33 - Seolah
Hei, kalian. Selamat malam. Selamat Februari. Bagaimana Januarinya? Was it good?
Sherlock belum sembuh btw. Ada spare part yang harus diganti. Sementara saya nggak mau laptop baru. Kenangan bertualang sama Sherlock udah terlalu banyak. Paling besok bisa dibawa pulang. Atau lusa. So, chapter spin off ini saya tulis ulang via hp dengan mengandalkan ingatan saya tentang outline spin off nya. Saya berusaha biar nggak bikin kecewa.
Banyak typo koreksi saja. Jangan sungkan.
Ini melanjutkan kejadian yang di pulau karang itu yah. Selamat menikmati.
Lagu: Break My Heart Again by Finneas.
***
***
Chapter Spin off.
Ombak berdebur dengan bahasa yang sulit diterjemahkan. Membentur pulau karang besar yang bercokol di tengah lautan itu. Gelap. Dua sosok sedang duduk di tepiannya. Memisahkan diri dari perkumpulan yang sebenarnya tak kalah penting untuk diikuti. Namun kali ini ada ego yang harus diadukan dengan ombak dan bagaimana ia dengan kerendahannya harus ditenangkan pula di saat yang sama. Di mana-mana ego selalu berbicara dengan bahasa yang semaunya. Menuntut untuk dimengerti tapi bicara selugas itu pun enggan. Ego lebih cadel dari bahasa bayi. Ego lebih cewek dari cewek.
Rosie duduk menghadap laut lepas. Kedua tangannya melipat pada lutut. Di sebelahnya Bahri membiarkan satu tanduknya menyala dengan perasaan ketar-ketir.
"Is this you, or just your ego?" tanya Bahri. "Bukan di waktu yang tepat lo bersikap kayak gini."
"Ya udah sana lo pergi. Ngapain ke sini," jawabnya dingin. "Gue udah males sama lo."
"Inget nggak terakhir lo ngomong kayak gini, besoknya lo nggak mau ngomong sama gue. Alasannya karena gue beneran pergi pas lo minta gue pergi."
Hidung Rosie bersuara. "Kali ini gue oke." Sekali lagi ego menginisiasi cewek untuk berkata begitu. Dan, bahasa ego kadang terbalik. Tidak perlu kamus untuk memahami. Cukup lihat saja sisi gelap dari yang tak tersentuh terangnya kejujuran.
Bahri bergeser sampai jarak duduknya lebih dekat dengan Rosie. "Jangan bikin gue bingung dong," ujarnya pelan.
"Lo yang bikin gue bingung!" tukas Rosie. "Kenapa sih?" Rosie menoleh. "Inget ya ini udah seratus tahun yang lalu sejak gue jujur suka sama lo. Dan lo nolak gue. Terus setelah itu gue memutuskan untuk membuat jarak dengan cara berbaur sama manusia. Ngasong perasaan yang aneh banget karena di saat yang sama gue harus tetap berdampingan sama lo demi satu misi besar. Dan dari semua rahasia yang nggak pernah lo katakan ke gue, lalu kenapa lo buka satu rahasia lain di depan anak-anak tadi?"
"Rahasia yang mana?"
"Tau," Rosie menoleh lagi ke arah lain.
"Soal gue yang tahu kapan gue mati?"
Rosie tidak menjawab.
"Kalau yang lo maksud emang itu, ya gue memang baru punya waktu untuk bilang."
"Kenapa nggak bilang ke gue dulu."
"Karena-."
"Karena gue bukan siapa-siapa lo, oke fine."
"Karena gue tahu lo bakal kayak gini."
"Enggak, Bahri. Kalau gue tahu lebih awal atau jauh-jauh masa. Gue bisa mempersiapkan. Bukan kayak gini, lo baru ngasih tahu di saat situasi lagi banyak gentingnya. Oke, gue emang bukan siapa-siapa lo. Nggak perlu diingetin gue juga udah sadar diri. Tapi lo ngerti juga kan di antara semua makhluk yang ada di bumi ini, satu-satunya jiwa yang paling peduli sama keberadaan lo, yang membuat lo menemukan alasan untuk tetap bertahan, ya cuma gue," Rosie terus terang. "Dan lo masih mempertimbangkan buat ngomongin ini?"
"Karena selama ini lo juga nggak pernah seolah peduli lagi ke gue setelah gue tolak dulu."
"Salah siapa? Kenapa lo nggak berusaha buat gue peduli lagi?"
"Gue udah. Tapi lo sendiri yang menunjukkan sikap aneh. Lo selalu mengejek gue dan bersikap seolah gue cuma sosok yang paling pantes untuk dianggap nggak ada di sekitar lo."
Rosie mengelap hidungnya. "Coba lo jelasin ke gue kenapa semua ini harus jadi semakin rumit setelah gue jujur dengan perasaan gue," ujar Rosie. "Jelasin, sebelum lo mati."
Bahri menatap kecantikan paripurna di hadapannya itu. Perasaannya mulai membiru. Ombak di laut hanya ricik dibanding rasa sayangnya yang terlalu debur.
"Karena Sinonim tercipta untuk tidak membuat kisah yang sama seperti manusia. Kehidupan ini bukan benar-benar milik kita. Tapi milik manusia. Manusia diciptakan untuk ini. Kita ibarat marginalia di tepi ayat-ayat Tuhan yang menggariskan kehidupan manusia," jelas Bahri. "Kita tercipta untuk tetap sendirian. Seperti malaikat. Kita bisa jatuh cinta, tapi bukan untuk menjadi bersama. Dan gue nggak mau memulai sesuatu yang ujung pisahnya udah kelihatan di depan."
Rosie terdiam menyimak. Menyimak ujaran yang begitu pekat oleh lara. Lara yang semestinya sudah lama dia akui. Akui agar segalanya tak pernah harus jadi sekusut ini.
"Gue juga sayang sama lo. Tapi bukan sayang yang patut ditinggikan dengan harapan bersama," Bahri sekali lagi.
Bibir Rosie bergetar. Sesak mendengarnya. Semakin sesak karena yang dikatakan Bahri adalah fakta.
"Lo ngerti nggak? Gue ... sakit banget dengernya," kata Rosie yang sudah berurai emosi. Pipinya basah. "Tapi percuma kalau gue marah-marah di sini. Lo bakal tetep kukuh sama apa yang lo katakan, Ri."
Bahri sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Terlalu banyak yang harus diutarakan, tetapi rasanya akan lebih tak terselesaikan kalau ini diperpanjang.
"Oke, lo sama gue. Kita cari saudara Sinonim kita yang lain," kata Bahri pada akhirnya. Berusaha menenangkan situasi.
"Guys? Udah belum? Cepet ke sini. Ada sesuatu yang aneh," suara Dani terdengar berseru.
"Oke!" seru Bahri membalas. Lalu dia menoleh ke arah Rosie. "Denger, Ros. Ini sudah waktunya kita bergerak lebih kuat. Gue nggak mau memperumit ini. Tapi, it's okay, kalau lo kali ini mau kita berperan seolah-olah kita adalah dua manusia yang nggak terikat oleh ketentuan sebenarnya. Seolah kita adalah manusia yang diperbolehkan saling jatuh cinta dan memiliki. It's okay. Malam ini dan setelahnya, gue milik lo."
Rosie melunak.
"Tapi ingat. Ini cuma agar lo bisa punya hal spesial yang bisa dikenang dari gue, setelah gue nggak ada nantinya," kata Bahri lagi. "Dan semua risiko yang mungkin nungguin lo di depan sana. Itu risiko gue juga."
"Ri," Rosie menggeleng.
"Plis, jangan diperumit lagi. Anggap aja kita pacaran. Gue juga akan menganggap seperti itu. Seolah kita manusia. Seolah," Bahri tersenyum pilu.
Lalu Rosie mengangguk.
Tak lama kemudian langkah mendekat cepat. Dani menyusul. "Kalian!"
Bahri berdiri.
"Tadi ada penampakan Juno terbang jauh. Nggak tahu mau ke mana," kata Dani.
***
Uff, jangan panjang-panjang Chapter-nya. Nanti perih banget kalian.
Jadi, kalian mau double update? Coba komentar MAU. Kalau rame nanti malam saya unggah. Jangan ditunggu. Kalian tidur aja, istirahat. Bacanya besok kalau saya update lagi malam ini.
Oh iya, bulan ini seri Gagragas bakal End. Akhir bulan kayaknya. Wuf. Dadah.
Ada 3 opsi cerita lanjutan atau alternatif sekuel sebenernya kalau kalian nggak mau pisah dari kisah ini.
1. Fix You, Fix Me.
Kalian pasti udah tahu yang ini. Judul ini sekuel ya, bukan spin off. 💥
2. Spin Off khusus Sidney. Judulnya masih rahasia. Intinya ini fantasi yang komedi. 🥺
3. Spin off khusus Sinonim.🙇🏻♂️
Ketiga cerita di atas sudah rampung saya tulis Sinopsis dan outline-nya. Tinggal eksekusi. Dan bakal diunggah di akun Wattpad saya.
Mau mana dulu yang di-unggah setelah Juno selesai di Wattpad? Komentar yang tegas kalau beneran pengin. Spill.
Boleh minta vote-nya sebelum keluar? Makasih orang baik.
Instagram: @sahlil.ge
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro