Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40 - Under Your Spell

Hai. 🙂
Ini pekan terakhir kita bercengkrama di lapak ini.

Harusnya hari ini saya update. Tapi karena besok penutupannya, maka saya kasih chapter pertama Under Your Spell saja.

Saya belum siap pamitan sama kalian. Besok saja bareng sama Wisnu dan Andhy.

Ini adalah cerita Sid. Sebenarnya ini lebih layak disebut sekuel dari pada Spin Off. Karena apa yang terjadi di UYS merupakan hasil dari Juno. Dan ini bakal jadi awal mula Fix You Fix Me. So, penting banget UYS untuk di baca karena Dennias dan kelompok Sinestesian dari masa depan juga munucul bersinggungan di UYS.

Alur UYS terjadi 2 tahun sejak kejadian Selat Sunda. Jadi sekali lagi saya katakan ini penting banget buat diikuti.

Sebagian dari kalian mungkin ada yang udah baca. Yang belum baca ini saya sajikan. Saya menyayangkan banget kalau kalian melewatkan alur panjang Synesthesia Universe.

Selamat membaca 🌻

CHAPTER 01

🐝

[Sidney's POV]

Motor gue berhenti di area parkir Remember Me. Area paving yang cukup untuk memuat sepuluh motor dalam dua slot itu sudah menyambut gue setiap pagi selama kurang lebih enam bulan terakhir. Enam bulan juga sudah cukup bagi gue untuk mempelajari cara kerja dan aturan operasi toko barang antik ini.

Orang Jakarta nggak ada yang tahu persis tentang Remember Me yang sebenarnya. Soal Mas Bahri, pemilik tunggal Remember Me, yang ternyata seekor unicorn jadi-jadian pun, nggak ada yang tahu. Ya, kecuali gue dan temen karib gue, Juno. PS. I miss you, bud.

Dulu, ketika di awal-awal Juno menghilang, seorang perempuan bernama Rosie menghubungi gue. Dia meminta gue untuk bawa berkas-berkas selayaknya mau lamar kerja. Karena gue yang baru lulus SMA memang lagi bingung nyari kerjaan, akhirnya gue iyakan saja. Yang gue tahu Rosie ini temannya Mas Bahri. Makanya gue nggak menaruh curiga apa pun. Gue cuma berprasangka kalau gue mau ditawarin kerjaan aja. Dia meminta untuk ketemuan di Remember Me.

"Mana berkas-berkas yang gue suruh lo bawa?" ujar Rosie waktu itu. Kami berdua duduk berhadapan di ruang tamu Remember Me yang sofanya bagus banget. Di rumah gue mana ada barang mewah kayak gini. Yang ada cuma sofa tua yang dulu dibeli dari pasar loak.

Gue berpakaian rapi layaknya seorang pelamar kerja. Celana bahan hitam dan kemeja putih. Gue juga sudah menghafalkan jawaban-jawaban keren ketika interview yang gue cari di Google.

Gue menyerahkan sebuah folder yang berisi berkas-berkas seperti fotokopi KTP, ijazah, SKCK, dan surat lamaran kerja yang ditulis tangan.

Rosie menerima folder itu dengan tatapan picing. Ih.

"Kenapa nilai di Ijazah lo yang bagus cuma bahasa Inggris?"

"Semua anak di Nuski jago nginggris."

"Terus menurut lo sepenting apa kemampuan bahasa inggris lo untuk operasional toko ini?"

Gue mikir keras. "Bule suka jajan yang aneh-aneh."

"Hah?"

"Maksud gue-, gue, bisa jadi ada bule yang lagi melancong ke Jakarta dan iseng pengin beli benda apa pun itu di toko ini yang umurnya udah tua."

Rosie menaruh kasar folder gue di atas meja. "Barang-barang antik yang ada di toko ini bukan cuma tua. Tapi juga punya ceritanya masing-masing."

"Jadi jawaban gue salah?"

Perempuan yang bibirnya berlipstik merah itu memutar bola mata. Lalu dia mengambil folder itu lagi. Dia lantas semakin bossy gayanya. Menyilangkan kaki. Gue pengin nabok.

Beberapa menit kemudian dia mengamati surat lamaran gue. Dahinya mengerut. Tangannya memijit alis.

"Lo-," dia mendesah pusing. "Ini tulisan tangan lo? Gila, ancur banget."

Kepala gue sedikit melongok ke depan meski nggak bisa melihat apa yang sedang dia maksud.

"Iya, Bu," jawab gue.

Lalu dia menatap gue seperti elang. "Lo manggil gue, Bu?" ujarnya sengit.

Gue menelan ludah karena bingung di mana letak kesalahan dari perkataan gue. Ini bukan interview kerja yang selama ini gue bayangkan. Why? Kenapa gue dapat calon bos yang bening tapi tajam kayak gini? Tunggu, perasaan ini bukan toko dia. Tapi kenapa gue interview-nya sama dia?

"Gue bukan ibu-ibu, dan gue juga bukan ibu lo."

Ya apa anjir.

"Panggil gue Miss," terangnya sambil meletakkan folder di atas meja lagi.

Lalu dia menyilangkan tangan di dada. Menatap gue seolah sedang melakukan pemindaian dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gue gugup kalau dilihatin orang cantik. Maksud gue, oke, tampang gue emang semenarik itu. Tapi nggak perlu seintens itu tatapannya, bish! Gue cuma bisa memainkan jari sambil sesekali membasahi bibir yang kering.

"Satu tes lagi," kata Rosie sebelum dia beranjak masuk area dalam. Kesempatan itu gue manfaatkan untuk kipas-kipas kancing kemeja dan tarik napas panjang.

Perempuan itu datang dengan membawa sebuah kotak kayu yang diukir dengan motif rumit. Kotak itu terkunci kuat dengan kaitan gembok. Kunci itu melekat di sisi atas kotak itu seperti magnet. Benar-benar menempel.

"Ini bukan kotak biasa. Layak atau nggaknya lo untuk jadi ahli waris Remember Me bergantung pada tes ini, oke? Dan berkas-berkas yang gue minta lo bawa itu akan gue pakai untuk menyesuaikan semua dokumen nantinya."

"Ahli waris?" gue terkejut. Lebih banyak lagi, gue bingung.

"Yes," jawab Rosie seperti nggak ikhlas. Dia menghela napas. "Gue juga nggak ngerti kenapa harus lo satu-satunya kandidat yang mesti gue datangi."

"Gue datang ke sini buat dapat kerjaan. Mungkin. Karena cuma diminta bawa berkas dan bikin surat lamaran kerja."

"Dan kerjaan yang sedang lo lamar adalah untuk jadi penerus toko ini."

Hah? "M-maaf, tapi otak gue masih berputar-putar." Gue bingung.

"Remember Me sudah nggak beroperasi selama enam bulan. Lo bisa lihat, debu ada di mana-mana. Laba-laba pada buat sarang di etalase, barang-barang harus dilap, jendela harus dilap juga dan lantai kayunya perlu dipel," jelas Rosie. Tapi aroma tempat ini masih sama seperti ketika gue dan Juno dulu sering datang ke sini. Nggak ada kesan usang sama sekali meski penampilannya memang perlu banyak dibersihin sana-sini.

"Memangnya pemiliknya ke mana? Udah lama gue nggak lihat Mas Bahri," tanya gue serius.

"Dia ada di tempat yang nggak akan pernah bisa lo temui," jawabnya mengawang. "That's why the business must go on. Dan harus orang yang tepat untuk pegang kendali semua ini. Nggak ada share profit. Lo cuma harus meneruskan toko ini. Keuntungan semuanya buat lo. Nggak perlu bagi hasil ke gue atau Bahri atau siapa pun. Karena setelah ini, kalau lo bener-bener layak, semuanya bakal jadi milik lo."

Gue nggak bisa mengatakan sepatah kata pun. Tertegun menatap yang mengatakannya. Ini membingungkan.

"Ijazah lo mengatakan kalau lo jebolan anak IPS. Nilai akuntansi lo juga nggak jelek-jelek amat. Meh, cuma lewat dikit dari KKM dan palingan itu pun sekadar nilai kasihan dari guru lo. Cuman, tulisan tangan lo bikin gue bete," ujarnya pedas. Mata gue cuma bisa kiyip-kiyip pasrah. Tapi, jujur dibentak cewek cantik itu ada seneng-senengnya gitu. Bentak, Miss, bentak. Bentak hamba yang hina ini. Bentakkk.

"Remember Me bukan toko biasa," ujarnya. "Yang harus lo urus bukan hanya barang-barangnya aja. Tapi banyak hal."

"Nggak ada keris yang harus gue mandiin setiap Jumat Kliwon, kan?" tanya gue terus terang.

"Keris ada. Gue lihat ada beberapa set. Tapi lo nggak perlu lakuin hal klenik kayak gitu."

Gue mengangguk lega.

"Lo cuma perlu jadi sosok yang layak dan tepat untuk berteman dengan Remember Me. This building has stuff you never thought they are exist. Bangunan ini punya beberapa hal yang nggak pernah lo pikirkan bahwa itu semua ada dan nyata. Lo tahu, ini semua benda kuno. Antik. Unik. Langka. Kalau lo mau dapat keuntungan yang besar dari menjalankan Remember Me, maka lo juga harus bisa dan mau mengurus setiap kewajibannya dengan baik."

Gue masih mencerna setiap kata yang gue dengar. "Toko ini angker?"

Bibir Rosie remeh, "Semacamnya. Tapi lo bukan cowok penakut, kan?"

Gue langsung menoleh ke banyak sisi. "Nggak yakin," jawab gue. Alis gue merinding.

Rosie mengembuskan napas. "Masalahnya, toko ini nggak bisa dicarikan orang pengganti secara sembarangan. Remember Me memilih orang yang tepat."

"Tunggu, gue masih belum bener-bener paham. Maaf. Gue-, gue nggak keberatan kalau harus jadi kasir atau yang bersihin toko ini. Akuntansi untuk toko pun gue bisa lakuin dikit-dikit. Maksudnya, gue bisa selesaikan penjurnalan sampai tuntas dengan bantuan buku pelajaran yang gue punya. Tapi kalau secara keseluruhan memegang kendali toko ini, gue kurang yakin."

"Tapi pesan itu mengarah tentang lo."

"Pesan apa?"

"Pesan dari yang tak terlihat. Pesan itu sampai ke gue. Mungkin dari Bahri atau ... gue nggak tahu. Jadi, dari pada lo nganggur luntang-lantung, rebahan, nggak ada kerjaan, mending lo nerusin jadi pemilik Remember Me. Lo bisa mengklaim setiap rupiah yang lo dapat dari hasil penjualan. Dengan catatan lo benar-benar layak."

Jujur gue tergiur dengan apa yang bisa gue klaim. Karena gue butuh banget duit sialan itu. Tapi gue nggak yakin bisa mengelola semua ini dengan cara seharusnya.

"Gimana caranya supaya gue tahu kalau gue layak?"

Rosie kembali menatap kotak berukir rumit itu.

"Lo lihat kunci yang ada di atas kotak itu," ujarnya. Gue mengangguk. "Selain Bahri, gue belum tahu ada orang lain yang bisa mengambil kunci itu dan membuka isinya. Termasuk gue. Gue nggak bisa melepas kunci itu dari rekatannya. Dia menempel seperti magnet."

Gue juga memperhatikan kunci itu. Kunci yang berbentuk aneh. Ukurannya lebih besar dari pada kunci pada umumnya. Usang. Nyaris seperti berkarat meski sebenernya itu cuma warna logam tua yang entah berumur berapa.

"Remember Me, bangunan ini seolah punya ruhnya sendiri. Dia akan memilih siapa yang tepat untuk jadi penjaganya. Bahri pernah bilang, yang bisa menggunakan kunci ini adalah dia yang benar-benar disukai oleh ruhnya."

"Ruh sebuah toko?" gue mendadak merinding.

"Bangunan ini didirikan udah lama banget. Lo nanti bisa lihat sendiri di ruangannya Bahri dan mencari tahu semuanya. Bangunan ini juga menyimpan sejarahnya sendiri, konon. Gue nggak pernah begitu banyak mengulik. Cuma denger dari apa yang pernah Bahri ceritain. Dan lebih baik kalau lo sendiri yang menemukan semua fakta yang ada tentangnya. Kalau Remember Me bener-bener suka sama lo. Suka dalam artian cocok ―gue nggak tahu apa saja indikatornya. Maka dia juga akan membimbing lo untuk benar-benar jadi bagian dari semua ini."

Gue melongo karena berusaha meraba setiap informasi yang disampaikan Rosie.

"Sekarang, coba lo ambil kunci itu," pintanya.

Gue nggak langsung bertindak. Gue menatap Rosie sekali lagi untuk mendapat sedikit keyakinan kalau semua ini bener-bener aman. Oke, sebelumnya, gue nggak pernah bisa percaya sama setiap kejadian yang seolah itu hanya fantasi yang tersembunyi di antara kehidupan nyata manusia, sampai akhirnya gue mengalami dan menyaksikannya sendiri. Misal, perjalanan melintasi waktu yang pernah dilakukan Lana untuk gue, gue yang sampai sekarang masih berinteraksi dengan diri gue yang versi dewasa dari masa depan, Mas Bahri yang konon seekor unicorn, Sinestesian, Sinonim, Antonim, dan entah nanti mungkin bakal ada makhluk lain yang bernama Akronim, Majas, Pantun, whatever. Yang jelas semua pengalaman itu sudah cukup buat gue percaya dengan fenomena rahasia yang ada di sekitar gue.

Jadi, ketika gue dikasih tahu oleh Miss galak di depan gue ini bahwa Remember Me (It just a fucking store, dammit!) punya ruh dan segala hal yang nggak masuk akal lainnya. Gue bisa langsung menerima. Gue nggak takut. Gue hanya bisa waspada. I am totally sober to care about my stupidity. Yes, I am not clever enough. But, people except Juno could never trick on me. Cuma Juno yang bisa membodohi gue secara sah dan legal versi pertemanan kami. Oh, boi, I miss this guy again.

Pelan-pelan gue mengulurkan tangan mendekati kunci itu. Percaya tidak percaya, gue nyaris mengira kalau Rosie hanya bercanda tentang kunci yang melekat seperti magnet. Karena dengan mudahnya gue bisa melepas kunci itu.

"Kenapa gue bisa mengambil kunci ini?" tanya gue yang tertegun sambil memegangi kuncinya.

Rosie menatap gue dengan ekspresi tertegun pula. Pada saat itulah gue dan Remember Me memulai kisah bersama. Dan selama enam bulan menjadi pemilik Remember Me, gue mulai menyadari banyak hal yang sejatinya sangat sulit untuk dipahami dengan kesadaran manusia biasa.

Satu bulan pertama di Remember Me gue belajar untuk memahami apa yang dijual toko ini. It was a lot of things. Pada awalnya gue susah untuk mengidentifikasi mereka satu per satu. Tapi dengan ketelatenan yang dipaksakan, gue mulai bisa mengklasifikasikannya juga. Yep, selama satu bulan itu gue belum membalik tanda close ke open di pintu kacanya.

Gue terkejut ketika seminggu setelah Rosie yakin gue bisa pegang Remember Me, dia datang lagi dengan satu folder lain. Bukan main, folder itu berisi sertifikat tanah, lisensi kepemilikan usaha, tiga buku tabungan dari tiga bank berbeda, catatan account receiveable atau piutang atau aset atau aktiva lancar atau kas, intinya itu, yang dimiliki Mas Bahri pada orang lain. Mas Bahri nggak punya utang. Dan semua dokumen itu secara ajaib sudah berganti kepemilikan secara sah atas nama gue. Demi apa pun, saat itu gue merinding dan berasa mau pingsan. Ya, bagaimana enggak? Dalam waktu tujuh hari gue tiba-tiba jadi abege 18 tahun yang punya aset bernilai milyaran rupiah.

Pertanyaannya adalah, bagaimana Rosie bisa mengubah semua dokumen itu dalam waktu seminggu atas nama gue?

Pada saat menyerahkan folder itu, Rosie nggak bilang apa pun tentang total aset. Dia datang dengan penampilan bak top model, lantas berpesan kalau gue harus menanggungjawabi segala hal yang berkaitan dengan Remember Me. Setelah itu dia menghilang entah ke mana dan tanpa kabar.

***

Seperti biasa, rutinitas yang gue lakukan setiap kali membuka Remember Me adalah pergi ke ruangan pribadi gue. Sebut saja kantor.

Gue memakai apron khusus berwarna cokelat gelap berbahan kulit. Dulu Mas Bahri juga sering memakai ini. Lalu mengganti kaos dengan kemeja biru muda dan tetap memakai celana jins. Mempersiapkan meja kasir barangkali masih ada yang perlu ditata.

Sebelum membalik tanda open, gue harus pergi ke sebuah ruang bawah tanah. Ruang tersembunyi Remember Me yang mungkin Juno bahkan nggak tahu.

Biar gue gambarkan lebih jelas secara persisnya bangunan ini. Dia berdiri di tepi sebuah trotoar dengan lahan parkir di sisi kiri. Tampilan depannya bergaya klasik dan elit seperti kedai-kedai bakeri ala Prancis. Begitu pertama kali pengunjung masuk dengan membunyikan lonceng pintu, mereka akan disambut oleh ruangan luas berisi rak-rak yang beragam isinya. Lalu berjalan lebih dalam melewati sebuah ruangan untuk para tamu, dan di seberang sofa-sofa itu terdapat meja pelayanan seperti di dalam bar. Warna lampunya hangat, udara di dalam sana beraroma ekaliptus, dinding kaca yang kuat berada di sisi kiri. Bisa untuk mengawasi motor dan pemandangan langsung ke arah toko dvd yang dulu Kikan kerja di sana.

Di dalam Remember Me terdapat ruangan kecil seperti kantor. Private Room yang isinya banyak buku-buku aneh itu nggak berani gue tinggali lebih lama. Ruangan itu memang terasa nyaman, tapi terkadang di antara rak itu ada salah satu buku yang mengeluarkan suara bisikan seperti perempuan. Ada juga buku yang seperti suka bernyanyi dengan nada seriosa lirih. Ada yang ketika menjelang matahari terbenam buku itu akan melayang dan berpindah ke tempat tidur, lalu dia membuka halamannya sendiri satu per satu seolah ada yang sedang membacanya. Dan banyak lagi. Intinya, Remember Me ketika malam bukanlah tempat yang normal. Ruh toko ini seolah muncul dan mengambil alih. Apa gue pernah berinteraksi dengannya? Bisa dibilang begitu. Tapi gue berusaha untuk nggak jadi panik dan seolah biasa saja.

Ada satu kamar mandi yang sayangnya itu bisa dipakai pengunjung juga. Tapi tetap bersih dan terjamin. Karena nggak semua pengunjung toko selalu meminjam kamar mandi itu. Tidak ada dapur.

Di Remember Me ada sebuah ruang bawah tanah yang waktu itu diberitahu sama Rosie juga. Pintu menuju rubanah itu terdapat di dalam private room dekat tempat tidur. Dan sudah menjadi kewajiban gue untuk mengunjungi ruangan itu setiap hari. Seperti sekarang. Ada apa di sana?

Tapi tunggu, pacar gue telepon. Ponsel mahal gue berbunyi dari dalam saku.

"Halo?" sapa gue.

"Kakak jadi jemput aku, nggak? Kalau iya nanti aku nggak bawa motor," ujar Sahnaz.

"Oh, jadi dong. Siap. Jam?" gue bersandar di pintu masuk private room.

"Umm, jam duaan deh, yah?"

"Oh, pas pulang sekolah banget, tuh?"

"Iyah. Kakak jangan makan siang dulu tapi. Biar nanti makan sama aku. Aku bikin bento banyak."

"Oke, oke. Nanti kamu pulang aku sudah di dekat gerbang."

"Iya deh."

Sebelum panggilan terputus Sahnaz berkata, "Kak."

"Kenapa?" jawab gue kemudian.

"Kangen."

Gue tersenyum memandang lantai. Lalu berbisik seolah Sahnaz beneran ada di sebelah gue, "Kakak juga."

Lalu terdengar suara senyum dari kejauhan. "Aku masuk kelas dulu, yah."

"Iya. Eh, eh, tunggu," kata gue menahan.

"Kenapa?'

"Mau bilang I love you dulu," kata gue yang perutnya mulai mules. Gue baper anjrit.

Terdengar suara napas Sahnaz yang mungkin terhenyak.

Lalu gue terdiam beberapa saat. Sahnaz nungguin. Sebelum berujar gue berdehem dulu. Kemudian, "I love you, Naz."

Suara senyum terdengar lagi. "Me too, Kak." Mendengar itu gue merasa hari ini akan jadi sempurna.

"Dah, sana masuk."

"Iya. Bye, Kak."

Setelah panggilan terputus, gue memandangi lock screen yang gue pasang dengan display foto Sahnaz yang gue foto tanpa dia sadar. Itu foto waktu dia lagi mamam es klim lasa talo cama tilamisu. Eh cadel.

Gue menghela napas panjang, lalu bergegas menuju pintu rubanah.

Gue dan Sahnaz adalah cerita yang panjang. Jun, entah di mana lo sekarang. Terimakasih. Cepat muncul. Cepat kembali. Gue rindu lo ada di sini. Tanpa lo gue rumpang. Gue sekarang punya tanggung jawab besar, Jun. Gue butuh lo untuk jadi rambu-rambu gue.

Lalu gue membuka pintu rubanah yang langsung disambut dengan suara dengung nan berisik makhluk-makhluk kecil peliharaan Mas Bahri. Mereka adalah peri-peri kecil jelmaan lebah madu. Sebuah suku atau koloni bernama Honi yang membangun istana kecilnya di ruang bawah tanah Remember Me. Dan rutinitas gue setiap pagi adalah untuk memastikan persediaan bunga di bawah sana masih ada.

Awalnya segalanya terasa sulit. Namun ketika setiap kali gue menemui kesulitan, satu hal yang selalu gue lakukan adalah memejamkan mata dan memikirkan 'Apa yang akan Juno lakukan jika dihadapkan dengan masalah ini'. Setelah itu, gue akan baik-baik saja karena mendapat secercah ide.

Jun, bro, muncullah lagi.

***

***



Kaget ya Sid jadian sama Sahnaz?

N

ope, jangan buat kesimpulan apa pun. Apa yang kalian baca di bab ini merupakan sudut pandang Sidney yang masih dalam pengaruh sebuah mantra. Dia tidak tahu sesuatu. Ada rahasia besar yang berkaitan dengan UYS dan kalian harus banget beli buku Juno biar tahu. Hehehe

Esensi bab ini tidak seperti yang kalian duga. Sesuatu terjadi. 🙂

Langsung baca chapter 2 aja di sini


Guys, besok saya mau pamitan sama kalian. Hehe

Mungkin pengumuman pemenangnya akan saya kasih tahu beberapa hari kemudian karena saya harus baca komentar di bab esok.

See you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro