa aku menyerahkan sahabatku pada pria seperti itu? Eh, tapi kan bisa saja Naja berubah kalau sudah bertemu cewek yang tepat. Seperti cerita-cerita di novel.
Meh. What happens in novel stays in novel. Aku tidak percaya hal-hal cheesy semacam itu bisa terjadi di dunia nyata. Jadi, apa gunanya aku menjauhkan Bianca dari Dion untuk bersama dengan pria yang sama bengseknya?
Tapi kan belum tentu Naja pria seperti itu, Atra. Terlalu dini untukku melabelinya sebagai pria brengsek hanya karena kebetulan dia lupa soal skinship (aku tidak mau menyebutnya make out, please) yang kami lakukan dalam pengaruh alkohol. Atau...apa aku perlu berusaha mengenalnya lebih jauh dahulu sebelum memutuskan untuk menjadi mak comblang mereka?
Seandainya saja ada Wesi di sini, dia pasti tahu mana yang lebih baik. Tapi menghubungi Wesi jam segini, hanya akan bertemu dengan bunyi 'nut nut nut' sampai matahari terbit lagi besok. Lagipula, itu kan bisa kupikirkan nanti. Masih ada deretan list pekerjaan yang harus kulakukan sebelum pulang jam 11 nanti.
Kuseruput Americano iced dari Solitaire, dan kunyalakan laptopku. Ruangan sudah semakin sepi. Hanya ada satu orang di meja planner, dan beberapa orang IT yang ruangannya di pojokan.
"Cepet...cepet...cepet...." gumamku, menunggu laptop selesai dengan proses booting.
Proses booting kali ini sedikit lebih lama dari biasanya. Namun saat sudah muncul dekstop, rasanya ada yang aneh. Biasanya ada banyak ikon aplikasi di bagian bawah seperti Ms. Word, Chrome, Spotify, dan Documents. Harusnya juga ada menu seperti baterai, wifi, disk F dan G. Tapi tampilan laptopku hanya foto background. Bahkan start button saja tidak ada.
"Sial..." desisku sebal.
Kucoba untuk merestartnya sekali lagi. Tapi tampilannya masih sama. Hey! Apa-apaan laptop tua ini ngadat di saat-saat seperti ini?? Di saat aku sedang buru-buru untuk menyelesaikan beberapa list dan pulang?? Bagaimana aku bisa membuka worksheet kalau menu button saja tidak ada??
Saat kucoba merestart sekali lagi dan masih sama, aku mulai celingukan mencari bantuan. Si anak planner yang kuketahui bernama Panca itu terlihat sedang sangat serius dengan laptopnya. Mungkin sedang kejar laporan. Aku tak berani mengganggunya. Aku tahu rasanga sedang spaneng menghitung data di laporan, lalu seseorang mengacaukan konsentrasi. Rasanya ingin kulempar pembolong kertas saja orang itu.
Pandanganku tertuju ke ruangan di pojokan. Beda dengan divisi lain yang biasanya cuma dibatasi oleh sekat-sekat rendah, divisi IT punya ruangan sendiri. Mungkin karena mereka juga punya dunia sendiri. Entahlah. Tapi kurasa mereka tahu apa yang terjadi dengan laptopku.
Kuangkat laptopku, dan kubawa ke ruangan IT. Saat aku masuk, terdengar sayup-sayup musik klasik. Ah, Simphony No. 3 e flat major op55. Simfoni kenangan dari Beethoven. Siapa yang sibuk mengenang seseorang (atau sesuatu) di jam-jam segini?
Aku celingukan, dan hanya ada tiga orang di dalam sana. Wira yang tidur di sofa, Ben yang sedang tidur di meja, dan tentu saja Naja yang sedang duduk santai, menyandarkan punggung ke kursi, dan memejamkan mata, mendengarkan e flat major dari laptopnya.
Oke. Selain gemar menraktir seperti tadi, ada satu poin plus Naja. Selera musiknya bagus.
Aku mendekat ke Naja, dan mengetuk mejanya.
"Naja," panggilku pelan, supaya tidak mengganggu dua orang yang sedang tidur itu.
Naja membuka sebelah matanya, lalu tersenyum.
"Laire," katanya, sambil menegakkan badan, duduk dengan benar.
Kenapa sih dia selalu memanggilku dengan nama itu? Dan kenapa kalau dia yang mengucapkan kata "Laire" efeknya sedikit aneh? Semacam efek yang memberi tekanan sedikit di tekukku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Boleh minta tolong?" aku balas bertanya. "Laptop gue eror."
Kutaruh laptop putihku di hadapan Naja, dan kutunjukkan bagaimana dekstop itu kosong.
"Ikon-ikon menunya hilang." kataku. "Cuma begini doang nih."
"Emang habis ngapain?" tanya Naja, memeriksa laptopku. Menggerak-gerakkan krusor dengan touchpad, dan mencoba mengklik ikon yanh berbentuk seperti jendela. Satu-satunya ikon yang ada di sana.
"Nggak ada." jawabku. "Eh! Kemarin gue baru update windowsnya ke windows 10. Ngaruhkah?"
"Updatenya pake CD diinstall langsung apa diupgrade dari windows bawaan sesuai instruksi windowsnya?"
"Di-upgrade dari bawaan. Kemarin muncul terus command buat upgrade."
Naja mengangguk. "Emang belum stabil kayaknya windows upgrade yang itu. Bakal sering begini nanti. Kalau mau windows 10, mending install manual aja. Mau diinstallin? Atau nggak dibalikin ke windows bawaan aja."
Kata-kata Naja rasanya seperti angin lalu bagiku. Aku nggak ngerti!
"Yah, yang mana aja deh, Ja. Yang penting bisa cepet gue pake kerja."
"Lo lagi buru-buru? Gini aja deh. Ini sementara gue pake safe mode dulu buat balikin menunya. Nanti pas lo mau pulang, laptopnya kasih ke gue aja biar gue installin manual."
"Oke." jawabku. "Eh sama itu juga Ja, laptop gue sering panas banget kalau dipake buat konek internet. Kenapa ya?"
Naja nyengir. "Kang servis laptop mungkin lebih tahu, Laire."
"Eh..."
"Yes, nggak apa-apa. Gue udah sering dianggap kang servis laptop kok sama keluarga gue." kata Naja sambil tertawa. "Tapi kita coba install ulang itu aja dulu. Bisa jadi karena software atau OS*-nya ada masalah sih. Palsu ya lo installnya?"
Aku mengedikkan bahu dan menggeleng. Jujur saja, mana kutahu OS palsu dan OS resmi? Aku cuma terima jadi, yang penting bisa buat posting medsos dan bikin report.
Naja mulai klak-klik di laptopku. Sepertinya dia menjalankan apa yang dia sebut safe mode itu. Dari jarak kami, Naja duduk dan aku berdiri di sampingnya, samar-samar aku mencium aroma parfum maskulin darinya. Aroma campuran kelapa yang klasik, ilalang yang kasar, dan garam yang gurih. Aroma yang menyeretku ke pantai. Aroma yang kuhirup dengan rakus juga malam itu.
Kutatap sosok Naja dari samping dengan saksama. Matanya benar-benar terang. Cokelat terang. Aneh, biasanya orang Indonesia kan punya mata hitam atau cokelat gelap. Rambut keriwil dan tak beraturan. Namun aku sudah tahu bahwa rambut itu terasa lembut saat diremas. Dan jangan lupakan belahan di dagu di bawah bibir sensual yang...mendadak Naja mendongak menatapku.
Aku terkesiap, refleks menjauhkan diri dengan salah tingkah. Saking terkejutnya, tanganku tak sengaja menyenggol ponsel Naja yang tergeletak di pinggir meja. Ponsel itu jatuh ke lantai dengan suara keras. Mataku terbelalak.
"Astaga! Sori! Sori!" kataku panik.
Kupungut ponsel itu dari lantai dan menyalakan tombol power (untung saja masih nyala!) dan mengecek apakah ada yang tergores.
"Sori ya..." kataku memelas, sambil menaruh ponsel itu di meja. "Masih nyala. Nggak ada yang tergores juga kayaknya. Tapi, sori banget."
"It's ok. Lo punya hobi ngelamun ya?" tanyanya sambil terkekeh geli.
"Nggak kok," jawabku defensif. "nggak ngelamun sepanjang waktu. Kadang-kadang aja."
Naja tertawa. Kenapa dia suka sekali tertawa?
"Itu...udah bisa?" tanyaku, menunjuk laptopku yang baru saja selesai proses booting.
"Yep," Naja mulai mengetes satu persatu. Mulai dari meng-klik menu, start, hingga baterai. Normal. "harusnya sih udah nggak ada masalah. Nanti jangan lupa kasih gue ya kalau lo udah mau pulang."
Aku mengangguk. Setelah berterima kasih dua kali, aku beranjak pergi dari ruangan IT. Sambil menenteng laptopku yang dalam kondisi menyala, aku memikirkan sesuatu. Siapa cewek yang menjadi foto background ponsel Naja tadi?
***
Oke, harusnya aku tidak ikut campur.
Bianca toh sudah besar, dan Naja juga. Mereka tahu harusnya sebuah hubungan itu seperti apa. Bianca mungkin juga sudah tahu tentang cewek yang ada di HP Naja. Cewek itu berambut panjang lurus, memakai gaun vintage, dan pulasan makeup sederhana. Senyumnya pun hanya tipis saja, padahal di sebelahnya, sambil merangkul erat pundaknya, Naja tersenyum lebar.
Tapi tetap saja Bianca itu sahabatku bukan? Masa aku diam saja saat dia dekat dengan cowok yang kemungkinan besar sudah punya pacar. Atau malah istri??
Dan lihat saja mereka sekarang. Ngobrol seru di lift seolah orang lain yang berada di lift yang sama hanya pajangan. Kenapa aku ada di sini? Ceritanya panjang. Awalnya aku berencana ke Solitaire untuk mencari kopi. Lalu Bianca yang tahu niatku, segera mengajukan diri untuk ikut. Saat kami menunggu lift, Naja muncul dari dalam toilet yang berada di samping lift. Tak perlu IQ 200 untuk menebak adegan berikutnya. Yap, Bianca mengajak Naja untuk ikut serta, dan Naja mengiyakan. Sekian ceritanya. Yang jelas, aku tak mungkin balik badan dan batal pergi. Lagipula, aku harus mengawasi mereka dan melihat orang seperti apakah Naja ini.
"Iced Americano?" tanya Naja padaku.
Aku mengangguk. Aku tak kaget saat Naja memesankan cafe latte untuk Bianca tanpa perlu bertanya. Pastinya mereka sudah menghafal menu favorit satu sama lain.
"Jadi lo orang Semarang, Ja?" tanya Bianca, saat kami sudah duduk bertiga menunggu pesanan kopi tiba. "Wah, boleh juga tuh kalau gue liburan ke Semarang, lo jadi tour guide ya."
Naja tertawa. "Darah gue doang yang Semarang, Bi. Lahir mah udah di sini. Bokap nyokap juga di sini. Di Semarang tinggal ada Eyang Putri sama keluarga besar."
"Berarti lo mudik tiap tahun kayak Atra dong?"
"Emang Laire aslinya mana?" tanya Naja padaku.
"Solo." jawabku pendek.
"Wah, Solo-nya di mana, Laire? Gue sering jalan-jalan ke sana."
Kusebutkan nama daerah rumah Simbah. Lalu Naja pun mulai nyerocos soal tempat-tempat wisata di dekat sana yang aku bahkan nggak tahu tempat itu ada. Dasar emang travel blogger!
"Tunggu-tunggu," Bianca menyela. "Laire?" tanyanya tak habis pikir. "Gue baru ketemu satu orang yang manggil dia Laire? Lo doang."
Untuk menyembunyikan salah tingkah, buru-buru kusesap kopi pesananku yang baru saja tiba. Sial! Kenapa kedengarannya seperti panggilan sayang?? Apa Bianca mencurigai sesuatu??
"Kenapa? Cantik banget nama itu. Unik. Bagusan itu daripada Atra. Ya nggak?" jawab Naja enteng. "Kedengarannya kayak bule kan? Padahal jawa abis!"
"Oh ya?" Bianca terkejut. "Emang artinya apaan?"
Naja menjelaskan dengan antusias tentang arti namaku, sementara aku menyipitkan mata. Apa iya aku belum pernah cerita tentang arti namaku kepada Bianca? Rasa-rasanya sudah. Wesi juga sudah tahu arti namaku yang sebenarnya.
Dari persoalan namaku, obrolan melebar ke mana-mana. Tentang tradisi jawa, nama-nama jawa, sampai hal-hal receh lainnya. Aku hanya menimpali sesekali. Bukannya aku tak mengerti. Tapi mereka seperti terlalu seru ngobrol, dan aku seperti tak punya tempat untuk menyela. Meski beberapa kali Naja bertanya padaku atau menanyakan pendapatku.
Sebenarnya aku penasaran apakah Bianca sudah tahu cewek di ponsel itu. Aku harus menanyakan padanya saat ada kesempatan nanti. Bianca itu tidak bodoh. Aku yakin dia tahu sesuatu.
"Nanti sore boleh tuh. Di Kokas aja biar enak, sekalian jalan pulang."
"Deal! Laire ikut kan?"
Aku mendongak. Naja baru saja bertanya padaku. Sementara aku tak tahu pembicaraan ini sudah sampai mana.
"Hm?" tanyaku bingung. "Apaan?"
"Nonton Avengers. Ikut kan?" tanya Naja lagi.
"Ayo Tra! Biar kita...eh eh bentar. Ah, lo nggak bisa ya?" tanya Bianca. "ini awal bulan kan? Jadwal lo ketemu..."
"Bisa kok." jawabku tanpa berpikir dua kali. "Gue ikut."
Naja terlihat senang. Sementara Bianca menatapku sedikit terkejut.
"Serius, Tra?” tanyanya.
Aku juga tak tahu kenapa aku setuju ikut mereka. Tapi kurasa karena aku tidak ingin membiarkan mereka berduaan tanpa pengawasan. Ya kan?
Aku mengangguk. Bianca terlihat sedikit tidak senang.
***
*OS=Operating System pada komputer, seperti Windows atau Linux.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro