Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 - Suara Dari Kikan

Halo halo. Mana bintangnya? Vote dulu bos. 🍿😊

Maaf saya unggah pagi banget karena ada banyak yang harus saya bereskan hari ini.

Bagaimana kabarnya?

Bagaimana liburannya?

Penasaran, resolusi kalian buat 2020 apa nih? Selain bisa beli buku Juno. Hehe. Semoga terwujud, Aamiin.

Tes tes. Perhatian.

Bab ini akan melepaskan belenggu perasaan kalian selama ini. Tapi bukan berarti masalah selesai.

Ingat, cerita ini akan tetap fokus pada judul.

FYI: Kalau ada yang berpikir kok Juno jadi bucin? Fakta di balik layar adalah, sebelumnya cerita ini berjudul Juno, Jangan Bucin. Akhirnya saya limpahkan ke Naga-nya Andhyrama. Lalu saya lebih memilih Jangan Baper karena paling relevan dan lebih filosofis untuk Juno. Ganti judul tetap nggak akan merubah desain penokohan Juno. Clear? Juno memang desainnya bucin. Bucin santun.

____

Wuf, bab ini bikin hati saya pegel pas nulis. Semoga kalian yang baca baik-baik saja.

____

Bab ini juga menjadi tonggak awal pergeseran konflik. Sebuah perubahan persepsi besar akan ada di bab ini.

___

Putar ini. Penting. Feel-nya gila. Tapi terserah. Hee.

***
________

***

CHAPTER 22

[Kikan Sihombing]

Sementara itu di masa depan ...










Ini sangat berat buatku ketika malamnya mendapat kabar kalau Juno sedang kritis, sementara esok paginya Asbi harus berangkat lagi untuk tugas kenegaraannya. Aku sudah mengemasi semua barang-barang yang harus dia bawa dalam ransel besar. Sebagai perempuan yang memutuskan untuk menjadi pendamping hidup seorang tentara, aku sangat bangga pada Asbi.

Saat ini Asbi memikul tanggung jawab negara sebagai Letnan Kolonel yang mengomandoi sebuah batalyon yang berisi sekitar lima ribu serdadu TNI-AU. Dua tahun terakhir dia dipindah-tugaskan pada Skuadron Udara 100 Istimewa. Satuan militer angkatan udara khusus yang juga baru dibentuk selama dua tahun terakhir ini.

Skuadron Udara 100 Istimewa dibentuk setelah kesepakatan semua negara di dunia untuk mempersiapkan adanya serangan dari makhluk asing yang secara ilmiah masih sukar untuk dijelaskan dari mana asalnya. Alien dari luar angkasa? Bukan. Ini rumit untuk dijelaskan karena mereka adalah makhluk-makhluk besar, seperti raksasa kelas sedang, yang muncul dari dalam perut bumi. Informasi ini masih dirahasiakan dari masyarakat sipil karena dikhawatirkan akan menakut-nakuti mereka. Tapi sebagai istri tentara, aku mendapat sedikit keistimewaan untuk tahu tentang ini agar bisa memahami tugas dan musuh seperti apa yang sedang dihadapi suamiku.

Dulu aku tidak pernah berpikir bahwa di masa depan, akan terjadi sebuah perubahan tatanan kehidupan yang berusaha diambil alih oleh invasi makhluk aneh. Semua itu bermula sejak kemunculan tiga sosok raksasa berbulu lebat yang ditengarai keluar dari corong gunung berapi aktif Cotopaxi di Ekuador. Mereka memangsa penduduk yang berjarak beberapa kilo dari lerengnya. Meski ketiganya berhasil dimusnahkan oleh pasukan militer setempat dan dirahasiakan dari masyarakat sipil, tapi desas-desus ini tetap merembas sehingga menjadi perbincangan yang luas. Ada yang percaya bahwa mereka adalah makhluk asing dari dimensi lain, ada juga yang tidak percaya dan menganggap semua itu hanya isapan jempol semata..

Indonesia menjadi negara yang lambat dalam membentuk pasukan militer khusus untuk persoalan ini. Pembentukan satuan militer khusus ini pun sejak dua makhluk serupa muncul dari dalam perut bumi melalui corong gunung Tambora di NTT. Sekarang adalah embarkasi ketiga Asbi dalam misi ini. Setiap gunung berapi yang masih aktif di Indonesia kini diawasi secara ketat oleh pasukan militer. Bukan karena aktivitas vulkaniknya, melainkan geliat kehidupan makhluk lain di dalam perut bumi yang kenyataannya sedang berusaha untuk keluar dan menginvasi peradaban manusia melalui corong-corong gunung berapi.

Asbi pernah bilang. Pasukan tempur yang disiapkan negara bukan hanya dari kalangan militer. Melainkan ada satu Kompi khusus, rahasia, beranggotakan sekitar seratus lima puluh serdadu yang berkemampuan super. Info lagi yang tak boleh disebar adalah, para serdadu itu merupakan Sinestesian dewasa. Aku juga baru dengar ada spesies manusia seperti itu. Konon para Sinestesian memakai topeng atau tato wajah temporer untuk menyamarkan identitasnya. Antara militer dan Sinestesian dipandu oleh satu sosok kuat untuk mencapai keharmonisan antara manusia dan hukum-hukum kosmos. Kata Asbi lagi, sosok kuat itu bisa melesat di udara tanpa alat bantu. Atau lebih tepatnya bersayap cahaya.

Sekali lagi, bagiku ini berat. Di satu sisi aku bangga memiliki Asbi sebagai agen perdamaian. Di sisi lain aku juga selalu takut jika keberangkatannya ke medan pertempuran bisa menjadi perpisahan kami untuk selamanya. Tidak ada yang tahu apakah dia akan pulang dengan selamat atau tidak.

"Lana ikut ke rumah sakit?" tanya Asbi ketika dia sedang mengikat tali sepatunya. Perasaanku masih gundah setiap mendengar suaranya. Seolah aku ingin menyimpan suara Asbi dalam kaleng kaca dan kuawetkan agar bisa didengarkan kapan pun aku rindu.

Aku mengangguk. "Iya. Dia sangat antusias," kataku. "Aku nggak tahu harus bagaimana. Maafin, ya? Aku tahu ini juga berat dan menyakitkan buatmu."

"Lana anak yang jenius. Dan nggak akan mudah mengubah pemikirannya kecuali dia sendiri yang menemukan faktanya," ujar Asbi sendu. "Aku juga nggak bisa memaksa Lana untuk mengakuiku sebagai Ayahnya. Selama ini aku lama di medan perang. Jarang ada di antara kalian. Bahkan kurasa cara Lana tidak mengakuiku itu sudah lebih dari pantas."

"Nggak!" sergahku. "Kamu nggak bisa selamanya seperti ini juga!"

"Lalu apa?" ucap Asbi pelan sebelum berdiri lalu menatapku. "Sekarang dia lebih memilih untuk menemui Juno dari pada aku yang mau pamit. Aku sudah menunggu selama tujuh belas tahun usia Lana," tatapannya semakin dalam. Fokusku justru tertuju pada bekas luka pertempuran di alis kanannya. "Katakan aku sayang dia kalau pada akhirnya pulangku bukan ke rumah lagi."

Berdiri tiga langkah darinya aku merasa lemah. Aku menggeleng sebelum dia memelukku barangkali untuk yang terakhir kalinya. "Kamu akan pulang ke rumah lagi," ujarku terisak di balik pundaknya. "Biar aku bangunkan Lana."

"Jangan," kata Asbi mengurai pelukan sambil diam-diam mengelap ekor matanya. Lalu dia menggendong ransel miliknya. Memakai topi tentara. Kemudian mengecup keningku. Dan kami sempat beberapa kali foto berdua sebelum dia beranjak lalu menghilang di balik pintu.

Sesuatu yang salah terjadi di antara aku, Asbi, Lana, dan Juno. Dan hal fatal itu dimulai ketika Juno menjadi aneh sejak musim pertukaran pelajar waktu SMA berakhir. Dia berubah total menjadi manusia tanpa senyum. Dingin. Irit bicara. Soliter. Bahkan Sidney harus berusaha keras untuk membuat Juno menerima keberadaan dirinya kembali sebagai teman dekat. Sampai pada saat itu aku memang masih berteman baik dengan Juno meski dia benar-benar berubah seperti manusia yang sudah mati dari dalam. Menyedihkannya, tidak ada satu orang pun yang tahu penyebabnya. Ketika dia mulai bertingkah seolah depresi, dia akan meracau dan berteriak, "Ada yang hilang!" lalu dia mulai menyingkirkan semua orang di sekitarnya, menangis, berteriak, bahkan merintih.

Aku yang saat itu mulai pacaran dengan Asbi akhirnya tidak bisa berbuat banyak. Aku sahabat Juno. Kami dekat sebagai dua karib yang biasa saling membicarakan banyak hal. Namun sejak saat itu kami renggang. Bahkan pernah suatu hari aku bertengkar hebat sama Juno ketika aku berusaha membujuknya untuk menjelaskan apa masalah dia. Sampai keluar kata-kata kasar yang ... bukan Juno banget. Pada saat itu pula, aku hengkang dari rumah Kak Fe. Dari sana aku terjatuh dan Asbi yang menangkapku. Asbi memberiku suaka selepas kepergianku dari rumah itu.

Saat wisuda sarjanaku tiba, ayah Juno hadir di sana. Dan kehadiran beliau rupanya hanya menginginkan bantuanku untuk menjaga Juno selama mungkin. Dalam artian, dia meminta aku untuk menikah dengan Juno pada saat aku masih berpacaran dengan Asbi meski sedang dalam keadaan konflik.

Yang keluarga hebat ini yakini adalah aku dan Juno masih berinteraksi dengan baik. Padahal sama sekali tidak. Momen itu menjadi titik dilema terbesarku dalam hidup. Asbi sudah delapan bulan lebih tanpa kabar di barak. Demi Tuhan, saat itu aku menolak. Tapi segalanya berubah ketika aku melihat keadaan Juno yang akhirnya mau diajak bicara denganku. He was really broken. Awalnya aku berpikir permintaan ini datang karena orang tua Juno menduga bahwa anaknya sedang membutuhkan pendamping hidup agar bisa menjadi ―barangkali― lebih baik. Bahkan anehnya mereka berpikir aku dan Juno sempat saling punya rasa. Padahal tidak. Kami hanya sahabat baik yang saling peduli. Akan tetapi, aku semakin bingung ketika Juno berkata, "Mungkin ini bisa menjadi lebih baik kalau kita menikah."

Kalimat itu adalah ujaran terjanggal yang pernah aku dengar dari seseorang yang bertahun-tahun kacau. Juno bahkan saat itu sudah mulai terkenal. Tapi kehidupannya seolah kosong. Tulisan-tulisannya bernuansa kelam. Penuh dengan enigma yang susah dipecahkan oleh nalar. Jiwanya nelangsa di tengah gemerlap dunia di sekitarnya. Dan aku sangat yakin pendapatnya tentang ide pernikahan kami tidak didasari oleh perasaan apa pun. Meski anehnya aku dan Juno sempat berusaha 'pacaran', tapi tidak ada kemistri sama sekali. Aku seolah menjadi tisu untuk airmatanya yang mudah meleleh setiap kali berbicara serius soal apa saja. Satu hal yang membuat aku memilih untuk menemani Juno (menikah) adalah ketika dia berkata, "Aku butuh orang seperti lo untuk tetap bisa menjalani hidup." Lagi-lagi itu bukanlah kalimat romantis.

Dan kami menikah.

Itu adalah sebuah pergelaran acara mewah yang rasanya hambar untuk aku dan Juno. Bagi kami pernikahan ini tidak ada artinya sama sekali. Kami sudah disediakan perjalanan bulan madu ke Eropa. Tapi perjalanan itu tak ubah seperti dua teman yang sedang bepergian. Kami menginap di hotel yang sama dengan kamar berbeda. Aku tidak tahu pernikahan itu akan jadi seperti apa? Juno bahkan tidak pernah menggandeng tanganku. Kami tidak romantis. Tidak ada cium. Tidak ada momen manja. Tidak ada nuansa pengantin baru. Tidak ada. Juno tak pernah berusaha masuk ke wilayahku. Pun aku tak pernah berusaha untuk memulai. Kami bodoh. Kami asing. Kami teman. Kami salah. Dan kami sering menangis.

Satu tahun bertahan, tetap tidak ada yang berubah. Kecuali perasaanku yang mulai tak betah. Tersiksa. Sampai akhirnya Asbi datang kembali setelah selama itu di barak. Aku menceritakan semuanya pada Asbi. Perasaanku tumpah. Rindu kami meruah. Cintaku hanya milik Asbi. Meski dia sempat marah hebat, tapi beruntung Kak Fe menolongku. Kak Fe mendukungku dengan Asbi. Diam-diam aku menjalin hubungan kembali dengan Asbi. Dan dosa itu terjadi.

Aku hamil bukan dengan Juno. Aku tahu ini salah dan tak benar. Tapi segalanya seolah menjadi sangat masuk akal. Bagian paling beratnya adalah ketika aku memberitahu Juno tentang semua yang terjadi di belakangnya, antara aku dan Asbi. Juno, sama, sekali, tidak, marah! Dia mengerti. Orang tua Juno tahunya itu adalah anak Juno. Faktanya bukan.

Lana terlahir di masa paling mencekam secara emosional dalam hidupku. Juno ada di sana. Dia penyayang anak kecil. Perlakuannya pada Lana benar-benar selayaknya anak sendiri. Juno ikut membesarkan Lana. Namun momen itu harus berakhir ketika Asbi ingin memilikiku dan Lana seutuhnya.

Kami bercerai.

Itu adalah perceraian paling melegakan. Semacam momen bebas dari penjara antara aku dan Juno. Anehnya psikis Juno jauh membaik sejak Lana terlahir. Bagi Juno, Lana ibarat komet yang melintas seribu tahun sekali dalam hidupnya. Obat dari segala laranya. Sosok mungil yang mengembalikan cahayanya. Meski semua itu bagiku masih tetap menjadi misteri yang tak akan pernah terjawab.

Kehidupan Juno mungkin membaik setelah kami bercerai. Tapi tidak bagiku. Karena Lana sama sekali tidak bisa mengakui Asbi sebagai ayahnya bahkan sampai belasan tahun lamanya, sampai sekarang. Lana tidak pernah tahu sejarahnya. Sementara itu aku tidak berani menceritakan sejarahnya yang penuh kepelikan dan dosa itu. Buntut masalah terbesarnya adalah, di mata Lana, Juno adalah ayahnya. Dan masih di mata Lana, Asbi hanyalah perusak hubunganku dan Juno. Faktanya, Lana mengabaikan Asbi, satu-satunya manusia paling keren sejagat ini di mataku. Serta pahlawan sebenarnya untuk Lana. Namun pahlawan itu sekarang sedang dalam embarkasi menuju pertempuran yang entah akan kembali. Atau, mungkin tidak akan pernah kembali. Kuharap kembali. Aku tidak mau Lana menanggung sesal terbesar jika akhirnya tahu.

Aku menangis tersedu-sedu di balik pintu. Tuhan, kembalikan Asbiku.

***
____________________

***

Ambil napas dulu.

Cerita ini yang ngarang saya, yang nulis saya, dan hati saya tetep ikut pegel.

***

Oke, oke, saya tahu pasti ada yang menduga tentang siapa sebenarnya Juno-Lana. Karena masalahnya di cerita ini bukan tentang siapa Juno, siapa Lana. Tapi bagaimana nasib paradoks mereka.

Ini belum kelar ya guys. Juno masih nggak boleh baper.

Yang bertanggungjawab untuk masalah pelik tokoh-tokoh dalam cerita ini ada dua:

1. Sahlil Ge. Saya tahu kalian ingin menjadikan saya tersangka. Ampun, maaf. Kalem, guys. Marahnya simpen dulu. Hehehe

2. Lana. Semua yang terjadi adalah karena kecelakaan paradoks akibat Lana melompat ke masa lalu. Tapi sampai detik ini Lana belum tahu fakta sebenarnya. Maklumlah ya tanggung jawab Lana besar untuk Sinestesia yang dimilikinya.

***

Bab ini adalah plot twist besar. Tapi sampai tamat nanti plot twist masih ada. Bakal sedih atau nggaknya itu tergantung pada persepsi kalian.

Masalah sekarang bergeser:

Bagaimana akhir Juno-Lana?

Bagaimana nasib Lana-Asbi? Saya berharap yang terbaik. Tapi di posisi Asbi sakit cuy. Sakit banget elah, saya yang nulis juga ngerasain.  :(

Lalu, sebagai perempuan. Jika kalian di posisi Kikan apa yang kalian rasakan dan kebijaksanaan apa yang akan kalian lakukan?

See you. Happy weekend.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro