Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Euforia

Aku bangun pagi sambil tersenyum. Aku juga bingung kenapa, tapi aku hanya...senang karena aku bisa bangun dan tetap bernapas pagi ini.

Lantas aku mengingat kejadian semalam. Ciuman dengan Naja secara sadar dan waras, ternyata jauh lebih menyenangkan dari yang kuingat dari momen-momen teler itu. Ciuman dengan Wesi itu lembut, hening, dan menenangkan, seperti naik komidi putar di sore hari menjelang senja. Sedang ciuman dengan Naja, rasanya melonjak-lonjak seperti sedang naik halilintar. Nyawaku seperti diambil lalu dikembalikan. Ya, seheboh itu.

Lalu suara 'TIIIIIINNN!!' sontak menghentikan aktivitas kami.

"Mampus! Itu mobil bapak!" decakku buru-buru mendorong tubuh Naja.

Naja bergumam "shit...", lalu buru-buru menggerakkan persneling, dan menjalankan mobilnya, meminggirkan Camelia. Agaknya, kami menghalangi mobil Bapak masuk ke halaman.

Lantas, seperti remaja yang ketahuan berbuat mesum, aku dan Naja keluar dari mobil dengan canggung. Aku tak tahu, tapi semoga keluargaku nggak melihat apa yang kami lakukan di mobil tadi.

"Ngapain gelap-gelapan di mobil?" tanya Ibu dengan nada menyelidik.

"Cuma ngobrol," jawabku cepat. "Belum lama juga kita sampainya."

"Lho, ke mana aja kok baru pulang?"

Aku mengangguk. "Tadi nemenin Naja latihan gamelan dulu," jawabku jujur.

"Yang pementasan tari itu?" tanya Bapak, yang baru keluar dari sisi kemudi.

"Betul, Om," jawab Naja sambil tersenyum. "Acaranya akhir bulan ini. Kalau Om dan Tante mau, nanti saya kirimkan tiketnya. Sama Laire juga nanti ya."

"Wah, boleh juga tuh, Pak," kata Ibu. "Udah lama kita nggak nonton wayang. Lumayanlah buat tombo kangen,"

"Bener banget, Tante," tandas Naja senang.

Heran aku. Tadi kukira Ibu bakalan marah karena aku dan Naja baru pulang jam segini. Kenapa keluargaku begitu mudah dibujuk ya?

Sekarang, kurang lebih 12 jam dari kejadian itu, aku cengar-cengir sendiri di paviliunku. Kutatap bayanganku di cermin. Rambut acak-acakan, kaus kedodoran, dan kulit pucat yang nyaris transparan. Rasanya ada yang berbeda, tapi aku nggak tahu bagian mana. Aku hanya merasa...spesial.

Untungnya, rasa lapar membuat kebodohan dalam otakku berhenti. Masih dengan tampang bangun tidur, aku ke rumah utama untuk mencari sarapan. Seperti biasa, Bapak dan Ibu sedang bersantai di ruang makan, menikmati akhir pekan.

"Ibu masak apa?"

Aku duduk di kursi makan, sambil menguap lebar. Ibu langsung melemparkan serbet ke wajahku.

"Cah wedhok jorok banget! Cuci muka dulu gitu! Sikat gigi dulu gitu!" komentar Ibu.

"Keburu lapar," kataku, melongok ke dalam tudung makanan. Ada nasi uduk lengkap dengan suwiran telur, sambal goreng kentang, serundeng, hingga kacang kedelai. Syaraf laparku semakin menggelora.

Buru-buru aku mengambil piring dan memulai sarapan.

"Hari ini kamu pergi sama Naja?" tanya Ibu.

Aku mengangguk. "Ntar sore."

"Tra, kamu udah lama nggak ke Mbak Nea ya?" tanya Ibu.

"Hmm..." aku bergumam tanpa berhenti makan.

Satu, dua, tiga, aku menghitung dalam hati. Menghitung berapa lama aku nggak ke tempat Mbak Nea, dan berapa lama lagu omelan Ibu akan meluncur. Menjadi backsong sarapan pagiku.

"Mbak Nea bilang, udah dua bulan ini kamu nggak ke sana."

"Tapi kan Atra udah nggak apa-apa, Bu," jawabku membela diri. "Tidurnya juga udah lebih gampang kok. Sebulan ini nggak pakai obat sama sekali. Panic attack-nya juga udah jarang. Asam lambungku juga udah jarang kambuh, kecuali kalau kebanyakan kopi."

"Ya tapi kan nggak ada salahnya kamu tetap ke sana rutin, Tra," kata Bapak menimpali. "Biar Nea bisa update terus progressnya."

"Iya deh, nanti Atra bikin janji sama Mbak Nea," kataku menyerah. Kalau Bapak yang turun tangan, aku benar-benar malas membantah.

"Oh ya, soal Mas Naja, kamu ingat kan pesan Bapak?"

Kutatap pria yang rambutnya sudah putih semua itu. Lalu mengangguk pendek.

"Pesan apa to?" tanya Ibu.

"Rahasia," jawab Bapak.

"Lho Bapak ini pake rahasiaan sama Ibu sih?! Atra, pesan apa??"

Aku tertawa dan memilih tak menjawab. Ibu semakin kesal. Aku dan Bapak melakukan tos, puas karena berhasil membuat Ibu yang selalu tahu segala hal jadi uring-uringan.

***

Naja menjemputku di Nurani. Aku memang menyuruhnya menjemputku di sana, untuk nonton seperti janji kemarin. Pria itu mengerutkan dahi saat aku muncul dari ruangan bersama Mbak Nea

"Lho, ini siapa, Tra?" tanya Mbak Nea kepo.

"Naja," jawabku sedikit ragu.

"Oh, Naja yang tadi kamu ceritain?" Mata Mbak Nea sontak melebar.

Aku mengangguk, dan buru-buru menarik tangan Naja. "Atra balik dulu ya, Mbak," kataku buru-buru, sebelum Mbak Nea bertanya lebih banyak lagi.

Meski terlihat tidak rela dan ingin tahu lebih jauh, Mbak Nea melambaikan tangan dan berkata "hati-hati yaa..."

"Ini...klinik psikologi kan?" tanya Naja begitu kami sudah di mobil. "Yang barusan itu...psikolog?"

Ada sedikit rasa tidak nyaman ketika Naja membahas hal ini.

"Psikiater. Aku pasiennya. Kenapa? Aku nggak gila," jawabku sedikit sarkas.

Naja berdecak. "Yang bilang kamu gila siapa sih?" tanyanya tak habis pikir. "Aku cuma nanya kok."

Aku nggak menjawab. Sebenarnya aku bingung bagaimana menjelaskannya. Aku tahu, di luar sana banyak orang yang beranggapan bahwa mendatangi psikolog atau psikiater itu berarti gila. Ada yang salah dengan kewarasannya.

Aku nggak gila. Tapi memang ada yang salah dengan diriku.

"Emangnya kamu kenapa, Laire?" tanya Naja. "Nggak usah dijawab kalau nggak mau," tambahnya buru-buru.

Aku menghela napas panjang. "Anxiety. Insomnia parah. Extreme demotivated. Social phobia."

Naja refleks menoleh menatapku, walau hanya sebentar karena dia harus berkonsentrasi dengan jalanan.

"Social phobia? Kamu kayaknya baik-baik aja," komentarnya.

Aku tertawa kecil. "Sekarang, iya, baik-baik aja. Dulu nggak sebaik ini."

"Dari kapan?" tanya Naja.

Aku mengerutkan dahi, berusaha meninggat. "Kalau social phobia sih udah dari lama. Tapi Anxiety dan insom parahnya baru satu setengah tahun lalu kayaknya. Baru itu juga aku rutin ke psikiater."

Tepatnya saat aku tahu Wesi selingkuh. Dan disusul dengan kabar bahwa Wesi akan ke luar negeri untuk S2.

Harus kuakui, aku sangat bergantung padanya. Wesi adalah sosok yang menarikku dari pusaran social phobia. Wesi bisa membuatku merasa bahwa aku cukup oke untuk berteman dengan semua orang. Bahwa aku berharga dan layak dicintai. Jadi ketika Wesi, satu-satunya orang yang kupercaya itu mengkhianatiku dan berencana pergi jauh, hidupku seperti terguncang. Aku lagi-lagi merasa tak diinginkan.

Mbak Nea pernah menjelaskan ini padaku. Memberitahuku asal muasal dari segala kecemasanku, supaya aku bisa menanganinya ketika muncul lagi lain waktu.

"Tapi sekarang kamu baik-baik aja? Maksudku...better?"

Aku mengangguk. "Yup. Better than I think."

Dulu, tiga hari tidak tidur adalah hal biasa bagiku. Tubuhku lelah luar biasa, tapi pikiranku tak bisa dikendalikan. Aku berpikir tentang kematian sepanjang waktu. Entah aku yang mati, kadang juga Bapak, Ibu, Mas Risma, dan Wesi. Aku merasa ada duka kematian di mana-mana. Setiap malam, tubuhku terasa pegal dan mati rasa. Serangan panik itu juga bisa datang sewaktu-waktu. Aku sering tidur sebentar lalu terbangun dengan frustrasi dan nggak bisa tidur lagi. Aku juga sering nyaris tidur, hingga sebuah mimpi buruk membangunkanku dan membuatku takut tidur lagi. Masalahnya, aku takut tak bisa bangun lagi kalau aku tidur.

Lalu di titik itu aku mulai akrab dengan obat tidur yang kubeli bebas di apotek. Aku tak berpikir risiko apa pun, sebab yang kupikirkan hanya satu: aku bisa benar-benar mati jika nggak segera tidur. Lama kelamaan aku jadi ketergantungan dan dosisku semakin bertambah besar. Hingga di suatu hari, aku minum terlalu banyak obat tidur dan terbangun beberapa hari kemudian di rumah sakit. Selang membelit tubuhku di mana-mana, dan tubuhku seperti tak punya tulang. Kukira aku sudah mati.

Sejak hari itu, aku menjadi pasien Dokter Nea, atau yang kini kupanggil Mbak Nea. Aku menjalani terapi setiap minggu, awalnya. Mengatur konsumsi obat tidur, dan menggantinya dengan berbagai hal lain, salah satunya adalah lembur kerja agar tubuhku capek dan tinggal terlelap begitu sampai di rumah. Karena itulah aku senang lembur, dan orangtuaku nampak tak terlalu keberatan dengan itu.

Mbak Nea juga yang membantuku menerima keputusan Wesi untuk mengejar cita-citanya, serta meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik saja meski Wesi nggak ada di dekatku. Walau karena kejadian ini, keluargaku jadi sangat membenci Wesi dan membuatku merasa bersalah karena itu.

"Well, kalau kamu lagi nggak bisa tidur, kamu telepon aku aja," kata Naja.

"Terus?" tanyaku, dengan senyum diam-diam di sudut bibir.

"Nanti aku dongengin," jawabnya sambil tertawa lebar. "Biar cepet ngantuk."

"Emangnya aku bocah apa?!" Tapi aku ikut tertawa.

Setelah kondisiku mulai membaik, jadwal konsultasiku dengan Mbak Nea pun jadi lebih jarang. Dari yang awalnya tiap minggu, menjadi dua minggu sekali, hingga akhirnya sebulan sekali.

Apakah aku menceritakan semua ini pada Naja? Yang benar saja. Dia akan tahu kalau aku ini sebenarnya punya pacar dong kalau aku cerita?

"Smiling depression," kata Naja. Aku menoleh padanya. "Itu berbahaya sih. Penderitanya bisa kelihatan normal, baik-baik aja, dan bahagia. Tapi depresi menggerogotinya dari dalam. Orang-orang seperti ini, punya tenaga yang cukup buat mengakhiri hidupnya sendiri."

Aku mengangguk. "Memang."

"Kayak Nendra."

Sontak aku menoleh lagi. Aku ingat...Nendra itu nama kakaknya Naja bukan?

"Nendra juga gitu. Aku bahkan nggak tahu kalau dia memendam masalah sebesar itu," kata Naja dengan nada getir. "Dia selalu jadi orang paling bijak di keluarga. Jadi yang paling kuat, paling ceria, dan paling bahagia. Ternyata dia hancur di dalam."

"Kenapa?" tanyaku hati-hati. "Apa yang bikin dia hancur?"

"Pernikahan," jawab Naja dengan suara penuh sesal. "Dia nikah sama orang yang salah."

Aku sangat ingin bertanya lebih jauh. Banyak yang ingin kuketahui, tapi aku memilih menunggu Naja menceritakannya sendiri.

"Dia nikah sama orang terhormat. Orang bilang Nendra beruntung, dianggap kayak Cinderella karena dipersunting pangeran kaya raya dan terhormat. Tapi di sana, harga diri kakakku diinjak-injak. Ada sederet aturan dan beban yang ditanggung Nendra. Keluarga terhormat itu menggerus rasa percaya diri kakakku sampai habis. Ironisnya, dia selalu pura-pura baik-baik aja kalau pulang ke rumah. Seolah pernikahannya bahagia."

"Terus?"

"Sampai akhirnya Nendra melahirkan keponakanku yang nggak berumur panjang. Bayi itu tiba-tiba mengalami henti jantung waktu umurnya baru enam bulan. Nendra kelihatan tabah dan baik-baik aja. Itu yang dia perlihatkan ke kami. Dan kami berpikir kalau dia baik-baik aja, sampai kami nemuin dia bersimbah darah di kamar mandi setelah mengiris nadinya sendiri."

Aku menelan ludah. Bahkan aku merasakan perihnya.

"Ternyata, Nendra stres berat. Pembantu rumah tangga mereka yang cerita. Suaminya terus-terusan nyalahin dia atas kematian putra mereka. Keluarga suaminya juga terus mencibirnya, dan menyebutnya sebagai perempuan yang nggak becus apa-apa. Tekanan itu udah dirasakan Nendra sejak awal pernikahan sebenarnya, tapi dia nggak pernah ngomong. Dia memilih jalan pintas untuk mengakhiri penderitaannya. Rasanya aku pengin bunuh laki-laki itu, Laire. Tapi percuma. Kakakku nggak bisa balik lagi."

Aku mengulurkan tangan, untuk mengusap lengan Naja. Dia menoleh, dan tersenyum. Mungkin maksudnya untuk memberitahuku bahwa dia baik-baik saja.

"Aku justru lega kamu ke psikiater," katanya. "Itu artinya kamu udah selametin diri kamu sendiri. Siapa yang bilang ke psikiater itu pasti gila?"

Aku mengangguk.

"Kalau tergila-gila, bisa jadi sih," tambah Naja. "Tergila-gila sama aku?"

"Iyuh! Alay banget sih!" Kupukul lengan Naja, kesal luar biasa. Kata-katanya membuatku merinding saking iyuhnya.

Naja tertawa lebar. Aku sudah bilang belum ya, aku suka cara Naja tertawa. Tawanya lepas, renyah, dan definitif. Rasanya tawa itu langsung bisa menggambarkan Naja sebagai orang yang hangat, ceria, dan mudah mingle dengan orang lain.

Kami nggak jadi nonton sore itu. Gara-garanya, kami terjebak macet dan saat tiba di bioskop, film yang pengin ditonton sudah mulai. Akhirnya Naja malah mengajakku makan sate taichan di Senayan. Aku bergidik ngeri melihat Naja memesan dua porsi sate kulit taichan. Berapa kalori dan kolesterol yang masuk ke tubuhnya itu ya?

"Besok nge-gym pagi-pagi sebelum ke kantor," kata Naja membela diri saat aku mengomentari makanannya. "Biasanya kamu ngapain kalau weekend?" tanya Naja.

"Tidur. Baca buku. Yoga. Nonton drakor. Kerja," jawabku. "Membosankan."

Naja tertawa lagi. "Tenang, mulai sekarang, kamu nggak akan mengalami akhir pekan yang membosankan lagi," katanya dengan penuh percaya diri.

Namun, ternyata kata-kata Naja itu ada benarnya.

***

Multimedia: Kau yang Terindah - Java Jive

Gaes gaes, udah terima aja yaa ceritanya bolong-bolong dan kurang ini itu. Wkwk

Ku sedang berjuang keluar dari writer's block. Daripada nggak dilanjut-lanjut ceritanya sementara songseries yang lainnya udah pada kelar. Hihi

Luv!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro